Jumat, 29 Mei 2015

Red Lie - Chapter 3


Cuaca pagi ini sangat cerah—ketika sinar matahari masuk melalui celah tirai kamar Trisia, Trisia beringsut dari tempat tidurnya, meraih sandal merahnya dan bergegas menuju dapur untuk menyeduh secangkir kopi untuk menyambut pagi yang menyenangkan.
Sambil melantunkan syair lagu kesukaannya, Trisia menyiapkan kopi untuk Tomi sebelum lelaki itu bangun. Sejak dua hari yang lalu tampaknya Tomi telah kembali menjadi lelaki yang dicintainya dahulu. Lelaki itu tak lagi menyakitinya. Justru semalam Tomi telah meminta maaf pada Trisia.
Setelah secangkir kopi panas selesai disiapkan, Trisia segera menuju kamar Tomi untuk membangunkannya. Tapi ia tak menemukan Tomi di kamarnya dan suara-suara berisik justru terdengar jelas di kamar sebelah. Setelah itulah segala sesuatu tampak tidak beres. Sambil membawa secangkir kopi di tangannya, Trisia bergegas menuju asal suara yang berasal dari kamarnya.
"Kenapa bisa tak ada makanan disini?" Teriak Tomi sambil menendang salah satu kursi di kamar Trisia.
"Persediaan kita habis, Tom. Aku akan membelinya sepulang aku kerja nanti."
"Lalu aku sarapan apa? Aku harus kuliah Tris. Kau pikir aku tak perlu makan?" Tomi meradang karena tak puas pada jawaban Trisia.
"Aku sudah bilang, bukan? Aku akan membelinya nanti, Tom. Kau bisa membeli sesuatu sebelum kau ke kampus. Minumlah ini." Trisia menyodorkan secangkir kopi yang dibuatnya dengan penuh cinta untuk Tomi.
"Aku tak butuh kopi Trisia." Tomi menampik kopi tersebut hingga terjatuh dan berceceran ke lantai. "Aku lapar! Aku butuh makan, bukan kopi!"
"Sudahlah Tom, ada apa sih denganmu? Kupikir kau sudah benar-benar berubah. Ternyata kau masih sama saja!" Nada Trisia sedikit meninggi. Rasa kecewa menjalar dalam hatinya, membuat matanya berair.
Plak.
Sebuah tamparan menjadi sarapan Trisia pagi ini. Meski ini bukan kali pertama Tomi menamparnya, tapi pagi ini Tomi benar-benar telah menyakiti hatinya. Air matanya tak mampu lagi terbendung ketika dengan kasar Tomi membanting pintu kamar Trisia dan meninggalkannya sendiri di kamarnya.
***
Paginya benar-benar menjadi buruk dalam sekejap. Dengan mata yang sembap dan suasana hati yang buruk, Trisia memaksakan diri untuk pergi ke kantin. Ia hanya perlu berharap untuk tidak bertemu Tomi sepanjang jam kerjanya di kantin atau suasana hatinya akan bertambah lebih buruk lagi.
"Katakan padaku mengapa kulihat Tomi asyik bermain-main dengan gadis-gadis itu sedangkan kau menekuk wajahmu sepanjang hari?" Tanya Vany yang berdiri tepat di samping Trisia yang sedang mencuci piring.
"Tidak apa-apa. Seperti biasa, Van." Ujar Trisia singkat. Baginya, bercerita sama seperti mengungkit kemarahan yang telah berusaha ia pendam. Ia masih perlu waktu untuk bercerita.
"Kupikir aku akan mendapatkan berita bagus pagi ini," Gerutu Vany cemberut.
"Memangnya kau mau berita apa?"
"Em... Mungkin, 'Van, aku sudah putus dengan Tomi' atau sejenisnya." Vany menirukan gaya bicara Trisia, membuat gadis itu sedikit tersenyum mendengar celotehan sahabatnya itu. "Kapan kau putus? Dia tidak baik untukmu Tris."
"Van, kau tahu alasanku. Gara-gara aku, dia diusir orang tuanya. Aku merasa bertanggung jawab untuk itu."
"Dia laki-laki, kau boleh saja meninggalkannya. Perbuatannya tak bisa dimaafkan, dia..."
"Van..." Trisia memotong ucapan sahabatnya. "Cukup. Aku tak ingin melanjutkan itu." Ia tahu apa yang dikatakan sahabatnya itu benar, tapi bagaimanapun juga rasa bersalah masih menghantui Trisia.
"Tris, coba pikir, dia terlalu sibuk mencoreng kertas putihmu dengan tinta hitamnya. Bahkan penghapus pun tak akan mampu mengembalikannya. Kau terlalu berharga untuknya, kau..."
"Trisia, ada yang ingin bertemu denganmu." Teriak sang pemilik kantin memotong ucapan Vany. Trisia mengerutkan dahi menatap Vany sementara Vany hanya mengangkat pundaknya sambil menggeleng. Trisia bergegas menghentikan aktivitasnya, buru-buru ia melepaskan celemeknya dan menemui pemilik kantin.
