Kamis, 20 Agustus 2015

Orange Sunset (Sebelas)


“KAU ingin apa untuk makan malam?”

Rangga mengangkat wajah dari laptop di hadapannya, mengernyit pada kehadiran Julian yang menurutnya tiba-tiba itu. Sedetik kemudian ia melirik pada tiga digit angka 1:37 di sudut kanan bawah layarnya. Ia berkata, “Sebenarnya, sekarang sudah dini hari. Untuk apa makan malam?”

“Tapi aku yakin kau belum menyantap apa pun sejak pulang dari studio sore tadi,” tukas Julian.

Dalam hati Rangga mengakui kebenaran tuduhan Julian. Tadi begitu tiba di apartemen, ia memang langsung duduk sibuk pada laptopnya. Beberapa hal yang biasanya bisa diselesaikannya tepat waktu semakin sering tertunda. Hingga ia harus membawa pulang pekerjaannya dan mengorbankan jam istirahatnya.

“Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Rangga berujar sambil lalu, berharap Julian berhenti merecoki kegiatannya.

Tetapi bukan Julian namanya jika kehendaknya mudah goyah. “Orang-orang bekerja demi bisa makan. Tapi banyak orang justru melupakan makan karena sibuk bekerja,” sahut Julian dengan nada menyindir.

Rangga memilih untuk bungkam pura-pura tidak mendengar. Mendapati tanggapan seperti itu, Julian melanjutkan kalimatnya. “Kemudian mereka akan jatuh sakit. Dan akhirnya, uang yang mereka kejar dengan bekerja itu akan berakhir di brankas rumah sakit.”

Mau tidak mau, Rangga kembali memusatkan perhatiannya kepada Julian. Sahabatnya itu hanya balas menatap tajam tanpa berkata-kata lagi. Hingga akhirnya, Rangga menghela napas tanda menyerah.

Julian menyembunyikan senyum kemenangannya dengan baik, lalu bertanya, “Bruschetta atau Lasagna?”
***

Perut yang lapar akan membuat perasaan menjadi gusar. Sebaliknya, perut yang kenyang akan membuat perasaan menjadi lebih tenang. Julian memercayai benar kenyataan itu. Maka, inilah saat yang tepat untuk ia menanyakan hal penting kepada Rangga.

“Jadi, bagaimana? Apakah kau sudah memutuskan?”

Rangga mengusap mulutnya menggunakan tisu, membersihkan jejak makan malamnya barusan, sambil sedikit mengulur waktu. Selama beberapa detik itu ia coba menelaah maksud Julian tanpa hasil. Hingga pada akhirnya ia menatap lelaki di hadapannya dengan bingung. “Memutuskan apa?”

“Silvia atau Jihan?”

Setitik binar kesedihan berkelebat di mata Rangga, tetapi dengan cepat hilang begitu saja menyisakan ekspresi kosong. Lelaki itu memilih bungkam sambil berharap Julian menarik kembali pertanyaannya. Sementara Julian sendiri justru tidak sedikit pun melepaskan tatapannya dari Rangga sampai ia mendapatkan jawaban yang diinginkannya.

“Sejauh pengamatanku, hubunganmu dan Silvia baik-baik saja selama ini. Sebelum kehadiran Jihan, maksudku.” Julian bersuara memecah keheningan di ruang makan apartemen mereka. “Lalu Jihan datang dan membuatmu selalu terlihat resah seolah dunia akan kiamat esok hari. Sebenarnya, ada apa di antara kalian berdua?”

“Bukan apa-apa,” jawab Rangga lebih seperti gumaman.

Julian mendengus kesal. “Aku yakin ‘bukan apa-apa’ yang kau maksud berarti kau tertarik kepada Jihan. Atau bahkan kau menyimpan perasaan yang lebih.”

Rangga memalingkan wajah, menghindari tatapan menuduh Julian. Tidak seharusnya ia mengakui perasaannya terhadap Jihan secara terang-terangan. Apalagi setelah insiden ciuman yang mungkin saja membuat gadis itu kini membencinya.

“Asal kau tahu saja, aku juga tertarik kepada gadis itu. Kepada Jihan.”

Sekejap, kilatan cemburu langsung menjalari sepasang mata Rangga. “Jauhi dia, Julian. Kumohon.”

“Kau sudah bersama Silvia. Siapa tahu kau lupa.”

“Sudah kubilang, Silvia bukan pacarku.”

“Lalu apa? Tunanganmu?” Julian tersenyum sinis. “Jangan bergurau, Rangga. Statusmu saat ini tidak bisa menjanjikan apa-apa kepada Jihan. Berbeda denganku, aku lelaki bebas. Aku bisa mendekati gadis mana pun, termasuk Jihan, tanpa halangan apa pun.”

“Aku yang akan menghalangimu.”

Julian mengangkat satu alisnya. “Kau mempersilakanku untuk mendekati Silvia tapi melarangku mendekati Jihan. Seharusnya itu sudah jelas. Kau pasti lebih mencintai Jihan, kenapa bingung?”

Ya “Tapi....” Tentu saja Rangga mencintai Jihan. Hanya saja ini tidak sesederhana itu.

“Apa kau mencintai Silvia?” tanya Julian ketika tidak mendapat tanggapan berarti dari Rangga.

Sahabatnya itu tidak bersuara. Tetapi kepalanya menggeleng dengan tegas.

“Itu berarti kau mencintai Jihan?”

Kali ini Rangga kembali terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya.

“Perasaanmu sudah jelas. Apa yang membuatmu ragu?”

Tidak ada hal lain yang membuat Rangga ragu selain dirinya sendiri. Masihkah ia memiliki kesempatan untuk bersama dengan Jihan?

“Apa kau takut menyia-nyiakan kesempatan untuk dekat dengan gadis secantik Silvia?” tuduh  Julian tanpa basa-basi. “Gadis itu jatuh cinta padamu, kau tahu? Tanda-tanda yang dia tunjukkan padamu sudah lebih dari cukup.”

Rangga terdiam. Cukup lama. Ucapan Julian membuatnya merenung.

“Oh. Ayolah. Aku tidak pernah mengenalmu yang sepengecut ini,” kata Julian dengan nada tidak sabar.

“Justru karena aku tahu Silvia mencintaiku, aku tidak mungkin meninggalkan dia begitu saja. Itu akan menyakitinya.” Rangga meremas rambutnya frustrasi. “Jihan dan Silvia bersahabat baik, ingat?”

