Senin, 30 Maret 2015

Once Upon A Time In The Forest Part 2



Cahaya keemasan menerpa dan menciptakan bayang-bayang hitam di atas lantai marmer. Di samping jendela besar itu terdapat meja bundar yang terbuat dari akar-akar pohon yang saing menjalin. Diff, Selva, dan Forst duduk mengelilingi meja bermandikan cahaya bulan.

“Jadi, bagaimana kau bisa masuk ke Derion, Forst?” tanya Diff kemudian menyesap perlahan teh dalam cangkirnya.

Mata Forst bergerak gelisah. Tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Ia sendiri bahkan tidak memahami bagaimana ia bisa masuk ke negeri ini. “Saya... tidak tahu bagaimana saya bisa datang kemari.”

“Forst,” Diff berkata dengan suara yang lembut. “Bukankah aku sudah berkata padamu untuk tidak bersikap formal seperti itu?”

Forst menunduk rikuh. “T-tapi... Selva yang menyuruhku untuk bersikap sopan kepada Anda, Ratu Diff....”

“Hei!” Selva menggeram pelan saat mendengar namanya disebut. Hampir saja ia meggebrak meja kuat-kuat andaikan tidak ada Diff. Lelaki ini benar-benar menyebalkan!

Diff tertawa kecil hingga menyentuh matanya. “Jangan terlalu percaya pada Selva, Forst. Dia memang seperti itu sejak dulu. Kaku dan ketus. Tapi jauh di dalam hatinya, dia menyimpan kelembutan.”

Sontak pipi Selva berubah merah mendengar kata-kata tersebut. “Jangan mengolok-olokku, Diff.”

“Kita semua yang ada di sini adalah sahabat, kau tahu? Jadi berhentilah memanggilku dengan sebutan Ratu. Aku ingin kalian semua menganggapku sebagai teman terbaik.” Senyuman Diff bersinar samar. “Jangan menciptakan dinding tidak terlihat yang akan memisahkan kita.”

Selva menganggukkan kepalanya. Ia sudah mendengar penjelasan ini berkali-kali. Tapi entah mengapa kali ini Diff terdengar sangat serius. “Baiklah, Diff.”

“syukurlah kau akhirnya mengerti, Selva.” Diff melengkungkan senyum, kemudian mengalihkan padangannya kepada Forst. “Bagaimana denganmu, Forst?”

Forst tergagap. Ia menegakkan punggungnya karena gugup. “B-baiklah jika itu keinginanmu, D-di... Diff.”

Diff memiringkan kepalanya ke satu sisi. Wajahnya sumringah berhias senyuman lebar. “Bagus.”

“Jadi, bagaimana kau bisa sampai kemari, Forst?” tanya Diff sekali lagi.

“Entahlah,” Forst mengangkat bahunya. “Aku terbiasa tidur di dalam hutan. Jadi, aku juga bingung kenapa hari itu aku terbangun di hutan ini.”

“Kau tidur di hutan?” Diff mengenyitkan dahi. “Kenapa? Bukankah biasanya manusia tinggal di rumah?”

Forst menundukkan kepala, menyembunyikan kesedihan wajahnya. “Bagiku, hutan adalah rumah dan tanaman adalah teman....”

“Apa maksudmu?” tanya Diff heran. “Bukankah

“Diff, apa kau di sana?”

Tiba-tiba sebuah suara yang maskulin menginterupsi kalimat Diff. Sedetik kemudian, seorang lelaki dengan tubuh menjulang melangkah anggun ke dalam ruangan itu. Kulit pucat lelaki itu tampak begitu kontras dengan penampilannya yang serba hitam. Kecuali pupil mata kanannya yang berwarna merah.

“Dash!” Diif memekik riang lalu menghambur ke dalam pelukan lelaki itu.

Diff dan Dash berpelukan hangat mengungkapkan kerinduan. Diff menghirup dalam-dalam aroma Dash yang khas. Sementara Dash menenggelamkan hidungnya dalam rambut merah Diff. Mereka tidak bertemu selama tiga hari, tapi rasanya sudah terpisah bertahun-tahun lamanya. Temaram cahaya bulan menambah suasana romantis di ruangan itu.

