Selasa, 30 Juni 2015

Red Lie - Chapter 10


Sudah beberapa hari terakhir Leo tampak muram. Malaikat tampaknya sengaja membuat membuat aura di sekitar Leo menghitam. Pekerjaannya menumpuk, bahkan ia sama sekali tak berminat untuk menyentuhnya. Leo meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak hening di meja kerjanya. Sesekali ia melirik dengan penuh harap agar beberapa pesan yang telah ia kirimkan mendapatkan balasan.

Ditengah keheningan yang menyelimuti ruangan Leo, Leo memukul meja kerjanya dengan kesal. Kemudian ia beranjak menuju jendela besar yang membingkai pemandangan gedung abu-abu terang yang dihiasi dengan pot-pot bunga yang diletakkan berjajar di setiap balkon. Leo melipat tangannya di luar kemeja hitam yang senada dengan perasaannya, menyandarkan kepalanya pada salah satu sisi dinding menonjol yang mengapit jendela.

Tepat setelah ia mengembuskan napas beratnya, ponselnya berdering. Membuat lelaki itu berjingkat untuk segera menghampiri benda itu. Adam. Embusan napas kekecewaan mengudara. Bukan ini yang ia nantikan. Dengan berat hati Leo menjawab panggilan Adam agar benda berisik itu berhenti mengganggu telinganya.

“Ada apa?”

“Bagaimana tentang proposal yang ku berikan? Apa aku bisa mendapatkan dananya?”

Tentu saja Leo belum sempat membukanya. Perhatiannya masih sibuk tertuju pada seseorang. Seseorang yang mulai mengabaikannya beberapa hari terakhir, membuatnya gelisah— ralat, sangat gelisah.

“Aku belum membukanya. Tapi kupastikan dana itu akan keluar untuk acaramu.”

“Tentu saja harus. Ini Belanda…” Adam menegaskan. “Aku sudah lama menantikan ini. Akhirnya Adam akan go international.” Ujar Adam membanggakan diri.

“Oke. Aku akan membaca proposalmu secepatnya. Maaf, aku sedang sibuk.” Leo memutuskan percakapan tanpa menunggu balasan Adam. Ada yang lebih penting yang harus dipikirkan. Seperti misalnya… Belanda…
***

Trisia keluar dari ruangan Harry dengan linglung. Ia tidak tidur hampir semalaman, bukan karena pekerjaan membabi buta yang ditugaskan bosnya seperti biasa. Bukan juga karena ia memikirkan Leo yang tanpa henti membanjirinya dengan perhatian. Ini karena Tomi. Sudah empat hari sejak Tomi meninggalkannya. Trisia tak pernah berhenti mengiriminya pesan singkat setiap hari, bahkan meski ia tahu bahwa pesan itu tak pernah sampai pada Tomi.

Ia sedang dalam perjalanan menuju bagian humas, kedua tangannya terbenam dalam saku blazer beludru hitam yang ia kenakan. Entah mengapa kali ini jarak antara ruangan Harry dan lift terasa begitu jauh. Trisia melangkah dengan malas. Ia tahu ini tidak sopan. Untungnya lantai lima tidak seramai lantai lainnya yang padat dengan aktivitas berbagai kalangan. Ia merunduk, memerhatikan langkahnya yang menyilang mengikuti garis lantai.

“Trisia,” Seseorang menyentak lengannya, membuat gadis itu terkejut. “katakan ada apa denganmu?”

Trisia yang sempat mengalami disorientasi, mengerjapkan matanya beberapa kali. Bagai sadar dari sebuah hipnotis, Trisia segera melepaskan tangan besar yang menggenggam lengannya dan dengan cepat menutupi perasaannya.

“Tidak ada apa-apa pak, maafkan atas ketidaksopanan saya.” Ia menundukkan kepala menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan malu atas tindakannya.

“Jika tidak ada apa-apa, mengapa kau seperti ini?” Rahang lelaki itu mengeras. Ia menuntut jawaban yang masuk akal.

“Tolong… Ini di kantor.”

“Masa bodoh!” Nadanya meninggi, “kenapa kau tidak membalas pesanku? Tidak mengangkat telponku, bahkan kau menghindariku.”

“Saya akan menjelaskannya nanti. Permisi, pak Harry memberi saya tugas.” Gadis itu berbalik, kemudian dengan cepat berusaha mencapai lift dengan setengah berlari. Sial, kenapa lift ini tak kunjung terbuka, batin Trisia yang terus menerus menekan tombol turun.

“Tris,” Leo meraih tangan Trisia, “aku tak merasa bersalah padamu. Apa yang…” Lift terbuka sebelum Leo sempat menyelesaikan pertanyaannya. Trisia segera melepaskan tangan Leo sebelum pintu lift terbuka sempurna, kemudian melompat masuk ke dalam kotak besi dan menundukkan kepala sejenak untuk berpamitan tepat sebelum pintu tertutup.
***
Raut kecewa tampak jelas di wajah Leo. Ia mengusap rambutnya yang mulai memanjang dengan kedua tangannya, seperti yang selalu ia lakukan ketika ia merasa frustasi. Ia masih saja menatap pintu lift yang telah tertutup sejak beberapa detik yang lalu.

Ada apa ini? Batin Harry yang sempat menyaksikan drama kecil antara kedua orang itu. Mungkinkah ada sesuatu yang tidak ia ketahui?

Harry berbalik, kembali menuju ruangannya sebelum Leo menyadari keberadaannya. Pikirannya masih berkutat dengan kejadian barusan. Ia menyandarkan dirinya pada sofa krem yang terletak di sudut  ruangan.

Apakah hubungan Leo dan Trisia sudah seakrab itu tanpa sepengetahuannya? Apakah foto yang diamati oleh Leo tempo hari adalah foto Trisia? Beragam spekulasi memenuhi kepalanya. Tangannya mengepal, rahangnya mengetat, napasnya memburu sebagai bentuk emosinya.

Ini tak boleh dibiarkan. Leo tak boleh mengganggu rencananya. Ia harus bergerak cepat sebelum rencananya berantakan. Mungkin dengan memindahkan Trisia ke anak perusahaan yang terpencil? Atau mengirim Leo ke luar negeri?

Suara ketukan yang diikuti pintu yang tebuka membuyarkan lamunan Harry. Matanya menggelap ketika melihat gadis itu melenggang menuju meja kerja Harry yang terletak pada sisi berlawanan. Gadis itu menoleh untuk menemukan sosok Harry hingga mereka bertemu mata.

Trisia tersenyum sopan, “Saya sudah menemui bu Dian, menurut beliau sebaiknya bakti sosial dilakukan ketika hari libur, sehingga perwakilan setiap divisi bisa membantu berjalannya acara.”

Hening. Harry mencondongkan tubuhnya ke depan, menopang siku dengan lututnya, menyatukan kedua telapak tangannya dengan sebuah genggaman, kedua ibu jarinya menyangga dagunya yang terasa kasar. Pandangannya lurus pada gadis yang senyumnya baru saja surut dari bibirnya, berganti dengan kecemasan.

“Bagaimana menurut bapak?” Suara ragu Trisia semakin memelan, sementara Harry masih saja memandangnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Trisia mulai berdiri dengan gelisah.

“Apa yang barusan kau lakukan?” Harry bertanya dengan ketus.

