Seketika keheningan tercipta setelah beberapa
perawat tersebut memasuki kamar lain. Gadis itu menegapkan punggungnya,
melangkah anggun bak seorang supermodel. Tumitnya beradu dengan lantai granit,
menghasilkan bunyi konstan yang dramatis. Jemari gadis itu meraih gagang pintu,
perlahan memutarnya sebelum menggumamkan semangat untuk dirinya sendiri.
Sepasang mata sewarna zamrud menatapnya penuh tanya,
disusul seulas senyum simpul menyambut kedatangan gadis itu. Ia menelan
ludahnya dengan susah payah, mencoba menarik kembali suaranya yang sesaat
meninggalkannya tunggang langgang dilanda kegugupan.
“Hai.” Sapa gadis itu dengan senyum kaku.
“Hai,” mata sewarna zamrud itu mencoba mencari
tahu siapa gadis yang tengah berdiri di hadapannya. “Maaf, apa kau mengenalku?”
“Em… a-aku Elena.” Ujar gadis itu gugup. Seulas
senyum kembali menghiasi bibir pucat milik lawan bicaranya. “A-aku… em… maaf,
sebenarnya aku salah satu orang yang menabrakmu. Maksudku aku berada di mobil
yang sama saat itu. Aku ingin minta maaf padamu, aku…”
“Aku yang seharusnya minta maaf.” Senyum gadis
itu mulai surut, mata hijaunya menerawang dinding berwarna krem yang dihiasi
lukisan abstrak berwarna pastel yang terkesan pucat. Terlihat gurat kesedihan
dalam wajahnya.
“Elena, maafkan aku yang membuatmu dalam posisi
sulit.” Mata hijau itu kembali menatap Elena. “Aku Trisia.”
Elena memerhatikan gadis itu, wajahnya yang
tirus dan pucat membuatnya semakin merasa bersalah. Elena menebak-nebak
bagaimana perasaan Trisia saat kekasihnya meninggalkannya. Tiba-tiba ia
teringat dengan Nico. Elena mengembuskan napasnya yang terasa menyesakkan dada.
Sejak saat itu, hampir setiap hari Elena menjenguk
Trisia di rumah sakit. Setidaknya ia ingin membantu gadis itu untuk melupakan
kesedihannya.Ini tentang perasaan dan Elena tahu tak akan mudah membuat gadis
itu bangkit dari keterpurukannya.
“Apa kau mau jalan-jalan?” Tanya Elena saat
gadis itu masih menikmati makanannya. Trisia sudah pulang dari rumah sakit
sejak hampir sebulan yang lalu. Seharusnya itulah kesempatan Elena untuk
menjauh dari kehidupan gadis itu, tetapi ia justru merasa nyaman berada di
dekatnya. Selama ini dia tak memiliki teman, dan gadis itu adalah satu-satunya
teman yang tulus bagi Elena.
Trisia menggeleng. “Aku akan pulang ke rumah
setelah ini, Harry bilang akan menjemputku.” Ujar gadis itu lembut. Dia memang
orang yang tenang, sangat berbanding terbalk dengan sifat Elena. Itulah yang
terkadang membuat orang lan tak menyadari kesedihannya. Terkadang, Elena sibuk
menduga, seberapa kecewa hati Trisia saat menyadari bahwa Elenalah yang telah membnuh kekasihnya.
“Baiklah.” Ujar Elena mengalah yang kemudian
disusul oleh suara maskulin yang mencuri perhatian mereka.
Elena
POV
Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang lain
dari biasanya. Lelaki itu menghampiri kami, menatapku dengan tatapan yang tak
bisa kuartikan dengan pasti. Kurasa tatapan itu berarti buruk. Aku merasa dia
menyimpan sesuatu dan aku masih mencoba mereka-reka perasaan canggung ini.
“Apa kau baik-baik saja?” Tanya Trisia pada
lelaki itu. Mungkin ia juga merasakan kejanggalan pada lelaki itu. Terlebih
saat menatapku.
“Aku baik-baik saja, ayo kita pulang.”