“Akan lebih menyakitkan jika dia terlambat mengetahui bahwa selama ini ia mendekati lelaki yang sama sekali tidak mencintainya.” Julian bangkit sambil mengangkut piring kosongnya. “Belum lagi jika lelaki itu menjalin cinta diam-diam dengan sahabat baiknya,” tandasnya dan berlalu ke arah dapur.

Rangga tertegun. Ia menatap kepergian Julian dengan perasaan bimbang. Kata-kata Julian ada benarnya juga. Mulai sekarang, ia harus bersikap tegas pada perasaannya sendiri. Mungkin ia bisa membicarakan semua ini saat makan malam bersama orang tuanya akhir pekan ini.
***

Ini benar-benar pilihan yang sulit.

Silvia bingung. Kening gadis itu berkerut penuh pertimbangan. Ibu jarinya bergerak monoton ke kiri dan ke kanan pada layar ponsel, menampilkan tiga foto terus menerus secara bergantian. Ia mengabaikan pekerjaan yang terpampang pada layar komputernya. Baginya, ini jauh lebih penting sekarang.

Diam-diam Silvia mencuri waktu. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi senyaman mungkin. Lalu mulai memerhatikan foto-foto itu dengan saksama.

Tujuh menit berlalu, tetapi Silvia belum juga bisa menentukan pilihannya. Foto-foto gaun dari sebuah online shop itu berputar-putar dalam benaknya. Ia memundurkan kursinya sedikit, mencoba mengintip bilik kerja di sampingnya. Rekan kerjanya itu ternyata masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Silvia tertawa kecil. Dasar ratu melamun yang pekerja keras.

Silvia melirik jam di tangannya. Sepertinya ia sudah tidak tahan untuk menunggu hingga jam makan siang tiba. Ia membutuhkan diskusi dengan Jihan. Sekarang.

“Jihan,” panggil Silvia perlahan. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh bahu sahabatnya itu.

“Ya?” Jihan menanggapi sambil menolehkan kepalanya ke arah Silvia. Matanya masih tetap fokus ke arah layar sebelum akhirnya ia benar-benar memberikan perhatiannya kepada Silvia. “Ada apa?”

“Bantu aku memilih.” Silvia menyodorkan ponselnya kepada Jihan. “Mana menurutmu yang paling bagus?”

Jihan mengerjap beberapa kali sebelum menerima ponsel Silvia. Ia perlu waktu mempersiapkan matanya untuk menghadapi layar yang lain. Begitu menatap layar ponsel Silvia, Jihan terpana. Ia melihat gaun berwarna jingga yang menurutnya sangat cantik. Bagian atas gaun itu berbahan brokat sementara roknya yang memanjang hingga atas lutut, tampak mengembang hasil dari tumpukan kain tule. Sekilas Jihan mengalihkan pandangannya ke arah Silvia yang tersenyum lebar, mencoba membayangkan gadis itu mengenakan gaun ini. Kemudian ia melanjutkan pada foto yang lainnya.

Foto selanjutnya menampilkan gaun halter berwarna lila yang elegan. Bagian roknya memanjang berpotongan A. Sehelai pita berwarna hitam menghiasi bagian pinggangnya. Dan foto lainnya menunjukkan gaun terusan panjang berwarna salem. Gaun berbahan sifon itu memiliki garis leher sabrina yang melebar lurus ke bahu.

Bibir Jihan mengerucut sementara benaknya menimbang-nimbang sambil matanya sesekali melirik ke arah Silvia yang menatapnya penuh harap. Sebenarnya, gaun yang mana saja akan pantas jika dikenakan Silvia. Gadis itu memiliki tubuh ideal yang disukai semua perancang busana wanita. Tetapi mana mungkin ia memberi jawaban seperti itu, kan?

“Menurutku, yang ini saja,” ujar Jihan sambil menunjukkan foto gaun halter itu kepada Silvia.

Silvia mengangguk-angguk setuju. Akhirnya ia bisa memutuskan gaun mana yang akan dikenakannya. “Kenapa?”

“Karena menurutku gaun itu memiliki potongan paling pas untukmu.”

“Memang gaun yang lain tidak pas untukku?”

“Bukan begitu.” Jihan menggeleng. “Gaun yang berwarna salem terlalu sederhana untukmu. Sedangkan yang jingga... entahlah. Menurutku, tidak seperti dirimu saja.”

Silvia menyetujui kata—kata Jihan. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia memilih gaun itu. Padahal gaun dengan model seperti itu sama sekali bukan seleranya.

“Memang akan ada acara penting apa?” tanya Jihan sambil memutar sedikit kursi kerjanya menghadap kepada Silvia.

Silvia tidak langsung menjawab. Gadis itu malah menatap penuh selidik ke arah Jihan. Matanya disipitkan sementara alisnya berkerut tidak yakin. Bukankah ia sudah menceritakan hal ini kepada Jihan?

“A-apa?” tanya Jihan sedikit terbata. Ia yang merasa rikuh ditatap seperti itu, sedikit menarik diri perlahan dari tatapan Silvia. Lantas cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Entah mengapa, ia merasa takut pada sesuatu yang mungkin ditemukan Silvia dari sinar matanya.

“Kau lupa atau

Ah, benar juga. Pertanyaan Silvia menggantung di udara ketika menyadari satu hal. Ia pasti menceritakan hal ini kepada Jihan ketika gadis itu tengah melamun. Tetapi hati Silvia terlalu bahagia untuk merasa kecewa atau pun kesal. Lagi pula, ini bukan pertama kalinya Jihan melamun seperti itu. Jadi, tidak ada salahnya kalau ia menceritakan hal itu sekali lagi.

“Aku dan Rangga akan pergi makan malam bersama orang tua kami,” ujar Silvia dengan senyuman lebar. “Semoga saja orang tuaku berhasil membujuk orang tua Rangga untuk segera meresmikan hubungan kami. Kau tahu, kan? Maksudku pernikahan.”

Sekejap, dada Jihan terasa sesak. Ia merasa kesulitan bernapas ketika mendengar berita ini. Makan malam bersama orang tua mereka. Membahas rencana pernikahan mereka. Rangga dan Silvia.

“Oh. K-kapan?” tanya Jihan sambil menghela napas perlahan, membunyikan perasaan.

