Kamis, 28 Juli 2016

Purple Maple (Sepuluh)


KALILA berlari-lari kecil menaiki tangga menuju kamarnya. Sebenarnya, ia masih memiliki banyak waktu. Tepatnya lima jam lima puluh tujuh menit lagi sebelum Diego datang menjemputnya pukul setengah lima nanti.

Ini hanya makan malam biasa. Berulang kali Kalila menanamkan mantra itu dalam benaknya. Berusaha untuk meredakan kepakan di dalam perutnya. Entah mengapa sebagian kecil hatinya mengharapkan sesuatu yang istimewa dari ajakan Diego kali ini. Mungkin saja karena ini ajakan makan malam pertama sepanjang perkenalannya dengan lelaki itu.

Tadi mereka baru saja selesai makan siang seperti biasa saat ajakan itu terlontar. Yang benar saja? Entah mengapa acara makan siang itu mulai terdengar seperti rutinitas. Lalu mengapa juga Kalila harus merasa istimewa dengan ajakan makan malam?

Kalila menampar dirinya secara mental. Matanya terpejam dengan kepala yang menggeleng. Lalu tiba-tiba saja ia tertegun saat menggenggam gagang pintu kamarnya yang terasa hangat. Seolah ada seseorang yang baru saja masuk atau keluar dari kamarnya. Ah, lupakan. Mana mungkin itu terjadi. Lagipula pintunya masih dalam keadaan terkunci seperti terakhir kali ia meninggalkan kamarnya sebelum berangkat kuliah tadi pagi. Mungkin ia hanya terlalu gugup.

Ini hanya makan malam biasa.

Ini hanya makan malam biasa.

Ini hanya makan malam biasa.

Kalila kembali mengulang mantranya sambil membuka lemari pakaiannya. Ia mengeluarkan satu persatu pakaian terbaiknya. Selain coat  dan parka tentu saja. Tetapi tidak satu pun dari gaun-gaun itu yang memenuhi ekspektasinya.

Kalila mengerang kesal. Tidak cukup waktu untuk berbelanja pakaian sekarang. Mata Kalila kembali menimbang-nimbang pada gaun-gaun yang tergeletak di atas tempat tidurnya.

Oh, ayolah. Ini hanya makan malam biasa. Kalila memperingatkan dirinya sendiri. Seharusnya pakaian yang mana saja tidak akan menjadi masalah.

Perdebatan batinnya terputus saat ponsel Kalila berbunyi nyaring. Cepat-cepat, ia mengeluarkan ponselnya yang masih berada dalam tas yang tadi dibawanya. Tetapi sayangnya, telepon itu sama sekali tidak menyelamatkannya dari kebimbangan. Karena jantungnya semakin berdebar lebih cepat saat matanya melirik nama yang muncul di layar ponsel.

Kalila menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia berdeham pelan sebelum menempelkan ponsel ke telinga. Oh, semoga suaranya terdengar biasa saja saat menyapa si peneleponnya.

“Halo?”

“Jangan lupa dengan janji makan kita malam ini,” sambut suara ramah di ujung sana. Kalila seakan bisa melihat jelas lelaki itu sedang tersenyum hanya dengan mendengar suaranya. “Aku harap kau tidak sedang kebingungan memilih pakaian sekarang.”

Sial. Sejak kapan lelaki ini punya intuisi yang bagus tentang dirinya?

“T-tentu saja tidak,” sanggah Kalila cepat. Ia berharap kebohongannya tidak tergambar jelas dalam suaranya. “Aku sedang... um, belajar sekarang.”

“Oke, Mahasiswi Teladan,” sahut Diego lantas tertawa kecil. “Sampai bertemu nanti.”

“Ya, ya. Cepat urus kuliahmu sana!” omel Kalila sambil memutus sambungan telepon mereka. Detik berikutnya ia sudah merebahkan diri di atas gaun-gaun yang belum dipilihnya.
***

Diego menyeringai geli menatap sekilas layar ponselnya sebelum meletakkan benda itu pada jok mobil yang tadi diduduki Kalila. Walaupun baru saja bertemu, entah mengapa ia merasa rindu mendengar omelan gadis itu setiap kali ia berhasil menjailinya. Tetapi perasaannya itu harus diredam untuk sementara waktu. Kalau tidak, ia bisa membuat lecet mobil-mobil lain yang memadati area parkir fakultasnya ini.

Beruntung, Diego bisa menemukan tempat kosong di samping sebuah mobil hatchback. Tanpa menunggu lama, ia langsung memarkirkan mobilnya di sana. Saat keluar dari mobil, ia baru menyadari seorang lelaki yang sedang berdiri bersandar pada mobil berwarna silver stone itu.

“Bisa bicara sebentar?” tanya lelaki itu tajam.

“Denganku?” Diego balas bertanya begitu menyadari mobil ini sama dengan mobil yang melaju di depan Rainbow Cafe tadi.

“Kulihat, kau cukup akrab dengan Kal. Memang ada hubungan apa di antara kalian?” tanya lelaki itu sambil memasukkan tangannya ke dalam saku jeans-nya.

“Memang apa urusannya denganmu?” balas Diego menolak bersikap ramah.

“Kalau kau memang pacarnya, aku akan berhenti mendekatinya,” jawab lelaki itu sambil melempar tatapan tajam. “Kalau bukan, aku harap kau menjauhi Kal.”

Diego mendenguskan tawa sebelum memandang lurus pada lawan bicaranya. “Ya. Aku memang pacarnya.”
***

Kalila mematut dirinya sekali lagi di depan cermin. Midi dress ungu yang dikenakannya mungkin tampak berlebihan untuk sebuah makan malam biasa. Tetapi untuk apa ia memikirkan hal itu? Bukankah tidak ada seorang pun yang ingin dibuatnya terkesan, kan? Penampilannya malam ini hanya untuk dirinya sendiri.

Rambut Kalila yang di-blow ringan sengaja dibiarkan tergerai jatuh ke bahunya. Polesan lipstik merah muda pada bibirnya dengan sentuhan pop purple eyes yang serasi dengan gaunnya. Ia memilih pump shoes hitam untuk menggantikan tugas chukka boots kesayangannya.

Seulas senyum hinggap di bibir Kalila saat ia menatap penampilannya sendiri di cermin. Perfecto. Mungkinkah Diego juga akan menganggap penampilannya mengagumkan? Seolah tersadar, detik berikutnya ia sudah menggelengkan kepala. Untuk apa ia memikirkan Diego? Lelaki itu pasti tidak akan peduli.

Kalila tersentak saat ponselnya bergetar dan menampilkan nama seseorang yang baru saja dipikirkannya. Sambil berusaha mengatur debaran manis yang nyaris memorakporandakan isi hatinya, ia menjawab panggilan itu.

“Aku sudah di bawah.”

Suara yang dalam itu langsung menyentuh pendengarannya bahkan sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata sapaan. Buru-buru Kalila meraih tasnya, memeriksa penampilannya di cermin sekali lagi, dan keluar dari kamarnya. Sebelum melangkah turun, ia memastikan pintunya sudah terkunci dengan benar.

Begitu tiba di bawah, Kalila mendapati sebuah mobil sedan sport hitam terparkir di depan pagar rumah indekosnya. Seorang lelaki dengan kemeja hitam tanpa dasi berdiri angkuh di samping pintu penumpang. Sebuah senyum atau seringai, Kalila tidak bisa memastikannya, langsung terbit di sudut bibir lelaki itu begitu ia menyadari kehadiran Kalila.

