Senin, 27 Maret 2017

Purple Maple (Dua belas)


LANGIT di hari Jumat ini berwarna biru terang. Hanya sedikit gumpalan awan yang mengapung di atas sana seperti gulali tipis. Tidak cukup banyak untuk menghalangi sinar matahari yang juga tidak terlalu terik.

Tidak seperti biasanya, hari ini Kalila datang mengendarai mobilnya. Ia akan pergi ke pusat perbelanjaan seusai kuliahnya hari ini. Sepertinya ia membutuhkan beberapa potong pakaian untuk menunjang penampilannya. Karena besok ia akan bertemu dengan Diego. Tepat di hari ulang tahunnya. Sesuai janjinya tempo hari.

Setelah menutup pintu mobilnya, Kalila menekan tombol pada kunci mobil yang digenggamnya. Membuat kendaraan berwarna kecubung itu berbunyi tanda pintunya sudah terkunci.

Sekitar dua atau tiga langkah meninggalkan mobilnya, ia berpapasan dengan Erin yang terlihat berbeda hari ini. Kedua matanya tampak sembab. Dan juga penampilannya yang didominasi warna abu-abu. Kecuali antingnya yang berbentuk bintang. Warnanya serupa langit siang ini.

Mengabaikan itu semua, Kalila lantas memasang senyum dan tangannya melambai ringan.

“Hai, Erin.”

“Hai, Kal,” balas Erin sambil memaksakan semangat dalam suaranya. Kemarin ia bertengkar hebat dengan Elliot. Dan setelah menangis sepanjang malam, ia menyadari kesalahannya. Elliot benar. Ia tidak berhak—belum berhak—ikut campur apa pun yang menjadi urusan lelaki itu. Jadi, ia berniat menemui Elliot untuk meminta maaf.

Elliot dan Kalila memang memiliki jadwal kuliah yang sama. Erin tahu itu. Ia tahu segala hal tentang Elliot. Tetapi kenapa ia harus bertemu Kalila dalam penampilan seburuk ini? Apalagi gadis itu tampak menawan dengan coat panjang berwarna abu-abu. Senada dengan warna  penampilannya sendiri. Tetapi entah mengapa, Kalila terlihat sempurna.

Ah, benar juga. Pantas saja Elliot lebih tertarik pada

“Tumben kau lewat jalan ini,” sambung Erin cepat. Sekaligus untuk menghentikan pikiran buruknya. Sebelum ia benar-benar kehilangan kadar kepercayaan dirinya yang sudah menipis.

“Hari ini aku bawa mobil,” ucap Kalila sambil menunjuk melewati bahunya.

Erin mengikuti arah yang ditunjuk Kalila. Sebuah mobil mungil yang tampak sederhana. Tetapi ia tahu benar bahwa harga mobil itu tidak sesederhana penampilannya. Dan sepertinya itu edisi terbatas yang hanya diproduksi sebanyak 77 unit di dunia.

“Oh, kukira kau tidak bisa menyetir.”

Kalila tertawa kecil. “Biasanya aku malas bawa mobil. Sulit mencari tempat parkir.”

Terpaksa, Erin ikut tertawa. “Ya, ya. Kau benar.”

“Kalau begitu, aku ke kelas dulu, ya,” pamit Kalila sambil mulai kembali mengambil langkah.

“Oke, oke. Selamat kuliah, Kal.”

“Terima kasih,” balas Kalila sambil tersenyum.

Setelah Kalila pergi, Erin masih tertegun. Cantik, pintar, dan kaya raya.  Jika melihat Kalila, rasanya segala hal membanggakan yang dimiliki Erin menjadi tidak berarti apa-apa. Siapa yang bisa menandingi gadis itu? Ia dan juga Lory tidak akan sebanding dengan Kalila. Kecuali kalau gadis musim gugur itu lenyap.

Erin masih tenggelam dalam pikirannya. Hingga ia melihat seseorang turun dari mobil berwarna silver stone.
***

Wow.
Ia berdecak kagum saat melihat salah satu mobil yang terparkir di sana. Mobil itu memiliki bentuk yang tidak pasaran. Sehingga langsung bisa menarik perhatian di antara jajaran mobil lainnya. Tanpa harus bersusah payah untuk tampil mencolok.
Tempat parkir fakultas dipadati berbagai jenis mobil. Tetapi sepi dari sebagian besar mahasiswa yang saat ini sedang menempuh kuliah di jam siang ini. Ia sudah memperhitungkan itu. Dari balik salah satu mobil berwarna hitam, ia bersembunyi untuk mengamati. Bahkan lengannya yang membawa kamera teracung, membidik pada mobil yang dikaguminya. Mobil itu milik Kalila, tentu saja. Ia mengambil beberapa kali jepretan. Kalau sudah seperti ini, ia benar-benar merasa seperti stalker.
Ia mungkin saja mampu membeli ponsel seperti milik Kalila. Sedangkan mobil... rasanya sedikit mustahil. Kalila benar-benar seperti tokoh dalam negeri dongeng yang selalu diimpikan oleh gadis di dunia nyata. Tetapi setidaknya ia bisa memiliki foto mobil itu. Sambil berandai-andai suatu hari nanti bisa memilikinya.
Tepat saat itulah seseorang memasuki area bingkai bidikannya.
Ia merundukkan tubuhnya, menyembunyikan lebih banyak sosoknya. Tetapi ia masih mengintip melalui lensa kamera sakunya di antara celah mobil yang bersisian. Apalagi tadi ia memang sudah mengambil posisi paling pas. Cukup jauh untuk bersembunyi. Sekaligus cukup dekat untuk memerhatikan.
Keningnya mengernyit. Sepertinya ia pernah melihat orang itu sebelumnya.

Oh, bukankah itu orang yang pernah dilihatnya bersama Kalila?

Orang itu tampak gelisah sekaligus waspada. Beberapa kali ia menoleh ke sekeliling. Seolah takut ada yang mengikuti atau mengawasinya.

Kedua tangan orang itu yang dibalut sarung tangan menyentuh kap mobil Kalila. Perlahan, sambil tetap memerhatikan sekitarnya. Hingga akhirnya ia tiba di samping pintu pengemudi. Sesaat, orang itu menunduk, mengintip ke dalam mobil. Setelah memastikan tidak ada seorang pun di dalam, ia melakukan sesuatu pada pegangan pintu mobil. Dan tidak sampai lima menit kemudian, pintu itu terbuka.

