Jumat, 27 Mei 2016

Green Eyed - Chapter 5


Elena POV
“Lepaskan aku! Lepaaaaas!!!” Aku meronta sekuat mungkin. Sialnya dua orang berlengan kekar yang tidak keren sama sekali itu tampak enggan mengendurkan cengkeramannya sedikitpun. “Kalian tidak akan membawaku kemana-mana!” Aku melompat-lompat, bergerak dengan kasar untuk melepaskan diri. Mataku beredar mencari pertolongan, hingga kutemukan sesosok lelaki yang kucari-cari tengah duduk bersantai di depan televisi.

“Nick, tolong aku!” Aku berteriak sekencang yang kumampu hingga tenggorokanku terasa serak. Tetapi lelaki itu bergeming, perlahan menoleh diiringi senyuman licik penuh arti yang tersungging di bibirnya.

“Sialan kau Nick, kau menjebakku! Kau pembohong!” Teriakku meledak-ledak. Sungguh tak seharusnya aku percaya pada siapapun. Bahkan kini pun aku mulai tak percaya pada diriku sendiri. Dan kalian lihat akibatnya aku mempercayai diriku untuk mempercayakan keselamatanku padanya?

“Lihat saja Nick, aku mengutukmu! Aku bersumpah kau akan menikahi macan betina yang galak dan akan mencabik-cabik wajahmu!” Sumpah serapah keluar dari mulutku tanpa aku bisa menghentikannya. Ini terlalu menyakitkan, terlebih saat melihat lelaki yang kau cintai mengkhianatimu dan menertawakanmu saat polisi menggiringmu keluar.

Air mataku lolos tepat saat tawa itu keluar dari mulutnya. Tawanya menggelegar memenuhi seisi ruangan. Aku bersumpah lelaki itu tertawa seperti iblis hingga membuatku bergidik ngeri. Tawa itu masih terdengar jelas, meraung-raung dalam gendang telingaku. Kemudian tawa itu seolah menyelimuti seluruh tubuhku hingga aku merasa kesulitan untuk bernapas. Dadaku terasa sesak, pandanganku kabur, lalu beberapa saat kemudian semuanya terasa gelap dan sunyi.

Aku pasti sudah mati.

Aku membelalakkan mataku saat oksigen terasa memenuhi rongga dadaku. Hidungku terasa begitu sakit. Tetapi tawa itu kembali menusuk telingaku.

“Selamat siang, adik kecil.” Sapa seseorang yang tengah duduk bersila di atas ranjang. Sinar matahari yang menembus jendela kaca di belakangnya, tampak membuat lelaki itu seperti seorang malaikat yang bersinar—ralat, iblis yang bersinar. Dan iblis itu telah nyaris membunuhku dengan tangan hangatnya yang memencet hidungku.

“Apa yang kau lakukan di kamarku?”

“Membangunkanmu. Kau berharap apa lagi? Ini sudah nyaris jam dua belas siang lalu kau berteriak menyumpahiku menikah dengan macan betina. Oh ya ampun, aku sungguh takut.” Ujar lelaki itu dengan suara yang dibuat-buat.

“Bangun pemalas!” Lelaki itu berkata sebelum aku mampu mencerna apa yang dikatakannya tadi. Kemudian ia menarik kedua kakiku hingga menyentuh lantai kayu di bawah ranjang. “Setengah jam lagi aku menunggumu di bawah untuk makan siang.”

“Baik, tuan besar.” Nada kesal yang sengaja kutegaskan, kuharap akan menyentil telinganya. Namun ternyata lelaki itu hanya menyunggingkan senyumnya yang begitu manis yang mungkin akan membuat gula darahku melonjak jika aku terus memerhatikannya.
***
Nico POV
Entah apa yang ada dalam mimpinya. Bibi Riana mengatakan bahwa gadis itu mengigau. Lalu ketika aku memasuki kamarnya, ia berteriak-teriak menyumpahiku untuk menikah dengan macan betina. Mungkinkah macan betina itu dia? Mengingat sifatnya yang galak itu membuatku tersenyum geli penuh harap. Aku meneguk segelas jus jeruk yang baru saja dibuatkan oleh bibi Riana. Sebelah tanganku masih memainkan sebuah gelang yang terbuat dari untaian rantai perak dengan bandul cantik yang di dalamnya terdapat permata hijau yang tergantung di sepanjang rantainya.

Beberapa jam yang lalu aku pergi ke pasar seni yang tak jauh dari rumah. Aku berniat mendatangi stan lukisan milik teman lamaku, dan aku melihat sebuah stan yang menjual berbagai perhiasan. Aku teringat pada Elena dan membeli satu untuknya.

“Panas sekali di sini.” Suara itu terdengar merdu di telingaku. Gadis itu mengenakan sebuah terusan berwarna hijau muda dengan motif bunga di bagian bawahnya. Kemudian ia duduk di sampingku.

“Aku lapar.” Bibirnya mengerucut saat mengatakan itu. Aku masih menyangga daguku dengan sebelah tangan, masih menatap lekat-lekat wajah gadis itu. Tiba-tiba gadis itu mendekatkan wajahnya ke wajahku—sangat dekat hingga aku merasakan jantungku berdetak sangat kencang. Lalu ia menjauh dan terkiki geli. Ya, aku digoda oleh seorang gadis!

Aku berdecak kesal saat gadis itu menatapku dengan seringaian jahil di wajah cantiknya. Kupikir dia akan menciumku!

 “Mana mungkin aku menciummu.” Kata gadis itu tiba-tiba. Lihat, bukankah ia mirip cenayang yang bisa mendengar suara hati? Benar-benar gadis yang menarik dan multitalenta. Aku menggenggam pergelangan tangannya saat ia hendak meletakkan gelas jus jeruk milikku yang sempat ia teguk barusan. Ia menaikkan sebelah alisnya.

“Kenapa kau tidak mau? Apa harus aku yang mulai duluan?” Aku balas menggodanya dan semburat kemerahan mulai menjalar di wajahnya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Aku tahu pasti dia salah tingkah. Jika tidak, aku yakin gadis itu akan menyemburkan sumpah serapahnya seperti yang biasa dia lakukan padaku.

“Aku punya sesuatu untukmu.” Aku menarik tangan kirinya, kemudian melingkarkan gelang itu pada pergelangan tangannya. Tampak cantik dan serasi dengan pakaiannya hari ini. Aku melihat matanya membesar kemudian dilanjutkan dengan senyumannya yang melebar.

“Cantik sekali. Ini gratis untukku?”

“Sayangnya tidak,” Senyumnya memudar digantikan alisnya yang hampir menyatu di atas matanya. “Suatu hari nanti aku akan meminta bayarannya padamu.”
***
Elena POV
Aku masih terus memandangi gelang yang diberikan Nick padaku. Sangat cantik. Entah apa yang terjadi pada akhirnya kami menjadi semakin dekat, terlebih setelah pernyataan cintanya beberapa hari yang lalu. Aku menghirup udara pagi yang masih sejuk, dan berjalan-jalan di sekitar kebun teh yang daunnya masih basah karena embun. Nick masih tidur dan aku hanya meninggalkan pesan pada bibi Riana jika Nick mencariku.

Aku merasa seseorang menepuk pundakku saat aku hendak melewati sebuah jembatan yang sangat kecil  di dekat kebun. Sial, gadis itu!

“Halo, bukankah kau teman Nico? Aku Leoni.” Ujar gadis itu yang kemudian menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Suaranya yang dibuat-buat membuatku ingin mencekiknya sekarang juga. Aku muak dengan gadis ini!

“Elena.” Jawabku singkat, menjabat tangannya agar harga dirinya tak terluka. Aku mengerutkan kening ketika gadis itu masih tak melepaskan jabatan tanganku dan spontan aku melirik tangannya.

