Selasa, 16 Juni 2015

Red Lie - Chapter 7


Pikiran Leo tampaknya masih tertinggal di kantor meski tubuhnya tak lagi berada di sana. Bukan karena pekerjaannya yang menggunung, melainkan karena peluang emas untuk mengenal gadis itu telah menghilang begitu saja. Ia masih mempermainkan sedotan dengan mengaduk-aduk isi gelasnya sambil sesekali mendengus kecewa.

Adam, sahabat Leo yang menjadi tersangka utama atas kegalauan hatinya masih sibuk memerhatikan Leo yang berwajah kusut masai. Sudah sekitar lima menit mereka saling diam. Pandangan Leo terfokus pada buah ceri yang disematkan pada bibir gelas yang berbentuk ramping.

“Hei… Kau ini kenapa?” Tanya Adam mencairkan suasana kaku yang menyelimuti mereka. Tidak seperti biasanya Leo yang ceria justru berdiam diri dan melamun seperti ini.

“Tidak, hanya saja pekerjaanku di kantor terlalu banyak.” Jawab Leo sekenanya.

Mendengar jawaban Leo, Adam mengerutkan keningnya. Kemudian ia terkekeh, takjub pada jawaban yang dilontarkan Leo. “Pekerjaan?” Tanya Adam di sela tawanya. “Sejak kapan kau jadi seperti Harry? Kau bahkan tidak terlalu peduli dengan pekerjaanmu.”

Tentu saja, Leo sepertinya baru menyadari dengan siapa dia berbicara. Adam adalah sahabatnya sejak SMP dan ia paham betul bagaimana sifat Leo. Sangat bertolak belakang dengan Harry, yang cenderung pendiam dan gila kerja. Yang ia tahu, Leo tak begitu menikmati pekerjaannya karena ia memiliki sebuah impian. Impian yang harus dipatahkan demi kelangsungan perusahaan warisan ayahnya.

 “Begitulah, pekerjaanku begitu banyak, dan kau malah menyuruhku kemari.” Gerutu Leo. “Aku jadi harus kehilangan dia.” Leo bergumam samar sebelum meneguk minumannya yang sejak tadi hanya diaduk-aduk olehnya.

“Dia?” Adam merasa janggal dengan kalimat Leo.

“Apa?” Leo balik bertanya. Sesaat Leo terkejut karena tanpa ia duga Adam mendengar gumamannya.

“Jadi katakan, apa dia perempuan yang membuatmu kalah taruhan semalam?” Tukas Adam dengan pandangan menyelidik. Bagi Adam, Leo memang orang yang mudah ditebak. Ketika Leo merasa tertarik pada seseorang, ia selalu memiliki ciri khusus yang kerap diperhatikan oleh Adam.

Untuk beberapa detik, Leo sempat ragu untuk mengatakan kebenarannya. Namun, akhirnya ia memilih untuk menceritakan semuanya. Bagaimana ia bertemu dengan gadis itu di club tempo hari, alasan mengapa ia melarang Adam yang memang sempat tertarik pada gadis itu ketika melihatnya di café, dan pagi ini, Leo akhirnya melihatnya dengan jelas, “Lalu kau buru-buru menyuruhku kemari. Padahal mungkin saja aku akan berkenalan dengannya pagi ini.” Leo mendengus, kemudian meraih sebatang rokok dan menyulutnya sebagai tanda ceritanya telah usai.

“Oh… Jadi ini salahku? Maafkan aku Leo. Aku hanya berniat menyampaikan kerja sama padamu.” Ujar Adam menyesal.

Leo mengangkat alisnya, menatap Adam setengah penasaran, “Kerja sama? Sepertinya bisnis temanku ini semakin sukses.” Kemudian terdengar lagi suara tawa terkekeh-kekeh setelah Leo mengakhiri kalimatnya.

“Jangan mengejekku, Leo,” Adam tertawa. “Aku perlu sponsor untuk peragaan busana di Belanda bulan depan.”

“Tentu saja,” Leo menyandarkan tubuhnya ke kursi dan tersenyum tenang. “Kau buat saja proposalnya dan tunjukkan padaku secepatnya.”

Adam menatap Leo. Ia tahu, Leo memang orang yang selalu bisa diandalkan. Mungkin sebaiknya Adam perlu lebih bersyukur karena bertemu orang sebaik Leo. Jika tidak, entah apakah Adam bisa memulai karirnya menjadi desainer. Semua ini berkat dorongan Leo.

Berawal dari ketidak percayaan dirinya pada bakatnya, Adam selalu mendapatkan dukungan penuh dari Leo, mental maupun materi. Bahkan Leo pula yang membukakan jalan, hingga Adam mampu memulai bisnis yang dirintisnya sejak empat tahun yang lalu dan membawanya menjadi desainer ternama skala nasional.