Selva tersipu melihat keharmonisan raja dan ratunya itu. Ia berharap suatu hari nanti akan ada lelaki yang bisa mencintainya seperti itu. Tapi sedetik kemudian, mata gadis itu mendelik kesal. Ia melihat Forst  tampak begitu terang-terangan menatap ke arah Diff dan Dash!

“Hei!” geram Selva sambil menyentuh siku Forst, menarik lelaki manusia itu dari lamunannya. “Jaga sopan santunmu.”

Forst menoleh ke arah Selva, lalu berbisik lirih. “Kenapa mata kanan mereka berdua seperti ditukar?”

“Itu adalah prosesi pernikahan bagi kaum kami,” jawab Selva dengan suara yang perlahan. “Dan kudengar... itu sangat... menyakitkan.”

“Menyakitkan?” Forst mengernyit heran.

Selva menganggukkan kepala. “Prosesinya memang tidak rumit. Tapi yang kudengar, rasanya... seperti ingin mati saja.”

 “Baiklah. Itu mulai terdengar menyeramkan.” Forst menelan ludah. “Lalu bagaimana dengan mata mereka... berbeda warna?”

“Prosesi menyakitkan dalam pernikahan itu memang karena pertukaran mata kanan antar kedua mempelai.”

“Pertukaran mata?” Forst sedikit meninggikan suaranya karena merasa ngeri. Sedetik kemudian, Forst menegakkan punggungnya karena Selva tampak mendelik marah kepadanya. Sekilas, mata hijau itu melirik ke tengah ruangan.

Forst menggerakkan kepalanya, menoleh ke arah lirikan mata Selva. Rupanya suara Forst tadi sudah menginterupsi pasangan peri di tengah ruangan itu. Mereka saling melepas pelukan dan mulai berjalan ke arah Selva dan Forst.

Forst menunduk dengan perasaan bersalah. Suaranya nyaris tidak terdengar. “M-maaf....”

“Hei, Selva.” Dash menyapa ramah dengan suara maskulinnya.

Selva bergegas bangkit dari duduknya kemudian menunduk penuh rasa hormat. “Selamat datang, Raja Dash.”

“Oh, ayolah, Selva. Berhenti memanggilku raja. Bukankah kita semua bersahabat?”

“Selva memang keras kepala, Dash. Tadi sebelum kau datang, aku sudah mengingatkannya sekali lagi,” timpal Diff. “Sampai kapan kau akan seperti itu, Selva?”

Bahu Selva merosot turun. Ia merasa kalah dengan sikap ramah dari Diff dan Dash. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk menuruti saja permintaan itu. Padahal ia hanya ingin menunjukkan contoh yang baik kepada tamu manusia mereka. “Baiklah kalau begitu, Diff... Dash....”

“Itu lebih baik,” ujar Dash lantas tersenyum.

“Dash... hari ini kita kedatangan tamu penting.” Diff menyentuh bahu Forst hingga lelaki itu mengangkat wajahnya. “Namanya Forst.”

“Selamat datang di Derion, Forst,” sambut Dash dengan senyuman ramah.

Begitu mendengar suara Dash yang penuh wibawa, sontak Forst bangkit dari duduknya. Sedetik kemudian, ia menunduk hormat seperti yang dilakukan Selva tadi.

“Tidak perlu terlalu formal seperti itu, Forst.” Dash tertawa kecil. Dengan kedua tangannya yang kokoh, ia mengangkat bahu Forst hingga kini mereka saling berhadapan.  “Aku harap bisa mengobrol lama denganmu, Forst. Aku ingin bertanya mengenai dunia manusia. Tapi untuk sekarang bisakah kalian meninggalkan kami berdua? Ada hal penting yang ingin kubicarakan dengan Diff.”

“Tentu saja, Dash.” Selva menjawab cepat.

“Kau bisa mengakrabkan Forst kepada teman-teman kita.”

“Baiklah,” Selva menganggukkan kepala dengan patuh. Dalam sekejap, kakinya sudah melangkah lebar. Sementara tangannya menarik tangan Forst untuk mengajak lelaki itu meninggalkan ruangan.