Trisia terperangah saat mata hitam itu menatapnya dingin. Lelaki ini seperti begitu membencinya, “Saya menemui ibu Dian bagian humas. Bukankah bapak baru saja memberikan tugas kepada saya?”

Ruangan itu kembali sunyi. Harry beranjak, melintasi ruangan seperti singa yang hendak melahap mangsanya. “Apa yang barusan kau lakukan dengan Leo?” Suaranya terdengar begitu tajam, dingin, dengan kemurkaan yang nyaris tak terkendali.

Tubuh Trisia gemetar. Ia merasa begitu lelah. Seolah tak cukup dengan masalah Tomi yang tiba-tiba menghilang, kini ia harus berhadapan dengan Harry. Ia ingin meneriakkan segala kerisauan hatinya, menjauh dari kehidupannya yang begitu rumit.

“Tidak ada apa-apa pak. Saya hanya kebetulan saja bertemu di depan lift.”

“Hanya itu?” Harry menyeringai sinis, “Apakah ada yang kau sembunyikan dariku?”

“Tidak ada pak.” Trisia menundukkan pandangannya. Jemarinya bertautan, membuatnya tampak tak meyakinkan.

Harry melangkah, mendekat pada Trisia, “Memangnya apa yang ada di kepalamu?” Nada suara Harry menyiratkan banyak hal, tapi Trisia berusaha mengabaikannya dan memaksa dirinya agar tetap tenang. “Jangan mengharapkan yang tidak-tidak.”

Trisia melangkah mundur beberapa senti untuk membuat jarak dengan bosnya. “Saya mengerti,” ujar Trisia pelan.

“Jika kau masih berani mendekati Leo, aku akan melakukan sesuatu yang lebih buruk dari sekedar memecatmu.” Harry memperingatkan, kemudian menjauh dan kembali menuju meja kerjanya. “Kau sama saja seperti wanita itu.”
***
Wanita itu?

Siapa wanita yang dimaksud oleh Harry?

Trisia bergeming, air mata hangat mengembang di pelupuknya. Namun ia masih berusaha menahan agar air mata itu tidak sampai terjatuh. Setelah mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan melalui mulutnya, Trisia mengangkat kepalanya, berdiri di depan meja kerja Harry, “Apa masih ada yang bisa saya lakukan?” Suaranya sedikit bergetar.

“Tidak.” Ujar Harry tanpa memandang Trisia sedikitpun.

“Kalau begitu, saya permisi.”

Dengan tergesa-gesa Trisia melangkah keluar dari ruangan itu. Dadanya terasa begitu sesak. Jantung Trisia berdetak hebat saat ia akhirnya menyandarkan tubuh di balik pintu kayu ruangan Harry. Ia tak tahu mengapa hidupnya selalu sulit. Apa yang sebenarnya telah dilakukannya di masa lalu hingga ia begitu akrab dengan kesulitan?

“Tris, kau kenapa?” Liana—sekretaris Harry yang baru saja memasuki pintu kaca yang menghubungkan koridor dengan bagian luar ruangan Harry menyapa.

“Tidak apa-apa. Seperti biasa, sepertinya aku lagi-lagi membuat bos marah.” Ia mencoba menutupi permasalahan sebenarnya.

“Bersabarlah. Sebentar lagi jam makan siang. Kita bisa ke kantin.” Liana tersenyum, menepuk pundak Trisia untuk menenangkannya.

“Baiklah, aku akan ke toilet sebentar. Tunggu aku ya.”

Trisia mempercepat langkahnya, air mata itu kembali memenuhi pelupuknya. Tanpa terbendung lagi, air mata itu jatuh tepat setelah Trisia menutup pintu toilet. Ia menyandarkan tubuhnya pada salah satu sisi dinding toilet, membiarkan air mata yang sedari tadi ditahannya lolos. Trisia merasa kecewa pada dirinya sendiri. Mengapa ia begitu mudah terlena dengan perhatian Leo hingga ia harus menghadapi masalah baru?

Leo…

Trisia masih tak mengerti dengan apa yang ia rasakan untuk lelaki itu. Mungkin hanya sekedar rasa nyaman atas perhatiannya. Perhatian yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari Tomi. Tapi ini tak boleh berlanjut atau Harry akan melakukan sesuatu yang lebih buruk yang tak akan mampu diprediksi oleh Trisia.

Ponsel Trisia bergetar, membuat lamunannya terhenti. Sebuah panggilan menunggu untuk direspon oleh Trisia. Namun gadis itu hanya menatapnya, lalu memasukkannya kembali ke dalam saku blazernya. Trisia mengusap air matanya, kemudian menuju wastafel yang ada di samping bilik toilet. Ia menangkupkan kedua tangannya, menadah air untuk membasuh wajahnya. Matanya masih memerah. Ia mematut dirinya di depan cermin besar yang terpasang memanjang di atas wastafel sebelum akhirnya ia kembali pada Liana yang telah menantinya.
***

Ia tak sengaja melihatnya. Wajahnya yang memerah dengan mata berkaca-kaca. Mungkinkah sesuatu telah terjadi? Kecemasan mulai menggelayuti lelaki itu. Ia menggeser ibu jari yang mendarat pada layar ponselnya, mencari sebuah nama yang akhir-akhir ini memenuhi kepalanya. Selepas ia menemukan nama itu, ia menyentuh gambar gagang telpon yang akan menghubungkannya dengan gadis itu. Tak ada jawaban. Kembali ia mengulanginya dengan hasil nihil.

Ia sudah mulai memahami Trisia Arissandy. Gadis yang ceria, tak mudah menyerah, pekerja keras dan sensitif. Ia telah memperoleh semua fakta yang ia butuhkan tentang Calista dan beberapa fakta mengejutkan tentang anak perempuannya. Sisanya tinggal bagaimana ia akan menggunakan Trisia untuk mendekati tujuannya. Tapi entah apa yang terjadi padanya, ia telah terjebak dalam rencananya sendiri. Andai saja gadis itu bukan putri Calista.

Gadis itu benar-benar membuatnya tak berhenti memikirkannya. Bahkan sejak pertama kali ia melihatnya di club tempo hari. Tentu saja sebelum fakta bahwa gadis itu adalah putri Trisia sampai di telinganya. Dan setelahnya, ia justru berkali-kali lipat terus memikirkan tentang gadis itu, juga tentang kegagalannya.

Leo bukan orang yang pandai memendam amarahnya. Ia memang dilahirkan sebagai seorang pemarah dan dengan cepat kemarahannya akan muncul ke permukaan begitu sesuatu mengganggunya. Dengan kasar ia menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja kerjanya. Bagaimanapun juga ia harus bicara pada gadis itu.

Leo sempat mengintip bagian luar ruangan Harry melalui pintu kaca. Meja sekretarisnya yang berseberangan dengan meja Trisia tampak kosong. Mungkin mereka sudah ke kantin, pikir Leo. Ia berbalik, mempercepat langkahnya menuju lift khusus dan menekan tombol ke bawah berulang kali meski ia tahu cukup sekali ia menekannya. Lift khusus dengan cepat terbuka dan membawanya menuju ke lobi. Tepat saat ia keluar dari lift, Trisia dan Liana berada beberapa meter di depan pintu lift umum. Leo mempercepat langkahnya, kemudian meraih tangan Trisia, membuat gadis itu tersentak.