“Akhir pekan ini,” sahut Silvia masih tampak bahagia. “Sabtu malam.”

Ah, secepat inikah ia harus kehilangan Rangga? Sabtu malam ini hubungan Rangga dan Silvia

“Eh? Sabtu malam, katamu?” tanya Jihan sedikit takjub untuk alasan yang berbeda. “Bukankah itu berarti... besok?”

Silvia mengangguk.

“Dan kau baru akan membeli gaun itu hari ini?”

“Sebenarnya... aku sudah membeli tiga gaun itu sejak dua minggu yang lalu,” aku Silvia malu-malu. “Tapi aku tetap tidak bisa memilih. Semuanya terlihat cantik sama seperti di foto. Dan aku tidak mungkin mengenakan tiga gaun secara bersamaan, kan?”

Jihan tertawa geli mendengar cara Silvia berpikir. Padahal seharusnya gadis itu tidak perlu bingung memilih. Semua pakaian pasti kan pantas dikenakan gadis secantik Silvia.

“Jadi, terima kasih banyak sudah membantuku untuk memutuskan,” sambung Silvia. “Semoga Rangga suka dengan pilihanmu.”

Jihan tersenyum getir. Ya. Semoga saja lelaki itu menyukainya.
***

Andai saja senja kala itu tidak mengukir kenangan pahit melalui dirinya.

Rangga menghela napas panjang. Ia menjauhkan wajahnya dari balik lensa kamera.  Sesungguhnya Rangga bukanlah tipikal lelaki melankolis. Tetapi entah mengapa kejadian akhir-akhir ini membuat perasaannya gusar. Bahkan mengacaukan pekerjaannya di studio.

Seharian ini Rangga merasa kesal setengah mati pada apa saja yang dilihatnya. Tumpukan foto, meja kerjanya, lampu studionya, semua benda yang ada di bangunan itu membuatnya muak. Ingin rasanya ia membanting semua benda itu hingga hancur lebur. Sebelum semua itu terjadi, ia memutuskan untuk mengambil gambar di luar studionya dan melimpahkan segala urusan kepada Reza.

Sayangnya, hal tersebut tidak juga membuat perasaannya menjadi lebih baik.

Sekali lagi, Rangga mencoba membidik deretan bangunan tua di hadapannya. Terdengar bunyi klik secara berturut-turut. Ia kembali menurunkan kameranya, melihat hasil potretannya. Tetapi tidak satu pun yang sesuai dengan apa yang diinginkannya.


Detik berikutnya, lelaki itu malah mengarahkan kameranya ke arah jalan ber-paving yang dipijaknya. Di sana ia melihat matahari mencetak jelas bayangannya yang memanjang. Setelah mengambil foto bayangannya, Rangga berbalik dan mendapati pemandangan langit yang selalu membuatnya merindu.

Senja yang sebentar lagi akan menelan habis cahaya. Pemandangan inilah yang ingin dilihatnya di seluruh dunia. Rangga rela menghabiskan seluruh hidupnya demi mengabadikan keindahan alam yang satu ini.

Bersama seulas senyuman di bibir, Rangga kembali mengintip melalui balik lensanya. Ia menangkap semua sisa jejak cahaya yang kemudian hilang menjelma malam.

Ah. Andai saja dahulu ia tidak merusak senja yang satu itu. Mungkin saja saat ini ia masih bisa berada di dekat Jihan.


Jumat, 07 Agustus 2015

Red Lie - Chapter 14



“Aku mencintaimu…”              

Kalimat singkat yang membuat Trisia mempertimbangkan kepergiannya. Itu juga yang ia rasakan pada Leo. Cinta. Bahkan tanpa ia sadari, Leo telah merajai hatinya, membuat Tomi akhirnya tersingkir dari hatinya.

Setelah perjuangan yang cukup panjang, beriringan dengan ketakutan beserta kegelisahan yang terus melawan teguhnya pendirian. Segalanya menjadi teramat berarti setelah mempertimbangkan kenyataan yang terjadi, yang mampu membuatnya terpukul. Tanpa ragu lagi ia memutuskan untuk mengikuti Leo ke Belanda, meski ia harus meninggalkan surat pengunduran diri di meja bosnya.

Trisia telah mengencangkan sabuk pengaman dan untuk pertama kalinya ia menginjakan kakinya di dalam pesawat. Sebelumnya, ketika terdengar suara berdengung di langit, Trisia akan menengadahkan kepala, memicingkan matanya untuk melawan cahaya matahari. Lalu sebuah bongkahan besi yang terlihat sangat kecil akan melintasi kepalanya. Senyum samar menghiasi wajahnya ketika mengingat hal itu, membuat lelaki di sampingnya terus memerhatikan perubahan raut wajah gadis di sampingnya.

“Kau takut, sayang?” Leo menggenggam tangan Trisia, memandangnya dengan penuh perhatian. Tak bisa dipungkiri oleh Trisia, pesona Leo memang akan selalu menaklukkannya.

Trisia menggeleng, “Tidak, aku hanya mengingat sesuatu.” Trisia memandang lekat-lekat mata tajam Leo, kemudian pandangannya turun menuju bibirnya. Bibir yang manis…

Buru-buru Trisia mengembalikan arah pandangannya saat Leo berkata, “Apa kau teringat dengan apa yang dikatakan kakakku?”

Tidak. Trisia sama sekali tak memikirkan hal itu, namun Leo membuatnya kembali teringat sehingga mau tidak mau Trisia memang harus memikirkannya kembali. Memikirkan tentang kemungkinan itu. Trisia menggigit bagian dalam bibirnya, sekelebat adegan yang cukup buruk mengganggu pikirannya…

“Cuti? Berapa lama?” Tanya Harry sambil membuka berkas-berkas yang baru saja diantar oleh Trisia.

“Sekitar dua minggu, pak.”

“Untuk apa?”

“Saya ada keperluan, pak.”

“Oh… sudah jadi orang sibuk ternyata.” Sindir Harry. Pintu Harry kemudian terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu membuat perhatian Harry dan Trisia tertuju pada orang yang muncul setelah pintu terbuka.

“Kupikir kau sedang tidak ada tamu.” Leo basa-basi kemudian mendekat dan duduk di samping Trisia yang tengah berdiri. “Api situasinya sedang tegang?” Tanya Leo mencoba mencairkan suasana, memandang Harry dan Trisia bergantian.