Lelaki itu bergerak membukakan pintu untuk Kalila dengan gaya seorang gentleman. Kemudian ia mengitari kap mobil dan duduk di balik kemudi. Sebelum ia menyalakan mesin mobil, Kalila menyentuh ringan bahunya.

“Boleh mampir dulu ke suatu tempat?”
***

Kalila dan Diego menapaki hamparan hijau yang luas. Sementara langit yang berangsur jingga melukiskan senja di ufuk barat. Patung-patung malaikat dan juga panteon tampak berjajar rapi di antara petak-petak yang terbagi dan berhiaskan beragam jenis bunga. Sedikit mengingatkan pada taman di kastel ala Eropa.

Tempat peristirahatan terakhir yang satu ini memang tampak begitu asri dengan pepohonan hijau yang meneduhkan. Angin bermbus semilir membawa semerbak aroma bunga. Benar-benar jauh dari kesan suram yang biasanya melekat pada suasana area pekuburan.

Tanpa banyak bertanya, Diego mengiringi langkah Kalila. Seperti biasa, penampilan gadis itu lagi-lagi memukau indra penglihatannya. Seolah tanpa harus bersusah payah, Kalila selalu memiliki daya tarik tersendiri baginya. Entah karena segenggam perasaan yang merajai hatinya atau gadis itu memang berniat memikatnya.


Diego tersentak dari lamunannya saat Kalila tiba-tiba berhenti melangkah di depan sebuah petak berukirkan sebaris nama. Diego berasumsi itu adalah nama seorang gadis. Kalila meletakkan sekumpulan bunga Lili putih dalam pot yang dibawanya ke samping nisan. Sekumpulan bunga lainnya tumbuh subur dalam pot yang berjajar di belakang nisan. Sejenak, Kalila tampak terdiam dengan kepala tertunduk, sebelum akhirnya wajah cantiknya terdistorsi seulas senyum sedih.

Begitu mereka sudah kembali duduk di dalam mobil, Diego tidak bisa lagi menahan pertanyaan untuk meluncur dari bibirnya.

“Siapa itu Evelyn?”
***

Selalu seperti ini.

Perasaan itu selalu saja menghinggapi hati Kalila setiap kali ia usai berkunjung ke pemakaman ini. Seolah ada secuil bagian dalam dirinya yang berubah kosong. Rasa sesal yang menggerogoti tanpa mau tahu bahwa waktu tidak mungkin bisa diputar kembali. Kurang lebih sama dengan perasaannya saat mengetahui Diego terluka. Tetapi ia bersikap pengecut dan tidak melakukan apa-apa.

“Siapa itu Evelyn?”

Suara Diego sontak membuyarkan lamunan Kalila. Ia menoleh dan mendapati lelaki itu tengah menatapnya dengan kening berkerut tanda tanya. Tentu saja Diego akan bertanya. Itu sangat jelas. Dan ia sendiri juga memang tidak berniat menyembunyikan apa pun.

“Evelyn... adalah adik kelasku... adik kelas kita dulu.”

Kening Diego semakin mengernyit karena berusaha mengingat nama yang tidak terlalu familier di telinganya itu. “Kau akrab dengannya?”

Kalila menjawab pertanyaan Diego dengan sebuah gelengan lemah. “Aku ‘mengenal’ dia bukan dengan cara yang baik. Waktu itu sebelum aku bertemu denganmu.”

Diego memasang telinganya baik-baik sambil kembali menjalankan mobil. Pandangan Kalila terpaku sejenak pada area pemakaman yang mulai menjauh. Sepasang mata gadis itu berubah sendu dan Diego ingin tahu apa penyebabnya.

Kalila menghela napas berat, bingung harus memulai dari mana. “Teman-temanku saat itu,” ujarnya dengan hidung berkerut seolah jijik mendengar kalimatnya sendiri. “Salah satu dari mereka pernah memiliki masalah dengan Evelyn. Dan entah bagaimana caranya, dia berhasil menularkan kebencian itu pada orang lain, termasuk aku, hingga membuat kami setuju untuk bergabung dalam rencananya.

“Tanpa mencoba memahami masalah yang masih samar-samar itu, kami sengaja mencegat Evelyn di salah satu koridor sekolah yang sepi. Kami menyeretnya ke kamar mandi, menghujatnya dengan kata-kata kasar, dan melakukan hal buruk lainnya,” jelas Kalila susah payah, nyaris seperti hendak mengigit lidahnya sendiri. “Aku tidak pernah melihatnya lagi di sekolah setelah itu.”

Diego meraih tangan Kalila dan menggenggamnya penuh kelembutan. Seakan-akan ia bisa menyalurkan kekuatan melalui ujung jemarinya.

“Hingga suatu hari, aku tidak sengaja mendengar percakapan guru tentang murid yang meninggal bunuh diri. Pihak keluarga meminta sekolah merahasiakan aib itu rapat-rapat,” lanjut Kalila dengan suara tercekat. “Dan perasaan bersalah menghantuiku dalam-dalam begitu mengetahui itu adalah Evelyn.”

Perlahan, Diego membawa mobilnya menepi. Ia merasa kesulitan membagi konsentrasinya pada jalan di depannya atau gadis di sampingnya.

“Apa kau yakin itu ada hubungannya dengan ‘perkenalan’ kalian waktu itu?“ Susah payah Diego mencoba meminjam pilihan kata yang tidak terlalu menyinggung perasaan Kalila.

Kalila mengangguk. “Semuanya terlalu kebetulan jika dikatakan tidak berhubungan.” Sejenak, ia terdiam saat merasakan napasnya berubah sesak. Begitu bisa kembali bernapas dengan normal, ia melanjutkan, “Mungkin satu-satunya kebetulan adalah Evelyn meninggal tepat di hari ulang tahunnya. Seminggu setelah hari ulang tahunku.”

Sejak mengetahui kenyataan itu, Kalila berangsur menjauh dari kelompok populer itu. Ia tidak ingin lagi terlibat dalam masalah serupa. Maka, ia menyendiri ke tempat yang paling dihindari teman-temannya; perpustakaan. Tempat itu terlalu membosankan bagi mereka yang hobi merumpi. Dan pengkhalwatan itu yang membawanya bertemu dengan Diego.

“Tapi aku tidak menyangka, hal itu terulang lagi padamu.” Kalila bisa mendengar dengan jelas suaranya yang serak dan nyaris pecah menjadi isakan air mata.

Sosok Diego yang berlinang darah memenuhi kelopak matanya. Tidak ada hal lain yang terpikirkan selain kabur dan pindah ke kota di mana Evelyn dimakamkan. Setiap hari ia datang mengunjungi makam Evelyn. Hingga setitik pikiran buruk membuatnya berharap bisa ikut mati dan terlepas dari perasaan bersalahnya.

Kalila tahu benar bahwa ia tidak termaafkan. Evelyn tidak meninggal karena bunuh diri. Kebodohan Kalila yang sudah membunuh gadis itu. Diego tidak terluka karena tergelincir saat memanjat pohon maple. Keegoisan Kalila yang sudah melukai lelaki itu.

“Maafkan aku,” ujar Kalila lagi. “Semua gara-gara aku.”

Tidak perlu menunggu diminta, Diego langsung merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Kemudian berulang kali ia mengusap punggung yang sudah menanggung perasaan bersalah yang mengurung.
***

“Astaga, kau serius kita akan makan malam di sini?” tanya Kalila dengan nada cemas.

Saat ini Kalila dan Diego sudah berada dalam lift yang akan mengantar mereka ke lantai teratas hotel bintang lima itu. Begitu mengetahui restoran macam apa yang mereka datangi, Kalila langsung menyesali penampilannya. Seharusnya tadi ia mengenakan long dress atau gaun lain yang lebih elegan dan pantas.