Si stalker terperangah. Hampir saja kameranya terjatuh dari genggaman. Saat melihat itu semua. Ia lantas menekankan telapak tangannya ke mulut. Mencegah dirinya sendiri untuk memekik. Sementara tangannya yang lain berusaha tetap menekan tombol rekam dan menangkap gambar.

Ia tidak tahu apa tujuan orang itu membobol mobil Kalila. Tetapi entah mengapa, ia merasakan firasat buruk. Yang membuat sekujur tubuhnya gemetar. Ia harus segera memperingatkan Kalila. Karena ia tidak mau gadis itu dalam bahaya!
***

Setidaknya ada tiga potong skinny jeans, tujuh potong blus, dan lima jenis blazer yang berpindah dari maneken pajangan toko ke dalam kantung kertas yang Kalila bawa pulang ke indekosnya. Bukan bermaksud boros. Tetapi tadi ia benar-benar tidak bisa memutuskan dengan benar. Semua pakaian itu tampak cantik di matanya.

Sudah lama ia tidak berbelanja sebanyak ini. Dan sekarang ia melakukan itu hanya demi penampilan terbaiknya di hadapan seorang Diego.

Sungguh. Lelaki itu memberi dampak buruk bagi dompetnya.

Baru saja dipikirkan, panggilan lelaki itu membunyikan ponsel Kalila. Tepat saat ia baru saja turun dari mobil dengan sekumpulan tali kantung belanja menggantung di kedua genggamannya.

Kalila membebankan seluruh bawaannya ke tangan kanan. Sementara tangan kirinya menyusup ke dalam tasnya. Meraih ponselnya yang masih terus membunyikan ringtone khusus yang dipilih Kalila untuk menandai panggilan dari Diego.

“Halo?” sapa Kalila begitu ponselnya menempel di telinga.

Bagaimana? Kau merindukanku sekarang?

“Tidak,” jawab Kalila. Ia terkikik mendengar keceriaan Diego yang mulai meredup.

Kalau begitu, bisa kita bertemu sekarang?” tanya Diego seolah tidak peduli dengan apa pun jawaban Kalila.

“Tidak bisa,” tolak Kalila dengan tegas.

Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu

“Sekali tidak, tetap tidak.”

Kau tidak penasaran dengan apa yang ingin kukatakan?

“Katakan saja sekarang,” ucap Kalila sambil berhenti sejenak di ujung tangga lantai dua. Ia membenahi letak kantung-kantung belanjanya yang sedikit merosot. Kemudian ia menapaki anak-anak tangga yang akan membawanya ke lantai tiga.

Tidak bisa. Aku harus mengatakannya langsung di hadapanmu.

“Kalau begitu, katakan sajaapa pun itusaat bertemu denganku besok.”

Untuk beberapa detik tidak adajawaban. Tetapi kemudian terdengar embusan napas berat tanda menyerah. “Sudah kuduga. Kau tetap tidak bisa dirayu. Dasar keras kepala.

Saat menyetujui ajakan Diego tempo hari, Kalila mengajukan syarat. Bahwa mereka tidak akan bertemu sampai hari ulang tahunnya di tempat yang disebutkan Diego. Ia juga melarang Diego menemuinya di kampus. Bahkan ia juga tidak mau lelaki itu menjemputnya. Ia akan datang dengan mengendarai mobilnya sendiri.

Bagaimanapun, ia belum memercayai Diego sepenuhnya. Ia tidak tahu bentuk perhatian lelaki itu didasari perasaan apa. Memang benar waktu-waktu yang mereka jalani bersama selalu menyenangkan. Tetapi justru Kalila merasa takut. Takut untuk berharap tetapi berujung kecewa. Jadi, ia harus menjaga jarak yang cukup untuk itu.

“Bukan keras kepala. Tetapi aku memegang teguh pendirianku,” koreksi Kalila pada kalimat Diego.

Teserah kau saja, Lil Princess,” sahut Diego pasrah. “Jadi, sekarang apa yang sedang kau lakukan?

“Tidak ada yang istimewa,” jawab Kalila sedatar mungkin. Ia mempercepat langkah agar segera tiba di kamarnya.

Diego mengembuskan napas. Terdengar kecewa. “Kukira kau sedang melakukan perawatan di salon. Atau membeli beberapa pakaian baru.

Kalila mengerjap mendengar itu. Tuduhan Diego tepat sasaran. Ia baru saja berbelanja. Dan nanti sore ia sudah mengatur jadwal untuk melakukan perawatan di salah satu salon kecantikan. Apa semudah itu pikirannya terbaca? “U-untuk apa aku melakukan itu semua?”

Karena besok kau akan menghabiskan waktu bersamaku. Di tempat yang sangat indah. Sampai-sampai kau merasa sedang berada di alam mimpi.

Kalila tertawa kecil. “Tidak mungkin ada tempat se

Pintu kamarnya sedikit terbuka. Kamar 307. Kalila terpaku.

Kalila menggelengkan kepala. Ia mencoba menekan jauh ketakutan yang dirasakannya. Ada seseorang di kamarnya. Dan bagaimana jika orang itu mencoba melakukan hal buruk padanya?

Menyadari perubahan itu, Diego mencoba menggugahnya melalui suara. “Ada apa, Lil Princess?

Kalila mundur beberapa langkah. Ia menangkupkan telapak tangan untuk menutupi bibirnya. Lalu ia berbisik pada ponselnya. “Sepertinya ada seseorang di kamarku.”

Hawa dingin menjalari tengkuk Diego. Ia hafal sifat Kalila. Gadis itu pasti tidak akan mau menunggu seseorang untuk melindunginya. Ia tahu kata-katanya tidak akan didengar. Tetapi tidak ada salahnya untuk dicoba. “Tunggu! Aku akan ke sana sekarang! Jangan masuk sendirian! Setidaknya carilah bantuan! Pemilik kos atau temanmusiapa pun!” seru Diego dengan panik.

Seperti dugaan Diego, Kalila mengabaikan peringatannya. Gadis itu melangkah cepat dan membuka lebar pintu kamarnya dalam satu dorongan.
***

Awalnya, ia ingin mendatangi Kalila dengan cara yang lebih baik. Tetapi gadis itu tidak menjawab satu pun panggilannya. Maka ia memutuskan untuk langsung datang ke rumah indekos Kalila. Tetapi berapa kali pun ia mengetuk pintu, gadis itu tidak juga membuka pintunya.

Ini aneh. Karena seharusnya hari ini Kalila tidak ada kegiatan lain selain mengikuti satu mata kuliah.  Maka ia mengeluarkan duplikat kunci miliknya dan masuk ke dalam kamar yang sudah sangat dikenalnya itu.