“Tidak, saya hanya…”

“Siapa suruh kau bicara?” Sergah Harry ketus. “Dia meminta cuti. Padahal pegawai yang masih bekerja kurang dari enam bulan dilarang mengajukan cuti,” jelasnya pada adiknya.

 “Dia ada urusan. Izinkan dia cuti.”

“Mengapa kau memintaku mengizinkannya? Kau lupa dia bekerja untukku?” Gerutu Harry. Hening. Tiba-tiba Harry menyadari sesuatu, “apa dia akan pergi denganmu?”

“Tidak.”

“Ya.” Jawab Trisia dan Leo bersamaan. Mendengar Jawaban Leo, Trisia memandang lelaki yang tampak tenang tanpa mencoba menyembunyikan kebohongan dari kakaknya yang mengerikan itu.

“Kau dan Trisia?” Harry meyakinkan. Kemudian Leo membalas dengan sebuah anggukan mantap.

Brak!
Harry memukul mejanya dengan keras. “Kau pikir apa yang kau lakukan?” Wajahnya merah karena amarah. Ia memandang Leo dan Trisia bergantian.

“Kau,” Harry menunjuk wajah Trisia, seolah telunjuknya adalah sebilah pisau yang siap mencabik-cabik wajah gadis itu. “Kau sama saja dengan ibumu. Penggoda! Dasar anak haram!”

“Kak, jaga bicaramu!” Leo menyela sementara Trisia hanya mampu membelalakkan matanya.

“A—apa maksud anda dengan…” Trisia menjeda kalimatnya, “…anak haram?”

“Kau adalah…”

“Kak, cukup!” Leo menyela, namun tampaknya Harry tak berniat menggubrisnya.

“Kau adalah anak ayahku dan selingkuhannya.” Harry menegaskan setiap kata dengan jelas, membuat Trisia terperangah mendengarnya.

“Tidak.” Gumam Trisia parau.

“Itu kenyataannya. Kau adalah anak haram.

“Tapi ini belum terbukti. Bukankah sudah kukatakan jaga mulutmu!” Leo mencoba menghibur Trisia dengan menyalahkan kakaknya.

“Dan sikapmu jelas kaudapatkan dari ibumu yang pelacur itu, nona.”

“Trisia. Apa yang kau pikirkan?” Suara itu seolah membawa jiwa Trisia kembali.

“Ah, tidak. Aku hanya berpikir tentang kita.”

“Semuanya pasti baik-baik saja.” Leo menggenggam tangan Trisia yang terasa begitu dingin.
***

“Selamat datang di Bandara Schipol, Amsterdam.” Suara pilot dari ruang kendali terdengar nyaring, disambut oleh seulas senyum di bibir Trisia. Setelah perjalanan yang menempuh sekitar empat belas jam tanpa henti, akhirnya  Trisia akan melihat indahnya Belanda, tanah kelahiran ibunya yang selama ini hanya mampu ia saksikan lewat siaran di televisi.

Trisia menoleh pada lelaki di sampingnya yang tengah tertidur pulas. Wajahnya tampak polos seperti anak kecil yang membuat Trisia ingin melindunginya. Gadis itu tersenyum kemudian mengecup pipi Leo hingga lelaki itu berjingkat, memandang Trisia dengan matanya yang masih memerah.

“Kita sudah sampai.” Ujar Trisia bersemangat.

“Aku tertidur cukup lama ya?”

“Kurasa begitu.”

Trisia menengadahkan kepalanya, menyaksikan bangunan tinggi bertuliskan “Schipol” yang amat besar yang dikelilingi oleh kaca-kaca yang memantulkan pemandangan di belakang Trisia. Bandara Schipol memiliki penampakan yang cukup indah. Berbeda dengan bandara yang pernah Trisia lihat sebelumnya.

Leo memerhatikan wajah Trisia, mata Trisia terpejam dan mengambil napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya. Leo meraih ponselnya, kemudian memotret wajah cantik Trisia tanpa sepengetahuannya.

“Buka matamu.” kata Leo dengan nada lembut.

Trisia membuka mata, mengarahkan pandangan matanya pada lelaki tampan yang sekali lagi mengambil fotonya. “Apa yang kau lakukan?”

“Aku hanya ingin mengabadikan dirimu, sebelum…” Leo menghentikan kalimatnya, berusaha menelan ludahnya yang terasa pahit.

“Sebelum kenyataan bahwa kita sedarah akan terbukti?” Trisia tersenyum kecut seolah mampu membaca pikiran Leo.

“Tidak, maksudku sebelum kau menyadari bahwa aku memotretmu. Spontan hasilnya lebih bagus, bukan?” Leo membantah meski memang hal itulah yang ada dalam pikirannya. Ia sadar hal itu akan membuat gadis di hadapannya bersedih.

Trisia melangkah, kemudian melingkarkan lengannya pada leher Leo, memeluk lelaki itu dengan erat. “Aku tahu bukan itu yang ingin kaukatakan. Hal yang samalah yang tengah mengganggu pikiran kita.”

Leo membalas pelukan Trisia, “Maafkan aku telah membawamu pada situasi yang lebih rumit.”
***

Sebuah hotel bergaya klasik menjulang di hadapan mereka. Pemandangan De Dam atau Dam Square yang pernah ia saksikan di televisi kini ada di depan matanya. Dengan segera ia putuskan, ia harus menyempatkan diri untuk memberi makan merpati disana.

Langkah Trisia mengikuti Leo menuju meja resepsionis. Matanya berkeliling ke penjuru ruangan yang sangat besar itu. Kemudian dari arah belakang, seseorang menabraknya hingga Trisia nyaris terjatuh. Beruntung Leo sempat memegangi lengan gadis itu.

Seorang pria tinggi besar mengucapkan kalimat aneh—mungkin bahasa Belanda. Nada suara pria itu seolah menanyakan sesuatu pada Trisia, namun Leo dan Trisia hanya saling bertatapan karena tak mengerti dengan bahasa pria tersebut. Buru-buru Leo menanyakan maksud pria itu dengan Bahasa Inggris.

“Kupikir nona ini orang Belanda. Maaf, aku tak sengaja. Apa dia baik-baik saja?” Tanya pria itu pada Leo dalam Bahasa Inggris yang segera diterjemahkan Leo pada Trisia.