"Itu." Ujar pemilik kantin menunjuk seorang lelaki muda yang bertampang cerdas dengan kacamata yang membingkai matanya. Setelan jas berwarna abu-abu membalut tubuhnya dan matanya tertuju pada sebuah ponsel yang ada di genggamannya.
"Selamat siang, saya Trisia. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Trisia yang tampaknya sempat membuat lelaki tersebut terkejut.
"Ah, selamat siang. Saya Denis dari perusahaan Quarts Design." Ujar lelaki itu sambil menyerahkan sebuah kartu nama berwarna putih dengan semburat kehijauan bertuliskan Denis Dirganata. "Tujuan saya datang kemari, saya ingin menawarkan pekerjaan dengan gaji besar untuk anda, nona Trisia."
"Pekerjaan bergaji besar untukku? Apakah mungkin anda salah orang?" Tanya Trisia heran. Terasa tak masuk akal seseorang yang tak dikenalnya tiba-tiba datang dan menawarkan pekerjaan bagus. Apalagi Trisia bukanlah gadis yang menonjol dalam lingkungannya.
"Apakah saya sedang berbicara bersama nona Trisia Arissandy?"
"I... Iya. Lalu kalau boleh tahu, pekerjaan apa yang harus saya lakukan?" Trisia mulai tertarik.
"Asisten CEO Quarts Design."
***
Asisten CEO? Pekerjaan seperti apa itu?
Langit sudah hampir gelap ketika Trisia membersihkan meja-meja kantin. Tawaran menggoda untuk menjadi asisten CEO terus menerus berputar dalam kepala Trisia. Tapi ia masih harus memikirkan dengan matang sebelum melepaskan pekerjaannya sebagai pegawai kantin dan mungkin juga pekerjaannya sebagai pelayan café.
"Apa yang kau pikirkan?" Vany menepuk pundak Trisia sehingga membuat gadis itu terkejut.
"Tidak. Aku hanya memikirkan tawaran tadi siang."
"Terima saja. Di perusahaan mungkin kau akan mendapatkan gaji minimal dua kali lipat dari pekerjaanmu di kantin Tris. Dan mungkin saja bosmu akan menyukaimu dan..."
"Vany, hentikan. Ini bukan film romantis seperti yang ada di kepalamu. Kau kenapa belum pulang?"
"Kuliah terakhirku baru saja selesai. Sebentar lagi kau ke Rainbow Café?"
"Tidak. Ini adalah anniversarry ke dua puluh lima pemilik café. Jadi cafe tutup hari ini."
"Kalau begitu kau harus ikut denganku ke suatu tempat."
***
"Katakan padaku kenapa aku harus setuju untuk kau dandani seperti ini?" Gerutu Trisia ketika melihat pantulan dirinya dalam cermin yang berukuran besar di kamar Vany. Sebuah mini dress berwarna hijau zamrud yang senada dengan warna matanya membalut pas tubuh langsing Trisia. Panjangnya gaun yang hanya menutup tiga per empat pahanya membuat gadis itu terus-menerus menarik-narik bagian bawah gaunnya.
"Hentikan Tris, jika kau lakukan itu, gaunku akan robek." Ujar Vany sambil membubuhkan eyeshadow pada kelopak matanya.
"Tapi ini terlalu pendek untukku Van."
"Ini sempurna Tris. Kau akan mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Tomi malam ini." Vany memberikan sentuhan terakhir pada bibirnya. Lipstik pink yang senada dengan pakaiannya membuat Vany tampak begitu cantik malam ini.
"Kita mau kemana dengan pakaian seperti ini?" Tanya Trisia yang masih penasaran. Vany hanya menjawab pertanyaan Trisia dengan seulas senyum kemudian menarik tangan Trisia menuju mobil miliknya.
Seperti biasa, mereka harus bergelut dengan kendaraan yang saling berebut lintasan. Namun itu sudah menjadi hal wajar bagi masyarakat ibukota, termasuk Trisia dan Vany. Cukup lama kendaraan mereka merayap, hingga sampailah ke sebuah jalan yang menurut Trisia berbeda dari jalanan ibukota pada umumnya.
Jalanan yang lebar dan cukup lenggang mengingat ini masih di pusat kota, pohon-pohon peneduh dan beberapa rumah yang sepertinya baru saja dipugar menempati sisi kanan dan kiri jalan. Sekitar seratus meter dari rumah yang terletak di sisi kanan jalan terdapat sebuah restoran Jepang dengan tulisan "Peko-Peko" yang super besar di bagian atas restoran. Kemudian ketika menengok sebelah kiri, sebuah toko yang menjual benda-benda seni mampu menarik perhatian Trisia.