Ia harus melakukan ini secepat mungkin. Karena ia tidak tahu kapan Kalila akan pulang. Yang perlu dilakukannya hanya menyelesaikan urusannya lalu pergi. Tadinya ia berencana akan menyimpan video yang direkamnya ke dalam flashdisk. Tetapi ia ragu Kalila akan penasaran dan membuka data dalam benda itu. Maka ia mencetak tiga lembar foto untuk diletakkan ke atas meja belajar Kalila. Foto yang menampilkan seseorang yang membobol mobil Kalila. Memang tidak terlalu jelas karena diambil dari jauh. Tetapi ia yakin Kalila pasti mengenali seseorang di foto itu.

Tetapi tiba-tiba ia tersentak saat terdengar bunyi gagang pintu yang membentur dinding dengan keras. Punggungnya menegang. Dan secara spontan ia meremas lembaran foto yang belum sempat menyentuh meja di hadapannya. Lalu menyurukkannya ke dalam saku coat panjangnya. Coat yang mirip seperti yang dimiliki Kalila.

Ia berbalik dan mendapati Kalila berdiri di ambang pintu. Menghujamnya dengan tatapan tidak percaya.

“Valeria?” Kalila menyebut namanya. Kedua mata gadis itu membelalak. Dan raut wajahnya tampak terluka seakan merasa terkhianati. Nada suaranya menajam. “Apa yang kau lakukan di kamarku?”

Um, K-kal...”

Kalila tidak memberi Valeria kesempatan untuk bicara. Tatapan gadis itu memelesat pada kunci yang masih terpasang di pintu. Ia mencabut kunci itu lalu mengulurkannya kepada Valeria.

“Kunciku... dari mana kau mendapatkan kunci ini?”

Valeria tergeragap. Udara di sekelilingnya mendadak sulit dihirup. Ia meremas-remas ujung pakaiannya.

“Jawab, Val,” desak Kalila. Gadis itu masih tidak habis pikir. Untuk apa Valeria menyusup ke dalam kamarnya. Tidak ada barang berharga yang bisa dicuri. Tetapi karena perbuatannya,  Kalila sampai harus kehilangan waktu istirahatnya yang berharga karena terus merasa gelisah. Dan untuk itu, ia membutuhkan penjelasan.

“Wa-waktu itu... kau menabrak seseorang di kantin,” mulai Valeria dengan suara gemetar. Kepalanya menunduk. Matanya masih melirik takut-takut pada Kalila. “Kau menjatuhkan kuncimu. A-aku memungutnya

“Kenapa kau tidak langsung mengembalikannya padaku?” potong Kalila tidak sabar.

“Aku sudah mencoba mengikumengejarmu. Tapi kau melangkah terlalu cepat.”

Kalila menggeleng. “Itu bukan alasan yang bagus, Valeria.”

“Ja-jadi aku menduplikat kuncimu. Lalu menyuruh seseorang untuk berpura-pura menabrakmu dan menjatuhkan kunci asli milikmu. Sebelum kau menyadari kalau kuncimu hilang.”

Kalila ingat hari itu. Hari di mana ia menabrak Diego di kantin. Lalu seorang gadis memakinya habis-habisan. Dan Elliot yang terus berusaha mendekatinya. Oh, dan juga ada seseorang lain yang menabraknya. Orang itu menunduk dalam berkali-kali hingga mau tidak mau Kalila melihat ke lantai dan menemukan kunci indekosnya tergeletak di sana. Ia pikir kuncinya terjatuh saat ia bertabrakan dengan lelaki berkacamata itu. Tetapi ternyata ia salah menduga.

“Lalu apa sudah kau temukan apa yang kau cari?” tanya Kalila dengan ekspresi terluka.

Valeria menggeleng kuat menyadari tuduhan Kalila. Tetapi ia bukan pencuri. “Aku tidak mencari apa pun. A-aku hanya ingin tahu seperti apa kamarmu.”

“Sekarang kau sudah tahu seperti apa kamarku. Jadi, bisa kau pergi? Kau pasti sudah tahu di mana pintu keluarnya,” pungkas Kalila dengan dingin.

“T-tunggu, Kal,” ucap Valeria sambil mengangkat kedua tangannya ke depan dada. Lalu ia bergerak seolah sedang mendorong udara di hadapannya. Dengan harapan emosi Kalila bisa mereda. “Aku ke sini untuk memberitahumu

“Lain kali saja, Val,” tolak Kalila. Kerutan dalam muncul di keningnya. “Pergilah. Sebelum aku berubah pikiran dan melaporkan perbuatanmu sebagai tindakan kriminal.”

“Tapi, k-kau mungkin saja dalam bahaya

“Satu-satunya yang membahayakan bagiku saat ini adalah seseorang yang diam-diam masuk ke kamarku tanpa izin. Entah apa yang dilakukannya.”

Seketika itu juga, Valeria bungkam. Ia mengerti bahwa dirinyalah yang dimaksud Kalila. Tetapi ia bersyukur karena akhirnya ia bisa melihat sisi lain dari seorang Kalila. Ternyata gadis itu tidak sesempurna dalam bayangannya. Di saat seperti ini Kalila malah bersikap egois dan tidak mau mendengarkan orang lain.

Valeria meninggalkan kamar itu dengan langkah gontai. Tidak sepatah kata pun ia ucapkan. Tidak sedikit pun ia mengangkat wajah untuk melihat Kalilasosok yang selalu dipujanya. Setidaknya, sampai beberapa detik yang lalu.
***

Diego mendengarkan rangkaian percakapan itu dengan saksama melalui sambungan telepon yang belum terputus. Dengan geram ia mencengkeram roda kemudi mobilnya. Benaknya dipenuhi kekhawatiran. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Kalila.

Lelaki itu membelokkan setirnya memasuki jalan tempat indekos Kalila berada. Ia menghentikan mobilnya di depan rumah tiga lantai bercat krem itu. Lalu saat ia hendak meraih ponselnya dari jok di sampingnya, ia tertegun.

Seseorang keluar dari pagar rumah itu dengan wajah tertunduk muram. Untuk sedetik, Diego mengira itu adalah Kalila. Jika melihat dari gaya penampilannya. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa ia salah.

Diego mengambil ponselnya, mematikan mode loudspeaker, dan menempelkannya di telinga.

“Halo? Lil Princess?” panggilnya dengan suara sedikit lebih keras. Berharap gadis itu bisa mendengar suaranya.

Ya?” Suara gadis itu terdengar parau. “Kukira kau sudah menutup teleponnya.

“Kau mau aku menjemputmu sekarang?”