Wah, gelang yang sama dengan yang diberikan Nico untukku. Bagaimanapun juga aku tak suka seseorang memiliki barang yang sama denganku, terlebih gadis di hadapanku ini.

“Oh, lihat,” Ia menarik tangan kiriku yang berusaha kusembunyikan. “Nico yang memberikannya untukmu? Lihat punya kita sama.” Ujar gadis itu girang. Aku memutar bola mataku, ingin segera terlepas dari jeratan ular berbisa yang menyebalkan ini.

“Begitulah.” Aku terang-terangan menunjukkan ketidak sukaanku pada Leoni, tapi tampaknya gadis itu sama sekali tidak peka. Jika aku jadi dia, aku akan segera pergi saat lawan bicaraku terlihat keberatan.

“Sungguh? Pantas saja kemarin dia membeli dua. Ternyata satunya diberikan padamu.”

Ada banyak alasan mengapa aku membenci gadis itu. Pertama, suara manjanya terlalu dibuat-buat dan itu membuatku ingin muntah. Kedua, dia sama sekali tidak peka. Ketiga, dia agresif, terlebih pada Nick dan itu poin yang paling membuatku benci pada gadis itu. Aku mengembuskan nafas melalui mulutku, sebuah asap tipis keluar melalui mulutku. Pagi ini dingin, namun hatiku sudah terasa sangat panas.

“Oh ya? Nick membelinya bersamamu kemarin?” Kali ini aku mengikuti nada suaranya. Terlihat riang meski hanya dibuat-buat.

“Tentu saja, dia mengajakku ke pasar seni.”

“Lihat, betapa romantisnya Nick. Bahkan saat pergi denganmu, dia masih mengingatku, Leoni.” Dalam hari aku tertawa saat melihat ekspresi Leoni yang mulai berubah.

“Yah, mungkin dia hanya sungkan padamu karena dia tidak mengajakmu pergi.”

“Dia sudah mengajakku, tapi aku yang tidak mau karena aku masih mengantuk. Begitu dia sampai di rumah, dia membangunkanku dengan kecupan yang lembut, kemudian dia memakaikan gelang ini di tanganku.” Sungguh aku ingin tertawa saat kalimat itu keluar dari mulutku. Membangunkan dengan kecupan kubilang? Jika saja Leoni tahu bahwa saat itu Nico hampir membunuhku. Wajah gadis itu mulai memerah. Tampaknya emosinya telah mulai naik ke kepalanya, namun ia tetap berusaha tenang.

“Memang begitulah Nico. Dia lelaki yang lembut. Mungkin aku sedikit beruntung bertemu dia lebih dulu. Dan aku yakin dalam hati Nico masih ada aku.”

“Percaya diri sekali kau.”

“Tentu saja, kami nyaris menikah jika saja anak kami tidak gugur.”

Seseorang, tolong tampar aku. Apa yang baru saja kudengar? Anak? Membayangkan Nico berdekatan dengan seorang gadis saja aku tak mampu, dan sekarang gadis sialan itu bilang ‘anak’? Aku dapat merasakan tengkukku merinding. Kali ini gadis itu membuat kemarahanku merangkak menuju puncak.

“Selain romantis, pengertian, perhatian, Nico juga lelaki yang hebat di ranjang.”

Cukup! Hentikan, sialan!

“Yah, aku tahu. Dan anak ini,” Aku menyentuh perutku yang sedikit membuncit karena terlalu banyak makan. “aku pastikan akan menjaganya dengan baik dan kami akan membangun hidup yang bahagia.”

“Ya, kecuali aku mampu merebut Nico darimu dan membuatmu menjadi orang tua tunggal.”

Leoni sudah melebihi batasnya dan aku tak akan lagi memberikan toleransi pada wanita ini, aku mendekatinya kemudian dengan kasar menarik rambutnya yang tergerai panjang. Aku yang sedikit lebih tinggi darinya merasa beruntung karena aku mampu mengintimidasi gadis itu. Aku menarik rambutnya hingga gadis itu mendongak sambil merintih. Aku mendekatkan bibirku di telinganya.

“Kau, jika kau masih ingin selamat, jauhi Nico atau aku tak akan segan-segan menyiksamu jauh daripada ini.” Gertakku dengan gigi yang masih terkatup.

Mungkin mengintimidasi lawan sudah jadi bakatku sejak di sekolah menengah. Bahkan seniorku saat kuliah pun enggan mencari masalah denganku atau mereka akan merasakan akibatnya. Tapi itu dulu, menjelang skripsi aku sudah bertobat. Aku takut musuh-musuhku akan mengutukku dan membuatku jadi mahasiswa abadi di kampusku.

“Elena, lepaskan. Sakit.” Leoni sedikit meronta saat aku menjambaknya semakin kuat. Aku menyeringai, menikmati rasa sakit gadis itu.

“Kau pikir aku akan mudah melepaskanmu? Lihat saja nanti. Aku akan membunuhmu jika kau masih mendekati Nico.” Ancamku yang kemudian melepaskan tanganku saat seseorang memanggil namaku.
***
Nico POV
“Elena.”

Aku melihat gadis itu tampak berbeda. Kilatan kemarahan terlihat jelas di matanya.

“Nick, tolong aku.” Leoni yang menangis berlari ke arahku kemudian memelukku. Aku tak membalasnya karena bagiku aku tak punya alasan untuk memeluk orang lain kecuali Elena.

“Le-o-ni.” Suara dingin Elena mengalahkan suhu pagi ini di kebun teh. Di satu sisi aku kasihan melihat Leoni, di sisi lain, aku senang karena Elena tampaknya telah memberi pelajaran pada gadis manja itu.

“Elena sudahlah.” Aku mencoba menjauhkan Leoni dariku dan berjalan mendekati Elena. Namun entah mengapa tatapannya padaku terasa tajam. Aku mengernyit bingung. Aku yakin Leoni telah mengatakan sesuatu padanya.

“Aku ingin kembali pada Evan.” Ujar Elena saat aku berdiri di hadapannya. Aku mengikuti arah pandang Elena yang masih menerawang jauh di belakangku. Leoni, gadis itu berlari meninggalkan kami. Tiba-tiba Elena melingkarkan kedua tangannya di pinggangku, ia menyandarkan kepalanya di dadaku. Hening. Namun aku merasakan pundak gadis itu bergetar. Ia menangis. Aku sepertinya telah melewatkan bagian penting mereka berdua.

“Kau kenapa, Elena?”

“Aku ingin pulang. Se-ka-rang!”

“Tapi polisi…”

“Aku tak peduli.” Elena menyela. “Di sini sudah seperti penjara bagiku, terlebih dengan adanya Leoni, membuatku semakin muak.”

“Kau cemburu?”

“Aku ingin pulang!” 

Elena mengusap air matanya dengan kasar. Sejenis air mata yang tumpah karena kemarahan. Gadis itu menghentakkan kakinya kemudian pergi meninggalkanku.

“Apa yang dikatakan Leoni?” Aku menyejajarkan langkahku dengan Elena.

“Semuanya.”

“Seperti apa, misalnya?” Elena tak menjawab pertanyaanku. Ia melirikku sejenak, menatap ke dalam mataku kemudian berlari ke dalam rumah. Firasatku mulai memburuk, entah apa yang dikatakan Leoni hingga Elena semarah ini.

Brak.

Pintu kamarnya sudah terbanting dan itu tandanya setan kemarahan sudah merasukinya. Kali ini aku harus meminta penjelasan padanya atau semuanya akan semakin kusut mengingat sifat Leoni yang akan menggunakan cara apapun untuk menapatkanku.