“Ya.” Diego mengangguk membenarkan. “Memang kenapa?”

Ah, benar juga. Kalila mengembuskan napas berat. Bagaimana ia bisa lupa? Bagi Diego—dan mungkin sebagian besar lelaki lainnya—masalah pemilihan gaun seperti ini bukanlah hal yang penting.

“Lupakan,” gumam Kalila lirih, beberapa detik sebelum pintu lift terbuka.

Tanpa meminta izin lebih dahulu, Diego langsung menggenggam tangan Kalila dan menarik gadis itu masuk. Lelaki itu sepertinya sama sekali tidak peduli dengan badai yang mulai mengaduk perasaan Kalila. Bahkan dengan kurang ajarnya, lelaki itu malah tersenyum penuh kemenangan.

“Hentikan.”

“Apa?” Diego menghentikan langkahnya dan menatap Kalila dengan perasaan tidak bersalah.

“Sepertinya kau terlalu menikmati ini,” gerutu Kalila sambil menggerakkan tangannya yang digenggam Diego. “Lihat, kau sampai menyeringai begitu.”

“Aku hanya merasa bahagia. Memangnya salah?”

Kalila melirik sekilas pada lelaki di sampingnya. “Aku yakin kau sudah sering mengajak gadis lain makan malam seperti ini.”

“Jadi kau cemburu?”

“Tidak!” sanggah Kalila cepat.

Diego terkekeh. “Tenang saja, aku tidak akan begitu.”

“Sudah kubilang, ti

Seorang pramusaji datang menyambut dan menghentikan perdebatan kecil itu. Lelaki berdasi kupu-kupu itu mengantarkan Kalila dan Diego ke meja yang berada di samping sebuah jendela kaca besar. Suasana restoran itu cukup tenang dengan alunan musik klasik yang memenuhi ruangan. Sama sekali tidak ada pikuk yang mengganggu pendengaran. Bahkan jarak antar mejanya membuat para pramusajinya bergerak leluasa.

“Wah, indah sekali.” Kalila berdecak kagum saat melihat ke luar jendela. Pemandangan langit malam dengan bulan yang bertengger tenang di hadapannya seperti sebuah lukisan raksasa. Untuk sesaat ia seolah bisa melupakan segala perasaan yang menghimpit dadanya.

“Sayangnya, restoran ini tidak memiliki balkon,” gumam Diego sambil ikut melempar pandangan pada apa yang menarik perhatian Kalila di luar sana.

Kening Kalila mengernyit. Dan ia menatap Diego dengan wajah bertanya-tanya. “Memang kau kira, orang gila mana yang mau makan malam di balkon gedung setinggi ini?”

Diego mengangkat bahu. “Mungkin kita bisa bermain Jawab Tiga Detik sekali lagi? Banyak yang ingin kutanyakan. Oh, dan juga, kau belum menjawab pertanyaanku waktu itu.”

Punggung Kalila menegak saat teringat pada pertanyaan yang dimaksud Diego. Tentang mana yang lebih ia sukai: Diego yang dahulu atau yang sekarang. Tetapi rasanya, bukan saatnya ia menjawab pertanyaan itu.

“Apa itu penting bagimu?” tanya Kalila sambil melipat lengannya di atas meja.

Diego tidak langsung menjawab. Seorang pramusaji datang menginterupsi obrolan mereka demi menghidangkan semangkuk yoghurt beku bertabur potongan stroberi dan kiwi.

“Sangat penting,” ucap Diego begitu pramusaji itu undur diri dari meja mereka. “Jadi, aku bisa menyiapkan banyak hal untuk ulang tahunmu. Bukan hanya sekadar pemandangan bulan dan semangkuk yoghurt.”

Tanpa dinyana, raut wajah Kalila merona kemerahan mendengar kata-kata Diego. Entah bagaimana caranya, tetapi sebaris kalimat itu seolah mampu menyentuh dasar hati Kalila dengan tulus. Seulas senyum bahagia menghias wajah gadis itu tanpa bisa dicegah.
***

Senyuman itu masih betah bertengger di sekujur bibir Kalila. Bahkan ketika ia sudah berada di dalam bangunan indekosnya. Langkah-langkahnya di anak tangga terasa ringan. Tidak sabar untuk segera bertemu hari Sabtu, hari ulang tahunnya. Hingga tanpa sadar, ia sudah tiba di depan kamarnya.

Saat ia akan mengeluarkan kunci dari dalam tasnya, ponselnya berdering. ‘My Hero Diego’ tertulis di layar ponselnya. Keningnya mengernyit. Kapan ia pernah mengubah nama kontak Ah, Kalila teringat tadi lelaki itu meminjam ponselnya lalu menggerakan jarinya pada layar sambil tersenyum. Ya, senyum menyebalkan itu. Senyum yang disukai Kalila.

Kalila berdeham, lalu menjawab panggilan itu. “Ya?”

Apa My Lil Princess sudah tiba di kastelnya yang hangat?

Senyum Kalila melebar nyaris tertawa, tetapi ia menahannya dengan mengerucutkan bibir. “Sudah kubilang, hentikan panggilan norak itu. Dan juga kenapa kau mengganti nama kontakmu?”

Diego tertawa di seberang sana. Sekilas, terdengar bunyi klakson samar mengiringi suara tawanya. “Karena aku tahu kau sebenarnya menyukai panggilan norak itu.

“Hei, hei. Jangan membiasakan diri menyetir sambil menelepon,” ucap Kalila saat tangannya mengambil kunci dari dalam tas. Tetapi kunci itu tergelincir dari jemarinya lalu jatuh dengan bunyi gemerincing. “Kau tahu, kan, itu bahkan sudah diatur dalam undang-undang keselam

Dan seketika itu juga Kalila membeku. Lama, gadis itu terpaku. Seolah ada jerat tidak kasatmata yang membatasi gerakannya. Hingga akhirnya ia memungut kunci dari atas lantai sambil memerhatikan dengan saksama apa yang dilihatnya.

Halo? Lil Princess?” panggil Diego bingung pada omelan Kalila yang terputus.

Karena gadis itu baru saja menyadari potongan selotip bening yang tadi sengaja ditempelkannya melintangi kosen dan sudut pintu, satu sisinya sudah terlepas. Padahal ia bahkan belum menyentuh pintu sama sekali.

Ia menelan ludah. Matanya melirik perlahan ke lorong yang sepi, seolah takut ada yang mengawasi.  Seluruh lengannya mulai merinding saat ia menyentuh gagang pintu kamar yang terasa hangat.

Kalila?” Ia tidak menghiraukan suara Diego yang berubah panik sekarang. Karena ia juga tidak kalah panik.

Kali ini, Kalila tidak ragu lagi.

Seseorang sudah memasuki kamarnya.


Jumat, 22 Juli 2016

Green Eyed - Chapter 9



Di sebuah area rumah sakit yang berarsitektur megah layaknya Istana Buckingham, tampak seorang gadis tengah berjalan mondar mandir di sepanjang lorong. Kemudian ia duduk di sebuah ruang tunggu, memainkan ponselnya sejenak lalu berdiri lagi. Ia menghela napas panjang ketika beberapa perawat terlihat keluar dari sebuah kamar yang terletak di ujung lorong.

Seketika keheningan tercipta setelah beberapa perawat tersebut memasuki kamar lain. Gadis itu menegapkan punggungnya, melangkah anggun bak seorang supermodel. Tumitnya beradu dengan lantai granit, menghasilkan bunyi konstan yang dramatis. Jemari gadis itu meraih gagang pintu, perlahan memutarnya sebelum menggumamkan semangat untuk dirinya sendiri.