Tidak usah,” tolak Kalila. Walaupun jantungnya masih terasa melompat-lompat dalam dadanya. Seolah memompa banyak darah untuk memenuhi kepalanya. “Kita tetap bertemu besok. Sesuai rencana.

“Kau yakin?” suara Diego terdengar ragu-ragu. Ia memandang pintu rumah itu lekat-lekat.

Ya,” jawab Kalila mantap. “Kau sebutkan saja di mana lokasinya.
***

Setelah melakukan serangkaian prosesi memanjakan diri, Kalila akhirnya bisa merdeka dari otot-ototnya yang menegang. Malam itu, ia bisa tidur dengan nyenyak. Tentu saja setelah memastikan pintu kamarnya terkunci dengan benar. Ia berencana akan pindah ke tempat lain setelah hari ulang tahunnya besok.

Tepat saat pergantian hari, samar-samar ia mendengar ponselnya berdering. Tetapi bunyi itu hanya mampir ke dalam mimpinya sebagai lagu pengiring. Sama sekali tidak mengusik kualitas tidur terbaik yang sudah lama tidak didapatkan Kalila.

Tetapi berangsur-angsur kesadarannya berkumpul. Dan ia membuka matanya begitu menyadari ringtone itu menandakan panggilan siapa. Kalila menggapai-gapai ponselnya di atas nakas. Ia langsung menjawab panggilan begitu benda itu berada dalam genggamannya.

“Ha—lo?” gumam Kalila dengan kening berkerut dan mata tetap terpejam.

Kok gelap? Kau sedang ada di mana, Lily?

Kalila bangkit dan berjalan terseok-seok menuju saklar lampu. Dan begitu kamarnya dihujani cahaya, ia baru menyadari bahwa ponselnya sedang tersambung dengan sebuah video call. Layar ponselnya menampilkan wajah kedua orang tuanya.

“Bonjourlho? Tumben sekali kau sudah tidur? Jam berapa di sana sekarang?” tanya ibunya dengan bingung.

Kalila melirik jam dinding. “Jam dua belas malam. Lebih tiga menit,” jawabnya dengan suara parau.

Apa kau baik-baik saja, Sayang?” Kali ini, ayahnya yang bertanya.

“Ya. Tidak pernah lebih baik dari ini. Aku bisa tidur dengan nyenyak.”

Oh? Apa kami menganggu?

“Tentu saja tidak, Ma. Aku senang Mama dan Papa menelepon,” sahut Kalila lantas tersenyum untuk mendukung kata-katanya.

Bagaimana kuliahmu? Lancar?

Kalila menjawab dengan anggukan kepala.

Kedua orang tuanya tersenyum. “Bon anniversaire. Selamat ulang tahun, Lily,” ucap mereka serentak di sela embusan angin yang terdengar samar. Kemudian ibunya melanjutkan dengan nada menyesal. “Maaf, ya kami tidak bisa menemanimu di hari ulang tahunmu. Kau tahu, kan urusan bisnis di sini tidak bisa ditinggalkan.

Kalila mengangguk mengerti. “Asal memang benar untuk urusan pekerjaan, Ma. Bukannya bulan madu Mama dan Papa yang kesekian kalinya,” ucap Kalila dengan nada menyindir.

Kedua orang tuanya saling melirik malu satu sama lain. Wajah ibunya tampak merona. Di belakang mereka, menara Eiffel tampak bersinar terang berlatarkan langit malam.

Itu... Papamu yang merencanakan dinner romantis hari ini,” ucap ibunya dengan nada tersipu.

Bukan seperti itu,” sanggah ayahnya. “Mamamu yang meminta lebih dahulu. Katanya, ia jenuh dengan rapat dan

Jangan membual di depan Lily

“Ma, Pa. Kalau mau berdebat, tolong jangan libatkan aku.” Kalila menyela sambil menahan tawa. “Lanjutkan saja bulan madu kalian. Aku mau tidur.”

Baiklah, Sayang,” ujar ayahnya setuju.

“Bonne nuit, Lily,” timpal ibunya lantas mengerucutkan bibir untuk memberi ciuman virtual untuk anak perempuannya.

Dan video call itu terputus. Untuk sesaat, Kalila merasa hampa. Andai saja kedua orang tuanya bisa selalu berada di dekatnya.
***

Mereka sepakat untuk bertemu pukul tiga sore. Kalila dan Diego. Tetapi ketika jarum jam sudah melewati angka satu, Kalila masih belum selesai bersiap-siap. Ia menghabiskan banyak waktu untuk memandangi isi lemari pakaiannya dan hasil buruannya kemarin. Matanya bergerak dari satu baju ke baju yang lain.

Ia mengambil rok span hitam dari lemarinya dan mengenakannya bersama dengan blus putih dan blazer hitam yang kemarin baru dibelinya. Tetapi cermin menampilkan dirinya yang seperti tengah bersiap menjalani wawancara kerja. Kelewat formal. Maka ia melepasnya, dan menggantinya dengan sepotong mini dress hijau pupus dengan rangkaian mutiara di kerahnya.

Tetapi begitu kembali menghadap cermin, ia menggelengkan kepala. Penampilannya kali ini seperti hendak menghadiri sebuah pesta. Lagipula terakhir kali ia mengenakan rok, Diego mengolok-oloknya. Ia tidak mau itu terjadi lagi.

Kalila berpindah ke pilihan selanjutnya. Ia mengenakan skinny jeans dan blus peplum berkerah menyilang seperti kimono yang dihubungkan dengan pita di bagian pinggang kiri. Ketika bercermin, ia mengangguk puas. Perfecto. Tidak terlalu biasa saja sekaligus tidak berlebihan. Ia siap untuk acara apa pun yang disiapkan lelaki itu. Entah itu sebuah makan malam atau sekadar jalan-jalan.

Setelah ia memulas pipi dan bibir, ia melirik ke jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Tergesa-gesa, ia menyambar kunci kamar dan mobil. Lalu mengenakan chukka boots kesayangannya alih-alih sepatu hak tinggi yang kemarin rencana akan dikenakannya.

“Gawat, gawat,” gerutunya sambil mengunci pintu kamar lalu bergegas meninggalkan rumah indekosnya.

Mobilnya memelesat ke arah selatan. Lalu lintas tidak telalu padat. Jalanan cukup sepi hingga membuat mobilnya melaju dengan lancar.

Kalila tidak bisa menahan senyum saat melewati salah satu bahu jalan yang tidak diaspal. Sebelum ini, ia pernah makan malam ‘romantis’ bersama Diego di sana. Dengan menu nasi goreng rendang dan nasi goreng cumi-cumi. Lengkap dengan dua gelas orange squash. Beralaskan atap mobil dan beratapkan langit penuh bintang.