“Dia baik-baik saja. Terima kasih.” Kata Leo menerjemahkan kalimat Trisia. Lalu Leo mengangguk sejenak sebagai tanda untuk berpamitan pada pria itu dan ia menarik tangan Trisia. Sementara mereka berjalan menjauh, pria itu masih berdiri di tempatnya, memerhatikan pasangan tersebut.
***

“Lantai tiga puluh?” Tanya Trisia ketika Leo menekan angka tiga puluh di lift. “Mengapa kau tidak memilih di lantai bawah?”

“Ini milik pamanku, dan beliau memiliki penthouse khusus keluarga di lantai paling atas.”

“Jadi hotel ini tiga puluh lantai?”

“Begitulah. Sekarang beliau membangun sebuah hotel lagi di Istanbul.”

“Wah… Keluarga kalian benar-benar luar biasa.”

“Itu karena kakekku telah mewariskan modal dan bakat pengusaha yang hebat.” Leo menjelaskan hingga lift telah terbuka di lantai tiga puluh. Mereka melangkah beriringan menuju ujung koridor dan Leo membuka pintunya.

“Beristirahatlah, ini kamarmu,” ujar Leo menunjuk sebuah kamar di dalam penthouse. “besok pagi kita memulai pencarian ibumu.”

“Lalu kau tidur dimana?”

Leo menunjuk sofa di belakangnya dengan ibu jarinya. “Disana.”

“Kenapa kau tidak masuk saja? Ranjang itu cukup besar untuk berdua.”

“Baiklah sayang,” Leo mengecup kening gadis yang kini menjadi miliknya. “Aku masih ada urusan sebentar. Begitu selesai, aku akan menyusul. Selamat tidur.”
***

Leo menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, kemudian mengangkat kedua kakinya ke atas meja. Ia membuka kaleng minuman yang telah disediakan di lemari pendingin. Kemudian sesekali menyentuhkan kaleng dingin itu pada dahinya. Ia memejamkan matanya, mengistirahatkan sejenak matanya hingga sesuatu seolah menempa kursi di sampingnya.

“Apa yang kau pikirkan?” Tanya Trisia yang tiba-tiba duduk di samping Leo.

“Tidak ada, aku hanya tertidur. Kenapa kau disini?”

Trisia menyandarkan kepalanya di pundak Leo. “Apa pendapatmu jika kita memang benar-benar saudara?”

Hening. Leo tak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan Trisia. Yang jelas ia sama sekali tak ingin mendapati kenyataan bahwa mereka adalah saudara. Pikirannya begitu kacau, belum lagi Harry mengiriminya beberapa pesan singkat yang menyudutkannya. Ia tak begitu paham mengapa kakaknya begitu dendam pada Trisia meski bukan ia yang membuat ibu mereka meninggal.

“Entahlah. Atau kita kawin lari?” Canda Leo dengan cekikikan seperti yang sering dilakukannya selama ini. Tapi sejujurnya, ini bukan lelucon melainkan isi hati lelaki itu. Ia tak bisa memikirkan apapun selain kawin lari.

“Tapi apa kau tahu, jika kita tetap menikah, mungkin keturunan kita akan cacat?” Trisia menghela napasnya. Itu yang pernah didengarnya dari temannya.

“Kita bukan saudara.” Ujar Leo lugas.

“Mengapa kau begitu yakin?”

“Karena aku ingin menikah denganmu dan kita akan hidup bahagia bersama anak-anak kita.” Leo memberikan senyum lebutnya diikuti sebuah ciuman di puncak rambut Trisia. “Tidurlah.”

Kamis, 06 Agustus 2015

Orange Sunset (Sepuluh)




CAHAYA matahari senja perlahan memudar, berganti dengan langit malam yang bertaburan bintang-bintang. Bulan mulai menghinggapi malam dengan kilaunya yang serupa mutiara. Suara jangkrik yang merdu terdengar bersahutan dengan bisingnya kendaraan dari kejauhan.

Masih mengenakan seragam putih-kelabu mereka, Jihan dan Rangga duduk berdampingan di kursi teras rumah Jihan. Biasanya, mereka akan menikmati senja sambil duduk di kafe kesukaan mereka, membicarakan banyak hal seperti materi ujian pekan depan mau pun sekadar gosip terkini di sekolah. Tetapi hari ini mereka memilih untuk menghemat uang demi bisa membeli tiket film kesukaan mereka berdua.

Tiba-tiba saja Jihan menghela napas berat. ‘Kenapa, ya, orang-orang berciuman?’ tanyanya, lebih seperti gumaman untuk dirinya sendiri. Tetapi tanpa dinyanya, kata-katanya berhasil merebut perhatian Rangga dari konsol permainan portable yang digenggam lelaki itu.

Rangga mem-pause permainannya, mengangkat wajah, dan mengernyit menatap Jihan. Ia ingin mencoba menjawab pertanyaan tidak biasa yang dilontarkan gadis itu. Hanya saja ia sendiri merasa ragu dengan jawabannya. Jadi, ia menjawab dengan hati-hati, ‘hem... mungkin karena mereka saling mencintai...?’

Mata Jihan membulat antusias. Ia menggerakkan kursinya sedikit menghadap Rangga. ‘Itu berarti... aku hanya boleh berciuman dengan seseorang yang kucintai?’

‘‘Tentu saja,” sahut Rangga sedikit terdengar kesal. Raut wajahnya seolah mengatakan bahwa semua orang tahu hal itu. ‘Kau tidak boleh berciuman dengan sembarang orang. Hanya boleh dengan seseorang yang benar-benar istimewa. Misalnya, suamimu nanti.’

Jihan menganggut-anggutkan kepalanya. Ia terdiam, mencoba memahami dengan baik kata-kata Rangga. Sementara lelaki itu kembali menyibukkan diri dengan permainannya.

‘Kira-kira... di antara kita berdua, siapa yang akan lebih dulu menikah, ya?’ Jihan kembali bergumam. ‘Dan mengalami bagaimana itu berciuman....’

‘Entahlah.’ Rangga menggidikkan bahu tanpa kembali melepas permainannya. Saat itu perasaan mereka masih murni sebagai sahabat, tanpa perasaan jatuh cinta yang rumit. ‘Yang penting, kita harus menjaganya untuk seseorang yang mencintai dan kita cintai.’