Sepasang mata sewarna zamrud menatapnya penuh tanya, disusul seulas senyum simpul menyambut kedatangan gadis itu. Ia menelan ludahnya dengan susah payah, mencoba menarik kembali suaranya yang sesaat meninggalkannya tunggang langgang dilanda kegugupan.

“Hai.” Sapa gadis itu dengan senyum kaku.

“Hai,” mata sewarna zamrud itu mencoba mencari tahu siapa gadis yang tengah berdiri di hadapannya. “Maaf, apa kau mengenalku?”

“Em… a-aku Elena.” Ujar gadis itu gugup. Seulas senyum kembali menghiasi bibir pucat milik lawan bicaranya. “A-aku… em… maaf, sebenarnya aku salah satu orang yang menabrakmu. Maksudku aku berada di mobil yang sama saat itu. Aku ingin minta maaf padamu, aku…”

“Aku yang seharusnya minta maaf.” Senyum gadis itu mulai surut, mata hijaunya menerawang dinding berwarna krem yang dihiasi lukisan abstrak berwarna pastel yang terkesan pucat. Terlihat gurat kesedihan dalam wajahnya.

“Elena, maafkan aku yang membuatmu dalam posisi sulit.” Mata hijau itu kembali menatap Elena. “Aku Trisia.”

Elena memerhatikan gadis itu, wajahnya yang tirus dan pucat membuatnya semakin merasa bersalah. Elena menebak-nebak bagaimana perasaan Trisia saat kekasihnya meninggalkannya. Tiba-tiba ia teringat dengan Nico. Elena mengembuskan napasnya yang terasa menyesakkan dada.

Sejak saat itu, hampir setiap hari Elena menjenguk Trisia di rumah sakit. Setidaknya ia ingin membantu gadis itu untuk melupakan kesedihannya.Ini tentang perasaan dan Elena tahu tak akan mudah membuat gadis itu bangkit dari keterpurukannya.

“Apa kau mau jalan-jalan?” Tanya Elena saat gadis itu masih menikmati makanannya. Trisia sudah pulang dari rumah sakit sejak hampir sebulan yang lalu. Seharusnya itulah kesempatan Elena untuk menjauh dari kehidupan gadis itu, tetapi ia justru merasa nyaman berada di dekatnya. Selama ini dia tak memiliki teman, dan gadis itu adalah satu-satunya teman yang tulus bagi Elena.

Trisia menggeleng. “Aku akan pulang ke rumah setelah ini, Harry bilang akan menjemputku.” Ujar gadis itu lembut. Dia memang orang yang tenang, sangat berbanding terbalk dengan sifat Elena. Itulah yang terkadang membuat orang lan tak menyadari kesedihannya. Terkadang, Elena sibuk menduga, seberapa kecewa hati Trisia saat menyadari  bahwa Elenalah yang telah membnuh kekasihnya.

“Baiklah.” Ujar Elena mengalah yang kemudian disusul oleh suara maskulin yang mencuri perhatian mereka.

Elena POV
Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang lain dari biasanya. Lelaki itu menghampiri kami, menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan dengan pasti. Kurasa tatapan itu berarti buruk. Aku merasa dia menyimpan sesuatu dan aku masih mencoba mereka-reka perasaan canggung ini.

“Apa kau baik-baik saja?” Tanya Trisia pada lelaki itu. Mungkin ia juga merasakan kejanggalan pada lelaki itu. Terlebih saat menatapku.

“Aku baik-baik saja, ayo kita pulang.”

Hanya itu kalimat yang dikatakannya sebelum menuntun Trisia kelar dari kafe yang didominasi warna pelangi tersebut. Ia bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun padaku seperti biasanya. Hari ini lelaki itu tampak jauh lebih dingin. Sejenak kuasakan bulu kudukku merinding. Mungkinkah ia menyadarinya?

Aku memainkan sedotan pada gelas tinggi yang tersemat sebuah stroberi pada bibir gelasnya. Sibuk memikirkan perubahan tingkah lelaki itu. Jika memang kenyataannya lelaki itu menyadari bahwa akulah penyebab adiknya meninggal, apakah dia masih akan menuntutku? Memikirkan membuatku ngeri. Mungkin aku perlu istirahat sekarang.

Suara ponselku berdering tepat ketika aku memasuki sebuah taksi. Nico. Aku tersenyum menyadari bahwa aku merindukan lelaki itu. Sudah dua hari ini ia berada di luar kota karena tugas yang diberikan oleh perusahaan tempatnya bekerja.

“Halo, sayang.” Ujar lelaki itu setelah nada sambung berganti dengan suaraku. “Bagaimana kabarmu?”

“Aku baik. Bagaimana dengan pekerjaanmu di sana?” Sudah dua minggu Nico tak lagi mengurus perusahaan ayahnya. Ia kembali bekerja di kantor pajak dan kebetulan sebuah tugas perusahaan tempatnya bekerja harus memisahkan kami sejenak. Mungkin ini terdengar kekanakan, tapi jauh darinya membuatku gelisah.

“Cukup melelahkan. Apalagi aku tak bisa melihatmu.” Suara itu terdengar hangat diikuti tawa kecil yang lolos dari bibirnya. “Aku tidak tahan berada jauh darimu.”

“Aku merindukanmu.” Tiba-tiba rasa kesepian menelusup dalam hatiku. Pikiran tentang Harry berkecamuk dalam benakku. Aku menggigit bibirku, sejenak tenggelam dalam lamunan singkatku.

“Elena, kau baik-baik saja?” Suara Nico menyadarkanku kembali. Dan aku sepenuhnya mengalihkan perhatianku pada benda kecil yang menempel pada telingaku.

“Ak baik-baik saja, Nick.”

“Baiklah, aku akan menelponmu lagi nanti malam. Jaga dirimu baik-baik, sayang.”

Aku mengembuskan napas besar yang terasa mengganjal tenggorokanku setelah menutup telpon dari Nico. Aku masih berharap bisa berbicara lebih lama dengannya. Mungkin aku masih harus lebih bersabar lagi.

Nico POV
Aku masih memandangi wajah Elena yang menjadi wallpaper  di ponsel empat inci milikku. Entah mengapa sejak semalam aku merasa ada sesuatu yang mengganjal hatiku. Beberapa pekerjaan masih harus kuselesaikan hari ini sebelum besok aku kembali.

Aku masih memandangi ponselku sementara pikiranku tenggelam oleh Elena. Sejak kemarin Evan jga tak berada di rumah karena urusan pekerjaan. Meninggalkan Elena sendiri membuat pikiranku tidak tenang. Terlebih setelah mimpi semalam. Mimpi yang cukup buruk yang membuatku terbangun dengan suasana hati yang cukup buruk.

“Nico, bersiaplah, sebentar lagi kita akan melakukan inspeksi ke kantor cabang Lockhold.” Ujar seorang pria berbadan tambun yang kuketahui bernama Bram. Aku mengangguk, kemudian beranjak dari kursiku untuk segera bergabung dengan timku.

Inspeksi di kantor cabang Lockhold Inc dilakukan dengan teliti oleh tim kami. Aku sedikit terganggu saat kudengar getaran ponselku yang tak berhenti sejak beberapa menit yang lalu. Konsentrasiku terbagi lantaran ponselku yang tenang sejenak kembali mencari perhatianku. Tentu saja aku tak bisa mengangkatnya dalam situasi seperti ini. Aku hanya berharap agar pekerjaan ini cepat selesai.