Berbeda dengan langit kali ini yang tampak kelabu. Awan-awan tampak menggantung berat di atas sana. Dan detik berikutnya, butir-butir hujan sudah jatuh menyapa bumi. Membasahi jendela mobil dan membatasi jarak pandang Kalila.

“Oh, hujan sial,” gerutu Kalila sambil mengaktifkan penyeka kaca. Disusul ponselnya yang menyala dan menampilkan foto Diego dengan ekspresi menyebalkan.

Kalila memasang earphone ke telinganya, lalu menjawab panggilan itu. “Sebentar, aku masih dalam perjalanan,” ucapnya begitu mereka tersambung. Karena ia menduga lelaki itu menelepon untuk menanyakan lokasinya.


Oh, kukira kau belum berangkat,” ucap Diego sedikit kecewa. “Di sini hujan sangat deras. Tadi maksudku kau berangkat setelah hujan berhenti saja. Kau tahu, kan, jalannya agak sulit dan berkelok-kelok. Apalagi kalau hujan jalanan jadi licin.

Kalila tidak bisa tidak tertawa mendengar kekhawatiran Diego yang tergambar jelas dalam suaranya. “Tenang saja, ini bukan hari pertama aku menyetir.”

Seharusnya kau berangkat denganku saja.

Tetapi apa yang dikatakan Kalila, tidak sesuai dengan kenyataan. Saat ia berbelok ke kanan, tiba-tiba mobilnya lepas kendali. Ia menginjak-injak pedal rem tetapi mobilnya tidak juga melambat. Ia mencoba membanting setirnya ke kiri. Dan nahas, mobilnya malah menabrak pembatas jalan dan meluncur bebas ke arah lembah.

Kalila hanya bisa menjerit. Diikuti bunyi logam yang berderak, kaca yang hancur, dan ia merasakan tubuhnya berguncang. Mobilnya terus bergetar seolah hendak terkoyak. Hingga akhirnya ia merasakan mobilnya berhenti bergerak.

Kalila memejamkan matanya. Dan ia teringat pada semua orang yang sudah disakitinya. Pada Evelyn. Pada Diego. Jadi inikah balasan untuknya?

Detik berikutnya, samar-samar ia bisa mendengar suara Diego dari kejauhan. Lelaki itu memanggilnya dengan panggilan yang disukainya. Ia mencoba membalas. Walaupun mungkin itu hanya khayalannya. Tetapi tidak sedikit pun suaranya keluar.

Maka, ia memasrahkan dirinya pada kegelapan. Hingga yang tersisa hanya rasa sakit.


Jumat, 17 Maret 2017

Green Eyed - Chapter 11


ELENA POV
Aku tak akan mampu menerima keyataan bahwa Evan meninggalkanku. Aku terduduk lemas menatap dokter yang sedang berusaha mendapatkan Evan kembali. Aku merasa seperti berada dalam mimpi, suara riuh di sekitar tempatku berdiri pun tak mampu ku dengar,  seolah tuli dan bisu di saat yang bersamaan.

“… Lena… Elena…” Suara Nico perlahan merebut perhatianku. “Apa kau baik-baik saja?”

Aku menatap Nico, berusaha mendapatkan kesadaranku sepenuhnya. “Apakah kakak akan baik-baik saja?”

“Tentu, kami sudah mendapatkannya kembali, Elena. Kau tidak perlu khawatir.” Sahut Andre yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Wajah lelaki itu tampak letih dengan dahinya yang berkeringat.  “Tapi tenang saja, kau tak perlu berterima kasih padaku. Aku adalah dokter terbaik di rumah sakit ini, kau bisa percaya padaku.”

Mau tak mau aku pun menyunggingkan sedikit senyumku pada dokter yang sangat percaya diri ini. “Tentu saja aku akan mempercayaimu.”

“Bagus. Emm... Elena, aku ingin mengajakmu makan malam, malam ini. Apa kau keberatan?” Ujar Andre sambil melirik Nico.

“Tentu saja dia keberatan. Kupikir kau cukup cerdas untuk memahami situasi ini. Bukankah kau bilang kau dokter terbaik di rumah sakit ini?” Sahut Nico dengan suara tegas.

Aku menatap Nico yang mengerutkan dahinya hingga membuat alis tebalnya nyaris menyatu. Aku segera menurunkan senyumku karena firasatku mulai memburuk.  Aku bergantian menatap Nico yang semakin meruncingkan pandangannya dan Andre yang menyeringai.

“Maafkan aku, tetapi kau tahu situasinya seperti apa sekarang, bahkan untuk makan saja aku tak berselera. Aku meminta pengertianmu.” Ujarku mencoba memecahkan keheningan yang mencekam ini. “Mungkin lain kali saja.”

“Tentu. Aku akan menghubungimu nanti.” Andre mengedipkan sebelah matanya padaku dan aku yakin hal itu membuat Nico semakin gusar.

“Untuk apa kau bilang lain kali? Seharusnya kau katakan saja kalau kau juga ingin makan denganya!”

Ku tatap Nico yang sedang menggerutu sambil melirik tajam ke arahku. Aku sedang tidak dalam kondisi yang cukup tangguh untuk mendebat pembicaraannya. Aku menghela nafasku lelah, menyisipkan rambutku ke belakang telinga, kemudian berbalik menuju ke ranjang tempat Evan tertidur.

Wajahnya tampak pucat degan lebam-lebam biru di sekitar wajahnya. Dahi, tangan dan kaki kanannya terbalut perban yang cukup tebal. Aku yakin itu akan membuatnya tak nyaman. Kugenggam tangan kirinya yang terasa dingin. “Bangunlah, kak, bukankah kau bilang kau masih akan melindungiku?”

Ingatkanku kembali melayang pada saat kami duduk di sekolah dasar. Saat itu teman-teman kami berkumpul di halaman belakang sekolah. Mereka bersorak, saling mendukung jagoan mereka. Bisa kupastikan mereka tengah beradu untuk memenangkan sesuatu. Hal itu membuatku bersemangat untuk bisa mendukung salah satu dari mereka.

“Ayo kita lihat, Silvia.” Seruku sambil menyeret Silvia yang ada bersamaku. 

“Tunggu… tunggu… Jangan, Len, aku takut. Kita bilang saja pada bu guru.” Tolak Silvia takut. Aku tahu bahwa perempuan yang memiliki tahi lalat di sudut matanya itu memang anti kekerasan. Dia begitu lembut hingga terkadang membuatku tak bisa mengajaknya untuk menemaniku di saat seperti ini.