Jihan membiarkan dagu dan hidungnya berkerut. Diam-diam, ia menanamkan kalimat itu baik-baik dalam benaknya. Ia harus menjaga ciumannya hanya untuk seseorang yang mencintai dan dicintainya.
***

Bibir Rangga terasa lembut menempel di bibir Jihan. Lelaki itu tampak begitu hati-hati dan berusaha untuk memperlakukan Jihan selembut mungkin. Hingga tidak ada kesempatan bagi Jihan untuk menolak.

Tidak ada yang bisa dipikirkan Jihan. Ia merasa otaknya sudah tercerabut paksa dari dalam rongga kepalanya. Tubuhnya terasa begitu lemas seperti tidak bertulang. Jadi, ia memilih untuk memejamkan matanya perlahan, merasakan euforia yang berdentam-dentam di rongga dada kirinya.

Tetapi begitu matanya terpejam sempurna, wajah Silvia yang sedang tersenyum tulus muncul di balik kelopak matanya.

Dan seketika itu juga, Jihan menyentak dirinya dan mendorong tubuh Rangga. Ia beringsut hingga ujung sofa terjauh dari Rangga. “Aku tidak bisa, Rangga.”

“Kenapa?” Wajah lelaki itu berkerut masam. “Apa karena Silvia?”

Jihan terdiam. Ia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Gadis itu hanya tertunduk mendekap kedua tangannya. Sekujur jemarinya terasa menegang dan gemetar.

“Jihan....” Rangga mencoba mendekat. Tetapi ia mengurungkan niatnya begitu melihat sikap defensif yang ditunjukkan Jihan. “Maaf karena aku melakukannya.”

Jihan mengigit bibirnya, berusaha menahan air matanya yang mendesak di pelupuk mata. Tidak ada satu kata pun yang mampu diucapkan bibirnya yang kelu. Pipinya memerah sementara jantungnya berdebar kencang karena perasaannya yang campur aduk. Malu, bingung, dan menyesal saling bertumpuk di dalam hatinya.

“Aku juga minta maaf.” Akhirnya Jihan mampu mengucapkan sesuatu walaupun dengan suara tercekat. “Tidak seharusnya kita melakukan hal seperti itu....”

“Lihat aku, Jihan.” Rangga memberanikan diri untuk mendekat dan meraih dagu Jihan. Rasa perih merayap di hatinya ketika melihat sepasang mata gadis itu berkaca-kaca. “Jangan berpikiran buruk tentang ini. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk melecehkanmu atau

“Sebaiknya kau pergi,” tukas Jihan dengan suara serak. Ia membebaskan dagunya dari jemari Rangga, lalu memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan lelaki itu.

“Baiklah.” Rangga berusaha menyunggingkan senyuman penuh pengertian. Lelaki itu lantas bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah pintu. Sekuat tenaga menghalau dirinya untuk berbalik dan merengkuh Jihan ke dalam pelukannya. Ia sangat mengerti bahwa gadis itu membutuhkan waktu untuk sendiri.

Begitu terdengar suara pintu tertutup, air mata Jihan tumpah tanpa bisa dicegah.
***

Jihan termenung sambil menatap langit-langit kamarnya. Bulir-bulir air matanya tampak mengering, meninggalkan jejak sungai penyesalan di wajahnya. Entah sudah berapa lama ia membiarkan tubuhnya berbaring seperti itu. Hingga akhirnya cahaya jingga yang samar menyusup melalui jendela yang tertutup tirai.

Senja.

Suasana itu selalu mampu menarik perhatian Jihan. Ia bangkit dan menarik tirainya sedikit terbuka. Membiarkan sinar lembayung itu memasuki kamarnya dengan lebih leluasa. Ah, langit yang dipenuhi kerinduan.

Dengan sedih, Jihan menyentuh bibirnya. Masih terasa sentuhan bibir Rangga di sana. Ia menghela napas panjang. Ciuman yang dijaganya untuk satu orang yang istimewa. Jihan tahu ia mencintai Rangga. Dan ia yakin Rangga juga begitu. Selama beberapa detik, ia merasa bahagia. Tetapi detik berikutnya, hanya perasaan menyesal yang melingkupi hatinya.

Jihan mencintaimasih mencintai Rangga hingga saat ini. Tidak ada gunanya menyangkal kenyataan itu. Tetapi ia harus benar-benar membuang perasaannya. Jika tidak, itu berarti ia akan melukai perasaan Silvia. Ia akan menjadi pengkhianat untuk sahabatnya. Walaupun itu berarti ia harus membohongi dirinya sendiri.

Oh, tidak. Apa yang dipikirkannya tadi? Demi Tuhan. Sahabatnya sedang terbaring sakit. Sementara ia malah... melakukan hal yang sama sekali tidak pantas. Bahkan dengan lelaki yang tidak memiliki ikatan apa pun dengannya.

Air mata Jihan kembali tergelincir di pipinya. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Tetapi isakannya terdengar jelas. Apa yang harus dikatakannya saat ia bertemu langsung dengan Silvia?
***

“Jihan... Jihan... Jihan...!”

Jihan lantas tersentak ketika merasakan lengannya diguncang samar. “Oh, maaf. Apa kau mengatakan sesuatu?”

Silvia tidak menjawab. Gadis itu malah menyilangkan tangannya di dada, terang-terangan tampak kesal. Ia memberikan pandangan menyelisik yang membuat Jihan merasa tidak nyaman.

“Apa lagi yang mengganggu pikiranmu, Gadis Muda?” tanya Silvia penuh sindiran. “Kau membuatku merasa sedang bicara dengan batu.”


Kepala Jihan tertunduk. Ia merasa seperti anak kecil yang baru saja terpergok menghabiskan semua kue di kulkas. Bibirnya berbisik lirih mengucapkan maaf. Entah meminta maaf karena sudah mengabaikan Silvia, atau karena pengkhianatan yang dilakukannya.

“Kau pasti tidak mendengarkan kata-kataku tadi, kan?” Nada bicara Silvia masih terdengar tajam.

“Memang apa yang kaukatakan?” Jihan balas bertanya.

Silvia berdecak kesal. “Lebih tepatnya, tadi aku bertanya padamu. Apakah kau jadi pergi makan siang dengan Julian?”

