Selasa, 28 Juni 2016

Green Eyed Chapter 7


Nico POV
Jantungku berdetak hebat. Aku sudah berusaha menginjak remku sedalam mungkin. Tapi sepertinya lagi-lagi dewi fortuna tak berpihak kepadaku. Aku saling melempar pandang dengan gadis di sampingku yang juga terpaku menatapku.

“Apa itu tadi?” Gumamku yang kemudian disambut gelengan pelan oleh gadis di sampingku. Sesaat teriakan seorang lelaki mencuri perhatian kami. Lalu kami turun untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Aku ragu gadis itu masih hidup saat melihat kondisinya.

“Trisia, bangun!” Seorang lelaki berkaus hitam yang ada di hadapanku menepuk pelan wajah gadis yang tergeletak itu berkali-kali. Namun gadis itu tak juga menunjukkan tanda-tanda akan bangun.

“Maafkan kami. Dia tiba-tiba berada di tengah jalan.” Ujar Elena terbata-bata. Aku bahkan tak mampu mengatakan apapun. Aku terpaku menatap darah yang mengalir membasahi jalanan, sementara lelaki itu sama sekali tak menggubris Elena. Tanpa mengatakan sepatah katapun pada kami, lelaki itu mengangkat tubuh kurus gadis itu, membawanya ke sebuah mobil hitam yang terparkir tak jauh dari situ.

“Nick, ayo kita ikuti mobil itu.” Elena menarik tanganku, namun kakiku terasa kaku. Sepertinya otak dan hatiku memiliki pikiran yang berbeda. Aku cukup sadar dengan kondisi macam apa aku berada. Tapi entahlah, aku sedang tidak yakin pada diriku sendiri.

“Nick!” Gadis di sampingku sedikit mengeraskan suaranya. Apa dia pikir aku sudah tuli hingga membuatnya berteriak begitu kerasnya di telingaku?

“Ah kau ini bertingkah seperti orang idiot!” Bentak Elena yang kemudian mendorongku menuju bangku penumpang, kemudian ia berputar menuju bangku kemudi dan menginjak gasnya untuk mengejar mobil hitam yang hampir hilang dari pandangan kami.

“Nick, kau baik-baik saja?” Tanya Elena saat aku tak juga membuka mulutku. Beginikah yang dirasakan Elena saat itu?

“Aku baik-baik saja. Apakah orang itu baik-baik saja?”

“Entahlah. Jika kita bisa menemukannyadi rumah sakit, mungkin kita akan tahu keadaannya.”

Aku bisa saja meminta Dani—kaki tanganku—untuk menyelidiki gadis itu, tapi aku bahkan tak tahu apa yang sedang kupikirkan sekarang. Mungkin kalian juga pernah merasakannya? Seperti otakmu menghilang secara tiba-tiba dan tak ada perasaan bersalah sedikitpun yang bergelayut di hatimu. Rasanya seperti jiwaku meninggalkan ragaku ke suatu tempat dan bisa dikatakan aku merasa kosong.

Aku melihat mobil itu berbelok ke sebuah rumah sakit dan Elena masih berusaha agar tidak kehilangan jejak. Kulihat lelaki itu membopong gadis yang ia panggil Trisia tadi dan menidurkannya di sebuah brankar yang dibawa oleh beberapa orang perawat.

Entah kapan Elena turun, ia membuka pintu di sampingku dan menarikku keluar. Ia menarik tanganku menuju pintu UGD yang tak jauh dari tempat parkir. Aku mengedarkan pandanganku, mencari-cari kemana lelaki itu membawanya. Dan kulihat lelaki itu duduk dengan membenamkan wajahnya pada telapak tangannya.

“Kau mau kesana?”
***
Elena POV
Aku memerhatikan Nico yang sedari tadi memilih bungkam. Aku merasa Nico sedang berada di dunia lain. Ia linglung dan aku yakin dia tak menyadari pertanyaanku barusan. Mata lelaki itu lurus menatap seseorang yang ada beberapa meter di hadapan kami.

Aku tak perlu menunggunya, aku penasaran. Kuhampiri lelaki itu dan meninggalkan Nico yang masih mematung dan berkutat dengan pikirannya.

“Bagaimana dengannya? Sungguh kami minta maaf, kami benar-benar tidak sengaja.” Aku tak yakin aku harus mengatakan ini. Namun apapun konsekuensinya aku akan menerimanya. Lihat, aku bahkan lupa pada masalahku sendiri yang sebesar gunung itu.

Lelaki itu tak juga menengadahkan kepalanya. Namun kulihat tangannya bergerak untuk mengusap wajahnya. Dia menangis. Mungkin gadis itu adalah seseorang yang berarti untuknya.

“Maafkan aku.”

“Aku tahu bukan kalian yang salah.” Ujar lelaki itu. Ia tersenyum, namun aku tahu itu hanya senyum yang dipaksakan. Mataku beralih pada Nico yang mendekat ke arahku.

“Mengapa dia seperti itu? Dia bisa saja membahayakan keselamatan yang lainnya.” Aku mendengar nada Nico yang terkesan menyalahkan. Lelaki ini benar-benar tak mengarti situasi.

“Aku meminta maaf pada kalian atas namanya. Dia sedang dalam kondisi yang kurang baik. Permisi.”

Aku tahu pasti lelaki tersinggung. Bagaimanapun juga dia sedang mengalami musibah saat ini. Aku mendesah, menatap manusia keras kepala di sampingku. Aku meraih tangannya yang mengepal kuat.  Raut wajahnya tak terbaca dan membuatku sedikit takut.