“Kita perlu bicara.” Pandangan Leo begitu tajam dan intens. Membuat kekhawatiran Trisia memuncak, memelintir isi perutnya.

Trisia menarik tangannya dari genggaman tangan Leo. Namun tampaknya kali ini Leo tak main-main. Genggaman Leo terlalu kuat untuk Trisia. “Tolong jangan seperti ini. Ini di kantor.” Trisia membentak dengan bisikan. Namun Leo tak akan membiarkan gadis itu lolos lagi.

Trisia mengalihkan pandangannya, melirik ke arah Liana, alisnya menyatu di atas mata hijaunya yang cantik. Tatapan matanya seolah mengatakan tolong-aku, namun Liana yang sama sekali tak memahaminya justru terpaku menatap mereka berdua.

Mengikuti arah pandang Trisia, Leo menaikkan alisnya, “Maaf, aku ada perlu dengannya.”

Leo menarik paksa Trisia yang mencoba mempercepat langkahnya untuk menjajari Leo agar tak terlalu mendapat perhatian dari sekitarnya, meski ia tahu seluruh pandangan mata tertuju pada mereka.
***

“Apa yang ingin anda bicarakan?” Tanya Trisia dengan kesopanan yang dibuat-buat begitu mereka selesai memesan makan siang di sebuah restoran tempat mereka biasa makan siang.

“Bersikaplah biasa, ini bukan di kantor,” nada kesal terdengar jelas dalam suara Leo. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Mengapa kau bersikap seolah kau tak mengenalku?”

“Karena itu lebih baik. Aku menyadari siapa diriku. Kurasa aku tak pantas bergaul dengan orang kaya sepertimu.”

Leo menyeringai, “Kautahu atau kaurasa?”

Tubuh Trisia mendadak kaku. Ia tak mampu menjawab pertanyaan sepele yang dilontarkan Leo. Ia merasa murka karena semua orang terasa begitu menekannya. Mereka tak pernah tahu bagaimana perasaan gadis itu. Tidak satupun.

“Lalu apa kau pikir itu cara yang pantas untuk memutuskan hubungan dengan orang kaya sepertiku?” tanya Leo lagi.

“Aku…” Trisia menelan ludah ketika keraguan menusuknya, “aku tak punya pilihan.”

Mata Leo berkilat, “Kau selalu punya pilihan.”

Tidak. Tidak jika Trisia mengharapkan kehidupannya akan berjalan dengan tenang dan nyaman. “Mengapa kau seperti ini? Tidak bisakah kau melepaskanku? Aku hanya ingin hidup dengan tenang. Sudah cukup beban yang kutanggung, kumohon mengertilah.”

“Tidak. Aku tak bisa.” Nada Leo melembut.

“Kenapa?”

“Karena aku…” Kalimat Leo terpotong ketika ponsel Trisia berdering. Nomor asing.

“Ya?” Ujar Trisia. Ia terdiam sejenak untuk mendengarkan lawan bicaranya, kemudian raut wajahnya berubah. Antara sedih, kecewa atau… “Baiklah, akan kuusahakan datang.” Lanjut Trisia yang kemudian meletakkan ponselnya di atas meja. Trisia terdiam, arah pandangannya lurus menatap ponselnya, kemudian setitik air mata jatuh membasahi wajahnya. Dengan cepat Trisia mengusapnya.

“Apa yang terjadi?” Tanya Leo khawatir.

Trisia berusaha menyembunyikan perasaannya, namun begitu menatap mata Leo yang memandangnya dengan lembut, membuat air matanya kembali luruh. Cepat-cepat Trisia mengusapnya kembali, “Tomi…” Ia menjeda, “dia akan melangsungkan pertunangannya minggu depan. Dia memintaku datang.”

Leo terperanjat. Yang ia ketahui Tomi adalah si rambut merah—pacar yang begitu kasar pada Trisia. Cerita mengenai Tomi pun mengalir dari bibir Trisia dan Leo mendengarkannya dengan saksama.

“Aku akan menemanimu ke pertunangan Tomi agar mereka tak menghinamu.” Leo memberikan sebuah penyelesaian “Tunjukkan bahwa kau masih bisa melanjutkan hidupmu tanpa orang-orang sombong itu,” lanjutnya, “Tapi bisakah kau melakukan sesuatu untukku?”

“Apa itu?”

“Ikutlah denganku ke Belanda.”


Bersambung.

Senin, 29 Juni 2015

Orange Sunset (Tujuh)



‘KAU ingin menonton apa?’

Rangga duduk bersila di atas sofa, di ruang tamu rumah Jihan. Lelaki itu memangku kotak kardus yang dijejali berbagai macam DVD film milik keluarga Jihan. Ada film romantis kesukaan ibunya, film sejarah kesukaan ayahnya, film action kesukaan Jihan yang juga merupakan genre film kesukaan Rangga, dan beberapa genre film lain yang hanya menjadi minoritas.

Jihan meletakkan stoples penuh popcorn yang tadi mereka beli di minimarket, lalu melirik ke arah Rangga yang tampak sibuk memilih. Seolah-olah ia sedang memilih setelan yang akan dikenakan untuk menghadiri jamuan makan malam dari Presiden. Setumpuk DVD sudah berpindah ke pangkuannya.

‘Bagaimana kalau film ini?’ Rangga menyodorkan satu DVD ke arah Jihan. Gadis itu mengernyit dan langsung memalingkan wajah setelah melihat kover DVD itu.

‘Kau tahu benar aku tidak suka nonton film seperti itu,’ gerutu Jihan sambil merutuk dalam hati. Siapa yang tega memasukkan film horor seperti itu ke rumah ini? Ia berharap tidak ada film lain bergenre sama di dalam kotak kardus itu.

Rangga menatap gadis berambut panjang hingga menutupi sebagian wajahnya di kover itu. Gadis itu sedang merangkak seolah hendak melompat keluar dari kover. Tampak tidak peduli pada gaun putihnya yang kotor. Rangga terkekeh lalu bergumam, ‘Sesekali tidak ada salahnya menunjukkan kelemahanmu sebagai perempuan.’

Jihan mengepalkan tangan lalu mengetuk kepala Rangga dengan kesal. Lelaki itu mengaduh sambil mengusap-usap kepalanya.

‘Ini saja,’ usul Jihan sambil tersenyum iseng. Ia menarik salah satu DVD yang menampilkan dua orang gadis detektif cerdas yang sering memecahkan berbagai kasus.

Rangga bergidik dan melirik sekilas ke arah Jihan. ‘Itu terlalu berat, Jihan. Aku ingin menonton film yang seru tapi santai. Seperti ini misalnya....’ Ia menarik lagi sebuah DVD dan menunjukkannya pada Jihan.

Kening Jihan berkerut samar. ‘Film itu lagi?’

‘Ya. Ini film favorit kita berdua, kan?’ Rangga mengeluarkan kepingan DVD dari wadahnya dengan hati-hati.

Film action itu dipenuhi dengan balapan mobil-mobil keren dan diwarnai dengan adegan laga yang seru. Pusat dari cerita ini adalah sekelompok orang yang sangat menjunjung tinggi persahabatan mereka. Bahkan mereka sudah merasa terikat seperti saudara. Kurang lebih seperti hubungan Jihan dan Rangga saat itu. Setidaknya sudah empat kali mereka menonton ulang film tersebut. Dan itu berarti ini akan menjadi  yang kelima.

