Pikiran Leo tampaknya masih tertinggal di kantor meski tubuhnya tak lagi berada di sana. Bukan karena pekerjaannya yang menggunung, melainkan karena peluang emas untuk mengenal gadis itu telah menghilang begitu saja. Ia masih mempermainkan sedotan dengan mengaduk-aduk isi gelasnya sambil sesekali mendengus kecewa.
Adam, sahabat Leo yang menjadi tersangka
utama atas kegalauan hatinya masih sibuk memerhatikan Leo yang berwajah kusut masai.
Sudah sekitar lima menit mereka saling diam. Pandangan Leo terfokus pada buah ceri
yang disematkan pada bibir gelas yang berbentuk ramping.
“Hei… Kau ini kenapa?” Tanya Adam mencairkan
suasana kaku yang menyelimuti mereka. Tidak seperti biasanya Leo yang ceria justru
berdiam diri dan melamun seperti ini.
“Tidak, hanya saja pekerjaanku di kantor
terlalu banyak.” Jawab Leo sekenanya.
Mendengar jawaban Leo, Adam mengerutkan
keningnya. Kemudian ia terkekeh, takjub pada jawaban yang dilontarkan Leo. “Pekerjaan?”
Tanya Adam di sela tawanya. “Sejak kapan kau jadi seperti Harry? Kau bahkan tidak
terlalu peduli dengan pekerjaanmu.”
Tentu saja, Leo sepertinya baru menyadari
dengan siapa dia berbicara. Adam adalah sahabatnya sejak SMP dan ia paham betul
bagaimana sifat Leo. Sangat bertolak belakang dengan Harry, yang cenderung pendiam
dan gila kerja. Yang ia tahu, Leo tak begitu menikmati pekerjaannya karena ia memiliki
sebuah impian. Impian yang harus dipatahkan demi kelangsungan perusahaan warisan
ayahnya.
“Begitulah,
pekerjaanku begitu banyak, dan kau malah menyuruhku kemari.” Gerutu Leo. “Aku jadi
harus kehilangan dia.” Leo bergumam samar sebelum meneguk minumannya yang sejak
tadi hanya diaduk-aduk olehnya.
“Dia?” Adam merasa janggal dengan kalimat
Leo.
“Apa?” Leo balik bertanya. Sesaat Leo terkejut
karena tanpa ia duga Adam mendengar gumamannya.
“Jadi katakan, apa dia perempuan yang membuatmu
kalah taruhan semalam?” Tukas Adam dengan pandangan menyelidik. Bagi Adam, Leo memang
orang yang mudah ditebak. Ketika Leo merasa tertarik pada seseorang, ia selalu memiliki
ciri khusus yang kerap diperhatikan oleh Adam.
Untuk beberapa detik, Leo sempat ragu untuk
mengatakan kebenarannya. Namun, akhirnya ia memilih untuk menceritakan semuanya.
Bagaimana ia bertemu dengan gadis itu di club tempo hari, alasan mengapa ia melarang
Adam yang memang sempat tertarik pada gadis itu ketika melihatnya di café, dan pagi
ini, Leo akhirnya melihatnya dengan jelas, “Lalu kau buru-buru menyuruhku kemari.
Padahal mungkin saja aku akan berkenalan dengannya pagi ini.” Leo mendengus, kemudian
meraih sebatang rokok dan menyulutnya sebagai tanda ceritanya telah usai.
“Oh… Jadi ini salahku? Maafkan aku Leo.
Aku hanya berniat menyampaikan kerja sama padamu.” Ujar Adam menyesal.
Leo mengangkat alisnya, menatap Adam setengah
penasaran, “Kerja sama? Sepertinya bisnis temanku ini semakin sukses.” Kemudian
terdengar lagi suara tawa terkekeh-kekeh setelah Leo mengakhiri kalimatnya.
“Jangan mengejekku, Leo,” Adam tertawa.