“Sepertinya tidak.” Jihan menggeleng. “Tadi dia mengirim pesan singkat untuk membatalkan janji makan siang. Dia tidak bisa meninggalkan dapurnya. Restoran terlalu ramai siang ini, katanya.”

“Bagus kalau begitu, kau ikut makan siang saja denganku,” ujar Silvia sambil menarik lengan Jihan, mengajak gadis itu untuk bangkit dari duduknya. “Rangga mengajakku makan siang bersama. Dia bilang ingin memastikan bahwa aku akan makan dengan benar,” Silvia menambahkan lantas terkekeh penuh kebahagiaan.

Oh, tidak.

“A-aku tidak bisa, Silvia. Lebih baik aku makan sendiri saja.”

“Kenapa?” Tawa Silvia lenyap, menjelma ekspresi kecewa pada lawan bicaranya.

Jihan menggaruk kepalanya, mencari alasan yang sesuai. “Aku hanya tidak ingin mengganggu acara kalian berdua.”

Apalagi setelah apa yang terjadi tempo hari. Jihan sama sekali tidak memiliki keberanian untuk bertemu dengan lelaki itu. Ditambah ada Silvia di tempat yang sama dengan mereka. Itu pasti akan menjadi sebuah kesalahan besar.

“Oh, ayolah. Jangan bersikap seperti remaja yang takut diabaikan seperti obat nyamuk.”

Jihan menempelkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia mendongak dan menatap Silvia lekat-lekat penuh permohonan. Tetapi ia lupa seperti apa sifat keras kepala sahabatnya itu.

“Cepat pilih. ‘Ya’ atau ‘ikut’?”

Alis Jihan terangkat. Itu jelas bukan pilihan. Ia memilih tetap bergeming, berusaha mempertahankan diri agar tidak goyah oleh rajukan Silvia. Padalah perasaan bimbang tergambar jelas di mata Jihan. Seharusnya Silvia mengerti dan berhenti memaksakan kehendaknya. Tetapi bukan Silvia namanya jika tidak bisa membuat orang lain patuh. Setengah hati, Jihan menganggukkan kepalanya.

Senyum kemenangan terukir di bibir Silvia. “Kalau begitu kita berangkat sekarang sebelum kau menghabiskan jam makan siangmu dengan melamun.”
***

“Jadi ini kedai nasi goreng yang sering kau bicarakan itu?” bisik Jihan di dekat telinga Silvia ketika mereka memasuki sebuah kedai yang tampak dipadati oleh para pekerja kantoran siang ini.

Silvia mengangguk dan menoleh sedikit kepada Jihan yang berdiri di belakangnya. “Menu nasi gorengnya sangat lezat dan bervariasi. Kau lihat sendiri berapa banyak perut lapar yang datang ke sini,” ucap Silvia sambil memandang berkeliling pada suasana kedai yang diwarnai obrolan samar dan denting alat makan yang beradu.

Saat ini mereka berdiri berbaris di dekat pintu masuk kedai. Rangga yang berdiri paling depan sedang berbicara dengan pramusaji yang kemudian mengantar mereka ke tempat duduk di tengah ruangan.

Silvia tentu saja memilih untuk duduk berdampingan dengan Rangga. Jihan duduk di seberang meja, berhadapan langsung dengan Silvia. Sejak tadi gadis itu berusaha untuk tidak bertemu pandang dengan Rangga. Ia tidak yakin dengan kemampuan matanya menyembunyikan perasaan.

Pramusaji meletakkan dua buku menu ke atas meja. Jihan menyambar cepat satu buku menu agar matanya tidak menganggur. Dalam sekejap, ia sudah tenggelam dalam deretan foto nasi goreng yang tertera di buku menu. Air liurnya nyaris menetes. Sepertinya benar kata Silvia, nasi goreng di sini pasti sangat lezat.

“Aku pesan nasi goreng hitam,” kata Rangga sambil mengulurkan tangan menyebrangi meja dan mengetuk sebuah gambar nasi goreng pada menu di hadapan Jihan.

Jihan tersentak. Ia tidak menyangka lelaki itu menunjuk menunya, bukannya menu pada Silvia yang seharusnya mereka bagi berdua. Takut-takut, Jihan mengikuti gerakan tangan yang kini ditarik kembali oleh pemiliknya. Apa lelaki ini sengaja ingin menarik perhatiannya?

Tetapi ketika Jihan mendongak untuk menatap sekilas ke arah Rangga, lelaki itu tampak tidak menggubrisnya. Ia sibuk bersikap ramah kepada pramusaji yang menanyakan pesanan mereka. Sebenarnya, apa maksudnya?

“Kalau begitu, aku juga sama,” ujar Silvia sambil tetap menunduk untuk memerhatikan gambar nasi goreng berwarna hitam karena tinta cumi-cumi, dengan potongan udang dan cumi-cumi berbentuk cincin. Kemudian ia masih menyibukkan diri membolak-balik lembaran menu sambil bertanya, “kau ingin pesan apa, Jihan?”

“A-aku juga sama.” Tergeragap, Jihan kembali menunduk tidak fokus pada menu di hadapannya.

“Tiga nasi goreng seafood hitam,” gumam pramusaji sambil mencatat. “Minumannya?”

Orange juice,” kata Rangga. Lagi-lagi tanpa melihat menu yang berderet, seolah ia sudah menghafal menu apa saja yang ada di kedai ini.

“Aku juga.” Silvia tersenyum lebar sambil menutup buku menunya.

“Aku“ Mata Jihan bergerak cepat di antara deretan daftar minuman. “Espresso macchiato.”

Pramusaji itu membacakan ulang pesanan lalu mengambil kembali menu yang tadi dibawanya. Tetapi langkahnya tertunda ketika Rangga menginterupsi gerakannya.

“Tolong salah satu nasi gorengnya tanpa bawang goreng, ya.”

“Baik.” Pramusaji itu mengangguk dan memberi tanda pada catatannya.

“Kau tidak suka bawang goreng?” tanya Silvia ingin tahu begitu pramusaji itu berlalu. Sepertinya, ketika mereka makan berdua di sini tempo hari, Rangga tidak pernah protes tentang hal ini.

“Bukan aku. Tapi Jihan,” jawab Rangga sambil menggidikkan dagunya ke arah Jihan.