Beberapa menit kemudian, setelah melewati sebuah tikungan yang cukup tajam, Vany memarkirkan mobilnya ke sebuah halaman yang cukup luas untuk sebuah pelataran rumah di ibukota. Banyak mobil dan motor berjajar di pelataran rumah besar bercat abu-abu itu.
"Apakah ada pesta?" Trisia menyebarkan pandangannya di sekeliling tempat yang terasa asing baginya. Vany masih bungkam dan hanya melempar senyum jahil untuk membuat penasaran sahabatnya itu.
Sementara Vany berjalan dengan anggun di depan Trisia melewati pelataran rumah, Trisia justru masih sibuk memandangi sekitarnya dengan tatapan kagum. Lampu-lampu kecil menghiasi pohon-pohon cemara yang berjajar di sisi kanan dan kiri bagian dalam pagar, mirip seperti pohon natal namun dalam jumlah banyak. Dua orang berkemeja gelap yang dipadukan dengan celana bahan dengan warna senada tengah asyik bercengkrama di depan pintu lebar yang tertutup rapat.
Vany mendorong pintu tersebut, kemudian sebuah anak tangga menuju ke atas dan kebawah terlihat, begitu mereka memasuki ruangan yang minim perabot dengan lantai yang dilapisi karpet bermotif abstrak. Kemudian Vany melanjutkan langkahnya menuju tangga yang mengarah ke bawah. Trisia yang memang dilahirkan dengan gen penasaran yang berlebihan masih terus menanyakan apa yang akan mereka lakukan di tempat ini.
"Aku tak tahu apa Tomi pernah mengajakmu ke tempat ini atau tidak. Tapi, semoga malam ini kau mendapatkan keberuntunganmu." Vany yang sengaja diam akhirnya membuka mulut. Tangan kanannya meraih gagang pintu, kemudian mendorong pintu tersebut hingga terbuka. Begitu terkejutnya Trisia ketika sorot cahaya lampu berwarna biru dan merah menyentuh wajahnya secara bergantian hingga Trisia memicingkan matanya karena cahaya yang menyilaukan.
Musik-musik bertempo cepat disertai suara riuh orang-orang yang mencoba mengalahkan dentuman musik sungguh memekakkan telinga. Vany menggandeng sahabatnya, membelah kerumunan orang yang menari-nari di atas lantai dansa menuju ke sebuah meja yang berada di sisi kanan lantai dansa.
Vany memesankan minuman untuk Trisia, karena ia yakin betul Trisia belum pernah menginjakkan kaki di sebuah club malam semacam ini. Tak perlu menunggu lama, pelayan membawakan dua gelas minuman berwarna merah.
"Kau mau berdansa?" Tanya Vany setelah meneguk minumannya. Trisia hanya menggeleng tanpa memandang Vany. Ini benar-benar hal yang baru bagi Trisia. Matanya tak berhenti berkeliling untuk menyaksikan segala yang ada dalam tempat itu.
"Baiklah. Tunggu sebentar, aku mau ke toilet. Kau mau ikut?" Tawar Vany pada sahabatnya yang tampaknya sedang tenggelam dalam pikirannya.
"Tidak. Aku tunggu di sini saja."
Cukup lama Vany meninggalkan Trisia, rasa bosan mulai bergeriliya dalam diri Trisia. Mata cantiknya justru semakin jeli mengamati keadaan sekelilingnya hingga matanya terpaku pada seorang lelaki. Lelaki yang begitu dikenalnya tengah menyelipkan wajahnya diantara leher dan pundak seorang gadis berambut pirang, sedangkan kedua tangannya mendarat pada pinggang gadis itu. Perasaan marah dan jijik bercampur aduk dalam diri Trisia. Dengan langkah tegas, ia berjalan mendekati lelaki itu.
Plak. 
Sebuah tamparan mendarat sempurna di pipi kanan lelaki itu hingga wajahnya memerah. "Tomi, apa yang kau lakukan bersama jalang ini? Menjijikkan!" Bentak Trisia yang kemudian melangkah mundur dan siap untuk berbalik. Namun sayang, Tangan Tomi terlebih dahulu menarik ikatan rambut Trisia hingga ia terpaksa mengurungkan niatnya untuk pergi.
Aku pasti mati! Pikir Trisia. Ia tahu benar bagaimana kelakuan Tomi padanya. Bukan hal mustahil jika Tomi akan mengeluarkan pisau lipat yang selalu ia simpan dalam jaketnya dan menyayat tubuh Trisia. Trisia terus meronta hingga seseorang datang menepuk pundak Tomi.
"Sebagai seorang lelaki apa pantas kau lakukan hal seperti itu pada seorang gadis? Lepaskan dia."
Bersambung