“Kau mau disini atau pulang?” Tanyaku pada lelaki yang beberapa menit terakhir ini lebih memilih diam. Tanpa mengucapkan sepatah katapun dari mulutnya ia melingkarkan tangannya di sekitar pinggangku, kemudian membimbingku untuk keluar. Sesaat aku mengedarkan pandanganku, mencari sosok lelaki berkaus hitam yang tiba-tiba saja menghilang. Namun aku tak melihatnya. Mungkin lain kali aku akan menjenguk gadis itu.
***
Kami bertiga duduk bersama. Ya, bertiga. Evan sedang duduk tepat di hadapan Nico, melipat tangannya, menatapku dan Nico secara bergantian. Kami semua membisu. Aku berusaha mereka-rekaapa yang sedang terjadi, hingga Evan berdehem untuk mencairkan suasana kaku yang menyelimuti kami.

“Kenapa kalian di sini?” Pertanyaan itu bukan untuk ‘kami’, tapi lebih tertuju pada Nico.

“Adikmu merindukanmu.” Jawab Nico ringan. Mungkin jika aku di posisi Evan, aku akan marah, menunjuk wajah Nick sambil mengumpat kasar. Tetapi aku yakin, Evan jauh lebih sabar dari pada aku. Hanya saja, aku khawatir ini akan menyulut kemarahan Evan.

Seumur hidup aku hanya dua kali melihat Evan marah. Pertama saat orang tua kami bercerai, kedua saat mantan pacarnya memakiku di depan umum. Dan itu sangat mengerikan. Bahkan untuk beberapa hari aku tak berani mendekatinya karena aura kelam di sekitarnya tampak tak mudah surut begitu saja.

“Kau tahu situasinya tidak memungkinkan. Apalagi di rumah ini.” Ujar Evan dengan suaranya yang terdengar putus asa.

“Aku tahu, aku sudah menyiapkan tempat. Sebuah aparteman untuk Elena.”

“Apa?” Tanyaku dan Evan bersamaan. Entah kapan lelaki itu mengurusnya. Aku bahkan tak pernah tahu bahwa dia telah menyiapkan sebuah apartemen untukku.

“Aku sudah memikirkan semuanya, Evan. Tenanglah. Aku sudah berjanji padamu, bukan bahwa aku akan menjaga Elena.”Nico menggenggam sebelah tanganku yang terasa dingin. Entah mengapa, setiap sentuhan dari tubuhnya selalu membuatku hangat, bahkan tatapan matanya padaku pun membuat hatiku juga terasa hangat. Kadang aku curiga pada lelaki tampan ini, apakah dia memang seorang manusia atau dia adalah salah satu spesies sejenis Jacob Black.

Evan berdehem, membuyarkan lamunanku tentang Jacob Black. Namun mataku masih tak bisa terlepas dari jeratan mata coklat yang memabukkan itu.

“Elena.” Suara Evan seolah menyadarkanku dari hipnotis lelaki di sampingku. Evan menatapku tajam. Sangat tajam bak trisula Dewa Siwa yang siap menghujamku. “Apa bisa kau jelaskan apa artinya ini?” Lanjutnya.

Entahlah aku harus mulai dari mana. Sebelumnya aku tak pernah sungkan pada Evan setiap aku menceritakan pacar baruku padanya. Tapi berbeda kali ini. Kali ini lelaki yang mencuri hatiku adalah seseorang yang juga dikenal oleh Evan.

“Seperti yang kau lihat, kak.” Ujarku ragu. Aku bisa melihat rahangnya mengeras. Dan aku pastikan dia tak setuju pada hubungan kami, sama halnya denganku dan Vano dulu.

Evan mengembuskan napasnya seolah beban beratnya baru saja menguap bersamaan dengan napasnya. Aku merasa seperti seorang tersangka yang menanti hukumanku dibacakan oleh hakim. Aku tahu pada akhirnya Evan akan membiarkanku, tapi tanpa persetujuannya sering kali itu membuatku kurang beruntung.

“Aku sudah menduganya.” Nadanya terdengar lelah. “Aku sudah memperingatkanmu Nick dan tampaknya kau tak peduli.” Evan menatap Nick tajam yang dibalas Nick dengan anggukan sombongnya. Tentu saja, Nick tak akan peduli dengan peringatan orang lain.

“Karena sudah kubilang padamu bahwa aku menginginkan Elena.” Senyum Nick mengembang, menatap mataku dan membawaku menuju dunia lain yang hanya ada kami berdua di dalamnya. Telingaku mendadak tuli, hanya bisa mendengar suara Nick. Begitu juga mataku, aku hanya bisa melihat Nick dan kebun bunga yang terhampar luas mengelilingi kami. Mungkin aku sedang mabuk.
***
Nico POV
Kurebahkan tubuhku di sofa panjang yang ada di rumah Elena. Evan sudah menyuruhku pulang, namun aku tak ingin jauh dari Elena. Saat kukatakan aku akan mengantar Elena ke apartemen, sepertinya Evan ragu akan membiarkanku membawa adiknya tengah malam seperti ini.

Aku memainkan ponselku, menghapus beberapa foto dan kontak gadis-gadis yang sering menghubungiku. Aku sudah memutuskan tak akan lagi menghubungi mereka. Aku akan meninggalkan mereka hanya untuk Elena. Elenaku.