“Ya sudah kalau takut, aku akan melihatnya sendiri.” Aku meninggalkan Silvia. “Awas, beri jalan, princess mau lewat!” Teriakku membelah keramaian teman-teman yang bergerombol.

“Giant… Giant… Giant!!!” Seru sebagian besar siswa yang bertaruh untuk kemenangan Giant, yang kutahu adalah nama panggilan salah seorang siswa senior bertubuh besar. Kemudian samar-samar kudengar minoritas suara menyerukan nama Evan untuk bertahan sehingga membuatku semakin kuat untuk menerobos tubuh-tubuh yang jauh lebih besar dariku.

Mataku terbelalak saat kulihat Evan tersungkur kesakitan. Akupun semakin kuat mendorong kerumunan itu hingga aku sampai tepat di belakang Giant. Aku melepaskan sepatuku dan melempar kepala Giant dengan sepatu.

“Hei, bocah gendut! Apa yang kau lakukan pada kakakku?” Teriakku setangguh wonder women.

“Wah… Princess kita sudah datang teman-teman. Hei, kau itu anak perempuan. Jangan ikut-ikut dengan masalah laki-laki. Nanti kau kena pukul.” Giant memperingatkan.

“Kau memukul kakakku, akan kulaporkan kau pada bu guru.” Teriakku sambil melempar sebelah sepatuku pada wajah Giant. Aku berlari menghampiri Evan, membantunya untuk berdiri. “Kakak kenapa tidak membalas? Ayo berdiri.”

Saat aku hendak membantu Evan berdiri, tiba-tiba seseorang mendorongku hingga aku terjerembap ke tanah. Saat itu Evan bangkit dan segera melempar tinjunya pada Giant.

“Kenapa kau melukai perempuan? Jangan ganggu adikku atau aku akan menghajarmu!”

Aku mengingatnya dengan jelas saat aku menangis keras karena lututku berdarah. Guru kemudian datang dan membubarkan gerombolan. Sedangkan Evan yang panik bergegas menggendongku yang sedang menangis meski aku merasakan bahwa kakinya sendiri terluka.

“Meski mama dan papa tidak ada, aku akan selalu melindungimu, Elena. Aku berjanji.”
***

NICO POV
Dia memejamkan matanya yang tampak mengeluarkan air mata. Mungkin ia tengah bermimpi buruk dalam tidurnya. Aku memerhatikan kakak beradik yang tampak saling melindungi itu. Terkadang aku berpikir, jika saja adik perempuanku masih hidup, dia akan tumbuh seperti Elena. Mungkin akupun akan melindunginya semampuku, sama seperti aku melindungi Elena.  

Terkadang sendiri membuatku sangat kesepian. Ibu dan adikku meninggalkanku bertahun-tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan mobil. Sempat pada suatu ketika aku menyesali kehidupanku. Hingga sampai saat ini aku penasaran, apa yang membuatku tetap hidup, sedangkan kecelakaan itu merenggut orang-orang yang kusayangi, ibu dan adikku.

Mereka bilang kita dapat merubah nasib, tapi tidak dengan takdir. Namun bagiku, apapun yang telah kita lakukan, itulah takdir kita. Meski saat itu aku berusaha menyelamatkan ibu dan adikku, tak akan ada yang berubah. Pada akhirnya aku tetap akan sendiri. Di saat seperti inilah, aku tahu betapa pentingnya orang terdekat yang akan mendampingi kita.

Jemari Evan perlahan bergerak dan membangunkan Elena yang telah tertidur cukup lama.

“Kakak…” Elena berseru girang, kemudian memencet tombol yang berfungsi untuk memanggil perawat. Dalam hitungan detik, seorang perawat memasuki kamar dengan terburu-buru disusul oleh seorang... dokter.

“Apakah ada perkembangan, Elena?” Tanya dokter sialan itu sambil menyentuh tubuh Evan dengan stetoskopnya.

“Jarinya bergerak.”

“Kenapa kau di sini?” Entah mengapa kehadiran lelaki itu membuatku sangat kesal, bahkan hanya mendengar namanya membuatku ingin memuntahkan lahar panas.

“Kau harus percaya padaku. Sudah kubilang, bukan, bahwa aku ini adalah dokter terbaik. Kakakmu sekarang berada dalam kondisi stabil. Sebentar lagi dia akan membuka matanya. Kondisinya akan pulih dengan cepat.” Lelaki itu menyentuh bahu Elena tanpa memedulikan pertanyaanku.

“Kurasa kau harus memperbaiki saraf di telingamu.” Aku benci melihat mereka melakukan kontak fisik. Tidak, ini bukan karena aku cemburu berlebihan. Tetapi kurasa dokter sialan itulah yang berlebihan. Dia hanya dokter. Di mana ada dokter yang megajak adik pasiennya kencan, padahal dengan jelas ia tahu adik pasiennya itu bersamaku. Lelaki itu sama sekali tidak menghiraukan kehadiranku.

“Apa kau sedang mengatakan sesuatu?” Dokter sialan itu akhirnya mulai mendengarku.

“Aku bertanya padamu apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku melakukan tugasku sebagai seorang dokter terbaik di rumah sakit ini.” Nada suaranya terdengar mengejek, ditambah dengan tatapan menghina yang melukai harga diriku. Jika saja situasi ini menguntungkanku, aku akan menghajar lelaki ini hingga dia yang akan terbaring di ranjang menggantikan Evan.

“Jika kau merasa menjadi yang terbaik, maka lakukanlah segalanya dengan baik, termasuk jadilah dokter yang profesional.” Aku meraih tangan Elena, menariknya menjauh dari lelaki itu.

“Tawaranku masih berlaku, Elena. Aku akan menghubungimu jika saatnya sudah tepat.” Lelaki itu menatap Elena dengan senyuman yang hangat, kemudian senyuman itu berganti seringaian saat dia menatapku sebelum meninggalkan kamar Evan.

Jemariku mengepal dengan erat, menahan amarah yang rasanya semakin sulit ku bendung. Elena menyentuh jemariku, berusaha untuk mengurai kepalan tangan yang membuat buku-buku jariku memutih. Aku yakin ia tak menyadari betapa marah diriku saat ini. Aku mengacak rambutku, menoleh lemas ke arahnya dan menyandarkan kepalaku yang terasa sangat berat di bahu Elena.

“Tenanglah, aku tak akan memedulikannya. Aku hanya membutuhkannya untuk penyembuhan Evan. Hanya itu.”

