Cahaya keemasan menerpa dan menciptakan
bayang-bayang hitam di atas lantai marmer. Di samping jendela besar itu
terdapat meja bundar yang terbuat dari akar-akar pohon yang saing menjalin.
Diff, Selva, dan Forst duduk mengelilingi meja bermandikan cahaya bulan.
“Jadi, bagaimana kau bisa masuk ke Derion,
Forst?” tanya Diff kemudian menyesap perlahan teh dalam cangkirnya.
Mata Forst bergerak gelisah. Tidak bisa
menemukan kata-kata yang tepat. Ia sendiri bahkan tidak memahami bagaimana ia
bisa masuk ke negeri ini. “Saya... tidak tahu bagaimana saya bisa datang
kemari.”
“Forst,” Diff berkata dengan suara yang
lembut. “Bukankah aku sudah berkata padamu untuk tidak bersikap formal seperti
itu?”
Forst menunduk rikuh. “T-tapi... Selva
yang menyuruhku untuk bersikap sopan kepada Anda, Ratu Diff....”
“Hei!” Selva menggeram pelan saat
mendengar namanya disebut. Hampir saja ia meggebrak meja kuat-kuat andaikan
tidak ada Diff. Lelaki ini benar-benar
menyebalkan!
Diff tertawa kecil hingga menyentuh
matanya. “Jangan terlalu percaya pada Selva, Forst. Dia memang seperti itu
sejak dulu. Kaku dan ketus. Tapi jauh di dalam hatinya, dia menyimpan
kelembutan.”
Sontak pipi Selva berubah merah mendengar
kata-kata tersebut. “Jangan mengolok-olokku, Diff.”
“Kita semua yang ada di sini adalah
sahabat, kau tahu? Jadi berhentilah memanggilku dengan sebutan Ratu. Aku ingin
kalian semua menganggapku sebagai teman terbaik.” Senyuman Diff bersinar samar.
“Jangan menciptakan dinding tidak terlihat yang akan memisahkan kita.”
Selva menganggukkan kepalanya. Ia sudah
mendengar penjelasan ini berkali-kali. Tapi entah mengapa kali ini Diff
terdengar sangat serius. “Baiklah, Diff.”
“syukurlah kau akhirnya mengerti, Selva.”
Diff melengkungkan senyum, kemudian mengalihkan padangannya kepada Forst.
“Bagaimana denganmu, Forst?”
Forst tergagap. Ia menegakkan punggungnya
karena gugup. “B-baiklah jika itu keinginanmu, D-di... Diff.”
Diff memiringkan kepalanya ke satu sisi.
Wajahnya sumringah berhias senyuman lebar. “Bagus.”
“Jadi, bagaimana kau bisa sampai kemari,
Forst?” tanya Diff sekali lagi.
“Entahlah,” Forst mengangkat bahunya. “Aku
terbiasa tidur di dalam hutan. Jadi, aku juga bingung kenapa hari itu aku terbangun
di hutan ini.”
“Kau tidur di hutan?” Diff mengenyitkan
dahi. “Kenapa? Bukankah biasanya manusia tinggal di rumah?”
Forst menundukkan kepala, menyembunyikan
kesedihan wajahnya. “Bagiku, hutan adalah rumah dan tanaman adalah teman....”
“Apa maksudmu?” tanya Diff heran. “Bukankah—“
“Diff, apa kau di sana?”
Tiba-tiba sebuah suara yang maskulin
menginterupsi kalimat Diff. Sedetik kemudian, seorang lelaki dengan tubuh
menjulang melangkah anggun ke dalam ruangan itu. Kulit pucat lelaki itu tampak
begitu kontras dengan penampilannya yang serba hitam. Kecuali pupil mata
kanannya yang berwarna merah.
“Dash!” Diif memekik riang lalu menghambur
ke dalam pelukan lelaki itu.
Diff dan Dash berpelukan hangat
mengungkapkan kerinduan. Diff menghirup dalam-dalam aroma Dash yang khas. Sementara
Dash menenggelamkan hidungnya dalam rambut merah Diff. Mereka tidak bertemu
selama tiga hari, tapi rasanya sudah terpisah bertahun-tahun lamanya. Temaram
cahaya bulan menambah suasana romantis di ruangan itu.