Aku tersenyum membayangkan gadis itu kini menjadi milikku meski aku belum bisa memiliki dia sepenuhnya. Pidato panjang Evan tentang ‘menjaga adiknya’ hanya berlalu begitu saja di telingaku, karena tanpa pidatonya, aku tahu apa yang harus kulakukan. Dia tak perlu mengguruiku. Sebuah pesan masuk, mengagetkanku yang tengah sibuk membayangkan Elena.

Hai sayang, kau masih sibuk? Aku merindukanmu. Telpon aku secepatnya ya.

Jantungku seolah berhenti untuk beberapa detik. Bianka. Model seksi majalah fashion ternama. Salah satu teman kencan yang berpotensi menghabiskan seluruh uangku bahkan uang ayahku, mengingat dia pernah menggoda ayahku saat masih menjalin hubungan denganku. Tapi karena dia cantik, aku memaafkannya. Itu cerita lama, mungkin sebelum mengenal… Ariana atau Lolita? Mungkin aku mengenal Lolita lebih dulu.

Tapi kini, aku memilih untuk menutup semua masa laluku, begitu juga dengan pesan itu. Aku memilih untuk menghapusnya sebelum perang dunia ketiga mengharuskanku menjadi korban tewas karena amukan macan betina yang beringas itu.

“Kenapa tidak dibalas?” Suara seorang gadis yang sangat kukenal membuatku berjingkat. Aku mengedarkan pandanganku, namun tak seorangpun yang dapat kutangkap dengan mataku. Aku berhalusinasi. Mungkin karena rasa takutku. Nico takut? Aku bahkan mulai tak yakin dengan keberanianku.

“Siapa yang kau cari?” Suara itu terdengar jelas di telingaku saat aku kembali merebahkan tubuhku. Aku memutar kepalaku, menangkap sosok gadis yang berjongkok di samping sofa. Aku mulai khawatir dengan posisinya yang seperti itu, ia akan membaca pesan Bianka tadi. Tapi kekhawatiranku tampaknya sudah terjawab begitu melihat alisnya yang menyatu dan bibirnya yang mengerucut. Tatapan matanya seolah menyampaikan pesan tersirat penuh ancaman.

“Ti… Tidak… Apa yang kau lakukan di situ, sayang?” Aku menarik tangannya, membawanya untuk duduk di sampingku. Aku mengecup puncak kepalanya sambil tak henti-hentinya berdoa agar gadis itu tidak salah paham.

“Sayang, Bianka merindukanmu.” Ujar Elena dengan nada manja yang dibuat-buat. Aku sedang dalam posisi tersudut dan aku menyalahkan Bianka untuk ini. Aku sengaja tidak pernah menghubunginya untuk memutuskan hubungan dengannya, dan dari sekian banyaknya hari, kenapa dia memilih malam ini untuk mengirimkan pesan sialan itu padaku?

“Mungkin itu salah sambung, sayang.” Aku meraih pundaknya, memeluknya dengan erat. Oke, sejauh ini tidak ada tanda-tanda Elena akan mengeluarkan mantra mematikannya untukku.

“Dia pacarmu?” Tanyanya penuh selidik. Aku masih tak melepaskan pelukanku padanya. Sengaja. Aku takut menatapnya.

“Bukankah pacarku adalah kau?” Suaraku mantap, terdengar sangat meyakinkan.

“Awas saja jika kau berani macam-macam. Kupastikan kau hanya akan menjadi seonggok daging untuk makanan anjing liar.” Ancaman Elena tidak sepenuhnya membuatku takut, karena aku yakin dia tak akan setega itu. Tapi ada hal lain yang membuatku khawatir, dia meninggalkanku.

“Sungguh Elena, aku akan menepati janjiku. Tidak akan ada orang lain di antara kita. Aku janji padamu. Kau bisa lakukan apapun padaku jika aku mengkhianatimu.”

Senyuman yang cukup lebar menghiasi wajah cantik Elena. Dalam hati aku bersyukur bahwa dia tidak akan mengamuk untuk malam ini. Ya setidaknya malam ini di mana aku sedang berada di atap yang sama dengan Evan. Aku menyusuri wajah Elena dengan telunjukku. Mengamati setiap senti wajahnya. Alisnya yang rapi, mata hitamnya yang sedikit sipit, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung serta bibirnya. Bibirnya yang mungil dan merah tanpa polesan lipstik.

Ibu jariku mengusap bibirnya yang lembut. Aku mendekatkan wajahku pada wajahnya, bibirku memaut bibirnya perlahan. Elena memejamkan matanya, menikmati ciuman lembut yang kuberikan padanya. Kurasakan ia membalas ciumanku, kedua tangannya melingkar di leherku. Aku menciumnya semakin dalam. Saat rasa nyaman mulai menelusup di hatiku, ponsel sialan di atas meja itu berdering memekakkan telingaku.

“Sialan!” Gerutuku pada ponsel yang terus berdering tak tahu diri itu. Elena menjauhkan wajahnya dariku. Ia mencoba mengatur napasnya yang tidak teratur. Wajahnya merona, membuatku ingin kembali menciumnya.

Aku meraih ponselku, membaca nama penelpon yang terpampang di layar ponselku. Sherly. Ya ampun, apa lagi ini. Sekilas aku menatap Elena yang lagi-lagi mulai cemberut. Oh, ayolah, ini hanya sekretarisku di kantor ayah.

“Ya.”