“Elena, aku masuk.” Aku membuka pintunya, tak peduli ia akan melempar pisau padaku. Bantal, guling dan selimut tidak lagi ada di tempatnya. Gadis itu sedang murka.

“Jelaskan padaku.” Aku tak ingin bantahan, aku harus tahu situasi apa yang kuhadapi.

“Apa lagi? Kau lebih tahu dengan kisahmu.”

“Elena.” Aku masih mencoba menelan emosiku. Jika ini bukan Elena, aku pasti sudah meledak-ledak karena ia merajuk dengan cara yang menjengkelkan seperti ini.

“Ini gara-gara kau.”

“Aku?”

“Ya, kau pergi mengajak Leoni keluar dan membelikanku gelang yang sama dengannya.” Oh, bagus. Kemampuan berakting Leoni sama sekali tak surut meski aku sudah lama aku tak bertemu dengannya.

“Aku pergi sendiri, dan aku hanya membelikan satu untukmu.”

“Pembohong.”

Aku mendesah kesal, kenapa gadis ini benar-benar keras kepala dan lebih memercayai Leoni.

“Aku bersumpah Elena, kau bisa temui temanku dan bertanya padanya.”

“Kau masih menyukai Leoni?”

Ya ampun, apa lagi ini?

“Tidak. Aku hanya mencintaimu, Elena.”

“Leoni, dia mantan pacarmu? Kalian hampir menikah?”

“Apa aku sedang diinterogasi sekarang?” Ya Tuhan, aku sudah nyaris putus asa sekarang dan Elena masih menanyaiku dengan hal-hal yang tidak-tidak. Elena menyatukan alisnya, simbol bahwa ia harus mendapat jawaban. Aku mengembuskan napas putus asa.

“Ya.”

“Antar aku pulang sekarang.” Gadis itu kembali merajuk. Aku membenamkan wajahku pada kedua telapak tanganku, kemudian menggaruk rambutku yang sama sekali tidak terasa gatal.

“Elena, aku memang akan menikahinya, tapi itu tidak terjadi.”

“Tentu saja, karena anak kalian gugur? Karena itu kalian batal menikah?”

“Lelucon macam apa ini?” Kesabaranku mulai tak terkendali. “Kau lebih memercayainya dari pada aku? Gadis pembual itu menurutmu lebih berkata jujur dari pada aku? Kau keterlaluan, Elena.” Suaraku nyaris berteriak, membuat gadis dihadapanku terkesiap. Aku memejamkan mataku sejeak, mengatupkan bibirku erat-erat, meredam emosi yang mulai membuat kepalaku berdenyut.

“Elena, itukah yang membuatmu mengatakan padanya bahwa kau hamil anaku?” Aku ingin marah dan tertawa pada saat yang bersamaan ketika teringat Elena menyentuh perutnya dan mengatakan bahwa kami akan hidup bahagia. Anak? Bahkan untuk menciumku saja Elena enggan.

Elena mengangguk lemah, tak berani menatap mataku. Ada kalanya gadis ini tampak menggemaskan, terlebih saat ia sedang… cemburu. Aku mendekatinya, satu tanganku menaikkan dagunya, sedangkan tangan yang lain menggenggam jemarinya.

“Aku tak pernah menyentu Leoni sejauh apa yang kau pikirkan di kepalamu itu, Leoni hanya masa laluku. Dan sekarang, aku mencintaimu. Percayalah.”


Bersambung…

Kamis, 26 Mei 2016

Purple Maple (Tiga)



MUNGKIN, ada baiknya Kalila pergi memeriksakan dirinya ke dokter. Akhir-akhir ini, ia memang merasa kurang sehat. Seolah ada beban yang menekan tengkuknya kuat-kuat. Hingga membuatnya kehilangan selera makan. Bahkan ia kesulitan berkonsentrasi di ruangan kuliah yang nyaman. Sekujur tubuhnya berkeringat dingin walaupun suhu di sekitarnya disejukkan pendingin ruangan.

Kalila merasakan sentuhan ringan di bahunya. Astaga, apa ia tertidur di kelas? Pikiran itu membuatnya panik dan langsung mengangkat kepalanya. Akibatnya, kepalanya malah pening luar biasa.

Tetapi apa yang dilihatnya, bukanlah wajah dosen killer  yang bersiap menegurnya. Melainkan wajah Elliot yang tengah menunduk memerhatikannya. Kalila bisa melihat suasana kelas yang sudah lengang di balik punggung lelaki itu. Hanya tersisa mereka berdua di kelas.

Kalila mengerang dalam hati. Keningnya mengernyit tajam, membuatnya tampak menakutkan. Sejak kapan kuliah berakhir tanpa sepengetahuannya?

“Kal, kau mau makan siang denganku hari ini?” tanya Elliot dengan hati-hati. Entah mengapa lelaki itu terlihat takut. Seolah Kalila adalah bom yang bisa meledak sewaktu-waktu. “Ada yang ingin kubicarakan.”

Mendengar ajakan makan siang itu, sontak membuat perut Kalila membisikkan raungan kecil. Ia menyentuh perutnya sambil melirik jam tangan ungu yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul sebelas siang. Dan ia langsung teringat mango smootie dari Rainbow Cafe kemarin siang adalah kudapan terakhir yang mengisi perutnya.

Ah, pantas saja Kalila merasa seburuk ini. Ia tidak ingin jatuh sakit yang akan mengganggu kuliahnya. Secepatnya ia harus menjejalkan makanan apa pun ke dalam perutnya yang kosong. Tetapi tentu saja tidak bersama Elliot.

“Maaf, Elliot. Tapi... aku sudah ada janji siang ini,” elak Kalila cepat karena menyembunyikan kebohongan. Tangannya juga tidak kalah cepat membereskan alat tulisnya dari atas meja. Kemudian kakinya melangkah tergesa meninggalkan kelas.

Tetapi apa yang menyambutnya di luar kelas, membuat jantung Kalila melompat naik ke tenggorokan. Sementara langkahnya terhenti menyisakan bunyi berdecit di lantai. Ia berjingkat ngeri mundur selangkah ke belakang.

“Hai, Lil Princess,” sapa lelaki itu sambil menampilkan senyum lebarnya. Seolah itu sudah terbiasa dilakukannya untuk Kalila. “Mau menemaniku makan siang?”

Mendengar suara Diego yang membelai telinganya, membuat jantung Kalila langsung merosot jatuh ke kakinya. Ia menelan ludahnya yang terasa pahit. Sementara tubuhnya berbalik di atas tumitnya. Dan berhadapan langsung dengan Elliot yang baru saja keluar dari kelas. Tanpa pikir panjang, ia mengamit lengan Elliot dan menyeretnya menjauh. Tidak peduli pada sorot kebingungan di wajah lelaki itu.
***

“Sebenarnya kita mau ke mana, Kal?”

Suara itu langsung mengembalikan akal sehat Kalila. Buru-buru, ia menarik tangannya kembali dengan canggung. Sementara kepalanya celingukan, memastikan tidak ada Diego di sekitarnya.

“M-maaf,” ucap Kalila sambil menarik turun topinya untuk menutupi wajahnya yang memerah karena malu. “Maaf, sudah menarikmu begitu saja.”

“Tidak apa-apa. Aku justru merasa senang.” Elliot tersenyum menampilkan lengkungan di pipinya. “Kukira kau marah padaku.”

“Kenapa harus marah?” tanya Kalila bingung. Ia menatap Elliot melalui bulu matanya yang lentik.

Hem, karena aku terlihat tertarik dengan temanmuErin,” jawab Elliot sambil meringis masam. Terdengar sedikit keraguan dalam suaranya. “Kukira kau... cemburu.”