Hanya itu kalimat yang dikatakannya sebelum
menuntun Trisia kelar dari kafe yang didominasi warna pelangi tersebut. Ia
bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun padaku seperti biasanya. Hari ini
lelaki itu tampak jauh lebih dingin. Sejenak kuasakan bulu kudukku merinding.
Mungkinkah ia menyadarinya?
Aku memainkan sedotan pada gelas tinggi yang
tersemat sebuah stroberi pada bibir gelasnya. Sibuk memikirkan perubahan
tingkah lelaki itu. Jika memang kenyataannya lelaki itu menyadari bahwa akulah
penyebab adiknya meninggal, apakah dia masih akan menuntutku? Memikirkan
membuatku ngeri. Mungkin aku perlu istirahat sekarang.
Suara ponselku berdering tepat ketika aku
memasuki sebuah taksi. Nico. Aku tersenyum menyadari bahwa aku merindukan
lelaki itu. Sudah dua hari ini ia berada di luar kota karena tugas yang
diberikan oleh perusahaan tempatnya bekerja.
“Halo, sayang.” Ujar lelaki itu setelah nada
sambung berganti dengan suaraku. “Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik. Bagaimana dengan pekerjaanmu di
sana?” Sudah dua minggu Nico tak lagi mengurus perusahaan ayahnya. Ia kembali
bekerja di kantor pajak dan kebetulan sebuah tugas perusahaan tempatnya bekerja
harus memisahkan kami sejenak. Mungkin ini terdengar kekanakan, tapi jauh
darinya membuatku gelisah.
“Cukup melelahkan. Apalagi aku tak bisa
melihatmu.” Suara itu terdengar hangat diikuti tawa kecil yang lolos dari
bibirnya. “Aku tidak tahan berada jauh darimu.”
“Aku merindukanmu.” Tiba-tiba rasa kesepian
menelusup dalam hatiku. Pikiran tentang Harry berkecamuk dalam benakku. Aku
menggigit bibirku, sejenak tenggelam dalam lamunan singkatku.
“Elena, kau baik-baik saja?” Suara Nico
menyadarkanku kembali. Dan aku sepenuhnya mengalihkan perhatianku pada benda
kecil yang menempel pada telingaku.
“Ak baik-baik saja, Nick.”
“Baiklah, aku akan menelponmu lagi nanti malam.
Jaga dirimu baik-baik, sayang.”
Aku mengembuskan napas besar yang terasa
mengganjal tenggorokanku setelah menutup telpon dari Nico. Aku masih berharap
bisa berbicara lebih lama dengannya. Mungkin aku masih harus lebih bersabar
lagi.
Nico
POV
Aku masih memandangi wajah Elena yang menjadi wallpaper di ponsel empat inci milikku. Entah mengapa
sejak semalam aku merasa ada sesuatu yang mengganjal hatiku. Beberapa pekerjaan
masih harus kuselesaikan hari ini sebelum besok aku kembali.
Aku masih memandangi ponselku sementara
pikiranku tenggelam oleh Elena. Sejak kemarin Evan jga tak berada di rumah
karena urusan pekerjaan. Meninggalkan Elena sendiri membuat pikiranku tidak
tenang. Terlebih setelah mimpi semalam. Mimpi yang cukup buruk yang membuatku
terbangun dengan suasana hati yang cukup buruk.
“Nico, bersiaplah, sebentar lagi kita akan melakukan
inspeksi ke kantor cabang Lockhold.” Ujar seorang pria berbadan tambun yang
kuketahui bernama Bram. Aku mengangguk, kemudian beranjak dari kursiku untuk
segera bergabung dengan timku.
Inspeksi di kantor cabang Lockhold Inc
dilakukan dengan teliti oleh tim kami. Aku sedikit terganggu saat kudengar
getaran ponselku yang tak berhenti sejak beberapa menit yang lalu.
Konsentrasiku terbagi lantaran ponselku yang tenang sejenak kembali mencari
perhatianku. Tentu saja aku tak bisa mengangkatnya dalam situasi seperti ini.
Aku hanya berharap agar pekerjaan ini cepat selesai.