Pertama kali Jihan dan Rangga menonton film itu di bioskop dan langsung jatuh cinta. Setelah itu, mereka mengumpulkan uang untuk membeli DVD-nya bersama. Sehingga mereka bisa menonton film itu kapan pun mereka inginkan.

‘Kukira kau sudah bosan.’

‘Mana mungkin,’ sahut Rangga sambil menyingkarkan kotak kardus dari pangkuannya. Kata-kata selanjutnya lebih seperti bisikan. ‘Apalagi aku menontonnya denganmu.’

‘Apa?’

‘Apalagi sequel film ini akan rilis pertengahan tahun ini. Setelah kita lulus dari SMA,’ Rangga berjongkok memunggungi Jihan, sambil meletakkan DVD ke dalam player. ‘Kau mau kita pergi menonton bersama?’

‘Tentu saja,’ sahut Jihan tanpa berpikir lagi. Bahkan tidak memikirkan sedikit pun kemungkinan bahwa rencana menonton itu ternyata tidak pernah terwujud.

Jihan melipat kaki dan memeluknya di atas sofa sambil menunggu Rangga selesai memasang DVD. Ia sudah mengganti seragam sekolah dengan kaus oblong dan celana jeans selutut. Begitu juga dengan Rangga yang tadi sempat pulang sebentar untuk berpamitan pada orang tuanya bahwa ia akan pulang larut malam ini. Sering kali Jihan merasa iri pada anak lelaki yang begitu mudah mendapat izin untuk pulang malam.

Walaupun sebenarnya orang tua Jihan tidak pernah mengekangnya terlalu berlebihan. Sebagai bukti, orang tuanya mengizinkan Rangga menemaninya selama mereka berdua pergi menjenguk pamannya yang sakit di luar kota. Jihan tidak ikut serta karena saat ibunya mendapat kabar itu, ia sedang di sekolah untuk mengikuti ujiannya yang terakhir.

Ibunya merasa lega dan mendukung Rangga untuk menemani Jihan di rumah sepulang sekolah, sedangkan ayahnya agak ragu membiarkan putri semata wayangnya tinggal berdua dengan laki-laki walaupun hanya untuk beberapa jam. Tetapi kemudian ayahnya menyimpulkan bahwa ia lebih suka melihat ada seseorang yang menemani Jihan dan memastikan anaknya baik-baik saja. Mungkin ayahnya tidak tega jika Jihan yang penakut harus tinggal sendirian hingga larut malam. Lagi pula ayahnya sudah mengenal Rangga, dan yakin bahwa sahabat karib anaknya itu adalah lelaki yang baik.

Jihan senang orang tuanya mempercayainya. Dan ia tidak ingin mengkhianati kepercayaan itu. Lagi pula apa yang bisa terjadi di antara dua orang sahabat yang saling menyayangi?

Tidak lama kemudian Rangga duduk di samping Jihan dan meletakkan stoples popcorn di antara mereka berdua. Ia membiarkan Jihan untuk mengambil segenggam pertama dan mereka menonton sambil makan. Dalam sekejap popcorn itu habis bahkan belum seperempat bagian film berjalan.

‘Kau mau piza?’ tanya Rangga sambil menyingkirkan stoples yang kosong kembali ke atas meja.

Jihan menatapnya ragu dengan sebelah alis terangkat. ‘Aku ragu kau bisa membuatnya.’

Saat itulah bel pintu rumah Jihan berbunyi. Keningnya mengernyit dan matanya melirik jam dinding yang tergantung beberapa sentimeter di atas televisi. Tidak mungkin orang tuanya sudah pulang. Dan jika memang begitu, untuk apa mereka membunyikan bel rumah mereka sendiri?

‘Ah, tepat waktu,’ gumam Rangga di samping Jihan. Kerutan di kening gadis itu semakin dalam sementara Rangga meraih remote untuk menekan tombol pause. Lelaki itu bangkit dan membuka pintu.

Jihan tertegun di atas sofa. Ia hanya memerhatikan punggung Rangga sambil bersiaga jika saja yang datang adalah perampok. Mungkin ia bisa menyerang dengan memukulkan stoples kosong ke kepala perampok itu.

Tetapi sepertinya dugaannya salah karena Jihan bisa mendengar lelaki itu mengobrol singkat dengan tamu tak diundang itu. Ia juga melihat Rangga mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya dan menyerahkannya kepada orang yang berada di luar. Setelah menutup pintu, Rangga berbalik dengan sekotak piza berukuran besar.

‘Kau memesan piza?’ Mata Jihan langsung berbinar takjub. ‘Tapi... kapan?’

‘Aku menelepon delivery saat kau pergi ke kamar,’ jawab Rangga sambil meletakkan dan membuka kotak piza di atas meja. Uap hangat piza langsung menguar di udara, begitu menggugah selera.

Rangga yang lebih dahulu menarik potongan piza pertama. Ia menekan tombol play kemudian mengigit ujung yang kecil lebih dahulu. Sementara Jihan mulai menyantap piza sambil terus memuji Rangga dan piza yang dipesannya. Lelaki itu tersenyum angkuh dengan pipi berlepotan saus. Dan seperti yang bisa diduga, piza itu tandas sebelum pertengahan film.

‘Kau benar-benar rakus, Nona Jihan,’ kelakar Rangga.

‘Hei, kata-katamu bisa menyakiti hati seorang gadis lemah lembut sepertiku,’ sahut Jihan berpura-pura marah.

‘Maafkan hamba, Baginda Ratu,’ ujar Rangga seolah memohon padahal tidak ada sedikit pun rasa bersalah di sana. Yang tampak hanya binar humor.

Jihan mengangkat alisnya dan mereka saling berpandangan lama. Seolah mereka sedang mengikuti staring contest di mana dua orang saling memandang sampai salah seorang kalah karena lebih dahulu berkedip, tertawa, atau mengalihkan pandangan. Hingga akhirnya mereka tergelak keras bersama-sama.

Malam itu, Jihan dan Rangga menonton banyak film secara maraton. Setelah film favorit mereka selesai, DVD player lanjut memutar film komedi yang membuat mereka tergelak hingga mengeluarkan air mata. Bahkan Rangga diam-diam memutar film horor yang tadi sudah ditolak Jihan. Dan lelaki itu terkikik geli setiap kali Jihan menjerit sepanjang film. Kemudian film romantis yang dipilih Rangga karena pemeran utamanya yang cantik. Dan setelah itu, Jihan tidak lagi terlalu peduli karena matanya mulai terasa berat.

Sementara Rangga sendiri tidak menghitung berapa film yang sudah mereka tonton. Sampai akhirnya, ia menyadari bahwa kepala Jihan tiba-tiba terkulai ke samping.

‘Selanjutnya kau mau menonton apa?’ tanya Rangga pelan.

Tidak ada jawaban.

‘Jihan?’ Rangga mencondongkan tubuh ke arah Jihan untuk memastikan. Mungkin saja gadis itu sedang menahan kantuk atau mulai merasa bosan.

Ternyata gadis itu sudah terlelap rupanya.