Mulut Kalila langsung ternganga seketika. Ada tawa dan perasaan tidak menyangka yang bergelayut di sana. Keningnya mengernyit heran. Bagaimana bisa lelaki ini memikirkan kemungkinan seperti itu?

“Ya, kau tahu, maksudku,” ucap Elliot terpatah-patah, merasa sudah mengucapkan sesuatu yang salah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kemarin kau pergi, maksudku, pergi begitu saja setelah aku berkenalan dengan Erin. Tapi itu sama sekali bukan seperti

“Kau salah mengira, Elliot,” sela Kalila sambil melepaskan tawa kecilnya. “Aku sama sekali tidak marah. Malah aku senang kalau kalian bisa bersama.”

“Benarkah?” tanya Elliot tidak percaya. “Kau sungguh tidak marah padaku?”

Kalila mengangguk meyakinkan. Ia menepuk ramah bahu lelaki itu lalu berujar, “Omong-omong, terima kasih sudah bersedia kuseret seperti tadi.”

“Tidak masalah.” Elliot menggidikkan bahunya. “Sempat kukira tadi kau mau mengajakku makan siang.”

Sekali lagi, Kalila tertawa kecil menanggapi perkiraan Elliot. “Tapi aku ada kuliah lagi setelah ini.”

Elliot ingin mengejar Kalila yang langsung pergi begitu saja. Tetapi ia mengurungkan niatnya dan malah terkekeh kecil karena sadar sudah ditolak.
***

Setelah meninggalkan Elliot yang sudah membantunya untuk kabur dari Diego, Kalila terus melangkahkan kakinya menuju bagian timur gedung fakultas. Hingga akhirnya, matanya menangkap pemandangan pintu perpustakaan. Pintu itu terbuka lebar, seolah sengaja hendak menyambutnya.

Langkah kaki Kalila menghentak antusias. Lapar di perutnya menguap begitu saja. Berpindah ke otaknya yang lapar akan pengetahuan. Lagi pula ia harus mengejar keterlambatannya karena sama sekali tidak mendengarkan kuliah Ekonomi Mikro tadi.

“Hai, Kal.”

Terdengar sapaan ringan dari seorang gadis di belakang punggung Kalila. Gadis itu menepuk kuat bahunya. Saking kuatnya hingga membuat ia limbung dan nyaris tersungkur. Beruntung, kakinya masih cukup kokoh menopang tubuhnya.

“Ohhai, Val.” Kalila balas menyapa sambil membalikan tubuhnya. Walaupun sebenarnya ia enggan. Gadis itu lagi-lagi mengenakan pakaian berwarna cerah dengan motif floral yang mencolok. Tetapi ada yang berbeda dari penampilan Valeria kali ini.

“Mau ke perpustakaan juga, Kal?” tanya Valeria dengan sepasang mata yang melebar penasaran. Sepasang mata yang berlapis lensa kontak berwarna cokelat terang.

Kalila terdiam sejenak penuh pertimbangan. Takut salah menjawab dan membuatnya terjebak dalam keadaan yang sangat dihindarinya.

“Tidak juga. Hanya kebetulan lewat. Aku mau ke” Mata Kalila bergerak cepat mencari korban bagi kebohongannya. “Turun lewat tangga.”

“Oh.” Bibir Valeria membulat kecewa melihat ke arah yang ditunjuk Kalila. Tetapi begitu matanya memandang sekilas pada kaki Kalila, dengan cepat kekecewaan itu tergantikan oleh senyuman. “Sepatumu bagus. Sepertinya aku juga punya yang seperti itu. Kapan-kapan kita bisa janjian memakainya bersama.”

“Benarkah?” sahut Kalila berpura-pura tertarik. Padahal ia sama sekali tidak menyukai gagasan itu. Lagi pula bukankah sepatu ini dibuat khusus untuknya? Kalila yang mendesainnya secara pribadi.

Valeria mengangguk senang. “Aku mau mengembalikan buku. Kalau kau mau menunggu sebentar, kita bisa pergi makan siang bersama.”

Kening Kalila berkerut. Entah mengapa, sepertinya hari ini semua orang tertarik mengajaknya makan siang bersama. Memangnya ia terlihat seperti singa kelaparan?

Hem, tapi aku sudah ada janji,” kata Kalila sambil memasang wajah menyesal.

“Ah, sayang sekali.” Valeria sama sekali tidak menyembunyikan kekecewaannya. “Kalau begitu, aku masuk dulu, ya.”

Kalila mengangguk cepat, mempersilakan Valeria hilang dari hadapannya. Sementara ia sendiri langsung memacu kakinya menuju tangga di samping perpustakaan. Sebaiknya ia cepat-cepat pulang dan mencari sesuatu yang bisa dimakan.

Tetapi baru tiga anak tangga yang dituruninya, Kalila teringat pada topinya yang disita Valeria tempo hari. Ia berbalik cepat dengan perasaan bimbang. Apa harus ia menagih hal semacam itu di perpustakaan?

Saat itulah tiba-tiba keningnya menghantam sesuatu dengan kuat. Kalila tersentak dan langsung kehilangan keseimbangannya. Sebelum sempat menyadari apa yang di tabraknya, kaki kirinya tergelincir dari pijakan yang memeleset di tepi anak tangga. Tubuhnya terhuyung ke belakang.


Kalila lantas memejamkan mata, mempersiapkan diri untuk hal terburuk yang bisa terjadi. Ia merasa tubuhnya terguncang. Tetapi kepalanya tidak menghantam lantai. Tubuhnya tidak jatuh berguling-guling di tangga. Ia sama sekali tidak merasa kesakitan.

Begitu Kalila membuka mata dan mengangkat kepalanya. Matanya langsung melebar karena terkejut. Sementara napasnya tercekat saat menyadari wajahnya berada dekat dengan dada bidang seseorang yang tadi dihindarinya.

Astaga, bagaimana bisa ia terperangkap dalam pelukan lelaki ini?
***

Sepasang mata cokelat terang itu terbelalak menatapnya. Kening Diego mengernyit saat mencoba mengartikan berbagai macam ekspresi yang berkelebat di mata gadis itu. Ia menangkap banyak ekspresi terkejut sekaligus bingung. Juga sedikit amarah dan ketakutan.

Tiba-tiba gadis itu meronta dalam pelukannya, menarik Diego dari pikirannya. Beruntung, ia masih cukup waktu untuk berpikir sebelum menuruti keinginan Kalila. Ia tidak mungkin melepaskan gadis itu begitu saja. Sebelum memastikan kedua kaki cantik dalam sepatu berbahan suede itu berpijak dengan benar.

Diego berdeham pelan lalu bertanya, “Kau baik-baik saja, Lil Princess?”

“Lepaskan aku!” seru Kalila yang kembali meronta.

“Tapi kau akan terjatuh.” Diego berbisik begitu dekat di telinga Kalila. “Aku tidak ingin melihat pacarku terluka.”

“Akan lebih baik jika aku jatuh,” tukas Kalila tidak mau kalah.

Diego terdiam sejenak. “Baiklah, kalau itu maumu,” gumamnya sambil berangsur melonggarkan pelukannya di pinggang Kalila.

Merasa tidak sabar, Kalila mendorong dada Diego agar cepat menjauh. Tetapi yang terjadi justru di luar dugaannya. Tubuhnya malah terpental dan limbung ke belakang. Kali ini, ia pasti akan benar-benar celaka. Terjerembap bersama tumpukan gengsi yang akan menimpanya.

Dengan cepat Diego mengulurkan tangan dan menahan siku gadis itu. Tubuh Kalila tersentak keras kembali ke arahnya. Kecuali topi yang menutupi kepala cantik itu. Topi itu lepas dan melayang jatuh ke atas undakan anak tangga.