Sontak Jihan langsung salah tingkah diperlakukan seperti itu. Ia sendiri bahkan tidak terpikirkan tentang bawang gorengsi perusak rasa pada hidangan makan siangnya kali ini. Mengapa lelaki itu harus menunjukkan perhatiannya di hadapan Silvia seperti ini? Apalagi setelah itu Silvia langsung melirik sekilas ke arahnya, membuat Jihan merasa rikuh.

“Wah, ingatanmu kuat sekali.” Ucapan Silvia itu terdengar sepert sindiran tajam bagi Jihan.

“Mana mungkin aku lupa,” sahut Rangga lantas terkekeh perlahan. “Pernah suatu ketika kami makan bersama teman sekelas, dia heboh melihat taburan bawang goreng di atas nasi gorengnya.”

Bibir Silvia membulat lantas ikut terkekeh. Sementara Jihan tampak tersipu rikuh menyadari kejadian memalukan itu terlintas kembali dalam ingatannya. Dasar Rangga sialan! Ia hanya bisa mengumpat dalam hati. Sama sekali tidak ada keinginan untuk membalas perkataan lelaki di hadapannya.

“Omong-omong, Jihan. Apa kau akan datang acara reuni bulan depan?”

“Reuni?” Alis Jihan terangkat, sedikit bingung dengan perubahan topik yang begitu tiba-tiba. Lagi pula, bagaimana bisa lelaki ini bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka berdua?

“Ya. Reuni SMA kita. Apa kau belum menerima undangannya?”

“Ha?”

“Oh. Benar juga. Pasti teman-teman kita tidak memiliki alamat tempat tinggalmu yang sekarang.” Kepala Rangga mengangguk-angguk ketika menyadari hal itu. “Atau mungkin hanya aku yang tahu kalau kau kembali ke kota ini.”

Jihan terdiam, sama sekali tidak bermaksud menanggapi kata-kata Rangga.

“Reuni itu... apakah aku boleh ikut?” Dengan hati-hati, Silvia mencoba memasuki topik yang sedang berlangsung di hadapannya. “Aku tidak memiliki teman SMA yang tinggal di sini.”

Sejak berusia lima belas tahun, Silvia memang tinggal bersama nenek dari pihak ibunya di London. Jadi, ia mengenyam pendidikan menengah hingga kuliahnya di kota yang memiliki bianglala raksasa itu.

“Kau yakin tidak akan merasa bosan di sana?” Rangga berusaha menghalau keinginan Silvia. “Kau, kan, bukan alumni sekolah itu.”

“Tidak masalah. Aku yakin akan banyak teman-teman kalian yang datang bersama suami atau istri mereka. Jadi..., aku bisa datang sebagai pasanganmu.” Silvia tersenyum menunjukkan deretan giginya yang putih.

 “Ide bagus,” sahut Jihan kemudian, mendukung usulan Silvia.

Silvia mengerling terima kasih ke arah Jihan. Sedikit banyak, tujuan ia sebenarnya adalah ingin mengenal Rangga melalui teman-teman SMA lelaki itu. Karena selama ini, informasi yang didapatnya dari Jihan tidak pernah memuaskan hasrat ingin tahunya.

Rangga melirik protes ke arah Jihan, tetapi gadis itu mencoba tidak mengacuhkannya. Yang benar saja! Apa gadis ini sama sekali tidak memiliki keinginan untuk datang bersamanya ke reuni itu?

“Tapi kau tidak mengenal teman-teman SMA-ku,” ujar Rangga dengan nada ragu. “Apa kau tidak takut nanti akan merasa... hem... canggung?”

“Siapa bilang aku tidak mengenal teman SMA-mu?” sanggah Silvia dengan nada riang. “Aku mengenal Jihan.”

Rangga mengikuti tatapan Silvia yang kini terarah ke arah Jihan. Dan gadis itu membalas kata-kata  Silvia dengan tertawa. Tentu saja tawa yang tidak ditujukan untuk dirinya. Semakin lama suara tawa itu semakin terasa jauh, hingga hanya menyisakan gaung di sudut benaknya.

Tidak pernah Rangga mengira bahwa sebuah ciuman seolah mampu merentangkan jarak ribuan kilometer di antara mereka.

***

Jihan mengurai tawa sekilas menanggapi kata-kata Silvia. Memang benar gadis itu mengenal dirinya sebagai alumni dari SMA itu. Hanya saja, ia sendiri tidak berniat datang ke acara reuniatau apapun itu yang berpotensi membangkitkan kenangan di antara dirinya dan Rangga.

Seorang pramusaji berjalan melewati meja mereka dengan langkah kikuk. Jihan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengalihkan perhatiannya dari perdebatan kecil di hadapannya. Ia bertopang dagu di atas meja, sambil membiarkan kepalanya bergerak mengikuti pramusaji yang tadi lewat.

Pramusaji itu tampak kurang percaya diri. Mungkin pegawai baru, duga Jihan. Tangannya tampak gemetar memegang nampan. Senyumannya kaku dan tidak terlatih. Ketika ia mengantarkan pesanan ke sebuah meja di dekat jendela, pramusaji itu berusaha menyapa seramah mungkin walaupun kerutan gugup mencuat di setiap sudut wajahnya.

Entah mengapa, Jihan merasa pramusaji itu lebih mirip aktris amatir di atas panggung teater. Sekuat tenaga ia harus merahasiakan perasaan yang sesungguhnya dan menampilkan peran yang diingkan orang-orang. Ah, entah mengapa itu terdengar seperti dirinya sendiri.

Jihan mendengar helaan napas Rangga yang menginterupsi lamunannya.

“Baiklah kalau begitu. Asalkan Jihan tidak keberatan kita datang bertiga,” ujar Rangga mengakhiri perdebatannya dengan Silvia. Terdengar nada memohon dari kalimat terakhir yang diucapkan lelaki itu. Entah memohon untuk apa.

Kepala Jihan berputar cepat mendengar namanya disebut.

“Berempat,” ralat Silvia begitu perhatian Jihan kembali kepadanya. “Kita ajak juga Julian. Sebagai pasangan Jihan.”

Baru saja Jihan membuka bibirnya ingin menyatakan penolakan dan sanggahan atas usulan Silvia. Tetapi apa pun yang hendak dikatakan Jihan, urung terucap karena saat itu sang pramusaji kikuk datang ke meja mereka mengantarkan tiga porsi nasi goreng beraroma sedap yang membuat gemuruh di lambung Jihan bersorak gembira.