‘Dasar tukang tidur,’ gerutu Rangga sambil melihat jam dinding. Sudah hampir tengah malam. Sebaiknya ia membangunkan gadis itu dan menyuruhnya pindah ke kamarnya sebelum kedua orang tuanya pulang.

Rangga kembali menatap Jihan di sampingnya, hendak membangunkan gadis itu. Tetapi ketika ia menatap wajah tenang Jihan yang sedang tidur, entah mengapa ia mengurungkan niatnya. Mungkin sebaiknya ia membiarkan gadis itu tidur sebentar lagi.

Rangga sendiri tidak tahu mengapa ia melakukan hal ini. Ketika melihat kepala Jihan terkulai miring seperti itu, tubuhnya seolah bergerak sendiri untuk perlahan-lahan bergeser merapat ke arah gadis itu. Lalu dengan satu tangan ia meraih sisi kepala Jihan dengan hati-hati tanpa membuat gadis itu terbangun. Ia menyandarkan kepala Jihan ke bahunya.

‘Benar-benar merepotkan.’ Rangga mendengus lalu menggerutu pelan.

Tetapi Rangga tidak bisa menjelaskan mengapa begitu kepala Jihan bersandar di bahunya, kepalanya menoleh dan secara impulsif mendaratkan kecupan seringan bulu di puncak kepala gadis itu. Dan ia juga berbisik lembut, berharap mimpi indah akan menghiasi tidur gadis itu malam ini.
***

Jihan masih termangu selama beberapa detik setelah Rangga mengajukan pertanyaan untuknya. Ia hanya mampu memandang lelaki itu tanpa berkata apa-apa. Sementara perutnya mulai kembali menegang tidak nyaman.

“Apa yang kau lakukan, Jihan?” Rangga mengulang pertanyaannya. Kali ini ia menyebut dengan jelas kepada siapa pertanyaan itu ditujukan.

Jihan terkesiap dan mengerjap sebelum menjawab. “A-aku baru akan membeli popcorn. Apa kau juga ingin membelikan juga untuk Silvia?”

“Oh,” gumam Rangga acuh tidak acuh. Dan ia mengabaikan pertanyaan Jihan seolah itu hanyalah deretan kalimat kosong. “Di mana Julian?”

“Eh? Julian... tadi dia pergi ke toilet,” jawab Jihan tergeragap menunjuk ke arah Julian pergi. Ia mengutuk dirinya sendiri yang terus-menerus bersikap gugup selama berada di dekat Rangga. Seolah keakraban mereka di supermarket minggu lalu hanya terjadi dalam mimpi.

Begitu Rangga menghilang di belokan yang sama tempat Julian menghilang, Jihan bergegas membeli dua porsi popcorn. Ia harus cepat kembali ke dalam teater sebelum Silvia sempat mencurigai sesuatu.
***

Ada apa sebenarnya?

Kening Silvia berkerut hingga menciptakan lekukan di antara alisnya. Ia menatap bergantian tiga kursi kosong di dekatnya. Mungkinkah telah terjadi sesuatu?

Firasat buruk menelusup ke dalam hatinya. Tiba-tiba saja ia menyadari sikap aneh orang-orang di sekitarnya. Rangga yang tiba-tiba bersikap ketus. Jihan yang seperti orang bingung. Dan Julian yang tampak misterius.

Tetapi sepertinya dugaan Silvia kurang tepat. Jihan memang selalu terlihat bingung karena sering melamun. Dan Julian memang selalu terlihat tenang dan pandai menyembunyikan perasaan. Lalu, bagaimana dengan Rangga? Bukankah selama ini lelaki itu selalu bersikap ramah dan ceria? Mengapa tiba-tiba berubah menjadi begitu dingin?

Dan sekarang mereka bertiga pergi meninggalkannya sendirian. Seolah mereka bertiga terisap ke dalam satu pusaran yang sama. Tanpa sedikit pun bermaksud melibatkan Silvia.

Jadi, ada apa sebenarnya? Ataukah pikirannya saja yang terlalu berlebihan?

Baru saja Silvia bangkit hendak menyusul keluar, tiba-tiba pandangannya menggelap. Langkah kakinya goyah hingga ia memutuskan untuk kembali duduk. Ia menyandarkan kepala dan punggungnya ke sandaran kursi. Telunjuknya memijat-mijat pelipisnya, mencoba mengusir kunang-kunang yang bermain-main di balik kelopak matanya.

Sial. Silvia mendesah kesal dalam hati. Ini pasti karena tekanan darahnya menurun. Sebenarnya, dalam dua minggu terakhir ia sedang menjalani diet ketat untut menurunkan berat badannya. Ia ingin selalu terlihat cantik di mata Rangga. Tetapi ia malu untuk mengakuinya, sekali pun itu kepada Jihan.

Apa boleh buat, sepertinya yang bisa dilakukannya sekarang hanya menunggu.
***

Toilet itu dalam keadaan sepi. Mungkin karena semua orang sedang menonton film yang diputar pada jam yang sama di sepuluh teater yang berbeda. Julian berdiri di depan cermin besar dan mencuci tangannya di atas wastafel.

Julian masih bisa mengingat jelas ekspresi Jihan yang menegang dan memutuskan untuk keluar di tengah film. Ia bisa melihatnya dengan jelas walaupun teater dalam keadaan minim cahaya. Dan entah mengapa ia yakin reaksi itu ada hubungannya dengan Rangga. Mungkin nanti sepulang dari sini ia bisa bertanya kepada sahabatnya itu. Walaupun tidak ada jaminan Rangga akan bercerita dengan senang hati.

Pintu toilet terbuka dan seseorang masuk. Saat Julian mengangkat wajah, ia bisa melihat jelas melalui cermin sosok Rangga yang sedang memandangnya penuh intimidasi. Ia tersenyum dalam hati sambil mengeringkan tangannya, lalu berbalik dan berhadapan langsung dengan housemate-nya itu.

“Apa-apaan dengan wajahmu itu, eh?”

“Jauhkan tangan sialan-mu itu dari Jihan,” tukas Rangga cepat dengan nada tajam dan menusuk. Julian memahami dengan benar itu bukan sebuah permintaan melainkan kalimat perintah.

“Memang apa pedulimu?” balas Julian sama sekali tidak terpengaruh. Seharusnya Rangga sudah mengerti dengan sifat penentang dalam diri Julian.

“Aku mengajakmu kemari atas permintaan Silvia.” Rangga bertahan dengan ekspresi datarnya. Tetapi sepertinya tubuhnya tidak tahan untuk melangkah maju dan mendorong tubuh Julian hingga menghantam dinding. “Tapi bukan berarti kau bisa sesuka hati menyentuh Jihan-ku seperti itu.”

“Apa katamu? Jihan-mu?” Julian mendengus geli. Ia balik menantang dengan melangkahkan kakinya ke depan. Dan Rangga memilih mundur seakan kehilangan nyalinya. “Kalau memang begitu, jauhi Silvia!”

Rangga tercenung. Wajahnya sedikit memucat. Kata-kata Julian seolah menohok perasaannya. Ia tahu itu adalah kesalahannya. Tetapi ia butuh waktu. Tidak semudah itu melepaskan gadis yang dikenalnya dari ibunya itu. Apalagi kedua pihak orang tua mereka saling bersikap seolah mereka akan menikah dalam waktu dekat.