“Pelan-pelan saja, Lil Princess.” Diego mengembuskan napas panjang. Untung saja tadi ia memutuskan untuk mengikuti gadis ini. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi.

Tepat seperti dugaannya, Kalila langsung menarik lengannya secepat mungkin dari pegangan Diego. Mata gadis itu menatapnya tajam. Kali ini, penuh kecurigaan. “Apa maumu?”

“Tadi sudah kukatakan padamu. Tapi kau malah lari bersama lelaki lain,” ucap Diego sambil menggidikkan bahu. “Siapa itu? Pacar gelapmu? Apa semudah itu kau menduakan aku?”

“Dia Elliot. Teman sekelasku,” bantah Kalila cepat. Suaranya nyaris meninggi. “Dan aku tidak pernah menyetujui kembali menjadi pacarmu.”

“Tapi kau pasti tidak akan menolak lagi ajakan makan siangku sekarang,” ujar Diego penuh percaya diri. Ia membungkuk dan mengusap pipi Kalila dengan ibu jarinya. “Kau terlihat seperti Lil Zombie dengan wajah pucatmu.”

Kalila masih menatapnya galak. Kening gadis itu berkerut mengerikan. Persis seperti zombie yang siap merobek otak mangsanya.

Merasa keutuhan otaknya terancam, Diego cepat-cepat mengeluarkan pengalih perhatian dari tasnya. Ia menyodorkannya ke hadapan Kalila. “Tapi sebelum itu, kau perlu bahan bakar supaya kuat berjalan.”

Mata Kalila mengerjap sekali. Tenggorokannya bergerak susah payah, mencegah agar air liurnya tidak menetes. Sandwich ayam yang disodorkan Diego padanya, sontak membuat perutnya bersorak senang.
***

‘Apa tidak ada tempat lain?’ tanya Kalila dengan suara terdengar cemas. Seharusnya ia mendengarkan Diego tadi. Tempat itu terlihat berbahaya.

Ruben menggelengkan kepalanya. ‘Pohon maple sulit tumbuh di iklim seperti ini. Hanya bukit ini yang memiliki suhu udara dan tanah yang cocok.’

‘Tapi... entah kenapa tiba-tiba aku merasa takut,’ ujar Kalila dengan sepasang mata yang tidak bisa lepas dari sosok Diego.

‘Kenapa? Kau meragukan kemampuan si pengecut itu?’ timpal Sharon yang ikut masuk dalam obrolan.

‘Tenang saja. Aku juga pernah memajat pohon itu sebelumnya,’ dusta Ruben sebelum Kalila kalap dan merobek bibir Sharon. Ia memang tidak punya cukup keberanian untuk melakukan itu. Tetapi ia ingin tetap terlihat hebat di mata kedua gadis di hadapannya. ‘Lihat, dia sudah berhasil memanjat.’

Seperti yang dikatakan Ruben, Diego sudah berhasil memanjat pohon itu seperti seekor kucing hutan. Siapa yang menyangka kaki kerempeng itu ternyata mampu memijak dengan kokoh.

Kalila menjalinkan kesepuluh jemari tangannya di depan dada. Matanya terpejam. Dalam hati ia merapalkan banyak doa. Berharap agar Diego Sang Pahlawan Kesatrianya akan kembali ke pelukannya segera.

Tetapi kemudian Kalila mendengar Sharon memekik keras bersama gadis-gadis lain yang ada di sana. Ia membuka matanya dan mendapati pijakan Diego yang tidak tepat pada salah satu dahan. Lelaki itu kehilangan keseimbangan dan meluncur cepat mengikuti gravitasi bumi. Tubuhnya berguling-guling di tepi dinding tebing yang dipenuhi bebatuan. Beberapa temannya yang berdiri di dekat situ, malah menjauh mundur.

Tidak ada suara yang keluar dari mulut Kalila. Bibir gadis itu hanya menganga lebar dengan panik. Ketakutan yang nyata membanjiri sekujur tubuhnya yang menegang. Dan setitik amarah membara tepat di belakang kepalanya saat mendengar seseorang melarang Ruben—yang memegang ponsel dengan tangan gemetar—untuk menghubungi siapa pun. Mereka akan terlibat masalah jika ada orang lain yang tahu.

Demi Tuhan, ini bukan saatnya bersikap egois. Diego terjatuh dan pasti terluka parah. Tetapi tidak seorang pun yang bergerak untuk menolongnya. Tidak seorang pun dari para lelaki yang selalu mengumbar kehebatannya di hadapan Kalila. Tidak seorang pun dari para gadis yang selalu berkata bahwa mereka adalah sahabat sejati.

Dengan berlinang air mata, Kalila akhirnya bisa menggerakkan tubuhnya. Ia berlari menghampiri kegelapan tempat di mana Diego terjatuh. Tetapi tiba-tiba ia disilaukan cahaya senter yang diiringi derap langkah.

‘Hei, apa yang kalian lakukan di sini?!’

Tanpa komando dari siapa pun, semua orang menghambur berlari kabur agar tidak tertangkap dan mendapat masalah. Apalagi mengingat jabatan orang tua masing-masing yang berada di kelas atas. Mereka tidak akan sudi mencoreng martabat keluarga. Sekalipun nyawa seseorang menjadi taruhannya.

Tiba-tiba Ruben menarik paksa lengan Kalila. Menyeret gadis itu untuk ikut melarikan diri. Tetapi ia mencoba meronta. Memaksa hendak kembali dan memeriksa langsung keadaan Diego.

Tetapi Ruben berbisik dan menyuruhnya untuk tetap berlari. Atau hukuman di sekolah dan di rumah akan siap menantinya. Kabarnya, akhir-akhir ini memang ada rumor beredar tentang sekumpulan remaja yang sering berpesta minuman keras di daerah sepi seperti ini.

Entah setan apa yang merasukinya kala itu, Kalila menuruti saran menyesatkan itu. Tetapi bagaimanapun ia tidak bisa membiarkan Diego begitu saja.

‘T-tolong selamatkan dia!’ teriak Kalila pada orang-orang yang mengejar mereka. Suara gadis itu sarat akan perasaan frustrasi. ‘Ada seseorang yang terluka di bawah pohon maple! Kumohon tolong selamatkan dia!’

Pria-pria bertubuh tambun itu menghentikan pengejaran mereka saat mendengar kata-kata Kalila. Mereka langsung mengarahkan senter ke bagian bawah pohon maple. Dan benar saja. Kalila dapat melihat sosok Diego yang tergeletak tidak sadarkan diri. Kepala dan jaket lelaki itu dipenuhi bercak darah.

Kalila tertegun dan menghentikan langkahnya. Ia harus segera kembali dan memastikan keadaan Diego baik-baik saja. Tetapi seseorang kembali menarik lengannya, mengingatkannya untuk terus berlari.

Malam itu, Kalila terus berlari. Sementara perasaan bersalah bergelayut erat di punggungnya. Tidak terlihat memang. Tetapi ia selalu bisa merasakannya. Dan Kalila menyadari benar bahwa ia tidak termaafkan.
***

Selera makan Kalila menguap bebas tidak berbekas. Begitu juga dengan rasa lapar yang sejak tadi meraung dalam lambungnya. Ia hanya memutar-mutar garpunya pada spaghetti yang terhidang di hadapannya. Tanpa satu pun suapan mendarat ke mulutnya.

Bukan karena makanan itu tidak menarik. Aromanya saja pasti mampu membuat siapa pun meneteskan air liur. Tetapi entah mengapa ia merasa mual ketika teringat hari-hari yang ia jalani dengan dihantui rasa bersalah. Dan kini pusat dari penyesalan itu muncul di hadapannya tanpa peringatan.