Selva tersipu melihat keharmonisan raja
dan ratunya itu. Ia berharap suatu hari nanti akan ada lelaki yang bisa
mencintainya seperti itu. Tapi sedetik kemudian, mata gadis itu mendelik kesal.
Ia melihat Forst tampak begitu
terang-terangan menatap ke arah Diff dan Dash!
“Hei!” geram Selva sambil menyentuh siku
Forst, menarik lelaki manusia itu dari lamunannya. “Jaga sopan santunmu.”
Forst menoleh ke arah Selva, lalu berbisik
lirih. “Kenapa mata kanan mereka berdua seperti ditukar?”
“Itu adalah prosesi pernikahan bagi kaum
kami,” jawab Selva dengan suara yang perlahan. “Dan kudengar... itu sangat...
menyakitkan.”
“Menyakitkan?” Forst mengernyit heran.
Selva menganggukkan kepala. “Prosesinya
memang tidak rumit. Tapi yang kudengar, rasanya... seperti ingin mati saja.”
“Baiklah. Itu mulai terdengar menyeramkan.”
Forst menelan ludah. “Lalu bagaimana dengan mata mereka... berbeda warna?”
“Prosesi menyakitkan dalam pernikahan itu
memang karena pertukaran mata kanan antar kedua mempelai.”
“Pertukaran mata?” Forst sedikit
meninggikan suaranya karena merasa ngeri. Sedetik kemudian, Forst menegakkan
punggungnya karena Selva tampak mendelik marah kepadanya. Sekilas, mata hijau
itu melirik ke tengah ruangan.
Forst menggerakkan kepalanya, menoleh ke
arah lirikan mata Selva. Rupanya suara Forst tadi sudah menginterupsi pasangan
peri di tengah ruangan itu. Mereka saling melepas pelukan dan mulai berjalan ke
arah Selva dan Forst.
Forst menunduk dengan perasaan bersalah.
Suaranya nyaris tidak terdengar. “M-maaf....”
“Hei, Selva.” Dash menyapa ramah dengan
suara maskulinnya.
Selva bergegas bangkit dari duduknya
kemudian menunduk penuh rasa hormat. “Selamat datang, Raja Dash.”
“Oh, ayolah, Selva. Berhenti memanggilku raja.
Bukankah kita semua bersahabat?”
“Selva memang keras kepala, Dash. Tadi
sebelum kau datang, aku sudah mengingatkannya sekali lagi,” timpal Diff.
“Sampai kapan kau akan seperti itu, Selva?”
Bahu Selva merosot turun. Ia merasa kalah
dengan sikap ramah dari Diff dan Dash. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk
menuruti saja permintaan itu. Padahal ia hanya ingin menunjukkan contoh yang
baik kepada tamu manusia mereka. “Baiklah kalau begitu, Diff... Dash....”
“Itu lebih baik,” ujar Dash lantas
tersenyum.
“Dash... hari ini kita kedatangan tamu
penting.” Diff menyentuh bahu Forst hingga lelaki itu mengangkat wajahnya. “Namanya
Forst.”
“Selamat datang di Derion, Forst,” sambut
Dash dengan senyuman ramah.
Begitu mendengar suara Dash yang penuh
wibawa, sontak Forst bangkit dari duduknya. Sedetik kemudian, ia menunduk
hormat seperti yang dilakukan Selva tadi.
“Tidak perlu terlalu formal seperti itu,
Forst.” Dash tertawa kecil. Dengan kedua tangannya yang kokoh, ia mengangkat
bahu Forst hingga kini mereka saling berhadapan. “Aku harap bisa mengobrol lama denganmu,
Forst. Aku ingin bertanya mengenai dunia manusia. Tapi untuk sekarang bisakah
kalian meninggalkan kami berdua? Ada hal penting yang ingin kubicarakan dengan
Diff.”
“Tentu saja, Dash.” Selva menjawab cepat.
“Kau bisa mengakrabkan Forst kepada
teman-teman kita.”
“Baiklah,” Selva menganggukkan kepala
dengan patuh. Dalam sekejap, kakinya sudah melangkah lebar. Sementara tangannya
menarik tangan Forst untuk mengajak lelaki itu meninggalkan ruangan.