“Aku tidak bisa,”gumam Rangga lirih. Kepalanya tertekuk dalam. “Tidak secepat itu.”

Darah Julian langsung mendidih sampai ubun-ubun. Ia tidak menyangka sahabatnya itu bisa bersikap seberengsek itu. Padahal beberapa detik yang lalu fotografer keparat itu baru saja memperlakukannya seolah Julian adalah lelaki paling berengsek di muka bumi.

“Berhentilah bersikap seperti seorang bajingan! Pilih salah satu!” Julian mendorong dada Rangga hingga lelaki itu sedikit terhuyung ke belakang. Julian melirik enggan kepada Rangga seolah sedang melihat sesuatu yang menjijikan. Kemudian ia melangkah keluar dan membanting pintu di belakangnya. Meninggalkan Rangga yang tertunduk dengan harga diri berserakan di lantai.
***

“Hei, kau ketinggalan banyak hal,” gumam Silvia saat Jihan menyusup kembali ke kursinya. “Bangsa Zestorian sudah hampir berhasil melakukan agresi mereka.”

“Maaf. Antreannya panjang.” Jihan menyodorkan satu wadah popcorn yang dibawanya kepada Silvia.

“Apa kau tidak bertemu Rangga dan Julian?” bisik Silvia sambil melahap popcorn yang digenggamnya.

“Ya. Aku bertemu mereka ketika sedang mengantre.” Jihan mencoba terlihat fokus pada film di depannya. “Mereka tadi pergi ke toilet. Mungkin sebentar lagi kembali.”

“Aku benar-benar khawatir. Hampir saja aku akan menyusul kalian bertiga keluar. Sampai akhirnya kau datang.”

Batin Jihan tersenyum lega di dalam sana. Syukurlah, ia datang tepat waktu. Setelah itu, Jihan memilih untuk menonton dengan hening. Dan sepertinya Silvia mengerti dengan mudah untuk tidak berisik dan mengganggu penonton yang lain.

Sisa film itu dipenuhi adegan serangan dari pihak musuh secara bertubi-tubi. Mereka semua saling menyerang dan bertahan. Jihan bersyukur tidak ada lagi adegan percintaan yang membuat otot-otot perutnya menjadi tegang. Baru setelah menjelang akhir cerita, lelaki yang menjadi tokoh utama menyadari bahwa ada seseorang yang mengkhianatinya. Dan ia berencana untuk memberi pelajaran kepada orang itu.

Kira-kira tiga menit menjelang film berakhir, Julian kembali masuk ke teater. Lelaki itu tersenyum meminta maaf sambil kembali duduk di kursinya. Jihan dan Silvia menoleh dan langsung menyadari bahwa lelaki itu datang sendirian.

“Dari mana saja kau? Beberapa menit lagi filmnya selesai,” ujar Silvia sambil menjaga nada bicaranya agar tidak meninggi. “Di mana Rangga?”

“Dia tadi masih di toilet. Perutnya sakit karena kedinginan. Yah... begitulah.” Julian mengangkat bahu sambil tertawa kecil dengan nada rendah.

Beberapa saat kemudian, film berakhir dan lampu teater menyala sesuai urutan. Sampai akhirnya ruangan itu kembali terang benderang. Tetapi Rangga belum juga kembali.
***

Silvia melangkahkan kakinya dengan hati-hati meninggalkan kursinya. Ia menuruni anak tangga teater satu per satu. Sementara tangannya meraba-raba barisan sandaran kursi sebagai pegangan. Sosok Julian dan Jihan yang berjalan di depannya perlahan mulai mengabur.


Ah, andai saja ada Rangga yang menyangga langkahnya sekarang. Tetapi lelaki itu tidak terlihat sama sekali sejauh mata memandang. Bahkan Jihan yang biasanya begitu perhatian, tampak tidak menyadari perubahan kondisi tubuh Silvia. Itu wajar saja terjadi. Ia tidak akan menyalahkan sahabatnya itu. Pesona Julian memang menyilaukan bagi semua perempuan. Dan semoga saja pesona lelaki itu bisa membantu Jihan melangkah maju dari masa lalunya.

Beberapa langkah keluar dari teater, Silvia langsung tersenyum lega. Ia melihat Rangga sedang duduk di bangku di luar pintu teater. Lelaki itu sudah kembali tersenyum hangat saat bangkit dan menyambut mereka bertiga.

Oh, tidak! Silvia merasakan kunang-kunang saling bertabrakan dalam benaknya. Kepalanya mulai berputar-putar. Dan sebelum lantai bioskop menyentuh wajahnya, ia merasakan lengan yang kokoh memeluknya dengan hangat. Walaupun dalam keadaan nyaris pingsan, tetapi ia masih bisa mengenali pemilik lengan itu.

Rangga.

Silvia tersenyum mengingat nama itu. Ia lalu menyandarkan kepalanya di dada Rangga dan memejamkan mata. Hal terakhir yang didengarnya sebelum kehilangan kesadaran dalam pelukan lelaki yang dicintainya adalah tiga suara yang meneriakkan namanya bersamaan.



Sabtu, 27 Juni 2015

Red Lie - Chapter 9


Malam itu cerah, dan bulan purnama bersinar terang ditemani bintang-bintang yang bertaburan pada langit yang telah menghitam pada jam sepuluh malam. Seorang lelaki kecil duduk di ayunan besar, menengadahkan kepalanya dan berkali-kali mengembuskan napas besarnya. Matanya secara bergantian menatap foto yang ada di genggaman tangan mungilnya.

Sejak ibunya melihat foto itu, keluarganya tak lagi seharmonis sebelumnya. Kedua orang tuanya lebih sering bertengkar, bahkan ibunya tak lagi mengurus kedua anaknya dan melimpahkan tanggung jawabnya pada baby sitter hingga jam sembilan malam. Ibunya selalu mengurung diri, dan beberapa hari ini, ibunya tak lagi mengajaknya bicara. Hanya sesekali memberikan susu untuk adiknya ketika baby sitter telah usai bertugas.

Dari dalam rumahnya, kembali terdengar suara-suara bernada tinggi yang ia hafal betul itu adalah suara kedua orang tuanya. Lagi... Perang mulut terjadi di antara keduanya. Di sela itu, suara tangisan seorang lelaki kecil yang agaknya terganggu dengan suara gaduh terdengar nyaring tanpa henti. Keegoisan muncul dalam hatinya. Ia membiarkan tangisan adik kecilnya itu, meski dalam hati kecilnya perasaan tak tega menggelayutinya.

Sesaat kemudian suara perang mulut itu berhenti, begitu juga dengan suara tangisan adik kecilnya. Lalu ia melihat mobil ayahnya berjalan mundur, keluar dari garasi dan berputar dengan kecepatan tinggi hingga decitan bannya terdengar jelas di telinga lelaki kecil itu. Tiba-tiba hidungnya terasa sakit, air mata mulai menggenangi matanya. Ini tidak adil. Mengapa ibunya tak pernah mengajaknya bicara? Sedangkan sesekali ia melihat ibunya memberikan susu pada adiknya ketika adiknya menangis. Apa salahku? Batinnya dalam hati sambil menangis sesegukan. Bahkan ibunya tak pernah lagi memeluknya ketika ia menangis.