Haruskah ia meminta maaf sambil bersujud? Atau menangis tersedu-sedu menyatakan betapa ia sangat menyesal?

“Ada apa, Lil Princess?” tanya Diego yang mulai terlihat sebal. Lelaki itu menghentikan kegiatan makannya. Nada bicaranya berbalut sindiran tajam. “Apa restoran ini terlalu murah? Tidak sesuai dengan kastamu? Atau kau enggan makan bersama lelaki kurang populer sepertiku?”

Kalila mendorong piringnya menjauh. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Selama beberapa detik kepalanya terangkat menatap langit-langit restoran yang berwarna seperti lavendel.

“Katakan, apa maumu?” tanya Kalila begitu sepasang matanya bersitatap dengan mata gelap lelaki yang duduk di hadapannya.

Diego menggidikkan bahunya. “Kau sudah menuruti mauku. Itulah kenapa kita ada di sini.”

Astaga, sampai kapan lelaki ini mempermainkannya? Kalila berdecak kesal mendengar jawaban palsu seperti itu. Ia yakin bahwa lelaki ini memiliki tujuan lain dengan mendekatinya.

“Begini,” ucap Kalila mencoba membuka pintu untuk pembicaraan yang serius. “Kalau ada niatmu untuk balas dendam——”

Tiba-tiba tawa lepas lelaki di hadapannya itu memotong ucapan Kalila. Menghadirkan kerutan dalam di antara alisnya. Memang apa yang lucu?

“Astaga, Lil Princess,” gumam Diego di tengah gelaknya. Lelaki itu menyembunyikan sebagian wajahnya di balik telapak tangan, berusaha meredam rasa geli pada otot wajahnya. “Dari mana kau mendapat pikiran seperti itu?”

“Karena, yah, kau tiba-tiba berada di dekatku,” jelas Kalila terbata diliputi kebingungan di setiap kata. “Kau seperti sengaja mengejarku, kau tahu, atas apa yang pernah kulakukan padamu dulu.”

“Kutegaskan padamu, Lil Princess. Kau tidak sepenting itu bagiku,” balas Diego ketus. Jelas-jelas bernada menyakiti. “Dan aku tidak ‘tiba-tiba’ berada di dekatmu. Aku sendiri tidak tahu jika kita diterima di universitas yang sama. Pertama kali aku melihatmu saat masa orientasi. Dan aku menyapamu dengan sebotol air mineral. Siapa tahu kau lupa. Mengingat betapa banyak lelaki yang dengan mudahnya tertarik padamu.”

Tentu saja Kalila masih mengingatnya. Walaupun saat itu ia belum mengenali lelaki itu sebagai Diego. Lelaki itu seperti orang yang berbeda. Ia berubah dalam banyak hal.

“Karena kebetulan kita dipertemukan lagi setelah tiga tahun. Kurasa tidak ada salahnya mencoba memperbaiki hubungan kita berdua.”

Kalila mengangguk setuju. Walaupun tidak sedikit pun ia berani menatap langsung mata Diego. Perasaan malu menyiram deras wajahnya atas pikirannya yang sudah terlalu jauh. Diego benar. Jika lelaki itu berniat balas dendam, seharusnya ia membiarkan Kalila terjatuh dari tangga tadi. Itu akan jauh lebih mudah.

“Aku sengaja menyinggung masalah pacar hanya untuk memastikan seperti apa hubungan ini bagimu. Kita tidak pernah benar-benar bertemu untuk berpisah setelah kejadian itu, kau ingat?” lanjut Diego seolah menghakimi Kalila. Sepasang mata hitam lelaki itu berkilat-kilat tajam. “Tapi tadi kulihat kau dengan mudahnya menggandeng lelaki lain. Cukup jelas untukku sekarang, Nona Populer.”

“Sudah kukatakan, dia hanya teman sekelasku.”

“Permisi,” sela seseorang memotong perdebatan mereka berdua. Seorang lelaki berpakaian hitam dengan dua baris kancing berwarna merah yang tersusun rapi ke bawah ala seragam seorang chef. “Saya Julian, chef di restoran ini. Apa Anda ingin memesan minuman penggugah selera makan?”

“Uh, oh, sepertinya tidak—“

Kalila hendak menolak secara halus, tetapi tiba-tiba saja chef itu menunduk dan berbisik di telinganya.

“Ini spesial untuk Anda, Nona. Tapi tolong rahasiakan ini.” Julian semakin merendahkan suaranya. “Saya akan memberikannya secara gratis. Entah kenapa saya merasa terluka karena gadis secantik Anda belum menyentuh masakan saya sedikit pun.”

Kalila tergugu dengan wajah nyaris semerah tomat. Entah berapa kali lagi ia harus mempermalukan dirinya hari ini. Sementara Diego meremas kuat tepi meja restoran. Menahan kuat-kuat ledakan amarah dalam dadanya saat melihat sikap menggelikan dari chef berengsek itu.

“K-kalau begitu, saya mau segelas wine,” ujar Kalila akhirnya.

“Baiklah. Wine pesanan Anda akan segera diantar.” Chef itu menebarkan senyumnya yang sehangat matahari, sebelum meninggalkan Diego dan Kalila kembali berdua.

“Lihat, chef itu saja terpesona padamu,” gumam Diego sinis.

“Kau salah,” sahut Kalila mencoba menularkan rasa malunya. “Dia hanya menjalankan tugasnya.”

“Lagi pula untuk apa kau memesan wine? Semudah itu kau terpikat bisikan setan?”

“Seperti yang dikatakan chef Julian, aku perlu minuman pembangkit selera makan.”

“Silakan, wine Anda.”

Kali ini seorang pramusaji yang menghidangkan segelas wine ke meja Kalila. Warna kemerahan mendekati ungu pekat menggenang dalam mangkuk gelas bertangkai itu.

“Terima kasih,” ujar Kalila sambil tersenyum. Belum setetes pun wine itu menyentuh indera pengecapnya, tetapi perasaannya sudah lebih baik sekarang.

“Sini, biar aku minum dulu.” Diego meraih tangkai gelas mendekat ke arahnya. “Berjaga-jaga jika ada hal aneh yang dicampur ke dalamnya.”

Tetapi Kalila merenggut cepat gelas itu. Kemudian menghabiskan segelas wine itu dalam sekali teguk. Sama sekali tidak repot-repot menghirup aroma maupun menikmati aftertaste seperti seharusnya. Detik berikutnya, ia langsung menggenggam garpu dan mengantarkan beberapa gulungan spaghetti untuk mengisi perutnya yang kosong.

Sontak Kalila merasakan kepalanya terasa pening. Tetapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin cepat melupakan apa yang sudah terjadi. Tentang bagaimana ia mempermalukan dirinya sendiri di depan Diego dengan tuduhan tidak beralasan.


Jumat, 20 Mei 2016

Green Eyed - Chapter 4


Nico POV
Aku tahu Elena meninggalkanku karena sebuah kesalah pahaman. Terpatri dengan jelas dalam ingatanku bagaimana raut wajahnya ketika saat menatapku, kemudian meninggalkanku begitu saja tanpa sepatah katapun. Entahlah, meski ia tak peduli, tapi tetap saja sesuatu dalam diriku merasa terluka karena kepergiannya. 

“Pergilah, Leoni.” Aku tahu suaraku bahkan terdengar lebih dingin dibandingkan perpaduan kutub utara dan selatan.

“Aku tahu kau kemari karena kau merindukanku, bukan begitu sayang?” Gadis itu bergelayut manja pada lenganku membuatku risih.

“Leoni, jangan menguji kesabaranku.” Aku mengembuskan napas panjang, memijit keningku yang terasa mulai berdenyut. Bahkan aku merasa lelah hanya dengan melihatnya dari jarak jauh. Inilah salah satu alasan aku enggan menginjakkan kakiku di rumah ini.