Adam tersenyum puas, “Aku tahu, aku selalu bisa mengandalkanmu Leo.”
***

Trisia benar-benar tak menyangka dirinya akan bekerja di sebuah perusahaan sebesar ini. Ia merasa gugup ketika Denis mengajaknya untuk bertemu Harry, calon bosnya. Denis tersenyum geli mengamati sikap Trisia. Tentu saja, seorang pegawai kantin tiba-tiba menjadi asisten CEO. Baru pertama kali ia melihat atasannya membutuhkan seorang asisten sementara yang ia tahu, Harry adalah seseorang yang mandiri dan tertutup.

Ruangan sang CEO terletak di lantai lima, dan Trisia melangkahkan kakinya perlahan di belakang Denis. Keraguan masih menyelimuti hatinya, terasa enggan menghadapi pertemuan pertamanya dengan sang atasan. Tak pernah ia memiliki gambaran bagaimana harus bersikap pada bos besar. Ia merasa pesimis dan sedikit menyesali pendidikannya yang berakhir ketika kelas dua SMA. Sejauh yang dia ingat, asisten ayahnya tampak sangat akrab dengan ayahnya. Mungkinkah ia harus bersikap demikian?

Tidak. Ini bukan perusahaan garmen kecil yang mudah bangkrut begitu saja. Tentu ia harus menjaga etika dan sopan santun mengingat banyaknya pegawai yang ia temui sangat berbeda dengan teman-temannya di kantin maupun café.

Sekretaris yang duduk di depan ruangan Harry tersenyum sopan saat Denis melangkah masuk diikuti oleh Trisia. Sebuah papan nama bertuliskan Liana Maharani tertata rapi di atas meja bersama setumpuk kertas dan map berwarna-warni. Gadis muda yang tak kalah cantik dengan gadis resepsionis yang Trisia temui beberapa saat yang lalu.

“Pak Denis, selamat pagi.” Sapa Liana.

“Selamat pagi. Pak Harry?” Tanya Denis dengan isyarat mata menuju pintu ruangan Harry.

“Beliau sedang keluar. Beliau sudah meninggalkan pesan, siapapun yang mencari beliau, silakan menunggu sebentar di ruangan.” Ujar gadis yang kemudian melangkah membukakan pintu ruangan Harry.

Udara yang sejuk dari dalam ruangan menyeruak, menempa tubuh Trisia. Membuatnya menggigil sesaat karena kedinginan. Dengan santai Denis berjalan masuk ke ruangan lalu menutup pintu setelah mempersilakan Trisia masuk. Dengan beberapa jendela yang memenuhi salah satu sisi ruangan besar itu, Trisia bisa melihat pemandangan gedung-gedung yang menjulang di samping gedung Quarts Design.

“Apa anda masih merasa gugup?” Tanya Denis setelah mempersilakan Trisia duduk di sebuah sofa berwarna krem. Senyum kaku yang terukir di bibir Trisia yang dilengkapi ekspresi canggungnya adalah jawaban bagi Denis.

“Begitulah. Kalau boleh saya tahu, pak Harry seseorang seperti apa?” balas Trisia.

“Beliau orang yang baik, mandiri, tertutup dan keras kepala.” Ujar Denis ramah. “Satu lagi, beliau sangat menjaga privasi. Jadi kusarankan agar anda tak mencampuri urusan pribadinya.” Sambungnya. Trisia mengangguk mengerti.

“Kalau begitu, saya harus pamit terlebih dahulu. Saya harus menghadiri rapat lima menit lagi.” Cetus Denis sambil sesekali memandangi jam tangan perak yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

“Baiklah. Terima kasih banyak atas bantuan anda.” Kata Trisia mencoba menyembunyikan keengganannya untuk bertemu Harry. Ia  mulai merasa ingin melarikan diri dari tempat itu segera begitu Denis meninggalkannya di ruangan besar ini.

Lima menit berlalu sejak Denis meninggalkannya. Tulang belulang Trisia terasa begitu lemas ketika mendengar suara pintu ruangan terbuka. Dengan sisa kekuatannya, Trisia mencoba berdiri untuk memberikan penghormatan pada bos barunya.

“Selamat pagi.” Suara Trisia terdengar parau begitu melihat sesosok lelaki yang mengenakan kemeja navy yang lengannya dilipat beberapa senti dari pergelangan tangannya. Lelaki berperawakan tinggi dengan tubuh atletisnya itu di dukung dengan paras yang tampan. Sosok yang sempurna dan berwajah dingin itulah yang Trisia yakini adalah Harry.

“Selamat pagi, Trisia.” Seringaian tersungging di bibir lelaki itu. “Lama menungguku?” Lelaki itu melangkah menuju mejanya dan meletakkan sebuah map merah di atas meja.

“Tidak pak.” Jawab Trisia singkat.

“Selamat bergabung dengan Quarts Design. Aku adalah Harry, CEO Quarts Design. Apakah Denis sudah menjelaskan padamu mengenai apa jabatanmu di sini?” Kali ini suara Harry terdengar ketus, membuat jantung Trisia terpacu lebih cepat.

“Sudah pak. Sa— saya ditugaskan sebagai asisten bapak.”

Ayo Trisia kenapa kau harus gugup begini? Batin Trisia sambil menggigit bibirnya bagian bawah. Trisia menarik napasnya dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Pembicaraan mereka mengalir begitu saja, lambat laun membuat Trisia lebih tenang berhadapan dengan bosnya.