Semburat kemerahan telah bertahta di langit senja. Tugasku telah selesai lima menit yang lalu. Aku bergegas meraih ponsel dengan tujuh belas panggilan tak terjawab. Nomor Elena.

Aku mengernyit, untuk apa panggilan sebanyak itu dari Elena? Entah mengapa kekhawatiranku pada gadis itu semakin menjadi-jadi.

Tidak aktif.

Hal itu tentu saja membuatku semakin panik. Aku segera menghubungi Evan dan langsung tersambung tanpa perlu menunggu lama.

“Halo, Ada a…”

“Nick, aku di rumah sakit.” Suara seorang gadis yang sangat ku kenal. Suara itu bagaikan sebuah petir yang menyambar diriku. Membuat tubuhku terasa kaku.

“A-apa? Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?”

“Kita bicarakan nanti. Aku sedang dalam perjalanan. Maafkan aku, tapi aku akan menelponmu nanti.” Suara terisak itu membuat pikiranku kacau. Apakah sesuatu telah terjadi pada Elena?
***
Elena POV
Aku menyandarkan kepalaku di sebuah dinding marmer yang terasa dingin. Air mataku tak berhenti mengalir sejak orang-orang berseragam itu membawa Evan ke dalam ruang operasi. Sebuah mobil berkecepatan tinggi telah menabrak Evan tepat saat ia hendak menyeberang untuk menemuiku di kafe.

Bagiku, Evan adalah satu-satunya keluargaku, meski kenyataannya aku masih memiliki orang tua. Tetapi sejak kecil hanya dia yang selalu ada untukku. Hari sudah gelap. Guntur terdengar menggelegar, membuatku semakin tak sabar. Tiga jam telah berlalu, namun tak satupun tanda-tanda pintu operasi akan terbuka. Aku menunggu dengan cemas, bahkan peluh dingin masih mengucur dari pelipisku.

Aku mengusap wajahku yang basah, tak peduli bagaimana orang yang berlalu lalang terus menatapku iba. Tulangku terasa lunglai, seolah tak mampu lagi menahan beban tubuhku.

“Hati-hati.” Kata seseorang yang tiba-tiba mencengkeram kedua lenganku. Aku memicingkan mata. Pandanganku kabur akibat air mata yang terus membasahi mataku.

“Maaf. Terima kasih.” Ujarku sambil menghapus air mataku. Aku menatap lelaki itu dan pintu ruang operasi secara bergantian untuk memastikan apakah pria berpakaian hijau tersebut berasal dari dalam ruangan.

“Pendarahan di kepalanya sudah dihentikan tetapi dia masih belum sadarkan diri. Kami akan memindahkannya ke ruang ICU untuk sementara waktu.”

Bagaimanapun juga aku tak bisa bernapas lega. Evan masih belum sadarkan diri. Dan aku takut sesuatu akan terjadi padanya.

Pria itu menuntunku ke sebuah kursi yang berasa di sisi kiri koridor. “Saudaramu akan baik-baik saja. Siapa namamu?” Tanya pria itu.

“Elena.”

“Aku Andre, spesialis saraf di rumah sakit ini. Sepertinya beberapa bulan yang lalu aku sering melihatmu di sini.”

“Temanku pernah dirawat di rumah sakit ini.”

“Pantas saja aku sepertinya tak asing dengan wajahmu. Sekarang tanangkan dirimu, dan pergilah ke kantin untuk  mendapatkan segelas air. Saudaramu pasti akan baik-baik saja, aku menjaminnya.”

Aku bergeming. Kakiku masih terasa lemas, dan tak sedikitpun perasaanku menginginkan segelas air untuk dahagaku.

“Ayo, aku akan mengantarmu.” Kata dokter Andre mengulurkan tangannya untuk membantuku. Seberapapun aku menolak tampaknya dia tetap memaksaku. Hingga aku pun meraih uluran tangannya. Samar-samar aku melihat sesorang berdiri di belakang Andre dengan wajahnya yang merah padam.


Bersambung…

Kamis, 21 Juli 2016

Purple Maple (Sembilan)


KALILA melangkah memasuki area kampus dengan earphone yang menyumbat telinga, melantunkan musik-musik penuh semangat. Beberapa kali ia hampir tidak kuasa menahan diri untuk tidak menggerakkan tubuhnya. Ia ingin menarikan suasana hatinya yang saat ini sangat bertolak belakang dengan langit mendung di atas sana.

Mungkin saja itu adalah efek dari telepon dari Diego yang menderingkan ponselnya pagi ini. Lelaki itu mengajaknya pergi makan siang lagi hari ini. Kalila sudah mencoba menolak. Tetapi lelaki itu lagi-lagi mengingatkan janji Kalila untuk melakukan-apa-pun-demi-menebus-perasaan-bersalahnya. Jadi, yah, apa oleh buat. Ia tidak punya pilihan lain selain setuju, kan?

“Pagi, Kal,” sapa Erin sambil menyejajarkan langkahnya dengan Kalila.

“Pagi,” Kalila balas menyapa sambil melepas earphone-nya. Senyum lebar terlihat jelas di wajahnya. Tidak ada bayang-bayang topi yang menutupi sebagian wajahnya. Hari ini ia memilih untuk mengenakan sweter rajutan bertudung untuk membungkus sebagian kepalanya. “Oh, ya, sekali lagi aku minta maaf karena pulang lebih dulu. Lelaki itu tidak melakukan hal buruk padamu, kan?”  

Erin bisa melihat raut sesal dan khawatir berkelebat di sepasang mata cokelat terang itu. Tetapi ia tidak peduli dan hanya menggeleng. “Dia hanya semacam bajingan pengecut,” katanya sambil tertawa kecil.

“Syukurlah,” ucap Kalila sambil ikut tertawa. Ia lega semuanya baik-baik saja. Bagaimanapun, gadis ini sudah melindunginya kemarin. Jadi, seharusnya bisa dipastikan Erin juga bisa menjaga dirinya sendiri. “Kau juga ada kuliah pagi?”

Erin menggeleng. Anting dengan hiasan berbentuk bintang yang menyembul keluar dari sela-sela rambutnya yang dicat cokelat ikut bergoyang. “Aku juga mau ke kelasmu dan mengantarkan ini untuk Elliot,” jawabnya sambil mengangkat sebuah tas kecil berwarna biru serupa rok biku-biku yang dikenakan gadis itu.

Kalila tersenyum senang hingga menyentuh matanya. “Wah, kau pacar yang sangat perhatian rupanya.”

Alis Erin terangkat. Apa Kalila bermaksud menyindirnya? Hubungannya dengan Elliot terus saja jalan di tempat karena gadis ini tidak menyukai kedekatan mereka. Dasar hipokrit!

“Pagi, teman-teman,” sapa seseorang yang bergabung bersama mereka saat hendak menaiki tangga menuju lantai dua.

“Pagi, Val,” balas Kalila dan Erin nyaris bersamaan. Mereka menoleh dan mendapati Valeria tersenyum ramah. Sebuah jepit berhiaskan bunga krisan bertengger di kepalanya.

Erin bersiul samar. “Rambut baru, Val?”

Valeria tampak tersipu sambil memainkan ujung rambut berpotongan bob-nya. “Iya. Aku memotongnya sedikit. Cocok atau tidak?”

“Cocok, cocok. Kau terlihat lebih segar,” puji Erin  lantas menepuk bahu Kalila yang berjalan di tengah. “Iya, kan, Kal?”

Kalila mengerjap sekali, melenyapkan kerutan di antara alisnya. Ia mengangguk setuju pada pendapat Erin. Ia masih tertegun pada sesuatu yang mengusiknya. Hanya perasaannya saja atau parka biru dongker yang dikenakan Valeria memang mirip dengan miliknya yang berwarna terakota?