Kamis, 28 Mei 2015

Orange Sunset (Prolog)


Selamat siang, semuanya! \(^o^
Hari ini posting pertama Orange Sunset (Prolog) didedikasikan
untuk sumber insprasi setiap hari : Dimas Ermona.
Selamat membaca.


JENDELA kelas dua belas yang berada di lantai dua terbuka lebar. Ini merupakan ruang kelas yang dipenuhi kenangan. Nama dan foto para mantan penghuninya masih terpampang di dinding. Gumpalan tawa dan air mata bergulung jadi satu. Gerbang sekolah terlihat jelas dari sini. Andai saja waktu bisa dihentikan sehingga tidak seorang pun yang akan pergi meninggalkan sekolah ini.

Seorang gadis berdiri di tepi jendela. Kedua sikunya bertumpu pada kosen dan menopang dagunya. Ia mengenakan kebaya berwarna jingga. Tampak senada dengan langit senja di luar sana. Rambutnya disanggul rapi, hasil duduk di salon tadi pagi. Wajahnya disapu riasan sederhana. Semua itu demi upacara kelulusan yang baru saja selesai dihadirinya.

Air mata mulai merebak di mata gadis itu. Tidak terasa waktu bergulir secepat ini. Siapa yang menyangka bahwa setelah ini ia akan menyandang status mahasiswa. Dan itu berarti ia harus bersikap lebih dewasa dari saat ini. Menyadari hal itu, ia menghapus air matanya yang mengalir dan membiarkan sisanya tertahan di tenggorokan seperti duri yang tersangkut.

‘Jihan!’

Seseorang menyerukan nama gadis itu hingga ia menoleh. Ia mendapati seorang lelaki dengan setelan jas hitam berdiri di ambang pintu. Kedua tangannya dilipat ke balik punggungnya. Seolah menyembunyikan sesuatu. Ada sesuatu yang berbeda dari penampilan lelaki itu. Jihan memerhatikan dengan saksama. Mungkinkah...?

‘Hei, ke mana perginya kameramu?’ tanya Jihan heran. Biasanya kamera milik lelaki itu selalu terkalung setia di lehernya.

‘Aku menitipkannya pada orang tuaku,’ jawab lelaki itu sambil tersenyum.

Perlahan lelaki itu berjalan lalu berdiri di hadapan Jihan. Kemudian ia mengulurkan tangannya dari balik punggung, menyodorkan sebuket bunga kepada gadis yang tengadah menatap kepadanya.

‘Jihan, selamat atas kelulusanmu... kelulusan kita.’

Jihan menerima buket bunga itu lalu membenamkan puncak hidungnya ke dalamnya. Sejenak, ia menghirup wangi segar bunga-bunga itu. Seulas senyum mewarnai bibirnya yang merah seperti selai stroberi.


‘Terima kasih, Rangga.’ Jihan menelengkan kepalanya ke satu sisi. Alisnya berkerut rikuh. ‘Tapi, maafkan aku. Aku tidak menyiapkan hadiah apa pun untukmu.’

Rangga hanya tersenyum. Lelaki itu sedikit membungkukkan tubuh jangkungnya lalu mencubit ujung hidung Jihan. ‘Tidak apa-apa, Jihan. Sekarang yang paling penting adalah mempersiapkan itu.’

Jihan menganggukkan kepalanya mantap. Rangga memang sahabat terbaiknya. Banyak kenangan yang sudah mereka ukir bersama selama ini. Mulai dari lomba makan di kantin sekolah, bersaing mendapat nilai fisika terbaik, hingga membolos sekolah bersama.

Dan apa yang akan mereka lakukan setelah ini mungkin akan menjadi kenakalan mereka yang terakhir di sekolah ini. Mereka sudah tidak perlu takut dipanggil ke ruang kepala sekolah lagi. Tidak ada yang bisa menghukum mereka. Mereka bukan lagi siswa sekolah ini. Mulai hari ini mereka bebas.

Tetapi Jihan berharap, kebersamaan mereka akan abadi selamanya.

Samar-samar mulai terdengar suara gaduh dari bagian dalam gedung sekolah. Tidak lama kemudian, para guru, orang tua, dan siswa mulai terlihat memenuhi halaman sekolah. Mereka semua sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Acara jamuan makan sudah selesai rupanya.

‘Kau siap?’ tanya Rangga sambil memberi aba-aba.

Begitu Jihan menganggukkan kepala, secara bersamaan mereka menumpahkan isi kantung besar dalam genggaman masing-masing. Potongan-potongan kecil kertas warna-warni melayang-layang di udara. Kertas-kertas itu menghiasi langit senja dan menghujani orang-orang yang ada di halaman sekolah.

Sementara kedua pelakunya, cepat-cepat berjongkok dan bersandar pada dinding di bawah jendela. Mereka berdua terkekeh mendengar suara takjub dan heran orang-orang di bawah sana. Syukurlah, persiapan yang mereka lakukan tidak berakhir sia-sia.

‘Kita harus cepat meninggalkan kelas. Sebelum ada guru yang menyadari dari mana asalnya kertas-kertas itu.’

Rangga menggenggam tangan kiri Jihan, menuntun gadis itu keluar dari kelas. Jihan mencengkram bunga pemberian Rangga dengan tangan kanannya. Ia sedikit kesulitan untuk membuat langkah mereka sejajar. Rok panjang dan sepatu hak tinggi yang tidak terbiasa dikenakannya, cukup menghambat langkahnya. Beruntung, Rangga menghentikan langkahnya dan memilih bersembunyi di laboratorium kimia yang berada di dekat tangga.

Entah karena apa, suasana meriah yang sebelumnya mendadak lenyap begitu saja. Jihan dan Rangga malah tenggelam dalam kesunyiaan yang menyesakkan. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Hingga Jihan hanya bisa menunduk rikuh saat menyadari tatapan mata Rangga yang berbeda dari sebelumnya. Begitu intens dan entah mengapa sedikit gugup.

‘Kau... cantik,’ gumam Rangga. Tidak sedikit pun matanya beralih dari wajah Jihan.

‘Apa?’ Jihan mendongak canggung. Ia hanya ingin memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar. Benarkah tadi Rangga menyebutnya... cantik?

‘Aku bilang, kau cantik.’ Dengan enggan Rangga mengulang kalimat yang terasa asing di lidahnya itu.

‘A-apa maksud kata-katamu?’