***

Forst duduk di ujung meja yang dipenuhi beberapa peri dengan warna masing-masing. Selva mengajaknya kembali ke ruangan utama yang pertama kali mereka datangi tadi. Selva memperkenalkan Forst kepada teman-temannya. Dan Forst langsung lupa nama-nama mereka yang terdengar sangat asing. Sedetik kemudian, Selva mulai mengobrol dengan teman-temannya. Mereka semua terdengar penuh rasa ingin tahu bagaimana Selva bisa bertemu dengan manusia di hutan terlarang ini.

Banyak dari mereka bersikap begitu ramah dan bersahabat kepada Forst. Dan entah mengapa ia merasa nyaman di tengah-tengah para peri ini. Rasanya seperti berkumpul dengan teman lama.  Walaupun tidak sedikit juga yang melemparkan tatapan penuh curiga kepada Forst. Mungkin itu akibat dari kata-kata penyusup yang dilontarkan Selva sebelumnya.

Benar juga. Di mana gadis galak itu? Forst memutar kepalanya untuk mencari keberadaan Selva. Tapi nihil. Gadis itu tidak terlihat dalam ruangan besar ini.

“Apa kau tahu di mana Selva?” tanya Forst pada gadis di sebelahnya. Rambut gadis itu ikal berwarna ungu. Dan Forst lupa namanya.

“Selva?” Dahi gadis itu mengernyit sejenak. Kepalanya dimiringkan sedikit, lalu ia tersenyum. “Dia biasanya suka menyendiri di balkon.”

“Terima kasih,” Forst tersenyum sambil menatap wajah gadis itu. Dan entah mengapa, ia tiba-tiba teringat nama gadis ini. Nama yang tidak terlalu sulit diucapkan sebenarnya. “Saki.”

Mata bulat Saki menyipit karena senyuman. “Terima kasih kembali, Forst.”

Forst beranjak dari duduknya. Ia melangkahkan kaki menuju pintu kayu yang ditunjuk oleh Saki. Perlahan, ia mendorong daun pintu itu hingga terbuka. Beberapa langkah dari pintu, Forst bisa melihat Selva sedang berdiri di dekat birai balkon. Kedua sikunya dilipat di atas birai. Sepasang sayap transparannya terkulai di punggung. Sementara kepalanya tertunduk dengan rambut hijau melambai diembus angin malam.

Perlahan tanpa suara, Forst mendekati Selva. Tapi tiba-tiba langkah lelaki itu terhenti. Cahaya bulan di atas sana membuat sesuatu di sudut mata Selva tampak berkilau. Dahi Forst mengernyit heran. Apa itu? Mungkinkah itu... air mata?

“Selva?” Forst terpaku lalu bergumam perlahan. Tapi ternyata cukup mampu membuat gadis itu menyadari keberadaannya.

Selva menolehkan kepalanya. Sedikitpun ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. “Forst?” Cepat-cepat gadis itu mengusap sudut mata dengan jemarinya. Lalu ia berkata dengan nada ketus seperti sebelumnya. “Apa yang kaulakukan di sini?”

Forst menelan ludah. Entah mengapa ia merasa bersalah karena sudah melihat gadis itu menangis. Suasana canggung tidak terelakkan lagi. Otak Forst berpikir cepat menemukan alasan yang masuk akal.

“A-aku tidak tahu kau ada di sini,” ujar Forst sedikit tergagap awalnya. Ia berdiri di dekat birai balkon tiga langkah dari tempat Selva berdiri.  Lalu menengadahkan kepalanya ke langit. “Aku ke sini untuk melihat... bulan.”

Lalu tiba-tiba Forst menyadari sesuatu. Punggungnya menegak. Sepasang mata hijaunya terbelalak. Kepalanya menoleh kaku ke arah Selva. “Kenapa kita bisa melihat bulan dari sini? Bukankah kita berada di bawah tanah?”

Tanpa dinyana, Selva tertawa lepas melihat ekspresi Forst. “Ini semua merupakan berkah dari kemampuan mantra para peri yang ada di sini. Sehingga tanah bisa menjadi sebening kaca jika dilihat dari bawah sini.”