Semburat kemerahan telah bertahta di langit
senja. Tugasku telah selesai lima menit yang lalu. Aku bergegas meraih ponsel
dengan tujuh belas panggilan tak terjawab. Nomor Elena.
Aku mengernyit, untuk apa panggilan sebanyak
itu dari Elena? Entah mengapa kekhawatiranku pada gadis itu semakin
menjadi-jadi.
Tidak
aktif.
Hal itu tentu saja membuatku semakin panik. Aku
segera menghubungi Evan dan langsung tersambung tanpa perlu menunggu lama.
“Halo, Ada a…”
“Nick, aku di rumah sakit.” Suara seorang gadis
yang sangat ku kenal. Suara itu bagaikan sebuah petir yang menyambar diriku.
Membuat tubuhku terasa kaku.
“A-apa? Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik
saja?”
“Kita bicarakan nanti. Aku sedang dalam
perjalanan. Maafkan aku, tapi aku akan menelponmu nanti.” Suara terisak itu
membuat pikiranku kacau. Apakah sesuatu telah terjadi pada Elena?
***
Elena
POV
Aku menyandarkan kepalaku di sebuah dinding
marmer yang terasa dingin. Air mataku tak berhenti mengalir sejak orang-orang
berseragam itu membawa Evan ke dalam ruang operasi. Sebuah mobil berkecepatan
tinggi telah menabrak Evan tepat saat ia hendak menyeberang untuk menemuiku di
kafe.
Bagiku, Evan adalah satu-satunya keluargaku, meski
kenyataannya aku masih memiliki orang tua. Tetapi sejak kecil hanya dia yang
selalu ada untukku. Hari sudah gelap. Guntur terdengar menggelegar, membuatku
semakin tak sabar. Tiga jam telah berlalu, namun tak satupun tanda-tanda pintu
operasi akan terbuka. Aku menunggu dengan cemas, bahkan peluh dingin masih
mengucur dari pelipisku.
Aku mengusap wajahku yang basah, tak peduli bagaimana
orang yang berlalu lalang terus menatapku iba. Tulangku terasa lunglai, seolah
tak mampu lagi menahan beban tubuhku.
“Hati-hati.” Kata seseorang yang tiba-tiba
mencengkeram kedua lenganku. Aku memicingkan mata. Pandanganku kabur akibat air
mata yang terus membasahi mataku.
“Maaf. Terima kasih.” Ujarku sambil menghapus
air mataku. Aku menatap lelaki itu dan pintu ruang operasi secara bergantian
untuk memastikan apakah pria berpakaian hijau tersebut berasal dari dalam
ruangan.
“Pendarahan di kepalanya sudah dihentikan
tetapi dia masih belum sadarkan diri. Kami akan memindahkannya ke ruang ICU
untuk sementara waktu.”
Bagaimanapun juga aku tak bisa bernapas lega.
Evan masih belum sadarkan diri. Dan aku takut sesuatu akan terjadi padanya.
Pria itu menuntunku ke sebuah kursi yang berasa
di sisi kiri koridor. “Saudaramu akan baik-baik saja. Siapa namamu?” Tanya pria
itu.
“Elena.”
“Aku Andre, spesialis saraf di rumah sakit ini.
Sepertinya beberapa bulan yang lalu aku sering melihatmu di sini.”
“Temanku pernah dirawat di rumah sakit ini.”
“Pantas saja aku sepertinya tak asing dengan
wajahmu. Sekarang tanangkan dirimu, dan pergilah ke kantin untuk mendapatkan segelas air. Saudaramu pasti akan
baik-baik saja, aku menjaminnya.”
Aku bergeming. Kakiku masih terasa lemas, dan
tak sedikitpun perasaanku menginginkan segelas air untuk dahagaku.
“Ayo, aku akan mengantarmu.” Kata dokter Andre
mengulurkan tangannya untuk membantuku. Seberapapun aku menolak tampaknya dia
tetap memaksaku. Hingga aku pun meraih uluran tangannya. Samar-samar aku
melihat sesorang berdiri di belakang Andre dengan wajahnya yang merah padam.
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D