“Selamat malam, sayang.” Ujar Sherly dengan nada cerianya. Jantungku terasa dipilin di dalam dada. Aku kembali melirik gadis di sampingku. Gadis itu tampaknya sudah siap menerkamku begitu nanti aku menutup telpon.

“Bersikaplah sopan, Sher.” Aku menjaga agar nadaku terdengar tegas. Untuk Sherly maupun Elena.

“Uh, kau sangat galak akhir-akhir ini, sayang. Ayahmu besok ada rapat dengan klien baru. Tapi beliau terbang ke Australia tadi sore. Beliau memintaku untuk menghubungimu agar kau bisa menggantikannya.”

Sialan, tua bangka itu lagi-lagi seenaknya.

“Baiklah.” Aku menanggapinya singkat, kemudian mematikan daya ponselku. Aku tak ingin malam ini menjadi lebih buruk dari ini.

“Rupanya cara sekretaris menyapamu di kantor cukup mengesankan.” Sindir Elena yang sepertinya mencuri dengar dari percakapan kami.

“Aku bisa jelaskan, sayang. Ini tidak seperti yang kau kira.” Aku kembali merayunya dengan cara yang sama. Tetapi tampaknya itu tak berhasil, karena gadis itu beringsut dengan kesar dan menunjuk wajahku dengan jemarinya yang lentik.

“Kau… Aku besok akan mengikutimu ke kantor. Dan lihat apa yang bisa kulakukan.”

“Tapi sayang,”

“Tidak ada tapi-tapian.” Bentak Elena yang kemudian meninggalkanku ke lantai dua.


Baiklah, Nico, tampaknya sebuah perang dunia ketiga akan dimulai! 

Senin, 27 Juni 2016

Purple Maple (Enam)

“KULIHAT akhir-akhir ini, kau mulai jarang terlihat bersama Diego,” kata Jenna sambil memosisikan punggungnya ke sandaran sofa khusus manikur-pedikur berwarna magenta itu. Gadis berponi belah tengah itu harus mendapatkan kenyamannya sesempurna mungkin. “Ada apa sebenarnya?”

Yang ditanya tidak langsung menjawab. Ia berusaha rileks di atas sofa serupa yang berada di  samping kiri Jenna. Walaupun raut kesal nampak samar-samar di wajahnya. Tetapi ia tahu benar bahwa Jenna tidak akan berhenti bertanya jika belum mendapat jawaban yang memuaskan.

“Lory? Kau mendengarku?” tanya Jenna lagi tanpa menolehkan kepalanya. Ia memang tidak akan banyak bergerak saat para terapis mulai merawat kuku-kukunya.

Lory memutar bola matanya diam-diam. Ia berharap pembicaraan itu cepat berakhir karena ia sendiri merasa kesal karena lelaki itu semakin sulit ditemui. “Tidak ada apa-apa. Aku memang sengaja menjauh darinya untuk sementara.”

“Benarkah?” tanya gadis lain berblus renda yang menempati sofa di sebelah kanan Jenna. Ia memejamkan matanya karena menikmati pijatan dari sandaran sofa di punggungnya. “Kukira karena Diego kembali dekat dengan Kalila.”

Terheran, Lory bangkit begitu saja dari sandaran. Ia memekik kaget saat merasakan alat pengikir menggesek kulitnya. “Hati-hati, dong! Kau sengaja melukaiku, huh?!”

“Maaf. S-saya tidak sengaja,” jawab terapis berseragam merah muda itu sambil berusaha tegar. Ia tahu itu bukan kesalahannya. Salah sendiri tiba-tiba bergerak tanpa peringatan. Tetapi ia tidak bisa melawan karena gadis yang menghardiknya ini adalah pelanggan utama tempat ia bekerja.

“Keluar sana!” bentak Lory hingga membuat terapis itu tergopoh keluar ruangan. Begitu sadar bahwa kekesalannya salah sasaran, Lory langsung menoleh kepada gadis yang memancing rasa jengkelnya. “Bagaimana kau tahu kalau nama Kancil itu Kalila?”

Tetapi gadis itu bergeming. Kedua matanya tetap terpejam. Tanpa merasa wajib menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya.

“Aku tahu kau mendengarku, Sharon,” desis Lory berusaha meredam agar kemarahannya tidak memuncak.

Sharon berdecak kesal. “Tentu saja aku tahu. Aku pernah satu sekolah dengan Kalila. Dan juga dengan Diego.”

Mata Lory melebar nyaris menggelinding keluar. Sementara Jenna berusaha menikmati perawatannya setenang mungkin. Ia hanya bisa melirik ke kanan dan ke kiri di tengah atmosfer yang mendadak berubah tegang. Padahal hari Sabtu selalu menjadi jadwal mereka untuk bersantai cantik.

“Tapi dia sepertinya tidak mengenalimu sebagai teman lama waktu itu,” ucap Lory. Kejadian saat ia menginjak topi Kalila berputar dalam benaknya. Ada Sharon juga di sana. Tetapi Kancil itu tidak bereaksi apa-apa.

“Entalah.” Bahu Sharon bergedik samar. “Mungkin dia terlalu fokus padamu. Kau tokoh utama hari itu.” 

Padahal kenyataannya, saat itu Sharon memang sengaja bersembunyi begitu ia menyadari lawan Lory adalah Kalila. Ia mengambil posisi di belakang Lory dalam impitan temannya yang lain. Belum saatnya ia menjadi tokoh utama yang menggerakkan cerita.