***
Forst duduk di ujung meja yang dipenuhi
beberapa peri dengan warna masing-masing. Selva mengajaknya kembali ke ruangan
utama yang pertama kali mereka datangi tadi. Selva memperkenalkan Forst kepada teman-temannya.
Dan Forst langsung lupa nama-nama mereka yang terdengar sangat asing. Sedetik
kemudian, Selva mulai mengobrol dengan teman-temannya. Mereka semua terdengar penuh
rasa ingin tahu bagaimana Selva bisa bertemu dengan manusia di hutan terlarang
ini.
Banyak dari mereka bersikap begitu ramah
dan bersahabat kepada Forst. Dan entah mengapa ia merasa nyaman di
tengah-tengah para peri ini. Rasanya seperti berkumpul dengan teman lama. Walaupun tidak sedikit juga yang melemparkan
tatapan penuh curiga kepada Forst. Mungkin itu akibat dari kata-kata penyusup yang dilontarkan Selva
sebelumnya.
Benar juga. Di mana gadis galak itu? Forst
memutar kepalanya untuk mencari keberadaan Selva. Tapi nihil. Gadis itu tidak
terlihat dalam ruangan besar ini.
“Apa kau tahu di mana Selva?” tanya Forst
pada gadis di sebelahnya. Rambut gadis itu ikal berwarna ungu. Dan Forst lupa
namanya.
“Selva?” Dahi gadis itu mengernyit
sejenak. Kepalanya dimiringkan sedikit, lalu ia tersenyum. “Dia biasanya suka
menyendiri di balkon.”
“Terima kasih,” Forst tersenyum sambil
menatap wajah gadis itu. Dan entah mengapa, ia tiba-tiba teringat nama gadis
ini. Nama yang tidak terlalu sulit diucapkan sebenarnya. “Saki.”
Mata bulat Saki menyipit karena senyuman.
“Terima kasih kembali, Forst.”
Forst beranjak dari duduknya. Ia
melangkahkan kaki menuju pintu kayu yang ditunjuk oleh Saki. Perlahan, ia
mendorong daun pintu itu hingga terbuka. Beberapa langkah dari pintu, Forst
bisa melihat Selva sedang berdiri di dekat birai balkon. Kedua sikunya dilipat
di atas birai. Sepasang sayap transparannya terkulai di punggung. Sementara
kepalanya tertunduk dengan rambut hijau melambai diembus angin malam.
Perlahan tanpa suara, Forst mendekati
Selva. Tapi tiba-tiba langkah lelaki itu terhenti. Cahaya bulan di atas sana
membuat sesuatu di sudut mata Selva tampak berkilau. Dahi Forst mengernyit
heran. Apa itu? Mungkinkah itu... air
mata?
“Selva?” Forst terpaku lalu bergumam
perlahan. Tapi ternyata cukup mampu membuat gadis itu menyadari keberadaannya.
Selva menolehkan kepalanya. Sedikitpun ia
tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. “Forst?” Cepat-cepat gadis itu
mengusap sudut mata dengan jemarinya. Lalu ia berkata dengan nada ketus seperti
sebelumnya. “Apa yang kaulakukan di sini?”
Forst menelan ludah. Entah mengapa ia
merasa bersalah karena sudah melihat gadis itu menangis. Suasana canggung tidak
terelakkan lagi. Otak Forst berpikir cepat menemukan alasan yang masuk akal.
“A-aku tidak tahu kau ada di sini,” ujar
Forst sedikit tergagap awalnya. Ia berdiri di dekat birai balkon tiga langkah
dari tempat Selva berdiri. Lalu menengadahkan
kepalanya ke langit. “Aku ke sini untuk melihat... bulan.”
Lalu tiba-tiba Forst menyadari sesuatu. Punggungnya
menegak. Sepasang mata hijaunya terbelalak. Kepalanya menoleh kaku ke arah
Selva. “Kenapa kita bisa melihat bulan dari sini? Bukankah kita berada di bawah
tanah?”