Forst hanya diam dan menunggu Selva melanjutkan ceritanya.

“Derion sendiri dihuni enam ras dengan kemampuan dan ciri khas maisng-masing.” Selva mulai bercerita seperti sedang membacakan dongeng sebelum tidur. “Ras Mossion yang serba ungu, memiliki kemampuan mantra yang sempurna. Ras Kitrion kuning disertai kemampuan arsitektur untuk membangun bangunan yang kokoh. Ras Sylvoin biru, pandai menciptakan sihir ilusi yang mampu menipu musuh. Kemudian ras Mavron hitam dan ras Kokkinon merah yang merupakan dua ras terkuat sehingga hidup sebagai rival abadi. Dan... tentu saja ras Prasion hijau dengan kemampuan membuat senjata.”

Melalui ekor matanya, entah mengapa Forst menangkap kegetiran dari ekspresi Selva saat gadis itu menceritakan tentang rasnya. Apakah itu menjadi penyebab gadis itu menangis?

“Lalu apakah ras Mavron dan Kokkinon tidak memiliki kemampuan yang istimewa?” Forst mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Semoga saja Selva bisa melupakan kesedihannya. Tapi hei untuk apa ia peduli pada perasaan Selva?

“Mereka memiliki kemampuan untuk strategi pertarungan dan juga pergerakan yang cepat.” Selva menjelaskan dengan perasaan antusias. “Dan yang lebih istimewa, mereka bisa dengan mudah menguasai kemampuan ras lain. Walaupun tidak sempurna.”

Forst menganggukkan kepala. Dalam benaknya terbayang Dash dan Diff. Pantas saja mereka yang menjadi raja dan ratu di sini. Mereka pasti memiliki kemampuan yang sangat hebat.

“Dan selama berabad-abad, keenam ras tersebut tidak pernah hidup damai. Terutama ras Mavron dan Kokkinon. Memang benar kami tidak pernah berperang dan saling menyerang, tapi jauh dalam hati masing-masing kami saling membenci. Itulah mengapa haram hukumnya untuk memasuki hutan terlarang yang menjadi perbatasan wilayah antar masing-masing ras.” Selva menengadahkan kepala menatap ke arah bulan. “Syukurlah, aku bertemu dengan Diff dan Dash dan juga teman-teman lain di sini.”

Forst hanya bungkam mendengar cerita Selva. Gadis itu memang benar. Aura persaudaraan di sini benar-benar membuat siapa pun merasa tenang.

“Aku merasa iri dengan kaummu, Forst,” ujar Selva sambil mengulum senyuman. “Manusia bisa hidup berdampingan dengan damai tanpa peduli apa warna kalian. Kau bahkan rela menolongku walaupun tidak mengenalku sama sekali.”

Mendengar hal itu, Forst mencengkram erat birai balkon hingga buku-buku jarinya memutih. Sekelebat kenangan buruk menghantam ingatannya. Kini kepalanya mulai terasa sedikit pening.

“K-kau tidak mengenal manusia dengan baik, Selva.” Forst menggeram dengan gigi yang bergemeletuk.

Selva menatap ngeri melihat perubahan ekspresi Forst.

“Banyak manusia membenciku karena... aku berbeda.” Forst menatap wajah Selva. Lelaki itu tersenyum terpaksa. Bahkan senyuman itu tidak menyentuh matanya. “Bahkan orang tua kandungku tega mneinggalkanku hanya karena warna mataku.”

Mata Selva mengerjap beberapa kali. Ia masih berusaha mencerna kata-kata Forst. Tapi sepasang mata hijau itu memang memancarkan kesedihan yang mendalam. Baru saja, bibir Selva terbuka untuk mengucapkan kata penghibur. Tapi suara Dash terdengar menggema dari dalam ruangan. Akhirnya, mereka berdua bergegas melangkah kembali ke dalam ruangan.