Valeria tersenyum simpul. “Sudah lama, ya, kita tidak pernah berkumpul bertiga seperti ini?”

Kepala Erin menganggut-anggut setuju. “Benar, benar. Apa kita perlu menjadwalkan makan siang bertiga hari ini?”

“Ide bagus,” sahut Valeria setuju.

“Oh, sepertinya aku tidak bisa. Aku sudah telanjur membuat janji lain,” tolak Kalila sambil meringis masam.

“Wah, sayang sekali,” desah Valeria kecewa.

“Tenang, tenang. Kita bisa pergi lain kali,” ucap Erin lantas tertawa menenangkan. “Kau ada jadwal kuliah pagi juga, Val?”

“Eh? Oh, tidak. Aku akan ke... perpustakaan,” jawab Valeria sedikit tergugu.

Kening Kalila mengernyit. Ia melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh tepat. Tinggal sepuluh menit lagi sebelum kuliah dimulai. “Tapi perpustakaan masih tutup jam segini.”

“T-tidak apa-apa, aku akan menunggu,” jawab Valeria lantas tersenyum rikuh. Kemudian punggungnya menegak ketika teringat sesuatu dan langsung merogoh tasnya. “Kal, aku ingin mengembalikan ini.”

Kalila menatap tangan Valeria yang terulur padanya. Tangan itu menggenggam topi yang sejenis dengan topi yang biasa dikenakan pemain bisbol. Ia menerima kembali benda itu. Topi miliknya yang pernah dibawa oleh Valeria tempo hari.

“Terima kasih, Val,” ujar Kalila sambil tersenyum.

Valeria menatap heran hingga kedua alisnya terangkat. “Kau tidak marah padaku, Kal?”

Kening Kalila berkerut bingung. Ia menoleh sekilas meminta petunjuk dari Erin. Tetapi gadis itu hanya mengangkat bahu dan menggeleng. “Kenapa harus marah?” tanyanya kemudian.

Yah, kupikir kau akan marah karena aku merebut topimu waktu itu,” jawab Valeria lirih.

Kalila menepuk akrab bahu Valeria seraya tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Lagi pula kau sudah mengembalikannya,” tukas Kalila lantas mengangkat topinya. “Sudah, ya. Aku ke kelas dulu.”

Valeria hanya mengangguk patuh. Ia menatap Kalila dan Erin yang berjalan menjauh ke arah koridor yang berlawan arah dengan tujuannya. Sementara jemarinya perlahan bergerak dan menyentuh bahunya yang tadi ditepuk Kalila.  
***

Elliot sedang berdiri di dekat jendela kelas yang mengarah langsung pada taman kampus di bawah sana. Ia memerhatikan suasana yang cukup lengang pagi ini. Titik-titik embun yang menggantung pada dedaunan membantu ia untuk bernapas sedikit lebih lega. Lalu, seolah memiliki radar di atas kepalanya, ia menoleh bersamaan dengan Kalila yang memasuki kelas.

Elliot berputar untuk langsung menyambut Kalila. Tidak lupa, ia memasang senyum terbaiknya pagi ini. “Pagi, Kal.”

“Pagi,” sahut Kalila seraya membalas senyum Elliot.

“Itu... aku sudah menyiapkan tempat duduk untukmu,” kata Elliot sambil menunjuk kursi di baris ketiga yang selalu menjadi posisi teraman. Tidak terlalu di belakang hingga dikira bermalas-malasan, tetapi juga tidak terlalu di depan hingga harus selalu menjadi sasaran dosen.

Kalila melirik sekilas pada tempat yang ditunjuk Elliot. Tas lelaki itu tergeletak di atas salah satu meja yang bersisian.

“Terima kasih, tapi aku ingin duduk di depan hari ini,” elak Kalila lantas menempati kursi yang paling dekat dengan meja dosen. “Omong-omong, ada yang menunggumu di luar.”

Kening Elliot mengernyit. “Siapa?”

“Temui saja langsung,” jawab Kalila sambil menggerakkan dagu untuk menunjuk ke arah pintu kelas yang terbuka. Bibir gadis itu mengulum senyum simpul.

Elliot menurut. Ia melangkahkan kaki ke luar kelas dan langsung mendapati Erin yang bersandar pada dinding koridor. Gadis itu tersenyum sambil melambaikan tangan padanya.   

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Elliot begitu mereka berdiri berhadapan.

Erin mengangkat tas berisi kotak bekal yang dibawanya. “Aku ingin mengantarkan sarapan untukmu.”

Elliot menatap tas itu lantas tersipu, mengundang senyum lebar di wajah Erin. Hingga tiba-tiba saja lelaki itu menarik lengannya menuju ujung koridor dan berbelok pada tangga darurat.

“Kau tadi datang bersama Kal?”

Erin mengangguk membenarkan fakta yang ditanyakan Elliot.

“Sudah kubilang, kan, jangan terlihat terlalu dekat denganku kalau ada dia

“Memang kenapa?” potong Erin cepat. “Apa pentingnya sih perasaan Kal untukmu?”

Elliot menghela napas lalu mengembuskannya kuat. “Bukan perasaan Kal yang kupikirkan, tapi perasaanmu. Aku tidak ingin merusak pertemanan kalian.”

Mata Erin memicing sangsi mendengar suara Elliot yang hanya terdengar seperti basa-basi. “Kau bohong!” dakwa Erin sambil menatap kedua mata yang dipujanya itu. “Kal bukan temanku. Dan sebaiknya kau mengaku saja jika memang menyukai Kal. Jangan berputar-putar seperti ini.”

“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”

“Kau menyukai Kal. Itu yang kulihat selama ini.” Erin menyilangkan tangannya di depan dada. Ia melempar pandangannya sejenak ke arah lain sebelum kembali menatap kedua mata Elliot. “Tapi sebaiknya kau menyerah. Kal sudah punya pacar.”

Alis Elliot terangkat, merasa tertarik dengan informasi yang baru didengarnya. “Pacar? Siapa?” desisnya sambil berharap Erin sedang berbohong. Karena jika itu memang benar, berarti kesempatannya untuk mendekati Kalila akan tertutup.

Erin menunduk ragu menatap kukunya yang dicat serupa warna langit. Mungkin bisa dikatakan ini adalah pengkhianatannya kepada Lory. Tetapi mulut Erin sudah tidak bisa dihentikan. Lagi pula mereka berdua memang tidak pernah bersumpah setia sehidup semati.

“Siapa, Erin?” tanya Elliot lagi karena gadis di hadapannya masih bergeming.

Tidak ada jalan lain. Ini satu-satunya bidak yang harus digerakkan Erin untuk membuat Elliot menyerah dan berpaling padanya. Ia akan menyebutkan nama cecunguk yang dicintai Lory itu kepada Elliot.

“Diego. Namanya Diego.”
***

Tidak semudah itu Elliot memercayai kata-kata Erin.

Maka, setelah kuliah pertama selesai, Elliot memilih untuk tidak terlalu menempel pada Kalila. Ia membiarkan Kalila bergerak bebas. Tetapi ia tetap berada cukup dekat untuk memerhatikan gadis itu.

Tidak ada yang istimewa dari aktivitas Kalila. Ia pergi membeli kopi, meminjam buku di perpustakaan, dan duduk menghabiskan waktu di taman kampus tanpa lelaki mana pun yang bisa dicurigai sebagai pacarnya. Gadis itu juga menjawab panggilan di ponselnya dengan wajar. Tanpa kata-kata mesra atau sikap sok manis yang memuakkan.