Ia mengusap air matanya dengan lengan kaos hijau yang dikenakannya, kemudian berjalan menuju ke dalam rumah karena ia merasakan udara di luar yang mulai dingin. Ia mengintip di balik pintu kamar yang terbuka setengahnya. Yang bisa lelaki kecil itu lihat di menit berikutnya dari tempatnya berdiri di balik pintu kamar, ibunya meraih sebuah guling kecil yang kemudian digunakan untuk membekap wajah adiknya yang telah tertidur.

“Apa yang ibu lakukan?” tanya lelaki kecil itu. Ibunya terperanjat hingga guling di tangannya terjatuh menimpa adiknya. Tangisan adik kecilnya kembali menguar.
Ibunya berdecak, menatap lelaki kecil itu dengan amarah yang membabi buta. Sang ibu pun mendatangi lelaki kecil itu mencengkeram lengannya kuat-kuat hingga membuat lelaki kecil itu kesakitan. Ia terus meronta, mencoba melepaskan diri dari wanita yang tak lagi dikenalnya itu. Butuh waktu lama bagi lelaki kecil itu untuk melepaskan diri, keputusannya untuk menendang perut ibunya membuahkan hasil, hingga ia segera berlari untuk bersembunyi di bawah meja ruang makan. Langkah ibunya berhenti beberapa meter di dekat meja. Dengan jantung yang berdegup kencang, lelaki kecil itu memberanikan diri untuk mengintip. Sebilah pisau telah berada dalam genggaman ibunya. Darah mulai merembes dari pakaiannya, tubuhnya tumbang tepat di hadapan lelaki kecil itu.

Harry terduduk tegak di ranjangnya. Keringat yang lembap dan dingin membanjiri tubuhnya. Mimpi itu terasa begitu nyata, sama persis dengan kejadian saat itu. Masa lalunya masih saja menghantui mimpi-mimpinya. Ia tak akan pernah lupa malam itu ketika ibunya bunuh diri tepat di depan matanya.

Harry bangkit dan memercikkan air dingin ke wajahnya, dan saat itu rasa bersalah kembali menggelayuti hatinya. Seandainya saja waktu itu ia tak menunjukkan foto itu. Ia mendesah, kemudian keluar dari kamarnya, mengambil segelas air dingin untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

Bayangan seseorang di ruang tengah tertangkap oleh ekor mata Harry. Ia memutar langkahnya, untuk memastikan siapa yang masih terjaga pukul tiga pagi, meski ia tahu tak ada siapapun lagi di rumah itu kecuali Leo.

Dalam cahaya remang-remang, tangan besarnya sedang sibuk memainkan ponsel lima inci miliknya. Ia tampak serius hingga tak menyadari seseorang berdiri di belakangnya, ikut mengamati layar ponselnya yang memperlihatkan foto seorang gadis. Dengan latar yang sangat Harry pahami, Harry tahu betul siapa gadis itu. Seorang pegawai Quarts Design. Harry berdehem, mengagetkan adiknya yang tengah sibuk dengan pengamatannya pada gadis itu.

“Kak… Kau mengagetkanku.” Ujar Leo yang hampir saja menjatuhkan ponselnya.

“Em.. Ya.. Kurasa karena kau terlalu sibuk memandangi gadis itu.” Kata Harry sambil berjalan menuju dapur yang hanya dibatasi oleh tembok setinggi pinggang orang dewasa. Leo terkejut kakaknya menyadari apa yang tengah ia perhatikan. Kemudian arah matanya mengikuti kakaknya yang tengah menuang air dingin.

“Kenapa kau mempekerjakan asisten?” Tanya Leo tiba-tiba.

Harry hampir saja tersedak mendengar pertanyaan Leo. “Memangnya ada yang salah?” Balas Harry mengabaikan pertanyaan adiknya.

“Seperti bukan kau saja,” Tukas Leo. “kudengar kau meminta Denis untuk merekrutnya secara eksklusif?”

“Benar.”

“Kenapa harus dia?”

Hening. Harry bahkan sama sekali tak memiliki minat untuk membahasnya terlebih setelah mimpi buruk membangunkannya.

“Kak,” Leo berusaha merebut kembali perhatian Harry, “kenapa harus Trisia?”

Harry meletakkan gelasnya di atas meja tanpa menghabiskan sisa minumannya. Kemudian dengan langkah cepat ia kembali menuju ke kamarnya tanpa menjawab pertanyaan Leo. Ini bukan saat yang tepat untuk membahas itu. Ia tak ingin siapapun mengganggu rencananya, termasuk Leo.
***

Ia tahu benar bagaimana karakter Harry. Ia tak akan mengijinkan siapapun mencampuri urusannya, termasuk Leo. Namun rasa penasaran yang memang kental dalam dirinya, membuatnya harus berusaha lebih untuk menjawab segala pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya.

Leo bersandar di tempat tidur, menopang tubuhnya dengan siku. Sebelah tangannya kembali sibuk dengan ponsel yang ia letakkan di atas tempat tidur, menggeser layar dengan telunjuknya yang panjang. Beberapa foto yang di ambil diam-diam pada beberapa acara makan siang bersama Trisia beberapa hari yang lalu masih menjadi topik hangat dalam pikirannya.

Ketika tengah sibuk memindah gambar demi gambar, sebuah foto kenangan beberapa tahun silam mendapatkan perhatian lebih dari Leo. Saat itu ia masih kecil, duduk di pangkuan seorang wanita cantik yang ia kenal sebagai ibunya. Di sampingnya, berdiri ayahnya yang tengah menggendong seorang lelaki kecil dengan wajah ceria dan berseri-seri. Harry. Wajah ceria itu kini tak lagi bersarang di wajah kakaknya. Dalam foto itu semua tertawa tanpa beban, seolah tak akan ada yang tahu bahwa keluarganya akan hancur berantakan.

Leo membuka laci nakas di samping tempat tidurnya, kemudian ia mengeluarkan sebuah buku. Buku harian dengan warna kertas putih yang mulai kusam. Ia membuka halaman yang telah ditandai dengan selembar foto kusut, foto seorang wanita bersama seorang anak perempuan dan seorang bayi mungil di tangannya. Wanita asing dengan rambut pirang dan mata hijaunya. Leo membalik foto itu, sebuah tulisan yang selalu ia baca setiap kali melihat foto tersebut.

Dank je, Haryo. Ik hou van jou. 19 Maart 1991.  (1)

Leo mengembuskan nafas berat. Nama ayahnya tertulis jelas. Kemudian mulai membaca baris demi baris, mencoba memahami kata demi kata. Ini sudah yang ketiga kalinya Leo membaca habis buku harian ibunya yang ia temukan hampir setahun yang lalu di gudang rumah ayahnya itu dan kembali mengulanginya untuk menemukan sesuatu.

Awalnya ia tak pernah berminat untuk mengetahui isi buku harian tersebut. Namun seiring rasa penasarannya yang kian membeludak, Leo memutuskan untuk membukanya. Alangkah terkejutnya ia menemukan kenyataan bahwa ibunya meninggal bukan karena penyakit, melainkan bunuh diri. Tepat sehari sebelumnya, ibunya menuliskan rencananya untuk mengakhiri hidupnya. Entah karena benar-benar tidak tahu atau memang tak berniat memberi tahu, Harry selalu mengatakan bahwa ibu mereka meninggal karena penyakit.