“Teman-teman sekalian,” ucap Dash di tengah-tengah ruangan. Diff terlihat mendampinginya dengan wajah khawatir. “Menurut berita yang kudengar, akan ada penyerangan kepada saudara kita dalam kurun waktu dua minggu. Dan mereka meminta bantuan kita untuk menghalau penyerangan itu. Apakah kalian bersedia?”

Suasana ruangan sontak menjadi riuh rendah. Seluruh yang ada di ruangan menyerukan kesediaan mereka.

“Dan Forst... maukah kau bergabung bersama kami?” tanya Dash sambil menggedikkan dagunya kepada Forst, membuat semua mata langsung terpusat kepada Forst.

Forst benar-benar terkejut. Ia menunduk rikuh. Sementara seluruh mata memandangnya. Matanya melirik ke arah Selva yang bersandar pada pintu di belakang mereka. Tapi gadis itu malah menepuk hangat bahunya, menyalurkan dukungan persahabatan.

“T-tentu saja.” Akhirnya Forst bersuara. “Tapi bolehkah saya pulang sebentar untuk menemui teman-teman?”

***

Pemandangan pagi ini tampak begitu asri. Cahaya matahari pagi mulai menerpa langit yang hitam, menandakan fajar akan segera tiba. Bulir-bulir embun tampak membasahi ujung-ujung dedaunan yang hijau. Karen berjalan perlahan sambil mengisi paru-parunya dengan udara segar. Sementara mulutnya masih sibuk mengunyah roti yang menjadi sarapan pradininya.

Karen meremas  kertas pembungkus sarapannya hingga menjadi bulatan. Ia melemparkan kertas itu ke tanah dengan perasaan kesal. Matanya menatap kertas yang menggelinding dan berhenti di bawah batang pohon yang kokoh.

Karen mendengus dengan gumpalan perasaan dalam hatinya. Entah mengapa, ia jadi merasa kesal setiap kali melihat pohon ataupun tumbuhan. Mungkin itu semua akibat dari terlalu lama dalam laboratorium bersama seorang profesor yang ambisius.

Kurang lebih dua tahun terakhir, Karen bekerja sebagai asisten profesor yang sedang melakukan penelitian terhadap tanaman. Tapi tampaknya, penelitian itu belum juga berhasil. Kekurangan dana merupakan salah satu penyebab utama kegagalan penelitian.

Karen merasa bingung memikirkan penelitian itu hingga ia terjaga semalaman. Dan akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan dan tanpa sadar tiba di tepi hutan dekat kota tempat tinggalnya.

“Andai saja ada yang bisa berbicara dengan tanaman-tanaman ini.”

Kata-kata profesornya kemarin malam terngiang di telinga Karen. Apakah profesor itu sudah terlalu frustasi hingga mengucapkan kata-kata yang tidak masuk akal seperti itu? Mana mungkin ada manusia yang bisa berbicara dengan tanaman?

Tiba-tiba Karen mendengar suara gemerisik dari dalam hutan. Ia menghentikan langkahnya dan meningkatkan kewasapadaannya. Beragam kemungkinan memenuhi benaknya. Bisa saja itu harimau atau serigala yang tinggal di dalam hutan.

Karen menelan ludah. Ia merasa ketakutan dengan pikirannya sendiri. Perlahan dan nyaris tanpa suara ia bergerak mundur selangkah demi selangkah. Di dalam hati berbagai doa dipanjatkan gadis itu demi keselamatannya. Ia sedikit memaki dirinya sendiri karena sudah berjalan mendekati hutan.

Jantung Karen seperti berhenti berdetak. Matanya terbelalak lebar saat sesuatu melompat keluar dari kegelapan hutan. Ia sudah mempersiapkan diri jika harus menjadi sarapan hewan buas. Tapi ia akhirnya menghela napas lega saat menyadari bahwa sesuatu itu ternyata manusia.

Karen memicingkan mata kepada sosok lelaki yang baru saja melompat keluar dari hutan. Sepertinya ia tidak asing dengan penampilan lelaki itu. Rambut cokelat dengan mata hijau cemerlang. Tunggu bukankah itu...

“Forst?”

Bersambung ke part 3

Kisah pertemuan pertama Forst dan Selva bisa dibaca dalam Waldeinsamkeit. ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D