Rangga memilih untuk tidak langsung menjawab. Lelaki itu malah membiarkan Jihan tersiksa di bawah tatapannya. Ini adalah suasana canggung pertama dalam sejarah persahabatan mereka.

Tidak ada yang bisa dilakukan Jihan selain menundukkan kepala dan menunggu Rangga berbicara. Tetapi kata-kata yang diucapkan lelaki itu benar-benar di luar dugaan Jihan.

‘Aku suka melihatmu seperti ini, Jihan. Ini seperti sedang melihat pengantinku di masa depan.’

Sontak Jihan mengangkat wajahnya, memperlihatkan ujung bibirnya yang berkedut. Ia tidak bisa lagi menahan tawanya. ‘Apa kau sedang demam?’ Telapak tangan Jihan terulur untuk menyentuh kening sahabatnya itu.

Tetapi secara impulsif Rangga menghindar dari sentuhan itu. Ekspresi lelaki itu menyiratkan penolakan. Tangannya mencengkram pergelangan tangan Jihan, hingga membuat gadis itu tersentak dan berhenti tertawa.

‘Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Rangga? Kita baru saja lulus SMA dan kau sudah membicarakan tentang pengantin. Tidakkah itu aneh?’

‘Tidak. Itu sama sekali tidak aneh,’ sanggah Rangga cepat.

Kening Jihan berkedut tidak suka. ‘Lalu kenapa kau mengatakan hal yang membingungkan seperti itu? Ini sama sekali bukan seperti dirimu, Rangga.’

‘Itu karena... aku mencintaimu, Jihan. Lebih dari seorang sahabat.’

Jihan tergugu. Matanya terbelalak tidak percaya pada apa yang ditangkap telinganya. Apakah kata-kata yang diucapkan Rangga bisa ia percaya begitu saja?

‘Apa?’ tanya Jihan. Bukan karena ia tuli. Tetapi karena ia merasa kurang memahami maksud perkataan sahabatnya itu.

Rangga maju satu langkah mendekati Jihan, memandang serius ke arah Jihan. ‘Aku mencintaimu, Jihan.’

Jihan hanya mampu terpaku di sana dengan mulut menganga seperti orang bodoh. Ia kebingungan dan tidak tahu harus berkata apa. Tenggorokannya tercekat dengan ribuan pertanyaan menggantung di sana.

Sesungguhnya, Jihan juga menyimpan perasaan yang sama. Tetapi setengah mati ia menekan perasaan itu agar tidak merusak persahabatan yang sudah mereka jalin selama ini. Apalagi selama ini Rangga tidak pernah menunjukkan perasaan lebih kepadanya. Rasanya sulit memercayai kata-kata lelaki itu.

‘Jadi, apakah kau membalas perasaanku?’

Benarkah ini sebuah pernyataan cinta? Jihan menimbang di dalam hati. Tetapi sedetik kemudian, ia melihat batinnya menggelengkan kepala. Pasti Rangga sedang berbuat usil seperti biasanya.

Pemikiran itu menetes dalam benak Jihan dan membuatnya merasa geli. Gadis itu tiba-tiba terbahak. Sedikit pun ia tidak bisa meredam tawanya.

‘Jangan bercanda, Rangga! Aku tahu kau pasti sedang berusaha berbuat usil. Benar?’ tuduh Jihan sambil tertawa.

Mata Rangga mengerjap jengkel. Nada bicaranya datar dan menusuk. ‘Aku serius.’

Jihan menatap wajah Rangga lekat-lekat, mencari keseriusan di sana. ‘Oh, ayolah, Rangga. Sampai kapan kau akan terus berpura-pura seperti ini?’

Rangga terdiam sejenak.

‘Baiklah, jika itu keinginanmu.’ Secara tiba-tiba ekspresi Rangga berubah muram. Nada bicaranya terdengar ketus sekaligus kecewa. ‘Lupakan saja kata-kataku tadi.’

Oh apakah Jihan sudah salah menduga? Kali ini, Jihan yang terdiam. Hatinya mencelus melihat perubahan warna wajah lelaki dihadapannya. Kenapa sinar matanya tampak begitu terluka?

‘Aku sudah mengerti perasaanmu sekarang.’ Rangga berjalan menjauhi Jihan lalu berhenti di belakang pintu. Ia melirik perlahan melalui bahunya. ‘Kalau begitu, selamat tinggal... Jihan.’

Apa? Tunggu ini benar-benar salah. Bukan seperti ini yang diinginkan Jihan. Mungkinkah tanggapannya sudah membuat Rangga berpikir bahwa ia menolaknya? Ini merupakan kesalahpahaman yang buruk.

Jihan merasa benar-benar bodoh kali ini.

Sebenarnya, Jihan ingin mengatakan bahwa ia juga mencintai Rangga. Lebih dari sahabat. Tadi ia hanya merasa takut Rangga hanya bercanda untuk mempermalukannya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa itu adalah pernyataan cinta yang sesungguhnya dari lelaki yang dicintainya.

Mata Jihan menatap nanar ke arah punggung Rangga yang semakin menjauh. Lelaki itu terus melangkahkan kakinya tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Jihan terpaku tanpa tahu harus berbuat apa. Apakah ia harus berteriak dan menghentikan Rangga? Atau haruskah ia mengejar lelaki itu dan menyatakan cintanya? Ini adalah hari terakhir mereka di sekolah. Tidak akan ada hari esok untuk bertemu dan bercanda di dalam kelas.