Tanpa dinyana, Selva tertawa lepas melihat
ekspresi Forst. “Ini semua merupakan berkah dari kemampuan mantra para peri
yang ada di sini. Sehingga tanah bisa
menjadi sebening kaca jika dilihat dari bawah sini.”
Forst hanya diam dan menunggu Selva melanjutkan
ceritanya.
“Derion sendiri dihuni enam ras dengan kemampuan dan ciri
khas maisng-masing.” Selva mulai bercerita seperti sedang membacakan dongeng
sebelum tidur. “Ras Mossion yang serba ungu, memiliki kemampuan mantra yang
sempurna. Ras Kitrion —kuning disertai kemampuan
arsitektur untuk membangun bangunan yang kokoh. Ras Sylvoin —biru, pandai menciptakan sihir ilusi yang mampu menipu
musuh. Kemudian ras Mavron —hitam dan ras Kokkinon —merah yang merupakan dua ras terkuat sehingga hidup
sebagai rival abadi. Dan... tentu saja ras Prasion —hijau dengan kemampuan membuat senjata.”
Melalui ekor matanya, entah mengapa Forst menangkap
kegetiran dari ekspresi Selva saat gadis itu menceritakan tentang rasnya. Apakah
itu menjadi penyebab gadis itu menangis?
“Lalu apakah ras Mavron dan Kokkinon tidak memiliki
kemampuan yang istimewa?” Forst mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Semoga saja
Selva bisa melupakan kesedihannya. Tapi hei— untuk apa ia peduli pada perasaan Selva?
“Mereka memiliki kemampuan untuk strategi pertarungan dan
juga pergerakan yang cepat.” Selva menjelaskan dengan perasaan antusias. “Dan
yang lebih istimewa, mereka bisa dengan mudah menguasai kemampuan ras lain. Walaupun
tidak sempurna.”
Forst menganggukkan kepala. Dalam benaknya terbayang Dash
dan Diff. Pantas saja mereka yang menjadi raja dan ratu di sini. Mereka pasti
memiliki kemampuan yang sangat hebat.
“Dan selama berabad-abad, keenam ras tersebut tidak
pernah hidup damai. Terutama ras Mavron dan Kokkinon. Memang benar kami tidak
pernah berperang dan saling menyerang, tapi jauh dalam hati masing-masing kami
saling membenci. Itulah mengapa haram hukumnya untuk memasuki hutan terlarang
yang menjadi perbatasan wilayah antar masing-masing ras.” Selva menengadahkan
kepala menatap ke arah bulan. “Syukurlah, aku bertemu dengan Diff dan Dash dan
juga teman-teman lain di sini.”
Forst hanya bungkam mendengar cerita Selva. Gadis itu
memang benar. Aura persaudaraan di sini benar-benar membuat siapa pun merasa
tenang.
“Aku merasa iri dengan kaummu, Forst,” ujar Selva sambil
mengulum senyuman. “Manusia bisa hidup berdampingan dengan damai tanpa peduli
apa warna kalian. Kau bahkan rela
menolongku walaupun tidak mengenalku sama sekali.”
Mendengar hal itu, Forst mencengkram erat birai balkon
hingga buku-buku jarinya memutih. Sekelebat kenangan buruk menghantam
ingatannya. Kini kepalanya mulai terasa sedikit pening.
“K-kau tidak mengenal manusia dengan baik, Selva.” Forst
menggeram dengan gigi yang bergemeletuk.
Selva menatap ngeri melihat perubahan ekspresi Forst.
“Banyak manusia membenciku karena... aku berbeda.” Forst
menatap wajah Selva. Lelaki itu tersenyum terpaksa. Bahkan senyuman itu tidak
menyentuh matanya. “Bahkan orang tua kandungku tega mneinggalkanku hanya karena
warna mataku.”
Mata Selva mengerjap beberapa kali. Ia masih berusaha
mencerna kata-kata Forst. Tapi sepasang mata hijau itu memang memancarkan
kesedihan yang mendalam. Baru saja, bibir Selva terbuka untuk mengucapkan kata
penghibur. Tapi suara Dash terdengar menggema dari dalam ruangan. Akhirnya,
mereka berdua bergegas melangkah kembali ke dalam ruangan.