“Aku perlu sponsor untuk peragaan busana di Belanda bulan depan.”
“Tentu saja,” Leo menyandarkan tubuhnya
ke kursi dan tersenyum tenang. “Kau buat saja proposalnya dan tunjukkan padaku
secepatnya.”
Adam menatap Leo. Ia tahu, Leo memang
orang yang selalu bisa diandalkan. Mungkin sebaiknya Adam perlu lebih bersyukur
karena bertemu orang sebaik Leo. Jika tidak, entah apakah Adam bisa memulai
karirnya menjadi desainer. Semua ini berkat dorongan Leo.
Berawal dari ketidak percayaan dirinya
pada bakatnya, Adam selalu mendapatkan dukungan penuh dari Leo, mental maupun
materi. Bahkan Leo pula yang membukakan jalan, hingga Adam mampu memulai bisnis
yang dirintisnya sejak empat tahun yang lalu dan membawanya menjadi desainer
ternama skala nasional.
Adam tersenyum puas, “Aku tahu, aku
selalu bisa mengandalkanmu Leo.”
***
Trisia benar-benar tak menyangka
dirinya akan bekerja di sebuah perusahaan sebesar ini. Ia merasa gugup ketika
Denis mengajaknya untuk bertemu Harry, calon bosnya. Denis tersenyum geli
mengamati sikap Trisia. Tentu saja, seorang pegawai kantin tiba-tiba menjadi asisten
CEO. Baru pertama kali ia melihat atasannya membutuhkan seorang asisten
sementara yang ia tahu, Harry adalah seseorang yang mandiri dan tertutup.
Ruangan sang CEO terletak di lantai
lima, dan Trisia melangkahkan kakinya perlahan di belakang Denis. Keraguan
masih menyelimuti hatinya, terasa enggan menghadapi pertemuan pertamanya dengan
sang atasan. Tak pernah ia memiliki gambaran bagaimana harus bersikap pada bos
besar. Ia merasa pesimis dan sedikit menyesali pendidikannya yang berakhir
ketika kelas dua SMA. Sejauh yang dia ingat, asisten ayahnya tampak sangat
akrab dengan ayahnya. Mungkinkah ia harus bersikap demikian?
Tidak. Ini bukan perusahaan garmen
kecil yang mudah bangkrut begitu saja. Tentu ia harus menjaga etika dan sopan
santun mengingat banyaknya pegawai yang ia temui sangat berbeda dengan
teman-temannya di kantin maupun café.
Sekretaris yang duduk di depan ruangan
Harry tersenyum sopan saat Denis melangkah masuk diikuti oleh Trisia. Sebuah
papan nama bertuliskan Liana Maharani tertata rapi di atas meja bersama
setumpuk kertas dan map berwarna-warni. Gadis muda yang tak kalah cantik dengan
gadis resepsionis yang Trisia temui beberapa saat yang lalu.
“Pak Denis, selamat pagi.” Sapa Liana.
“Selamat pagi. Pak Harry?” Tanya Denis dengan
isyarat mata menuju pintu ruangan Harry.
“Beliau sedang keluar. Beliau sudah
meninggalkan pesan, siapapun yang mencari beliau, silakan menunggu sebentar di
ruangan.” Ujar gadis yang kemudian melangkah membukakan pintu ruangan Harry.
Udara yang sejuk dari dalam ruangan
menyeruak, menempa tubuh Trisia. Membuatnya menggigil sesaat karena kedinginan.
Dengan santai Denis berjalan masuk ke ruangan lalu menutup pintu setelah
mempersilakan Trisia masuk. Dengan beberapa jendela yang memenuhi salah satu
sisi ruangan besar itu, Trisia bisa melihat pemandangan gedung-gedung yang
menjulang di samping gedung Quarts Design.
“Apa
anda masih merasa gugup?” Tanya Denis setelah mempersilakan Trisia duduk di
sebuah sofa berwarna krem. Senyum kaku yang terukir di bibir Trisia yang
dilengkapi ekspresi canggungnya adalah jawaban bagi Denis.