Hingga tiba-tiba saja Kalila bangkit dari kursi taman dan berjalan menuju sebuah mobil hitam yang baru saja berhenti. Seorang lelaki bertubuh tegap keluar dari mobil itu lalu saling melempar senyum dengan Kalila. Lelaki itu bergerak memutar dan membukakan pintu untuk Kalila.

Tanpa menunggu lama, Elliot bergerak dari balik pintu kaca gelap yang menjadi persembunyiannya. Ia bergegas menuju mobilnya di tempat parkir, berniat mengikuti mobil itu.

Ternyata lelaki itu tidak membawa Kalila pergi terlalu jauh. Mobil sedan sport itu berhenti di area parkir sebuah kafe bernuansa pelangi. Elliot memilih untuk menghentikan mobil di seberang jalan untuk memerhatikan. Kalila dan lelaki itu memilih duduk di teras kafe yang diteduhkan kanopi warna-warni. Dari dalam mobilnya, Elliot bisa melihat mereka berdua tampak asyik berbincang dan tertawa.

Elliot mencengkeram roda kemudinya untuk menyalurkan emosi negatifnya. Bagaimana bisa ia kecolongan seperti ini? Ini tidak boleh dibiarkan!

Sekali lagi, Elliot melempar tatapannya pada Kalila yang tersenyum pada pramusaji yang mengantarkan buku menu ke meja mereka. Kemudian ia memutar kuncinya dengan kasar lalu menjalankan mobil yang mesinnya meraung.
***

Bunyi decitan mobil yang lewat di depan kafe langsung menarik perhatian para pengunjung. Termasuk Diego dan Kalila. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala, menyayangkan sikap ugal-ugalan pengemudi hatchback berwarna silver stone itu. Seharusnya orang-orang menjalani tes psikologi terlebih dahulu sebelum mendapat surat izin mengemudi.

“Apa kau kenal orang itu, Lil Princess?”

“Siapa?” Kalila balas bertanya tanpa mengalihkan perhatian dari buku menu.

“Lelaki yang mengendarai mobil tadi.”

Kening Kalila mengernyit saat benaknya mencari sosok yang familier dengan mobil itu dalam benaknya. Tetapi kemudian, ia menggeleng untuk menjawab Diego.

“Memang kau tidak pernah melihat mobil seperti itu di area parkir fakultasmu?”

“Entahlah.” Kalila menggidikkan bahu. “Aku tidak pernah naik mobil ke kampus. Jadi, jarang bertemu seseorang di area parkir. Memang kenapa, sih?”

“Tidak apa-apa.” Diego menggeleng. “Kukira dia temanmu. Karena cara menyetirnya sama buruknya denganmu.”

“Apa maksudmu?” Kalila mengangkat satu alisnya karena tersinggung. “Aku tidak pernah menyetir hingga membuat ban berdecit seperti itu.”

Diego menumpukan sikunya pada meja, memandang kekesalan yang berkelebat di mata cokelat terang itu. Sepasang mata yang semakin hari semakin ekspresif. Seperti diri gadis itu tiga tahun lampau.

“Memang tidak pernah,” aku Diego membenarkan. “Tapi kau selalu membuat mobil melompat pada gerakan pertama.”

Kalila tergeragap. Alisnya mengernyit kesal. “Itu kan... karena kau terus-terusan membuatku kesal. Seperti sekarang!”

“Kalau begitu, lain kali jangan membuat mobil melompat saat sedang kesal. Kau saja yang melompat padaku.” Diego menyeringai jenaka sambil membuka lebar kedua lengannya. “Aku akan selalu siap menangkapmu.”

Kalila melipat lengannnya di atas meja. Senyum manis terlukis di bibir gadis itu. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Diego yang duduk di hadapannya. “Dalam mimpimu!” ucapnya tajam dengan mata yang memelotot. Senyum palsunya beberapa detik lalu juga  lenyap.

Diego terkekeh geli mendapat tanggapan seperti itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Kalila begitu mudah digoda seperti ini. Kalau tahu begini, seharusnya ia melakukannya sejak dahulu.

Bibir Kalila mencebik setiap kali derai tawa Diego membelai telinganya. Bagaimana lelaki ini bisa begitu tidak berperasaan? Apa Diego tidak mengerti jika setiap gurauannya selalu menghadirkan debaran samar yang mengguncang rongga dada Kalila?

Merasa jengah, Kalila bangkit dengan cepat. Terdengar bunyi berderak saat ia mendorong kursi dengan bagian belakang lututnya. Diikuti lenyapnya suara tawa Diego.

“Hei, jangan pergi, Lil Princess!” cegah Diego panik dan langsung mengundang senyum samar berkedut di bibir Kalila.

“Bukan urusanmu! Dan berhenti memanggilku seperti itu!” balas Kalila galak.

“Tapi kau belum menyebutkan pesananmu.”
***

“Sial. Kenapa tadi kita ke kafe ini, sih?” Lory bersungut-sungut. Ia mengacak-acak Rainbow Cake di hadapannya seolah kue itu sudah melakukan kesalahan yang membuat ia kehilangan minat.

Jenna tertawa kecil lalu menyesap teh lemon hangatnya. “Aku tidak menyangka. Ada juga lelaki yang tidak bisa kau taklukkan.”

“Apa maksudmu, huh?” Lory mencebik kesal. Ia setengah membanting garpunya ke atas piring hingga terdengar bunyi berdenting. Komentar yang dilontarkan Jenna malah membuat hatinya semakin panas.

“Kau kesal karena pemandangan di teras kafe, kan?” tebak Jenna sambil menunjuk ke dinding kaca yang menampilkan bagian luar kafe. Pemandangan yang dimaksud Jenna tampak sangat jelas dari tempat duduk mereka di tengah bangunan kafe.

“Tidak,” elak Lory tanpa merepotkan diri menoleh pada arah yang ditunjuk Jenna. “Kue ini rasanya mengerikan.”

Jenna menahan gelaknya atas kebohongan Lory. Itu Rainbow Cake khas Rainbow Cafe yang selalu berhasil menggagalkan diet Lory. Memang semengerikan apa rasanya sekarang hingga membuat gadis itu cemberut begitu?

Sengaja, Jenna menyenggol lengan Sharon dengan sikunya. Tetapi gadis di sampingnya itu bergeming. Matanya seolah terkunci pada sosok pasangan yang menghancurkan mood baik Lory siang ini.

Tiba-tiba saja gadis bersweter salem itu bangkit dari duduknya. Tampak ada sedikit perdebatan kecil dengan lelaki yang duduk bersamanya. Tetapi kemudian gadis itu berbalik melangkah memasuki kafe.

Saat itulah, Sharon menyentuh tangan Lory di atas meja. Begitu matanya bersitatap dengan sepasang mata Lory yang bertanya, ia hanya menjawab dengan lirikan mata yang maknanya langsung dimengerti Lory.
***

Kendalikan dirimu, Kalila!

Kalila menepuk-nepuk kedua pipinya seolah ingin membantu dirinya sendiri agar tersadar. Ia tidak boleh terus-terusan seperti ini. Terus-terusan mudah terpancing oleh semua gurauan Diego. Atau ada baiknya setelah ini ia menyarankan mereka untuk bertemu di perpustakaan saja? Seperti tiga tahun yang lalu. Mungkin dengan begitu, lelaki itu akan lebih jinak dan mudah dihadapi.