“Kenapa kau tidak bilang dari awal?”

Sharon membuka matanya. Ia menoleh pada Lory yang sedang menatapnya dengan tajam. “Karena kau tidak pernah bertanya.”

Yang benar saja! Lory menempelkan wajahnya pada telapak tangan. Padahal sebelumnya Sharon tidak pernah bersikap seberani ini padanya. Apa gadis itu merasa berkuasa hanya karena mengetahui secuil informasi?

“Oke. Sorry, tadi aku hanya kaget mendengarnya.” Lory mulai mengangkat wajahnya, lalu kembali tersenyum. Ia tahu benar bahwa pengendalian diri itu penting agar ia tidak kehilangan segalanya. “Jadi, ada hubungan apa mereka di masa lalu?”

“Mereka berpacaran,” jawab Sharon sambil menggedikkan bahu.

“Kau yakin?” tanya Lory sangsi.

Sharon mengerucutkan bibirnya ragu-ragu. “Tidak juga. Aku rasa Kalila hanya memanfaatkan Diego yang saat itu mengejarnya. Yah, saat itu keadaannya jauh berbeda dengan sekarang.”

Lory mengubah posisi duduknya menghadap Sharon. Ia menyilangkan kedua kakinya, bersiap mendengarkan lebih lanjut.

“Kalila memang tidak banyak berubah secara fisik. Walaupun sekarang dia lebih tertutup dan tidak sok berkuasa seperti dulu,” lanjut Sharon lantas tersenyum mencemooh. “Tapi aku jamin kau tidak akan jatuh cinta pada Diego yang dulu, Lory. Lelaki itu super duper culun dan ketinggalan zaman. Cih! Aku benar-benar kaget saat melihatnya berubah seperti sekarang.”

Kening Lory mengernyit. Ia membayangkan Diego-nya yang tampan dan gagah berubah mengerikan seperti yang dideskripsikan Sharon.

“Lalu, kenapa tiba-tiba Diego berubah?” tanya Jenna lamat-lamat. Ia mulai tidak tahan hanya menjadi pendengar.

“Entahlah.” Sharon mengangkat bahunya acuh tidak acuh. “Mungkin untuk balas dendam.”

“Balas dendam?” Lory membeo kata-kata Sharon.

Sharon menganggut-anggut membenarkan. “Kalila mencampakkan Diego setelah puas bermain-main. Dia sudah melukai Diego-mu secara fisik dan juga menyakiti perasaannya.”

Lory menggeram sambil mencakar permukaan sofa.

“Dan menurutku, sebaiknya kau tidak menggacaukan rencana balas dendam Diego,” tukas Sharon sambil kembali memejamkan matanya dengan relaks. Bagaimanapun, ia juga ingin melihat Kalila terpuruk tidak berdaya.

Tentu saja Lory tidak akan mengacau. Tetapi ia bisa memastikan bahwa hidup Kancil itu akan lebih sengsara daripada neraka.
***

Akhir pekan kali ini benar-benar indah.

Diego berdiri menyandar pada sebuah pilar besar di depan gedung apartemennya. Ia memilih mengenakan kaus lengan panjang berwarna belau dengan kerah berbentuk O. Dengan warna abu-abu yang menghiasi bagian ujung lengan. Kedua tangannya tersimpan dalam saku celana jeans-nya. Dan senyumannya tidak bosan bertengger di bibirnya.

Sebuah mobil coupe bercat kecubung datang lalu berhenti di hadapan Diego. Kaca jendela pengemudi mobil itu bergerak turun, menampilkan seraut wajah yang dikenalnya.

“Masuk,” ujar gadis itu ketus dan langsung menutup kembali jendelanya.

Tanpa menunggu lama, Diego bergegas memutar dan duduk ke kursi penumpang.

“Aku benar-benar terkesan dengan ajakan kencanmu,” ujar Diego sambil terkekeh geli. Ia memasangkan sabuk pengaman dan refleks mencari pegangan saat gadis di sampingnya melajukan mobilnya tiba-tiba. Hingga mobil itu seperti hendak melompat.

“Hei, hati-hati, Lil Princess.” Diego mendesah panik. Ia berpegangan pada jok mobil sampai Kalila menjalankan mobilnya dengan benar. “Aku tidak ingin celaka di kencan pertama kita.”

“Berapa kali kubilang ini bukan kencan,” tukas Kalila sambil mencengkeram kuat roda kemudi mobilnya.

“Aku tahu ini pasti kencan,” balas Diego tidak mau kalah. Ia menahan tawa kecil di ujung bibirmya. “Hari ini kau pakai rok.”

Tersentak, Kalila menarik-narik rikuh ujung roknya yang menyentuh lututnya. Benar-benar sial! Lagi pula untuk apa tadi Kalila bertindak bodoh dengan memilih pakaian seperti ini? Astaga, seharusnya ia tahu bahwa Diego tidak akan terkesan.

“Asal tahu saja, rok ini biasanya kupakai tidur,” ujar Kalila akhirnya. Padahal ia sengaja memilih rok midi hitam dengan corak mawar itu utnuk menambah kesan feminin di hadapan Diego. Dan hasilnya? Benar-benar rugi ia memikirkan lelaki itu.

“Oh. Jadi untuk itukah kau mengajakku kencan?” Diego melirik Kalila dengan pandangan takut yang dibuat-buat. Seolah Kalila adalah gadis agresif yang suka menjebak lelaki. Bahkan sekarang lelaki itu mendramatisasi suasana dengan memeluk tubuhnya sendiri yang bersandar pada pintu mobil.