“Aku tahu. Aku yakin padamu. Tetapi tingkah lelaki itu membuatku sangat kesal. Mungkin sebaiknya kau pulang, aku akan menjaga Evan.”

Elena menggeleng. “Bagiku kau dan Evan adalah orang-orang yang penting, aku tak akan meninggalkan kalian.” Usapan tangan kecil Elena di punggungku membuat amarahku sedikit demi sedikit mereda. “Apalagi kau tak akan bisa menjamin keamanan dan kedamaian di kamar ini jika kau bertemu dengan dokter Andre.” Lanjut Elena terkekeh.

Elena POV
Wajah lusuh dan kemeja kusut itu membuat penampilannya tampak berantakan. Lelaki itu tampak sangat lelah karena beberapa hari ini ia hampir tak pernah tidur di rumah. Ia selalu datang ke rumah sakit sepulang kerja dengan alasan ia tak ingin melihat dokter Andre menggodaku saat ia tak bersamaku.

Hari sabtu pagi yang seharusnya disambut dengan cuitan ceria burung gereja justru disambut dengan percikan air hujan yang membasahi kaca jendela kamar Evan. Sudah lebih dari dua jam hujan tak kunjung reda. Dinginnya udara di luar membuat Nico enggan bergerak dari dalam selimut hangat yang  membuatnya meringkuk seperti bayi.

Evan tersenyum memandangi Nico yang sesekali mengigau meski jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. “Seharusnya dia bisa menghabiskan akhir pekannya dengan beristirahat di rumah.”

“Semalam aku menyuruhnya pulang, tetapi tetap saja dia menolak karena khawatir mengenai dokter Andre.”

“Aku juga merasa janggal dengan cara dokter itu menatapmu. Mungkin dokter itu memiliki perasaan kepadamu, dan aku yakin hal itu akan membuat Nico gusar.”

“Di pagi yang dingin seperti ini, rupanya kalian sudah membuatku panas dengan membicarakan lelaki itu ya.” Ujar Nico yang mulai beranjak dari sofa tempatnya tidur.  Nico berusaha membuka matanya yang mungkin masih terasa berat.

“Tidak sayang, cepatlah mandi, lihat kau sama sekali tidak keren.” Aku mencoba menggoda lelaki tampan yang tampak menolak segala kegiatan apapun di pagi yang dingin ini. Namun tanpa perlawanan, langkah malas lelaki itu menuntunnya menuju toilet, setidaknya untuk membasuh wajahnya.

Tepat setelah pintu toilet tertutup, pintu kamar terbuka, seorang dokter umum penanggung jawab Evan dan dua orang suster datang untuk mengecek kondisi Evan. Tak lama kemudian seseorang dengan kemeja keemasan yang tampak cocok dengan kulit putihnya masuk ke dalam kamar.

“Selamat pagi dokter Andre.” Sapa dokter umum yang ku ketahui bernama dokter Rio tersebut.  Lelaki itu tak menggunakan jas putih kebesarannya kali ini, sehingga ia tak tampak seperti seorang dokter, justru seperti seorang artis yang mengesankan.

“Selamat pagi. Bagaimana keadaanmu sekarang?” Tanya dokter Andre pada Evan.

“Sangat baik. Aku justru berharap agar bisa pulang hari ini juga.”

“Tentu saja, jika kau merasa lebih baik, dokter Rio akan mengeluarkanmu dari sini secepat mungkin.” Ujar dokter Andre dengan senyuman menawannya. “Elena, aku ingin bicara denganmu, bisa keluar sebentar?”

Aku mengernyitkan dahi, mencoba menerka hal sepenting apa yang akan dikatakan oleh dokter Andre hingga ia memintaku untuk bicara secara pribadi. Aku memilin-milin jemariku gugup, entah karena apa. Mungkin karena Nico. Entah apa yang akan Nico pikirkan jika saat ia keluar dari toilet aku tak berada di sana, dan entah apa yang akan dilakukannya jika ia tahu bahwa aku pergi bersama lelaki ini.

“Hmm…” Andre berdehem, memecah keheningan yang tercipta saat kepalaku bergulat dengan pemikiran tentang Nico.  “Tampaknya pacarmu itu setiap hari berada disini ya.” 

Aku mengangguk pelan. Lelaki itu menghela nafas, senyum miring di bibirnya seolah ingin menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah tentang keberadaan Nico. “Apa ada yang salah dengan itu?”

“Tidak, hanya saja aku ingin mengatakan bahwa selama ini aku menyukaimu.”

“Selama ini? Kurasa delapan hari kakakku dirawat di rumah sakit ini bukanlah waktu yang cukup untuk kau bisa memutuskan bahwa kau menyukaiku, dokter Andre.”

“Tidak, bukankah sudah kubilang aku sering melihatmu di rumah sakit ini sebelumnya? Dan lagi aku tak perlu membutuhkan waktu lebih lama dari delapan hari untuk dapat memutuskan bahwa aku menyukaimu.”

“Terima kasih atas perasaanmu kepadaku, tetapi kau tahu, aku menyukai orang lain.”

“Aku tidak memaksamu untuk balas menyukaiku, hanya izinkan aku untuk tetap menyukaimu. Dan aku akan senang jika kau memberiku kesempatan untukku agar selalu dapat bersamamu.”

Aku terkesiap mendengar pernyataan tiba-tiba itu. Meski Evan sudah memperingatkan padaku mengenai hal itu sebelumnya, namun aku masih tak ingin percaya. Bahkan aku sama sekali tak mengaggapnya serius.

Aku menarik nafas yang panjang, aku membutuhkan banyak tenaga dan oksigen untuk menanggapi percakapan canggung ini.  “Sebaiknya kau berhenti bercanda. Ini bukanlah sesuatu yang seharusnya kau ucapkan di lorong rumah sakit.”

“Begitukah? Apakah kita harus memulainya dengan makan malam bersama?”

“Tidak, bukan itu maksudku. Maksudku….”

“Elena.” Suara itu membuatku hampir terlonjak dari tempatku berdiri. Dengan cemas aku menoleh untuk menatap pemilik suara yang terdengar dingin itu. “Apa yang kau lakukan?” Tanyanya kemudian. Kutatap wajah dingin pria memesona yang berdiri di belakangku.

Aku menelan ludah, aura dingin yang dipancarkan lelaki itu tampak membuatnya begitu menyeramkan. “Tidak. Nick. Aku…”

“Tidak ada, dia tidak melakukan apapun. Aku hanya memintanya untuk memberi kesempatan padaku. tetapi dia menolakku.” Andre mencoba menjelaskan. “Tapi aku tak akan menyerah, aku akan berusaha lebih keras, Elena.” Lanjutnya.