Setelah membulatkan tekad, Jihan melangkah susah payah mengejar Rangga. Dengan sisa keberaniannya, ia berteriak sekuat tenaga.

‘Rangga! Tunggu!’


Selasa, 26 Mei 2015

Red Lie - Chapter 2


Mahendra, seorang pengusaha garmen yang telah menjadi usaha keluarga turun temurun akhirnya mengalami kebangkrutan. Penyakit stroke yang dideritanya menjadi pemicu utama yang membuat bisnisnya berantakan. Keluarganya terbelit hutang dimana-mana, sementara istrinya, Calista, tak bisa mengubah gaya hidupnya yang glamor meski keadaan ekonomi mereka benar-benar hancur.
Mahendra akhirnya meninggal setelah dua tahun mengidap penyakit tersebut. Perusahaannya telah dijual untuk menutup seluruh hutangnya. Begitu pula rumah mewahnya. Tak ada sepeserpun warisan, untuk anak dan istrinya, kecuali hutang-hutang yang bisa dibilang masih selangit.
"Aku sudah tak ingin lagi berdiam di tempat bobrok seperti ini!" Ujar sang ibu sambil mengembuskan asap rokok di sela bibirya yang bergincu merah menyala.
"Lalu apa yang akan kau lakukan dengan semua itu, bu?" Rosa menunjuk tiga buah koper yang telah disiapkan ibunya di samping meja ruang tamu.
"Aku tak bisa terus-terusan begini. Lalu apa kata teman-temanku jika menemukan seorang Calista tinggal dalam rumah reyot seperti ini?" Mata hijaunya berkilat penuh kemarahan.
"Lalu apa bagimu harta lebih penting dari pada kami?" Rosa meradang mendengar jawaban ibunya.
Hening. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut Calista. Tanpa banyak bicara lagi Calista segera menyeret koper-kopernya keluar dari rumah kecil yang mereka sewa beberapa bulan yang lalu. Tangisan sang adik, Trisia pun tak mampu menghentikan langkah ibunya. Mereka berdua hanya mampu memandang punggung ibunya yang semakin menjauh.
Mau tidak mau, Rosa yang masih berusia enam belas tahun itu akhirnya menjadi tulang punggung untuk Trisia. Mencoba mencukupi kebutuhan mereka berdua yang jauh dari kata cukup. Namun semua itu tak berlangsung lama. Rosa yang masih terbiasa dengan gaya hidupnya yang lama akhirnya mengambil jalan pintas dan membuat sebuah rencana.
"Ayo, sebaiknya kita pergi dari kota ini. Biaya hidup di sini terlalu besar Tris, aku benar-benar tidak sanggup." Wajah pucat Rosa membuat hati Trisia terenyuh. Bagi Trisia, Rosa adalah segalanya, Rosa yang telah membanting tulang untuk menghidupi mereka berdua hingga Rosa harus putus sekolah dan sebagai gantinya, Trisia akan selalu menuruti apapun yang akan dikatakan oleh kakaknya.
"Kemana kak?" Tanya Trisia penasaran.
"Ikut saja denganku. Sebaiknya segera kemasi barang-barangmu." Rosa mengusap kepala adiknya sayang. Trisia yang dibekali jiwa penurut yang didapatkannya dari sang ayah membuat Rosa merasa sangat beruntung memiliki adik seperti Trisia.
Tiga puluh menit mereka habiskan untuk berjalan kaki menuju stasiun terdekat. Suara kereta yang terngiang di telinga Trisia membuatnya bergitu senang meski ia tak dapat melihat wujud kereta yang berada di lantai atas stasiun secara langsung.
"Kita mau kemana kak? Kita akan naik kereta?" Tanya Trisia berbinar penuh harap.
"Tentu saja. Kita akan ke suatu tempat yang bagus, sayang. Duduklah di situ. Kakak akan membeli tiket sebentar." Ujar Rosa menunjuk tempat duduk yang berada beberapa meter di depan loket yang penuh sesak.
Trisia mengangguk, menarik tasnya menuju kursi yang ditunjuk oleh kakaknya. Hatinya begitu senang membayangkan ia akan naik kereta untuk pertama kalinya. Ia tak sabar menantikan kakaknya untuk kembali dengan membawa selembar tiket agar ia bisa segera menaiki kereta seperti yang dulu sering diceritakan oleh ayahnya.
Mata Trisia mengamati sekeliling ruangan tempatnya menunggu. Ruangan yang didominasi warna hijau itu penuh dengan aktivitas sibuk orang-orang dengan tas-tas yang cukup besar berjalan kesana kemari. Beberapa orang berseragam, berdiri membawa daftar menu di depan masing-masing restoran yang berderet di sepanjang koridor untuk menarik pengunjung menuju restoran mereka. Makanan itu terlihat menggiurkan, membuat perut Trisia bergemuruh.