“Apa-apaan kau ini? Sudah sangat lama kita tidak bertemu, mengapa sikapmu jadi seperti ini?” Raut wajah gadis itu tampak kesal. Namun aku sama sekali tak menghiraukannya dan pergi meninggalkan Leoni diikuti suara pintu yang berdebam keras di belakangku. Ya, mungkin beberapa hari mengenal Elena membuatku tertular akan kebiasaaannya membanting pintu.

Aku melangkah ragu menuju sebuah pintu bercat coklat tua yang ada di sudut ruangan. Tanganku telah siap mengetuk pintu tersebut, namun keraguan kembali bergelayut dalam hatiku. Sesuatu dalam diriku sangat berharap bahwa Elena meninggalkanku karena cemburu, bukan yang lain.
•••

Elena POV
Aku menyentuh bibirku, nyaris tenggelam saat berenang dalam kekalutan hatiku. Baru saja aku merasakan perasaanku yang mulai menghangat saat bersama lelaki itu, namun Tuhan telah memperingatkanku bahwa Nico bukanlah milikku. Dan tak akan pernah!

Aku mencoba meyakinkan bahwa kecupan itu memang tak ada artinya untuknya, begitupun untukku. Ini bukan kali pertama aku berciuman, dan ini sama sekali tak ada apa-apanya. Ini hanya kesalahan karena kami sama-sama terbawa suasana.

Aku gelisah. Membenamkan wajahku pada bantal. Ya ampun, kenapa aku ini? Aku membalikkan tubuhku, menarik napas dan membuangnya perlahan. Tatapanku terfokus pada langit-langit yang berwarna putih.

Aku kesepian.

Kuraih benda pintar yang kusebut ponsel di samping bantal, kemudian mencari kontak dengan nama kakakku, Evan.

“Kak…” Sahutku begitu suara kakakku terdengar di telingaku..

“Ya Len. Bagaimana kabarmu di sana? Beberapa hari aku tak mendengar suaramu, aku begitu kesepian.”

“Aku juga, aku ingin pulang, kak.” Aku bisa merasakan suaraku bergetar.

“Kenapa kau menangis? Nico… apakah dia bersikap baik padamu?”

“Ya, dia sangat baik. Aku hanya merindukanmu. Aku merindukan rumah.”

“Jika dia menyakitimu, aku akan menghajarnya untukmu. Istirahatlah, hari sudah malam.”

Seandainya saja Evan tahu. Nico sudah menyakitiku, menyakiti di suatu tempat yang tak akan terlihat oleh seorang pun. Lagi-lagi aku mendesah, untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa kesepian.
•••

Nico POV
“Bagaimana Nico? Apakah tidurmu nyenyak?” Suara manja yang terdengar memuakkan menusuk sadis kedua telingaku. Aku mengerang kesal, menyadari seorang penyihir merusak mimpi indahku bersama Elena. Ini masih pagi—bahkan sangat pagi ketika kulihat jam dinding masih menunjukkan pukul enam pagi.

“Mau apa kau disini sepagi ini?”

“Aku membangunkanmu sayang. Aku bertanya pada bibi Riana, dia bilang kau belum bangun, jadi aku kemari untuk memberikan kecupan selamat pagi.” Reflek aku menjauh ketika gadis itu mendekatkan wajahnya, berniat melakukan ‘sesuatu’ padaku.

“Keluar kau dari sini, Leoni, atau aku yang akan menyeretmu keluar.” Oke, aku tak yakin bisa lebih bersabar lebih dari ini. Setelah semalam dia merusak suasana romantis yang susah payah kubangun untuk Elena. Dia datang tiba-tiba dan menghancurkan segalanya.

“Sekarang kau begitu jahat padaku. Padahal dulu kau begitu menyayangiku.” Leoni merajuk, dan aku sangat tidak peduli. Bahkan jika ia melompat dari balkon kamar sekalipun aku tak akan peduli kecuali ia menyeret Elena untuk terjun bersamanya.

“Keluar kau!” Aku tak punya stok kesabaran untuk gadis ini. Sehingga aku beringsut dan menyeret lengannya menuju pintu kamarku.

“Nico, lepaskan!” Leoni menghentakkan tangannya hingga terlepas dari cengkeramanku. “Aku.bisa.sendiri.” Mendengarnya, aku yakin harga dirinya terluka. Kilatan terluka terpancar dari tatapan matanya. Dan di satu sisi aku puas. Aku mengikuti Leoni untuk memastikannya keluar dari kamarku, jika tidak aku akan menendangnya dengan paksa.

Mataku terbelalak melihat seseorang berdiri di suatu sudut, ia berdiri dengan segelas air yang digenggamnya dengan raut yang tak terbaca.

“Adik kecil…”

“Cukup.” Elena mengangkat tangannya untuk membuatku menutup mulut sekaligus menghentikan langkahku. “Aku bukan adikmu. Berhenti memanggilku seperti itu.” Sorot mata yang tajam dengan suara dingin, terasa seperti sebilah belati yang menyayat dadaku.

“Elena, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku bisa jelaskan.”

“Untuk apa? Memangnya apa urusanku sehingga harus mendengarkan penjelasanmu? Aku tak peduli meski kau tidur bersamanya.” Aku yakin ucapannya tak seperti apa yang ada di hatinya. Senyumnya bahkan tak menyentuh matanya.

“Ayo kita sarapan, sayang. Aku sudah lapar.” Leoni melingkarkan tangannya di lenganku. Dan pandangan Elena beralih menuju tangan kami kemudian menatap Leoni dan aku bergantian. Aku menyentakkan tangan Leoni dan mengejar Elena yang berbalik meninggalkan kami. Aku merasa yakin bahwa aku harus memberikan penjelasan pada gadis itu. Namun seperti biasa, pintu kamarnya terbanting tanda ia tak ingin diganggu. Setidaknya itu yang dikatakan Evan padaku.

Aku mencoba bersabar. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku masih mondar mandir gelisah di dekat kamar Elena. Gadis itu tak juga keluar dari kamarnya. Bahkan ia telah melewatkan sarapan dan makan siangnya. Aku berusaha memutar otak, berpikir keras bagaimana agar ia mau keluar dari kamarnya, dan sebuah ide brilian menghampiri otak cerdasku.

Aku berlari menuju sakelar listrik yang berada di luar rumah, kemudian aku mematikannya dan surprise! Seluruh listrik di rumah padam diikuti teriakan melengking dari suara yang kurindukan sejak pagi. Aku terkikik geli ditengah kegelapan, menyadari bahwa rencanaku benar-benar cerdas.

“Elena…” Aku berteriak mengetuk kamarnya, berusaha menjadi pahlawan kesiangan dalam kegelapan untuk gadisku. Tak butuh waktu lama pintu itu terbuka dan seseorang di baliknya berhambur menabrak tubuhku hingga aku nyaris terjatuh. Sungguh aku ingat benar Evan berkata bahwa adiknya takut akan kegelapan, dan untuk itu aku akan sangat berterima kasih pada calon kakak iparku itu.

“Sudahlah, adik kecil, ada aku di sini. Semuanya akan baik-baik saja.” Aroma gadis itu sungguh bagai candu. Aku mengusap punggungnya untuk menenangkannya. Sejenak mungkin aku tak akan percaya bahwa gadis yang beringas itu akan ketakutan dalam kegelapan.

“Apa yang terjadi? Tidakkah kau memiliki lilin, lampu senter atau sejenisnya?" Suara Elena terdengar parau seperti habis menangis. Tapi di satu sisi aku lega karena Elena mau berbicara denganku, di sisi lain aku merasa sangat bersalah karena membuat gadis itu ketakutan. Aku mengeratkan pelukanku sejenak, kemudian mengecup puncak rambutnya.