Bisa kulihat dengan jelas bagaimana rahang Nico mengetat menahan amarah dengan tangan terkepal kuat, seakan hendak melayangkan tinjunya. Kilat penuh kebencian tampak jelas di mata gelap Nico.  Dengan sigap aku menarik lengan Nico sebelum perperangan terjadi, “Sudalah. Ayo bicara di dalam.”

“Kau… sudah kuperingatkan padamu untuk berhenti mendekati Elena. Aku akan membuat perhitungan denganmu!” Ancam Nico.
***
NICO POV
Di pagi yang dingin ini aku begitu merasa membara. Hanya sebentar saja aku meninggalkan Elena untuk mencuci wajahku, lelaki sialan itu telah mencuri Elenaku. Aku mengintip pada celah pintu yang terbuka, dan aku mendengarkan pembicaraan mereka.

“Terima kasih atas perasaanmu kepadaku,” Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang kudengar adalah suara Elena. “tetapi kau tahu, aku menyukai orang lain.” Lanjutnya.

Bagus, dasar pria tidak tahu diri. Aku sudah memperingatkannya berkali-kali untuk menjauhi Elena, tapi tampaknya dia sama sekali tak mengindahkan peringatanku. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, tapi dia terlalu terang-terangan untuk perasaannya.

Aku terus mendengarkan sejauh mana percakapan mereka tentang sesi pernyataan cinta ini.  “Sebaiknya kau berhenti bercanda. Ini bukanlah sesuatu yang seharusnya kau ucapkan di lorong rumah sakit.” Ujar Elena tegas.

Segera kuterobos pintu dan berdiri tepat di belakang Elena. Lelaki sialan itu menatapku sejenak dan memberikan seringaian untukku. “Begitukah? Apakah kita harus memulainya dengan makan malam bersama?”

“Tidak, bukan itu maksudku. Maksudku….”

“Elena.” Kupotong pembicaraan mereka sehingga tatapan mereka berdua terfokus ke arahku. “Apa yang kau lakukan?” Kutatap Elena dan lelaki itu bergantian. Lelaki itu melempar seringai penuh hinaan kepadaku. Sungguh aku ingin menghancurkan wajahnya saat ini juga.

“Tidak ada, dia tidak melakukan apapun. Aku hanya memintanya untuk memberi kesempatan padaku. tetapi dia menolakku.” Lelaki itu mencoba menjelaskan. “Tapi aku tak akan menyerah, aku akan berusaha lebih keras, Elena.”

Aku tak pernah memiliki kesabaran yang cukup untuk menghadapi lelaki ini. Aku pun mengepalkan tanganku dan bersiap untuk melemparkan tinju untuknya. Tetapi di saat yang sama, Elena menarik tanganku.

“Ayo bicara di dalam.” Seru Elena menarikku menuju ke kamar Evan.
***
Evan menatap kami penasaran, seolah ia memiliki daftar pertanyaan yang cukup panjang untuk kami. Elena membuka lemari es dan menuangkan segelas air dingin yang kemudian ia berikan padaku.

“Untuk apa?”

“Minumlah.” Kata Elena singkat. Aku tahu dari nada suaranya bahwa ia sedang kesal saat ini. Tapi aku yakin rasa kesalnya itu tak akan melebihi rasa kesalku melihat mereka berduaan di lorong tadi.

“Yang benar saja, pagi yang dingin ini kau menyuruhku meminum ini?”

“Aku yakin kau kepanasan. Apa perlu kau kudinginkan dengan air ini kusiramkan ke tubuhmu? “

“Elena, jaga bicaramu.” Sahut Evan. “Sebenarnya apa yang terjadi?”

“Nico hampir saja memukul dokter Andre di depan tadi.”

“Karena aku tidak suka mereka memiliki sesi pernyataan cinta tanpa sepengetahuanku.” Aku yakin Evan akan berpihak padaku, mengingat kami dilahirkan dalam jenis yang sama. “Begitukah? Apakah kita harus memulainya dengan makan malam bersama?” Aku mencoba menirukan suara lelaki sialan itu.

Evan mengernyit, “Tunggu… Elena, apakah itu artinya kau sedang mencoba melakukan sesuatu dengan dokter itu?”

“Tidak kak, aku bersumpah.” Elena membela diri. “Nick, kenapa kau berkata seperti itu? Dia menyatakan perasaannya padaku, tapi aku menolaknya karena aku menyukaimu. Itu yang kukatakan padanya.”

“Lalu ada apa dengan makan malam bersama?” Tanyaku berpura-pura penasaran meski aku sudah mendengar hampir seluruh percakapan mereka.

”Saat itu aku sedang canggung dan tak tahu harus berkata apa. Lalu aku mengatakan padanya untuk tidak bercanda di lorong rumah sakit. Dan dia membalasnya dengan kata-kata seperti itu.” Elena menjelaskan dengan terbata-bata. Kulihat wajahnya mulai memerah dan air mata mulai membasahi matanya. Ia mengusap dengan cepat air matanya yang belum sempat menuruni pipinya. Dan hal itu membuatku sedikit melunak.

Aku beranjak dari tempat dudukku dan memeluk tubuh Elena. Aku menyadari mungkin memang aku sudah keterlaluan. Aku tahu apa yang terjadi namun aku masih saja menuntut penjelasan dari gadis itu.

“Maafkan aku. Aku mempercayaimu, Elena.”

“Tapi tidakkah kau merasakan sesuatu yang aneh pada dokter itu?” Tanya Evan menyela. Aku mengernyit untuk mencari tahu maksud perkataan Evan. “Menurutku dia terlalu kentara dalam menunjukkan perasaannya. Maksudku, dia tampak sengaja membuatmu marah meski kau berada di dekat Elena. Aku tak tahu apa tujuan dia sebenarnya, tapi apakah kau yakin jika lelaki itu hanya menyukai Elena seperti kau menyukainya?”

“Aku tidak mengerti maksudmu, kak.” Elena yang tampak penasaran mulai membuka suara.

“Entahlah aku merasa memiliki firasat yang aneh. Aku tak menjanjikan itu buruk, hanya saja aku merasa dia sangat janggal.”

“Apakah itu semacam dia seperti dokter gadungan?” Aku semakin tertarik dengan topik ini.

“Tidak, bukan seperti itu, aku rasa dia memang seorang dokter tapi kupikir dia memiliki maksud yang lain. Entalah, sebaiknya kau waspada, Elena.”


Bersambung…..