“Aku punya tugas pertama untukmu.” Ujar Harry sambil melemparkan sebendel uang kertas dengan nominal dua puluh euro ke meja  di depan Trisia. Trisia memandang Harry dan uang itu bergantian. Seolah mampu membaca pikiran Trisia, Harry pun melanjutkan perintahnya, “Tukarkan uang ini dengan rupiah.” Tatapan mencemooh Harry membuat hati Trisia sedikit tersentil.

“Baiklah.” Trisia meraih uang tersebut. “Em… Ke mana saya harus menukarkannya?” Ia ragu, apakah itu pertanyaan yang pantas setelah melihat kening Harry yang berkerut setelah mendengar pertanyaan Trisia.

“Sedikit berusahalah.” Sindir Harry tanpa menjawab pertanyaan Trisia, “Ada lima puluh lembar, jangan sampai berkurang.” Imbuhnya, lalu mengisyaratkan agar Trisia segera keluar.

“Maafkan saya. Permisi.”

“Saat kau kembali, aku akan memberimu tugas yang lebih menyenangkan.” Harry menggeser duduknya, lalu menatap Trisia dengan pandangan yang tidak bisa ditebak. “Ternyata gadis yang menarik. Sayang sekali.” Gumam Harry setelah Trisia meninggalkannya.
***

Leo buru-buru menemui Denis setelah ia kembali ke perusahaan. Ia ingin segera mengetahui hubungannya dengan gadis itu. Gadis yang dua kali tak menghiraukan pesonanya. Gadis bermata zamrud yang menyita pikirannya selama beberapa hari terakhir.

“Selamat siang pak Leo.” Sapa gadis resepsionis dengan mata berbinar ketika menatap Leo.

“Kau lihat Denis, Lena?”

“Pak Denis mungkin berada di ruangannya. Saya tidak melihat beliau keluar dari kantor.” Kata  Lena ramah. Ia memiliki ketertarikan khusus terhadap Leo. Sikap supel dan penampilannya yang memukau membuat banyak gadis tertarik padanya.

Leo memacu langkahnya, menuju kantor personalia di lantai dua kemudian membuka pintu kaca yang bertuliskan bagian personalia di atasnya.

“Den, bisa kita bicara sebentar?” Tanya Leo begitu melihat Denis berdiri di depan mesin fotokopi.

“Tentu. Tunggu sebentar di ruanganku.”

Tidak biasanya Leo akan berurusan dengan Denis. Hal ini tentu membuat Denis sedikit penasaran tentang urusan yang dimaksud oleh Leo. Denis memutuskan untuk menunda pekerjannya dan menuju ke ruangan yang bertuliskan manager personalia.

“Ada apa kau mencariku?” Tanya Denis yang masih berstatus sebagai sepupu Leo.

“Siapa gadis itu?”

“Gadis?” Denis menaikkan alisnya, menuntut lebih pada Leo untuk menjelaskan maksudnya.

“Gadis yang tadi pagi bertemu denganmu. Bermata hijau dengan tinggi kira-kira setinggi ini.” Leo menunjukkan tinggi gadis itu dengan tangannya. Dari deskripsi Leo, Denis segera paham siapa yang dimaksud oleh Leo. Selama ini, Denis tidak pernah bertemu dengan gadis yang memiliki warna mata bagai zamrud kecuali Trisia.

“Ah, itu asisten baru kakakmu. Namanya Trisia.” Jawab Denis. “Memangnya kenapa?” Tanya Denis mulai tertarik.

“Asisten? Sejak kapan kakak butuh asisten?”

“Sejak hari ini. Kurasa ada yang aneh, karena Harry sendiri yang memilih gadis itu untuk menjadi asistennya.”

Sejenak Leo sibuk berkutat dengan pikirannya. Ia sangat mengenal kakaknya. Dia tipe orang yang tak terlalu berhubungan dengan orang lain, lantas mengapa ia harus mempekerjakan seorang asisten?

“Barusan aku bertemu dengan Trisia. Dia baru saja mendapatkan tugas pertamanya. Mungkin sekarang dia ada di ruangan kakakmu.”

Ada hubungan apa gadis itu dengan Harry? Batin Leo. Segala macam spekulasi mengisi pikiran Leo.

Tanpa pamit, Leo meninggalkan ruangan Denis. Langkahnya bimbang antara kembali ke ruangannya atau ke ruangan kakaknya. Masih sibuk dengan pikirannya, alih-alih menuju ruangannya, Leo justru mendatangi ruangan Harry. Antara rasa ingin tahu dan tak ingin mencampuri urusan kakaknya, akhirnya Leo memutuskan untuk membuka pintu itu perlahan.

Jantungnya terasa berhenti berdetak untuk sepersekian setik. Napasnya tercekat. Darahnya mulai mendidih melihat pemandangan yang tak seharusnya dilihatnya. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Ini adalah sebuah penyesalan. Penyesalan karena rasa ingin tahunya membuatnya patah hati bahkan sebelum ia memulai. 

Trisia…



Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D