Dahi Trisia berkerut heran. Ini sudah sangat lama. Jarum jam dinding yang terpampang besar di tengah-tengah ruangan itu telah berubah. Jarum pendek yang semula menunjuk angka sepuluh kini telah berganti di angka sebelas. Ia memutuskan untuk mencari kakaknya di sekitar loket. Namun ia tak melihat sosok kakaknya yang mengenakan pakaian berwarna merah. Trisia mulai panik hingga tanpa sengaja menabrak seorang lelaki paruh baya yang tengah mencetak tiket di sebuah mesin yang telah disediakan stasiun.
"Hei, apa yang kau lakukan." Suara lelaki itu sedikit meninggi begitu menyadari Trisia telah menabraknya hingga beberapa tasnya yang telah ditumpuk terguling ke lantai.
"Maafkan saya." Ujar Trisia dengan suara gemetar. Mata hijaunya berkaca-kaca ketakutan.
"Apa kau terluka?" Wanita di sampingnya membantu Trisia berdiri. Trisia hanya menggeleng, membuat air matanya menetes membasahi wajahnya.
"Namamu siapa sayang? Kau kehilangan orang tuamu?" Tanya wanita itu sekali lagi.
"Kakakku hilang." Trisia mencoba menjelaskan di tengah isakannya. Tampaknya wanita itu memahami situasi Trisia saat ini, hingga ia membawa Trisia menuju ruang informasi. Petugas berusaha menginformasikan pada siapapun yang bersama Trisia saat itu agar segera menjemputnya di ruang informasi.
Di suatu sisi stasiun yang besar itu, Rosa masih mengawasi adiknya dari kejauhan hingga seseorang menyelamatkan adik kecilnya itu. Air mata mengalir membasahi wajah Rosa. Ia harus meninggalkan adiknya meski dari lubuk hatinya ia sangat menyayangi Trisia. Namun wajah Trisia yang begitu mirip dengan ibunya membuat emosi Rosa kembali tersulut.
Sudah hampir empat jam Trisia tak berhenti menangis. Rosa pun tak kunjung menjemputnya. Sepotong roti cokelat yang diberikan oleh petugas telah habis beberapa jam yang lalu dan perut Trisia kembali keroncongan.
***
Kakak perempuannya, Rosa, entah berada dimana. Tak ada kabar sama sekali setelah Rosa meninggalkan Trisia di stasiun tanpa pesan setelah orang tua mereka meninggalkan mereka. Hingga petugas stasiun menyerahkan Trisia untuk dibesarkan di panti asuhan.
Tinggal di panti asuhan bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Terkadang membuat Trisia iri pada teman sebayanya yang tinggal di rumah besar bersama dengan kedua orang tuanya. Tapi ini bukan saatnya untuk iri. Trisia harus berjuang untuk hidupnya.
Trisia lebih banyak menghabiskan waktunya di lingkungan kampus. Bukan untuk kuliah, melainkan pekerjaannya sebagai pegawai kantin telah menyita lebih banyak waktunya. Sepulang dari kantin, ia akan beristirahat sebentar sebelum melakukan pekerjaan paruh waktunya menjadi pelayan di Rainbow Cafe pada malam hari.
Saat itu mendung bergelayut manja di langit abu-abu yang tak seharusnya hadir sore ini—lebih tepatnya sebelum Trisia sampai di panti. Trisia telah selesai membersihkan meja-meja kantin, mengepel lantai dan bersiap pulang sebelum hujan turun. Tapi sayang, nasib baik tak berpihak padanya, hujan turun dengan derasnya membuat gadis itu mendengus kesal.
Ia duduk di sebuah anak tangga. Mata hijaunya terfokus pada titik-titik air yang berjatuhan membasahi halaman kampus. Kembali ia menghela nafasnya seolah segala bebannya akan keluar bersama karbondioksida yang keluar dari hidungnya.
"Sebentar lagi hujannya akan reda." Ujar seorang lelaki yang tiba-tiba duduk di samping Trisia. Trisia mengerutkan dahinya, sementara lelaki itu melemparkan senyuman mempesonanya.
"Tomi." Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Trisia." Trisia ragu-ragu menyambut tangan lelaki itu. Deg. Sesuatu dalam diri Trisia seolah tersengat listrik ketika bersentuhan dengan lelaki bernama Tomi tersebut. Trisia menatap mata lelaki itu, rambutnya hitamnya yang dipotong rapi senada dengan warna matanya.
"Ada yang salah denganku?" Tanya Tomi yang merasa diperhatikan secara berlebihan oleh Trisia. Wajar. Bukan hal yang aneh jika lelaki itu menjadi perhatian. Sosoknya yang begitu sempurna dan sifatnya yang ramah pada semua orang menjadikan lelaki itu idaman bagi gadis-gadis di kampus itu. "Trisia?" Ia mengulangi ketika tak ada jawaban dari Trisia.
"Ah— Maafkan aku." Ujar Trisia salah tingkah. Jantungnya berdegup begitu kencang. Bahkan mungkin Tomi akan mendengarnya dengan jelas. Tomi tertawa melihat wajah merona gadis di sampingnya.
Hujan masih saja turun dengan derasnya hingga langit abu-abu menjadi gelap. Hari sudah malam dan ia masih harus terjebak di kampus. Ibu Asti—pengasuh di panti— pasti akan mengkhawatirkannya. Lambat laun doa Trisia pun didengar. Hujan mulai reda meski titik-titik air masih berjatuhan.