Kalila mendecakkan lidah. Bagaimana mungkin ia bisa sekesal ini hanya karena tingkah seorang lelaki? Ia mengerang dalam hati. Diego yang dahulu jauh lebih mudah untuk dihadapi. Sama sekali tidak membuat ia salah tingkah hanya karena seulas senyuman.

“Aku suka blus burgundimu,” ucap Diego. Tanpa ketakutan palsunya tadi. Hanya ada senyuman di wajahnya. Ya! Senyuman itu! Senyuman yang membuat Kalila merasa sesak. “Aku suka gadis yang mengenakan blus. Dan aku juga suka gadis yang mengenakan coat atau parka.”

Kalila berpura-pura melirik pada spion saat membelokkan mobilnya memasuki area parkir. Padahal ia mencuri pandang sedikit pada lelaki di sampingnya. Kemudian ia menghela napas berat. Bagaimana bisa, sih, ia pernah berpikir lelaki ini muncul untuk membalas dendam?


“Diam dan dengarkan,” ucap Kalila sambil menarik rem tangan begitu mobilnya sudah terparkir sempurna. “Ini bukan kencan. Aku hanya ingin mentraktirmu sebagai permintaan maaf dan ucapan terima kasih.”

“Untuk apa?” Diego bertanya. Jemari rampingnya menekan tombol yang membebaskan tubuhnya dari kekangan.

Kalila menggigit bibir bawahnya skeptis. Ia tidak terlalu yakin harus mengatakan ini secara langsung. “Hem... maaf karena menumpahkan kopi padamu, menabrakmu, dan juga...” Wajah Kalila tampak muram kali ini. “Maaf karena meninggalkanmu—“

“Lalu, terima kasih untuk apa?” potong Diego sebelum Kalila melanjutkan kalimatnya.

“Terima kasih untuk air mineralnya, terima kasih sudah menolongku di tangga dan membiarkanku... menginap,” ujar Kalila dengan wajah tersipu. “Terima kasih karena tidak menaruh dendam padaku.”

Diego menyeringai dengan arti yang disimpannya dalam hati. Ia tidak menyangka kalimat seperti itu bisa juga terucap dari bibir Kalila. Padahal ia tahu kata-kata seperti itu tidak familier bagi Kalila yang dahulu. Sepertinya gadis itu sudah banyak berubah. Apa ia harus membatalkan rencana yang sudah disusunnya?

“Ayo, turun! Aku sudah lapar!” sentak Kalila yang mulai salah tingkah di bawah tatapan sepasang mata hitam milik lelaki itu.
***

“Aku masih tidak menyangka kau mengajakku makan siang,” ucap Diego lantas mengangkat cangkir dan menyesap kopinya.

Kalila buru-buru mengalihkan pandangannya pada kue cokelat di atas piringnya. Ia sedang tidak ingin melihat kebiasaan Diego menjilat bibir untuk menghapus sisa kopi. “Memang kenapa?” tanya Kalila sambil memotong kuenya menggunakan garpu. Lelehan cokelat  mengalir seperti lahar yang keluar dari kepundan gunung berapi.

“Bukankah biasanya para gadis lebih suka menghabiskan akhir pekan dengan teman-temannya?” Setidaknya begitulah yang didengar Diego dari Lory. “Pergi ke salon atau makan siang di kafe seperti ini. Tunggukau tidak menganggapku sebagai teman perempuanmu, kan, Lil Princess?” tanya Diego dengan pandangan mata curiga yang sontak membuat Kalila terbahak.

“Tentu saja tidak.” Kalila memutar bola matanya jenaka. “Aku bukan tipikal yang makan-siang-bersama-teman-dan-makan-malam-bersama-pacar-di-akhir-pekan. Lagipula aku tidak memiliki keduanya.”

“Hei, kau punya aku, Lil Princess,” ucap Diego penuh teguran. “Aku bisa menjadi pacarmu sekaligus teman perempuanmu,” lanjut Diego lantas sengaja membuat suaranya terdengar melengking didukung bulu matanya yang mengepak genit.

Sekali lagi, Kalila tergelak akibat gurauan Diego. Saat ini lelaki itu masih melanjutkan sandiwaranya dengan menyelipkan rambut ke belakang telinga dengan gaya feminin.

“Sungguh, aku suka caramu tertawa, Lil Princess,” gumam Diego dengan suaranya sendiri. Tanpa sedikit pun ia tidak melepaskan tatapannya dari Kalila yang mulai tersipu.

Bergaya tidak peduli, Kalila menyuapkan potongan kue selanjutnya sambil melempar perhatiannya ke arah televisi di atas bar kafe. Televisi layar datar itu cukup besar untuk dilihat dari tempat Kalila duduk di dekat jendela. Gadis itu mengernyit saat melihat tayangan sebuah mobil yang hancur dalam keadaan terbalik. Banyak orang mengerumuni kejadian itu seperti semut mengerubuti gula, membuat Kalila sadar bahwa tayangan itu bukan berasal dari potongan adegan film aksi.   

Diego mengikuti arah pandang Kalila saat sebuah foto lelaki bersetelan jas disisipkan di sudut kanan layar. Kalila merasa cukup terbantu dengan keterangan berbentuk tulisan di bawah foto itu. Karena sepertinya pihak kafe sengaja tidak menyalakan suara televisi agar tidak menganggu pengunjung. Jadi, lelaki bernama Leo Ferdian itulah yang menjadi korban meninggal dari kecelakaan mobil yang terjadi kemarin sore itu.