"Aku akan mengecek sakelar. Kau tunggu di sini dulu."

"Tidak. Aku ikut."

Jika saja tak ada Elena di hadapanku, mungkin aku akan berteriak kegirangan. Tetapi aku harus tetap menjaga wibawaku di depan gadis itu. Lihat? Dia ingin berdekatan denganku. Seulas senyum simpul tersungging di bibirku. Aku melangkah perlahan sementara gadis itu menarik ujung kaosku dan mengikuti di belakangku.

"Oh ternyata sakelarnya turun. Mungkin ada konsleting di belakang."

"Apa semuanya akan baik-baik saja?"

"Tentu saja, jika memang ada kesalahan, mungkin nanti malam listrik akan padam lagi." Aku memerhatikan raut wajah Elena saat menggodanya. Sungguh dalam hati aku masih memuji-muji kepandaianku untuk berakting sehingga tampak meyakinkan.

"Baiklah, kalau begitu. Aku akan kembali ke kamar. Terima kasih." Elena berbalik, dengan langkah seribunya, ia segera berjalan untuk segera meninggalkanku. Lalu apakah dia pikir aku akan melepaskannya? Tidak! Aku sudah susah payah membuatnya keluar dan dia ingin masuk ke kamarnya begitu saja? Tidak akan!

"Elena, tunggu."

"Ada apa?"

"Tidakkah kau ingin mendengar penjelasanku tentang tadi pagi?"

"Tidak."

"Sedikit saja. Agar kau tidak salah paham."

"Tidak." Elena meneruskan langkahnya.

"Elena, kurasa aku mencintaimu..."

"Pembohong."

"Aku tidak berbohong. Aku bersungguh-sungguh."

"Jonathan juga mengatakan itu padaku."

Sejenak aku terpaku mendengar nama itu keluar dari mulutnya. Bayangan mengenai si brengsek itu tampaknya telah mengganggu pikirannya.  Dan itu juga sangat menggangguku.

"Dia tidak jauh lebih baik dari pada aku."

"Dari mana kau bisa menyimpulkannya, tuan sok tahu? Kau bahkan tidak tahu siapa dia."

"Karena dia tak ada untukmu saat kau membutuhkan bantuan, karena dia mengkhianatimu dan aku tak akan melakukan hal itu padamu."

Whoa! Kalian dengar betapa yakinnya aku saat mengatakan itu? Aku bahkan tak pernah seyakin itu saat mengatakan sejenis itu pada gadis manapun sebelumnya.

“Kenapa kau diam, Elena? Apa aku benar?”

“Ya kau benar dan kau sama saja seperti dia. Kau bilang kau mencintaiku setelah kau tidur dengan perempuan lain. Kalian sama saja.”

“Aku bilang kau salah paham.”

“Untuk apa? Aku tak ada urusannya dengan kehidupan pribadimu.”

“Lalu jika memang tak ada urusannya, kenapa kau mengurung diri di kamar dan sama sekali tak memedulikanku seharian ini? Kau marah padaku? Atau… kau cemburu?”

Lagi-lagi Elena terdiam.

“Aku hanya merasa tidak enak badan.”

“Pembohong.” Aku yakin saat melihat wajahnya tiba-tiba memerah.

“Apa?”

“Ya, kau Elena Stevany. Kau adalah pembohong. Aku tahu kau juga mencintaiku.”

“Omong kosong apa ini, tuan besar? Aku tak punya waktu untuk meladenimu!” Elena meneruskan perjalanannya menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya.

“Terserah kau saja adik kecil. Kudoakan saja listrik akan padam sebentar lagi.” Aku berteriak kesal. Bagaimana bisa gadis itu memandang remeh pernyataan cintaku? Tidakkah dia tahu aku tulus mengatakannya? Sial!
***
Elena POV
Aku mencintaimu.

Kalimat itu masih terngiang jelas di telingaku. Benarkah yang dikatakan lelaki itu? Tetapi Evan berulang kali telah memperingatkanku untuk berhati-hati pada lelaki itu. Mungkinkah yang dimaksud Evan adalah lelaki itu seorang pemain perempuan?

Perasaan yang harusnya kubuang jauh-jauh, ternyata telah tumbuh kembali dalam hatiku tanpa bisa kukendalikan. Lalu apa tadi pagi itu? Benarkah aku salah paham? Entahlah, mungkin cepat atau lambat aku akan mengetahui kebenarannya.

Tanpa kusadari aku menarik bibirku lebar—bahkan sangat lebar sehingga kurasakan akan menyentuh telingaku. Aku memejamkan mataku, mulai berandai-andai jika memang cinta kami nyata. Mataku mulai terasa berat sampai akhirnya aku memejamkan mataku.

Suara berisik di luar kamar membuat kesadaranku mulai terkumpul sedikit demi sedikit. Aku memasang telinga lebih tajam untuk memastikan keributan apa yang ada di luar. Aku mengecek jam di ponsel, masih pukul satu dini hari. Kuregangkan punggungku, kemudian berjalan mendekati pintu untuk menangkap pembicaraan di luar kamar.

“Tidak bisa!” Bentak sebuah suara yang sama sekali tidak tak kukenali. Siapa dia?

“Aku akan menjaminnya. Berapapun yang kau minta, aku akan memberikannya.” Suara lainnya menyahuti. Suara yg tenang, yang sangat kuyakini itu adalah suara Nico.

“Ini harus dijalankan sesuai prosedur. Nona Elena melakukan kesalahan, ia lalai dalam berkendara dan menyebabkan kematian.”

Tidak mungkin. Bagaimana mereka bisa menemukanku disini? Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Hidungku mulai terasa pedih kemudian air mata mengaburkan pandanganku.

“Tapi kau tidak bisa menahannya begitu saja.”

“Kami membawa surat perintah. Pihak keluarga korban melayangkan gugatan. Dan mereka tak ingin penjamin untuk melepas jeratan hukum untuk nona Elena. Sekarang silahkan anda panggil nona Elena.”

“Dia tak ada bersamaku.”

“Kami mendapat informasi bahwa dia di sini. Lebih baik anda memanggilnya atau kami akan menggeledah rumah ini.”

Tidak! Kurasakan lututku melemas seketika, tubuh gemetar dan menggigil secara tiba-tiba. Satu-satunya hal yang harus kulakukan dari pada berdiri mematung dan memasrahkan nasibku pada waktu, aku memutar otak, mencari cara agar polisi tak menemukanku. Aku buru-buru mendekati jendela. Tak ada cara lain kecuali aku harus melompat sekarang juga. Tetapi alangkah terkejutnya aku saat melihat beberapa polisi telah berjaga di bawah.

Nico penipu! Bukankah sebelumnya lelaki itu telah berjanji akan menyelamatkanku? Namun bagaimana bisa polisi menemukanku di sini? Padahal lelaki itu telah membawaku sejauh mungkin. Gelisah, aku mondar-mandir sambil mengacak-acak rambut panjangku yang tergerai kusut, persis seperti hatiku.

Suara ketukan pada pintu kamar membuatku tak berdaya. Ya Tuhan, sungguh aku ingin bumi menelanku bulat-bulat saat ini. Jantungku seolah hendak melompat keluar ketika derap langkah sepatu terdengar bersahut-sahutan, semakin mendekat ke arahku. Aku harus segera bersembunyi. Dengan seketika aku berlari menuju kamar mandi. Di saat yang bersamaan, seseorang telah membuka pintu kamarku, membuatku berdiri mematung menatap sesosok pria berseragam yang mengarahkan pandangannya padaku.

“Nona Elena, anda harus ikut kami ke kantor polisi.”


Bersambung…