“Teman-teman sekalian,” ucap Dash di tengah-tengah
ruangan. Diff terlihat mendampinginya dengan wajah khawatir. “Menurut berita
yang kudengar, akan ada penyerangan kepada saudara kita dalam kurun waktu dua
minggu. Dan mereka meminta bantuan kita untuk menghalau penyerangan itu. Apakah
kalian bersedia?”
Suasana ruangan sontak menjadi riuh rendah. Seluruh yang
ada di ruangan menyerukan kesediaan mereka.
“Dan Forst... maukah kau bergabung bersama kami?” tanya Dash
sambil menggedikkan dagunya kepada Forst, membuat semua mata langsung terpusat
kepada Forst.
Forst benar-benar terkejut. Ia menunduk rikuh. Sementara seluruh
mata memandangnya. Matanya melirik ke arah Selva yang bersandar pada pintu di
belakang mereka. Tapi gadis itu malah menepuk hangat bahunya, menyalurkan
dukungan persahabatan.
“T-tentu saja.” Akhirnya Forst bersuara. “Tapi bolehkah
saya pulang sebentar untuk menemui teman-teman?”
***
Pemandangan pagi ini tampak begitu asri. Cahaya matahari
pagi mulai menerpa langit yang hitam, menandakan fajar akan segera tiba. Bulir-bulir
embun tampak membasahi ujung-ujung dedaunan yang hijau. Karen berjalan perlahan
sambil mengisi paru-parunya dengan udara segar. Sementara mulutnya masih sibuk
mengunyah roti yang menjadi sarapan pradininya.
Karen meremas kertas
pembungkus sarapannya hingga menjadi bulatan. Ia melemparkan kertas itu ke
tanah dengan perasaan kesal. Matanya menatap kertas yang menggelinding dan berhenti
di bawah batang pohon yang kokoh.
Karen mendengus dengan gumpalan perasaan dalam hatinya. Entah
mengapa, ia jadi merasa kesal setiap kali melihat pohon ataupun tumbuhan. Mungkin
itu semua akibat dari terlalu lama dalam laboratorium bersama seorang profesor
yang ambisius.
Kurang lebih dua tahun terakhir, Karen bekerja sebagai
asisten profesor yang sedang melakukan penelitian terhadap tanaman. Tapi tampaknya,
penelitian itu belum juga berhasil. Kekurangan dana merupakan salah satu
penyebab utama kegagalan penelitian.
Karen merasa bingung memikirkan penelitian itu hingga ia
terjaga semalaman. Dan akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan dan tanpa sadar
tiba di tepi hutan dekat kota tempat tinggalnya.
“Andai saja ada yang
bisa berbicara dengan tanaman-tanaman ini.”
Kata-kata profesornya kemarin malam terngiang di telinga
Karen. Apakah profesor itu sudah terlalu frustasi hingga mengucapkan kata-kata
yang tidak masuk akal seperti itu? Mana mungkin ada manusia yang bisa berbicara
dengan tanaman?
Tiba-tiba Karen mendengar suara gemerisik dari dalam
hutan. Ia menghentikan langkahnya dan meningkatkan kewasapadaannya. Beragam kemungkinan
memenuhi benaknya. Bisa saja itu harimau atau serigala yang tinggal di dalam
hutan.
Karen menelan ludah. Ia merasa ketakutan dengan
pikirannya sendiri. Perlahan dan nyaris tanpa suara ia bergerak mundur
selangkah demi selangkah. Di dalam hati berbagai doa dipanjatkan gadis itu demi
keselamatannya. Ia sedikit memaki dirinya sendiri karena sudah berjalan
mendekati hutan.
Jantung Karen seperti berhenti berdetak. Matanya terbelalak
lebar saat sesuatu melompat keluar dari kegelapan hutan. Ia sudah mempersiapkan
diri jika harus menjadi sarapan hewan buas. Tapi ia akhirnya menghela napas
lega saat menyadari bahwa sesuatu itu
ternyata manusia.
Karen memicingkan mata kepada sosok lelaki yang baru saja
melompat keluar dari hutan. Sepertinya ia tidak asing dengan penampilan lelaki
itu. Rambut cokelat dengan mata hijau cemerlang. Tunggu— bukankah itu...
“Forst?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D