“Begitulah.
Kalau boleh saya tahu, pak Harry seseorang seperti apa?” balas Trisia.
“Beliau
orang yang baik, mandiri, tertutup dan keras kepala.” Ujar Denis ramah. “Satu
lagi, beliau sangat menjaga privasi. Jadi kusarankan agar anda tak mencampuri
urusan pribadinya.” Sambungnya. Trisia mengangguk mengerti.
“Kalau
begitu, saya harus pamit terlebih dahulu. Saya harus menghadiri rapat lima
menit lagi.” Cetus Denis sambil sesekali memandangi jam tangan perak yang
melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Baiklah.
Terima kasih banyak atas bantuan anda.” Kata Trisia mencoba menyembunyikan
keengganannya untuk bertemu Harry. Ia mulai merasa ingin melarikan diri dari
tempat itu segera begitu Denis meninggalkannya di ruangan besar ini.
Lima
menit berlalu sejak Denis meninggalkannya. Tulang belulang Trisia terasa begitu
lemas ketika mendengar suara pintu ruangan terbuka. Dengan sisa kekuatannya,
Trisia mencoba berdiri untuk memberikan penghormatan pada bos barunya.
“Selamat
pagi.” Suara Trisia terdengar parau begitu melihat sesosok lelaki yang
mengenakan kemeja navy yang lengannya
dilipat beberapa senti dari pergelangan tangannya. Lelaki berperawakan tinggi dengan
tubuh atletisnya itu di dukung dengan paras yang tampan. Sosok yang sempurna dan
berwajah dingin itulah yang Trisia yakini adalah Harry.
“Selamat
pagi, Trisia.” Seringaian tersungging di bibir lelaki itu. “Lama menungguku?”
Lelaki itu melangkah menuju mejanya dan meletakkan sebuah map merah di atas
meja.
“Tidak
pak.” Jawab Trisia singkat.
“Selamat
bergabung dengan Quarts Design. Aku adalah Harry, CEO Quarts Design. Apakah
Denis sudah menjelaskan padamu mengenai apa jabatanmu di sini?” Kali ini suara
Harry terdengar ketus, membuat jantung Trisia terpacu lebih cepat.
“Sudah pak.
Sa— saya ditugaskan sebagai asisten bapak.”
Ayo Trisia kenapa kau
harus gugup begini? Batin Trisia sambil menggigit bibirnya bagian bawah.
Trisia menarik napasnya dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan.
Pembicaraan mereka mengalir begitu saja, lambat laun membuat Trisia lebih
tenang berhadapan dengan bosnya.
“Aku
punya tugas pertama untukmu.” Ujar Harry sambil melemparkan sebendel uang
kertas dengan nominal dua puluh euro ke meja
di depan Trisia. Trisia memandang Harry dan uang itu bergantian. Seolah
mampu membaca pikiran Trisia, Harry pun melanjutkan perintahnya, “Tukarkan uang
ini dengan rupiah.” Tatapan mencemooh Harry membuat hati Trisia sedikit
tersentil.
“Baiklah.”
Trisia meraih uang tersebut. “Em… Ke mana saya harus menukarkannya?” Ia ragu, apakah
itu pertanyaan yang pantas setelah melihat kening Harry yang berkerut setelah
mendengar pertanyaan Trisia.
“Sedikit
berusahalah.” Sindir Harry tanpa menjawab pertanyaan Trisia, “Ada lima puluh lembar,
jangan sampai berkurang.” Imbuhnya, lalu mengisyaratkan agar Trisia segera keluar.
“Maafkan
saya. Permisi.”
“Saat
kau kembali, aku akan memberimu tugas yang lebih menyenangkan.” Harry menggeser
duduknya, lalu menatap Trisia dengan pandangan yang tidak bisa ditebak.
“Ternyata gadis yang menarik. Sayang sekali.” Gumam Harry setelah Trisia
meninggalkannya.