Calista, adalah sebuah nama yang selalu diingat oleh Leo. Nama wanita yang selalu dituliskan oleh ibunya dalam buku harian itu, wanita yang ia yakini adalah selingkuhan ayahnya, nama yang akan selalu tertancap kuat dalam ingatan Leo. Dan satu-satunya cara untuk menemukannya adalah gadis itu.
***

Trisia membuka matanya, kemudian terpejam kembali, setengah dibutakan oleh cahaya ponsel yang bersinar terang di tengah keadaan gelap kamarnya. Kelopak mata kirinya terbuka beberapa millimeter, berusaha melihat siapa yang mengiriminya pesan tengah malam seperti ini. Mungkin saja itu bosnya. Lelaki yang bisa membuatnya kerja rodi lebih dari lima belas jam sehari dengan tuntutan yang tak masuk akal. Karena kau hidup dengan uangku, adalah kalimat pamungkas untuk mendeklarasikan pemaksaan. Gaji yang terbilang cukup besar memang sepadan dengan lelah yang didapatkan Trisia.

Jam di ponsel menunjukkan pukul empat lima puluh tiga pagi— berarti ini bukan tengah malam. Tanpa terasa tidur pulasnya sudah menghabiskan malam dengan sangat cepat. Sebuah nama yang terpampang pada layar ponselnya mengirimkan pesan di pagi buta. Sedetik kemudian Trisia merasakan jantungnya berdebar dengan kencang tanpa ia mampu mengendalikannya. Perutnya terasa teraduk-aduk, membuat matanya terbelalak seketika. Leo…

Selamat pagi, Trisia :)

Sebuah pesan singkat yang mampu membuat Trisia tersenyum saat membacanya.

Selamat pagi juga, Leo :)

Pesan balasan segera dikirimkan oleh Trisia. Trisia bangkit, menyeret langkahnya menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Pagi ini tampak berbeda, ada yang sedang ia nantikan. Meski ia berkeinginan untuk bangun lebih siang dan nyatanya ia justru bangun lebih pagi dari biasanya, sama sekali tak ada perasaan kecewa dalam hatinya. Malaikat seperti sedang menabur bunga berwarna warni di sekelilingnya, membuat suasana hatinya tampak bagus pagi ini.

Sudah seminggu sejak perkenalan pertamanya dengan Leo. Sudah tiga kali mereka makan siang bersama, bertukar nomor ponsel, dan mereka saling bertukar pesan singkat setiap hari. Tentu saja semua itu Leo yang memulai, Trisia masih paham betul posisinya. Kemudian ponsel Trisia kembali berbunyi. Balasan dari Leo.

          Mau kujemput pagi ini?

Sesuatu dalam diri Trisia bersorak. Besar keinginan untuk menjawab ya, namun Trisia harus memikirkan dampak yang akan diterimanya. Tomi yang akan mencincangnya atau Harry yang akan memecatnya karena adiknya menjemput asisten rendahan seperti dirinya. Keduanya sama-sama mengerikan.

          Tidak perlu, terima kasih banyak atas tawarannya.

Send. Bagaimanapun juga ini adalah jawaban yang paling tepat, yang akan membawanya dalam zona aman. Seperti rutinitas paginya, setelah membersihkan dirinya, ia akan membuatkan sarapan dan kopi untuk Tomi. Ya, Tomi.

Kau tak boleh berharap lebih pada Leo, bagaimanapun juga kau masih besama Tomi, kata hati Trisia mulai mengingatkan.

“Iya… Aku tahu. Aku hanya merasa sungkan pada Leo. Leo hanya rekan kerja. Dia juga bosku.” Gumamnya pada diri sendiri.

Rekan kerja? Semacam rekan kerja yang perhatian dengan mengucapkan selamat tidur dan selamat pagi setiap hari? Bos yang bersedia mengantar jemputmu? Rekan kerja yang selalu kau nanti-nantikan pesan singkatnya? Yang selalu kau pikirkan? Yang—

“Tidak! Cukup!” Trisia menggeleng kuat-kuat. “Trisia, fokus!” Ujarnya pada dirinya sendiri sambil terus mengaduk secangkir kopi yang disiapkannya untuk Tomi. Jam digital di meja Trisia menunjukkan pukul enam pagi. Ia harus bergegas untuk membangunkan Tomi.

Trisia mengembuskan nafas berat. Sekelebat bayangan Leo membayangi langkahnya. Ia menggeleng pelan, mencoba menghilangkan bayangan itu, “Leo hanya rekan kerja,” Tegas Trisia pada dirinya sendiri sebelum membuka pintu kamar Tomi.

“Tom… Bangun…” Suara nyaring Trisia membangunkan. Tak ada jawaban dari Tomi. Seperti biasa, lelaki itu memang cukup sulit dibangunkan. Mungkin semalam ia pulang cukup larut. Trisia menyalakan lampu kamar Tomi, namun ternyata lelaki itu tak ada di tempat tidurnya. Mungkin di kamar mandi, batin Trisia. Trisia merebahkan tubuhnya di tempat tidur Tomi sambil menunggu lelaki itu keluar dari kamar mandi.

Sepuluh menit berlalu, tak ada suara percikan air yang terdengar dari kamar mandi. Trisia mengerutkan kening, tak biasanya Tomi akan selama itu berada di kamar mandi. Trisia beringsut, menyeret langkahnya untuk mengetuk pintu kamar mandi.

“Tom, kau di dalam?” Tanya Trisia setelah mengetuk pintu. Hening. Tak ada jawaban apapun. Kemudian Trisia meraih gagang pintu kamar mandi, perlahan membukanya.

“Tom,” Kepala Trisia melongok ke dalam. Tak ada siapapun, bahkan lantai kamar mandi masih kering. Apa mungkin Tomi tidak pulang? Tapi tak mungkin.

Trisia memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan menghubungi Tomi. Tepat sebelum Trisia membuka pintu, sebuah notes kecil tertempel di dekat gagang pintu kamar. Kemudian Trisia meraihnya dan membacanya dengan saksama.

Trisia,
Maafkan aku, aku harus pergi dengan cara seperti ini.
Keputusanku sudah bulat. Aku akan kembali pada orang tuaku.
Aku akan kembali pada kehidupanku.
Mari kita jalani kehidupan kita masing-masing.
Berbahagialah. Maafkan aku yang selalu bersikap kasar padamu.
Temukan lelaki yang lebih baik dariku, yang akan selalu menjagamu dengan baik.
Terima kasih atas pelajaran hidup yang telah kau berikan padaku.
Selamat tinggal.

Tanpa terasa air mata Trisia menetes. Mengapa Tomi harus meninggalkannya seperti ini? Trisia bergegas menuju kamarnya, meraih ponselnya untuk menghubungi Tomi. Sebuah pesan dari Leo pun ia abaikan. Dengan cepat ia menekan nomor yang sudah ia hafal di luar kepalanya. Tak tersambung. Kemudian Trisia menghujani nomor Tomi dengan pesan singkat, namun tak satupun terkirim. Air mata Trisia mengalir dengan deras. Bagaimanapun juga, ia masih menyayangi Tomi.

Tomi… Dimana kau?

Bersambung.


(1) Terima kasih, Ardi. Aku cinta padamu. 19 Maret 1991 (CMIIW ^^)