Wajah Kalila berubah sendu. Entah mengapa ia merasa bersedih untuk siapa pun orang terdekat yang harus ditinggalkan lelaki itu. Padahal lelaki itu tampak tersenyum bahagia dalam fotonya. Sayangnya, lelaki itu harus menemui ajal di usia yang masih muda.

“Hei.” Diego menyenggol siku Kalila dan membuyarkan apa pun lamunan gadis itu. “Sedang memikirkan apa? Menyayangkan kematian lelaki tampan itu?”

Kalila menghela napas berat. Ia menunduk lalu menyendok es krim yang bertahta di atas Vanilla Latte miliknya. “Aku hanya membayangkan bagaimana jika kecelakaan seperti itu terjadi padaku. Apa mungkin ada yang bersedia datang ke pemakamanku?”

“Jangan mengatakan hal yang mengerikan begitu,” tegur Diego dengan raut masam. “Tapi ada baiknya kau mulai berteman dengan orang di sekitarmu.”

“Sepertinya itu akan sulit.” Kalila tersenyum sinis. “Apa yang dinamakan ‘teman’ hanya akan datang saat mereka merasa membutuhkanku.”

“Tentu saja,” sahut Diego yang lantas disambut kerutan di antara alis Kalila. Ternyata Diego juga sepemikiran dengannya. “Mereka, kan, membutuhkanmu untuk hadir di pemakaman mereka.”

Kalila berdecak saat menyadari sudah kembali terjebak dalam gurauan Diego. Lelaki ini tidak boleh didiamkan saja tanpa perlawanan.

“Kau sendiri apa akan pergi dengan pacar pirangmu nanti malam?” tanya Kalila memulai serangan balik.

Diego menggeleng lalu menyesap tetes terakhir kopinya. “Kau tidak pirang, Lil Princess.”

“Tentu saja bukan aku,” sahut Kalila dengan kesal. “Itu lho... perempuan yang membentakku karena aku menabrak dan menumpahkan kopi padamu.”

“Ohmaksudmu Lory?” tanya Diego begitu kata-kata Kalila memutar ulang kejadian itu dalam benaknya. “Dia bukan pacarku.”

“Bohong!” sela Kalila dengan nada sangsi. “Dia datang menemuiku dan menuduhku sengaja menggodamu.”

“Sungguh?!” Mata Diego melebar takjub. “Tapi dia tidak melakukan sesuatu yang buruk padamu, kan?”

Kalila menggeleng ringan. “Sepertinya dia hanya jenis gadis yang suka menggertak.”  

“Dia selalu bersikap manis di depanku. Aku tahu itu palsu. Tapi mana mungkin aku mendepaknya begitu saja dari hadapanku. Aku tahu benar rasanya ‘dibuang’ seperti itu,” ucap Diego sambil mengatupkan rahangnya. Sementara Kalila mendengarkan dengan perasaan tidak nyaman. “Aku hanya berharap dia akan segera sadar bahwa aku hanya ingin berteman dengannya. Tidak lebih.”

Kalila menanggut-anggutkan kepalanya tanda mengerti. Padahal batinnya menjerit histeris saat merasakan ingatan masa lalu menamparnya kuat-kuat. Ia ingat pernah menjadi bagian dari orang-orang yang tidak berperasaan itu. Mendepak orang-orang yang dianggap tidak sekasta dengan kelompok mereka. Ia sadar. Betapa hina dirinya.

“Kau juga, cobalah lebih terbuka dengan teman-temanmu. Pasti menyedihkan rasanya hidup seorang diri.”

“Aku tidak punya teman,” tegas Kalila sekali lagi. Lagi pula ia sudah terbiasa sendiri.

“Bagaimana dengan dua orang yang duduk bersamamu di kantin saat masa orientasi?”

Kalila hanya mampu meringis masam menanggapi kata-kata Diego. Ia jadi teringat saat-saat riuh bersama dua gadis itu. Tetapi ia meragu.

Mampukah ia membuka lagi hatinya untuk orang lain?
***

“Kenapa kita berhenti di sini?” tanya Kalila terheran-heran saat Diego mengemudikan mobil memasuki area parkir untuk para tamu apartemen. Tadi lelaki itu memang berkeras hendak menyetir dengan alasan ia merasa tidak gentleman jika membiarkan Kalila kembali menyetir.

Diego melepas seat belt-nya lalu menoleh pada Kalila dengan pandangan penuh makna tersembunyi. “Kau tidak ingin mampir sebentar ke apartemenku? Kita bisa melanjutkan hingga makan malam. Tadi katamu kau tidak ada acara malam ini.”

Mata Kalila memelotot dan ia mengangkat tangan dengan gaya mengancam. Tetapi, bukannya menghindar agar tidak mendapat pukulan, Diego malah terbahak seolah Kalila mengatakan lelucon terlucu yang pernah ia dengar seumur hidupnya. Mata lelaki itu sampai tertutup dengan kepala yang menghadap langit-langit mobil.

“Oh.” Tiba-tiba Kalila tersentak, lalu cepat-cepat mengeluarkan ponsel yang bergetar tanpa dering dari tas kecil yang dibawanya. Baru kali ini ia merasa terselamatkan oleh peneleponnya. Ia melirik layar ponsel sekilas lalu matanya berkilat ragu.