***
Leo
buru-buru menemui Denis setelah ia kembali ke perusahaan. Ia ingin segera
mengetahui hubungannya dengan gadis itu. Gadis yang dua kali tak menghiraukan
pesonanya. Gadis bermata zamrud yang menyita pikirannya selama beberapa hari
terakhir.
“Selamat
siang pak Leo.” Sapa gadis resepsionis dengan mata berbinar ketika menatap Leo.
“Kau
lihat Denis, Lena?”
“Pak
Denis mungkin berada di ruangannya. Saya tidak melihat beliau keluar dari
kantor.” Kata Lena ramah. Ia memiliki
ketertarikan khusus terhadap Leo. Sikap supel dan penampilannya yang memukau
membuat banyak gadis tertarik padanya.
Leo
memacu langkahnya, menuju kantor personalia di lantai dua kemudian membuka
pintu kaca yang bertuliskan bagian personalia di atasnya.
“Den,
bisa kita bicara sebentar?” Tanya Leo begitu melihat Denis berdiri di depan
mesin fotokopi.
“Tentu.
Tunggu sebentar di ruanganku.”
Tidak
biasanya Leo akan berurusan dengan Denis. Hal ini tentu membuat Denis sedikit
penasaran tentang urusan yang
dimaksud oleh Leo. Denis memutuskan untuk menunda pekerjannya dan menuju ke
ruangan yang bertuliskan manager personalia.
“Ada apa
kau mencariku?” Tanya Denis yang masih berstatus sebagai sepupu Leo.
“Siapa
gadis itu?”
“Gadis?”
Denis menaikkan alisnya, menuntut lebih pada Leo untuk menjelaskan maksudnya.
“Gadis
yang tadi pagi bertemu denganmu. Bermata hijau dengan tinggi kira-kira setinggi
ini.” Leo menunjukkan tinggi gadis itu dengan tangannya. Dari deskripsi Leo,
Denis segera paham siapa yang dimaksud oleh Leo. Selama ini, Denis tidak pernah
bertemu dengan gadis yang memiliki warna mata bagai zamrud kecuali Trisia.
“Ah, itu
asisten baru kakakmu. Namanya Trisia.” Jawab Denis. “Memangnya kenapa?” Tanya
Denis mulai tertarik.
“Asisten?
Sejak kapan kakak butuh asisten?”
“Sejak
hari ini. Kurasa ada yang aneh, karena Harry sendiri yang memilih gadis itu
untuk menjadi asistennya.”
Sejenak
Leo sibuk berkutat dengan pikirannya. Ia sangat mengenal kakaknya. Dia tipe
orang yang tak terlalu berhubungan dengan orang lain, lantas mengapa ia harus
mempekerjakan seorang asisten?
“Barusan
aku bertemu dengan Trisia. Dia baru saja mendapatkan tugas pertamanya. Mungkin
sekarang dia ada di ruangan kakakmu.”
Ada hubungan apa gadis itu dengan
Harry? Batin
Leo. Segala macam spekulasi mengisi pikiran Leo.
Tanpa
pamit, Leo meninggalkan ruangan Denis. Langkahnya bimbang antara kembali ke
ruangannya atau ke ruangan kakaknya. Masih sibuk dengan pikirannya, alih-alih
menuju ruangannya, Leo justru mendatangi ruangan Harry. Antara rasa ingin tahu
dan tak ingin mencampuri urusan kakaknya, akhirnya Leo memutuskan untuk membuka
pintu itu perlahan.
Jantungnya
terasa berhenti berdetak untuk sepersekian setik. Napasnya tercekat. Darahnya
mulai mendidih melihat pemandangan yang tak seharusnya dilihatnya. Tangannya
mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Ini adalah sebuah penyesalan.
Penyesalan karena rasa ingin tahunya membuatnya patah hati bahkan sebelum ia
memulai.
Trisia…
Trisia…
Bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D