"Mau kuantar?" Tanya Tomi yang melihat Trisia mulai berdiri dari tempatnya duduk.
"Tidak. Aku bisa jalan kaki. Terima kasih." Panti itu memiliki jarak sekitar dua kilometer dari gerbang kampus. Itu berarti, untuk mencapai gerbang masih sekitar empat ratus meter dari tempatnya berdiri sekarang.
"Ayo, aku akan mengantarmu." Tanpa banyak bicara, Tomi menggandeng tangan Trisia menuju motor kesayangannya. Trisia yang kembali disentuh oleh lelaki itu merasakan wajahnya memanas. Untung saja hari sudah gelap hingga Tomi tak perlu melihat wajahnya yang semerah tomat.
***
Hari itu tak menjadi hari terakhir Trisia bertemu dengan Tomi. Justru setelah itu Tomi lebih sering menemuinya. Menjemputnya untuk bekerja, mengantarnya pulang, memberikan makanan untuk anak-anak panti dan mengajak Trisia berlibur ketika Trisia tidak sedang bekerja.
Kedekatan mereka menimbulkan rasa iri bagi gadis-gadis yang mengejar Tomi. Lelaki itu tak segan mendekati Trisia meski gadis itu hanya seorang pekerja kantin.
"Aku ingin kau menjadi milikku, Trisia." Ujar Tomi suatu ketika saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran untuk merayakan ulang tahun Tomi.
"Tapi aku hanya seorang anak panti dan pekerja kantin, Tom. Berbeda denganmu. Aku tak akan bisa mengimbangimu."
"Aku tak peduli. Aku mencintaimu Trisia." Wajah Tomi begitu tulus. Perasaan yang sama pun dimiliki Trisia untuk Tomi. Namun latar belakang mereka yang bertolak belakang membuat Trisia ragu. Ia terus berpikir berulang kali tentang kemungkinan yang terjadi ketika ia memutuskan untuk berkata ya.
Awalnya semua berjalan dengan lancar. Mereka saling mencintai dan disebut-sebut sebagai pasangan serasi yang membuat semua gadis iri terhadap keberuntungan Trisia. Hingga malam itu, semua tak lagi berjalan sesuai dengan yang mereka harapkan.
"Kau pikir apa yang kau lakukan, Tom? Membawa perempuan rendahan ini untuk menjadi menantuku?" Tukas Ibu tomi ketika melihat gadis yang tengah berdiri gemetar di samping Tomi.
"Aku mencintainya, ibu."
"Kau pikir cinta bisa membuatmu hidup tenang? Kau harus mencari gadis yang mampu mengimbangimu."
"Apa gunanya harta melimpah jika aku tak bisa memiliki Trisia di sisiku, bu?" Nada Tomi beberapa tingkat lebih tinggi. "Kenapa ibu selalu menentangku! Aku bukan anak-anak lagi!" Bentak Tomi pada ibunya yang selalu mengatur hidup Tomi. Suasana yang begitu tegang menyelimuti ruangan yang didominasi warna abu-abu dengan barang-barang mewah yang terlihat menyebar di setiap sudut ruangan itu.
"Baiklah. Jika itu maumu. Kau bukan anak-anak lagi. Silahkan keluar dari rumah ini dan jangan harap aku akan menerimamu kembali di rumah ini!" Itu kalimat terakhir yang diucapkan ibunya sebelum Tomi dan Trisia diusir dari rumah megah bak sebuah istana.
Setelah semua penghinaan itu, Trisia dan Tomi mati-matian membanting tulang untuk menghidupi diri mereka. Trisia keluar dari panti asuhan kemudian bersama Tomi mereka menyewa dua kamar indekos sederhana yang berjarak cukup jauh dari kampus.
Siang berganti malam, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Dalam empat bulan, sikap Tomi pada Trisia mulai berubah. Mungkin karena gaya hidupnya yang berubah drastis membuat lelaki itu mengalami tekanan. Trisia masih mencoba untuk bertahan menghadapi lelaki yang dicintainya itu.
Suatu malam, Tomi pulang cukup larut dari biasanya. Ia berjalan terhuyung kemudian tersungkur tepat setelah menutup pintu. Suara berisik di kamar Tomi membangunkan Trisia dari tidurnya dan Trisia pun segera mendatangi Tomi.
"Tom, apa yang terjadi?" Tanya Trisia khawatir. Dengan sigap ia membantu lelaki yang telah mengecat rambutnya berwarna merah beberapa hari yang lalu itu untuk berdiri. Namun Tomi justru mendorongnya dengan kasar.
"Jangan sentuh aku Trisia. Ini semua gara-gara kau! Menyingkir dari hadapanku!" Perintah Tomi. Aroma khas alkohol menyeruak di udara. Benar, andai saja Trisia tak mengatakan 'ya' saat itu, hal ini tak akan pernah terjadi. Meski kadang kala sebuah penyesalan bergelayut dalam dirinya. Namun itulah pilihan mereka. Tak akan ada gunanya meratapi penyesalan. Karena penyesalan tak akan memperbaiki segalanya yang telah terjadi.


Bersambung