Terdengar suara pintu terbuka saat Kalila membungkuk dan menyalakan keran wastafel dan membasuh tangannya. Melalui ekor mata, entah mengapa ia merasa seseorang yang baru masuk itu sengaja berdiri mengintimidasi di dekatnya. Ia memilih untuk tetap menunduk pura-pura tidak mengerti. Atau berharap tatapan tajam itu bukan ditujukan untuknya. Walaupun nyatanya, hanya ada mereka berdua di sini.


“Sekarang mengaku saja kalau kau tertarik pada Diego.”

Kalila menoleh sekilas ketika mendengar nama Diego disebut. Tetapi sedetik kemudian ia malah mengeringkan tangannya di bawah uap panas yang berembus secara otomatis. Sama sekali tidak memedulikan gadis loudspeaker yang bersandar pada dinding toilet sambil menyilangkan tangan di depan dada.

“Hei, aku bicara padamu!” Gadis pirang palsu itu menyentak kasar bahu Kalila hingga kini mereka berdiri berhadapan. “Jadi benar, kan, kau tertarik pada Diegoku?”

“Apa maksudmu?” sahut Kalila sambil ikut menyilangkan tangannya defensif.

“Aku lihat akhir-akhir ini kau sering bersama Diego. Sejujurnya ada hubungan apa di antara kalian?”

“Apa pun hubungan kami, kurasa aku tidak harus menjelaskan padamu.”

“Jangan membuatku kesal, ya.” Suara gadis itu sarat akan ancaman. “Aku paling tidak suka dengan Kancil genit sepertimu yang senang merayu pacar orang.”

“Tunggu.” Kalila mengangkat telapak tangannya ke depan wajah gadis yang tiba-tiba melabraknya itu. “Apa kau yang bernama Lory?”

Sesaat kening gadis itu tampak berkerut bingung. Mungkin ia sama sekali tidak menyangka bahwa Kalila memiliki sedikit informasi tentang dirinya.

“Ya,” jawabnya angkuh. Seolah sudah sewajarnya jika semua orang mengenalnya. “Dari mana kau tahu?”

“Oh.” Bibir Kalila membulat konklusif. “Diego yang mengatakannya padaku dan dia bilang tidak ada hubungan apa-apa di antara kalian.”

Ekspresi Lory mengeras. Otaknya seolah membeku di ujung kalimat Kalila. “Itu hanya karena dia malu.”

“Maksudmu, dia malu punya pacar sepertimu?”

Lory mengerjap beberapa kali. Mulutnya ternganga menerima serangan balasan yang tidak terduga. “Lupakan saja. Memang kau sendiri punya hubungan apa dengan Diego?”

“Tidak ada apa-apa,” jawab Kalila enteng.

“Kalau begitu jangan dekat-dekat lagi dengan Diego.”

Kalila mendengus geli. “Kalau untuk itu, bilang saja langsung pada orangnya. Karena selama ini dia yang selalu mendekatiku lebih dulu.”

“Jangan sombong dulu, ya.” Lory memperingatkan Kalila sambil mengangkat telunjuknya. “Apa menurutmu Diego yang menyukaimu? Diego memang baik pada semua orang. Jadi jangan salah paham.”

“Mungkin saja kau yang salah paham pada sikap baik Diego,” sahut Kalila sambil menyurukkan kedua tangan ke dalam saku sweternya.

Rasanya Lory selalu mati kata jika berhadapan dengan gadis ini. Tetapi ia tidak boleh kalah. Waktunya tidak tepat untuk itu.

“Apa kau menyukai Diego?” 

Kalila menatap tajam pada Lory. Ia mencoba menerka apa maksud dari pertanyaan yang dilontarkan padanya itu. Tetapi kemudian ia sadar. Untuk apa ia menjawab jujur tentang perasaannya pada gadis loudspearker di hadapannya? 

Maka, Kalila memilih untuk menggeleng dengan tegas.

Seringai kemenangan mulai berkedut di ujung bibir Lory. “Baguslah kalau kau tidak menyukai Diego. Jadi, menjauhlah.”

“Tidak mau.”

“Huh?”

“Aku tidak mau menjauhi Diego hanya karena orang sepertimu. Aku hanya akan menjauh ketika aku ingin menjauh atau Diego sendiri yang memintaku untuk menjauh. Yang jelas, keputusan bukan di tanganmu.”

Urat kekesalan mencuat jelas di kening Lory. Tetapi ia harus bisa mengendalikan diri di tempat seperti ini. “Menjauhlah. Selagi aku masih meminta baik-baik,” ucapnya dengan rahang terkatup rapat.

“Berhenti bersikap pengecut seperti ini.” Kalila melangkah maju dan berdiri bersisian dengan Lory hingga bahu kiri mereka bertemu. “Kalau memang merasa mampu, taklukkan hati Diego dan bawa dia menjauh dariku.”

Setelah berkata begitu, Kalila membuka pintu dan meninggalkan Lory yang terpaku. Benar-benar keterlaluan! Bagaimanapun gadis itu harus mendapat ganjarannya.
***

“Apa ada sesuatu yang mengganggumu?”

Kalila tersentak samar dan menolehkan kepalanya. “Hem?”

Diego mengangkat alis lalu kembali berkonsentrasi menjalankan mobilnya menuju indekos Kalila. “Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” tanyanya sekali lagi.

Kalila mengangkat bahu. “Tidak ada.”

“Kalau begitu kenapa kau tidak mendengarkanku sejak tadi?” tuduh Diego. “Apa kau bertemu seseorang yang lebih menarik dariku di kafe?”

Tentu saja Kalila bertemu seseorang tadi. Tetapi itu sama sekali berbeda dengan apa yang dipikirkan Diego. Diam-diam, ia memandang wajah Diego dari samping. Sedikit-banyak ia mencoba mencari kebenaran tentang perkataan lelaki itu tempo hari. Atau haruskah ia bertanya sekali lagi?

Sedetik kemudian, Kalila sudah menggeleng kuat untuk mengusir keraguaannya. “Memang tadi apa yang kau katakan?”

Diego menoleh sekilas dengan alis berkerut. Kemudian ia berkata dengan nada enggan. “Kubilang, aku tidak sabar menunggu akhir pekan ini untuk mengajakmu makan malam. Bagaimana kalau malam ini?”

Belum sempat Kalila menyuarakan jawabannya, Diego sudah menyambung kembali kalimatnya.

“Tapi tadi kulihat sepertinya kau tidak tertarik dengan ajakanku, jadi mungkin lebih baik kubatalkan saja.”

Kalila tertawa kecil mendengar Diego merajuk. “Malam ini juga tidak apa-apa. Untuk apa menunggu akhir pekan?”

Diego mengerjap bingung. “Apa kau lupa? Akhir pekan ini, kan, ulang tahunmu.”

“Ah, benar juga,” ujar Kalila lantas tertawa. Bagaimana bisa ia lupa? “Jadi, jam berapa kau akan menjemputku nanti?”

“Jam setengah lima,” jawab Diego sambil menghentikan mobilnya di depan rumah indekos yang ditinggali Kalila. “ Jadi, aku bisa bersiap setelah kuliahku selesai jam tiga.”

Kalila melirik jam tangannya. Setidaknya tersisa tiga jam untuknya mempersiapkan diri. Ia mengangguk setuju yang langsung membuat Diego tidak bisa menahan senyumnya.

“Oh, iya,” ucap Kalila sambil melepas sabuk pengamannya. “Apa benar kau tidak berniat balas dendam padaku?”

Diego menyeringai geli mendengar pertanyaan yang tiba-tiba muncul kembali dari bibir gadis itu. “Kalau kau memang mengharapkan aku membalas dendam, maka aku akan melakukannya dengan sesuatu yang tidak akan terpikirkan olehmu,” pungkasnya.