“Telepon dari pacar gelapmu?” tuduh Diego sambil memasang ekspresi cemberut yang dibuat-buat. Ia mencebik seperti anak kecil yang tertangkap basah membuang brokoli dari piring. “Jawab saja. Aku berjanji tidak akan cemburu.”

“Bukan.” Kalila melirik ragu-ragu. Haruskah ia menjawab in? “Ini Erin. Salah satu dari gadis yang duduk bersamaku di kantin waktu itu.”

Diego menyipitkan mata. “Lalu kenapa tidak kau jawab?”

Kalila melirik sekali lagi pada Diego, sebelum akhirnya menempelkan ponsel ke telinga. Tepat sedetik sebelum deringnya terputus.

“Hai, Erin,” sapa Kalila basa-basi.

Akhirnya kau menjawab teleponku, Kal,” seru Erin dengan nada senang sekaligus lega.  

“Aku tadi sedang menyetir,” dusta Kalila. Ia mengerling pada Diego berharap lelaki itu mendukung kebohongannya. Padahal sejak tadi ia meang sengaja mengabaikan getaran samar dari dalam tasnya. “Ada apa?”

Apa malam ini kau ada acara?

Baru saja Kalila hendak menjawab saat Diego menatapnya penuh peringatan. Pasti samar-samar lelaki itu bisa mendengar pertanyaan Erin. Terbukti dengan alis lelaki itu yang terangkat seolah menuduhnya hendak berbohong. Padahal meminum secangkir cokelat panas sambil membaca buku juga termasuk dalam agenda Kalila.

Hem... Sepertinya tidak ada,” jawab Kalila akhirnya. Walaupun dengan berat hati.

Kalau begitu ikutlah denganku nanti malam,” ajak Erin dengan keceriaan yang sama sekali tidak disembunyikan. Bahkan Kalila seolah bisa membayangkan gadis itu melompat atau bertepuk tangan saking senangnya.

“Memangnya ikut ke mana?”

Nanti aku kirimkan detailnya lewat SMS. Atau sekalian saja kujemput dan kita bersiap di tempatku. Jadi, tolong kirimkan alamatmu,” jawab Erin panjang lebar. “Eh, omong-omong, apa kau punya gaun warna putih? Kalau tidak punya, aku bisa membelikannya untukmu. Kau suka model yang seperti apa?”  

“Tidak perlu,” tolak Kalila cepat begitu ia memiliki kesempatan untuk bicara. “Aku punya, kok.”

Oke, oke. Kalau begitu nanti aku telepon lagi,” ucap Erin sebelum memutus sambungan telepon mereka.

Kalila menghela napas berat. Ia mengetukkan ujung ponselnya pada keningnya. Sekarang entah mengapa ia merasa menyesal sudah menyetujui  ajakan Erin. Tetapi ini bukan sepenuhnya salah Kalila, kan? Ia memandang tajam pada lelaki yang duduk di balik kemudi itu, seolah meminta pertanggungjawaban. Bagaimanapun, Diego mengambil cukup banyak andil dalam keputusannya.

Tetapi lelaki itu malah memasang tampang tidak bersalah. “Tidak ada salahnya, kan, sesekali menghabiskan waktu dengan teman perempuanmu.”
***

“Kalau begitu, sampai ketemu nanti malam,” ujar Erin lalu meletakkan ponselnya ke atas meja di depannya.

Saat ini, Erin sedang menikmati kehangatan di kepala dan tengkuknya. Rambutnya yang sudah di-creambath kini berbalut handuk. Dan menerima kehangatan dari mesin steam yang mirip helm astronot itu.

Sambil menunggu, jemari Erin terus sibuk membolak-balik halaman majalah di pangkuannya. Ia tersenyum kecil saat membaca Ciri-ciri Ketika Perempuan Jatuh Cinta dalam majalah Belleza edisi bulan lalu. Sekilas ia mengangkat wajah pada cermin di hadapannya. Saat itulah matanya menangkap sosok yang mengalihkan senyumnya.

Orang itu begitu mudah dikenali karena coat panjang berwarna khaki yang dikenakannya. Sekali pun ia sedang berdiri memungungi Erin dan menghadap ke bagian kasir salon. Tampaknya, gadis itu baru saja melakukan perawatan untuk rambut hitam lurus berpotongan bob-nya. Dugaan Erin dibuktikan ketika terdengar suara yang menjelaskan apa yang harus dihindari setelah melakukan smoothing rambut.

“Baik. Terima kasih,” balas orang itu dengan ramah.

Suara itu mengundang kernyitan di antara alis Erin. Ia memang mengenal suara itu. Tetapi itu bukan suara Kalila. Apalagi ia baru saja berbicara dengan gadis itu di telepon.

Astaga, apa ia sudah terlalu sering memikirkan Kalila akhir-akhir ini? Erin merutuk dalam hati. Ia mengusap-usap keningnya, mencoba menghapus kerutan yang hadir di sana. Memang ada berapa juta orang di dunia ini yang memiliki gaya rambut dan mengenakan coat seperti itu? Pasti Kalila bukan satu-satunya di dunia ini.

Sedetik kemudian, orang itu bergerak meninggalkan kasir. Menampilkan sekilas profilnya kepada Erin. Tanpa membuang waktu, ia memicingkan mata dan menajamkan pandangannya. Dan begitu mengenali orang itu, ia tergemap dengan kedua alis terangkat.

Tunggu... bukankah itu... Valeria?