Selamat sore, semuanya!
Hari ini Orange Sunset (Enam) didedikasikan untuk Alvi
Lutfiah Agisni Az yang
sudah memberi koreksi pada penulisan kata-kata yang keliru.
Selamat
ngabuburead untuk kalian yang menjalankan ibadah puasa! \(^o^)/
GADIS itu ada di sini.
Rangga tidak peduli pada gadis yang tengah melambaikan tangan ke arahnya.
Matanya lebih tertarik pada gadis yang duduk memunggunginya. Perlahan gadis itu
menoleh dan menatap ke arahnya. Dan seketika itu juga pandangan mereka terkunci
di udara. Sosok gadis itu entah mengapa masih terasa menyengat bagi
kenangannya. Perlu waktu beberapa lama sebelum akhirnya Rangga mampu kembali berpikir
jernih.
Sebuah tarikan di lipatan sikunya menyentak Rangga dari pengaruh tatapan
Jihan. Ia menoleh dan mendapati Silvia tengah bergayut manja di lengannya.
Gadis itu seperti biasa dengan senyum merekah di atas kulit pucatnya.
Rangga menghela napas panjang. Seandainya gadis itu yang berada di sisinya.
“Jihan, perkenalkan ini teman Rangga yang kuceritakan,” kata Silvia.
Matanya berkilat antusias. Ia yakin bahwa perkenalan yang direncanakannya akan berujung
pada kebahagiaan mereka semua.
Jihan terkesiap dan langsung bangkit berhadapan dengan lelaki yang datang
bersama Rangga. Lelaki itu berdiri menjulang hingga Jihan harus sedikit
mendongakkan wajah untuk menatapnya. Sebelum memulai perkenalan mereka, bibir
tipis lelaki itu melengkungkan senyum ramah kepada Jihan. Senyuman itu begitu
menawan hingga menyentuh matanya yang dipayungi bulu mata lebat. Alisnya tebal
dan melengkung di atas matanya. Hidungnya ramping bertempat di tengah wajah
ovalnya.
Lelaki itu sangat tampan hingga bisa dikatakan cantik. Walaupun begitu,
sama sekali tidak ada sikap feminin yang terlihat dari penampilan lelaki itu.
Tubuhnya tegap dan maskulin. Dengan sepasang mata yang berkilat seperti anak
nakal dan berjiwa petualang.
“Jihan?” Lelaki itu bergumam menyebut namanya.
“Ya?” Jihan tersentak lalu menyahut lirih dengan suara serak. Selama
beberapa detik tadi ia benar-benar terpana menatap lelaki itu.
“Sepertinya... aku pernah mendengar namamu sebelumnya,” gumam lelaki itu
dengan kening mengernyit. Matanya bergerak cepat tanpa ada yang menyadari. Ia
mencuri pandang ke arah Rangga yang berdiri dengan ekspresi datar di samping
Silvia. Tetapi mata lelaki itu terus memandang lurus ke arah Jihan.
“Benarkah?” gumam Jihan dengan suara mencicit.
“Oh. Sepertinya aku salah.” Lelaki itu tersenyum sekali lagi hingga matanya
menyipit. “Mungkin karena namamu mirip dengan namaku.”
Jihan mengerjap beberapa kali. “Memang siapa namamu?”
“Aku senang kau bertanya.” Lelaki itu menyeringai senang lantas mengulurkan
tangannya ke arah Jihan. “Namaku Julian.”
Selama beberapa detik Jihan hanya menatap uluran tangan itu. Tetapi
kemudian ia menyadari ketidaksopanannya, lalu menjabat hangat tangan Julian.
“Namaku Jihan.”
“Ya. Aku sudah tahu itu.”
“Ah, benar juga.” Jihan menggaruk kepala dengan tangannya yang sudah
terbebas dari genggaman Julian.
Silvia mengikik perlahan melihat reaksi Jihan. Ia juga benar-benar terpana
ketika bertemu pertama kali dengan Julian. Sayangnya, saat itu hati Silvia
sudah tertambat untuk Rangga. Jadi, pesona Julian hanya mampir sebentar di
matanya lalu menguap begitu saja. Berbeda dengan Jihan yang saat ini sedang
tidak mencintai siapa-siapa. Gadis itu pasti bisa menjadi pasangan yang cocok
bagi Julian.
“Jadi, kita akan menonton film apa hari ini?” Julian tiba-tiba saja sudah
memosisikan dirinya berdiri di samping Jihan, lalu secara impulsif melingkarkan
lengannya di bahu Jihan.
Punggung Jihan langsung menegak mendapat perlakuan akrab seperti itu.
Sementara wajahnya langsung berubah merah tanpa diminta. Astaga, apa yang akan
dipikirkan Rangga saat melihat ini semua? Eh, tunggu... untuk apa ia memikirkan
perasaan lelaki itu? Sementara Rangga sendiri tidak menolak Silvia yang
mengamit erat lengannya.
***
Melihat Julian merangkul Jihan seperti itu membuat darah Rangga mendidih
seketika. Ia merasakan dorongan kuat dalam dadanya untuk menerjang dan
menyakiti si koki berengsek itu secara fisik. Tetapi ketika ia melihat
sekelebat rasa bersalah di mata Jihan, membuat dorongan itu perlahan mengempis.
Walaupun tidak hilang sepenuhnya.
Rangga memerhatikan setiap gerak-gerik Julian. Ia mengenal baik lelaki itu.
Selain penampilan fisik yang menarik, kepribadiannya menyenangkan yang disukai
perempuan. Dan selama ini, ia belum pernah melihat seorang pun gadis yang tidak
jatuh dalam pesona koki keparat itu.
Sial. Rahang Rangga mengetat. Sebelumnya, ia tidak pernah
peduli dengan para gadis yang menjadi korban pesona Julian. Tetapi kali ini, ia
merasa tidak rela karena gadis itu adalah Jihan.
Demi Tuhan! Gadis itu Jihan. Apa yang harus ia lakukan?
Julian berdiri begitu dekat dengan Jihan. Lelaki itu membisikkan sesuatu di
dekat telinga Jihan. Rangga berusaha menajamkan indra pendengarannya tanpa
hasil. Seolah pembicaraan itu adalah rahasia. Milik mereka berdua. Dan reaksi Jihan
yang langsung tergelak, sontak membuat dada Rangga terasa nyeri. Gadis itu
tampak begitu bahagia. Dengan tawa yang sama seperti yang diingat Rangga selama
ini.
Ah, andai saja Jihan tertawa seperti itu karena dirinya. Andai saja ia
berhak untuk membahagiakan Jihan. Andai saja ia berhak menarik Jihan menjauh
dari Julian. Andai saja ia berhak memeluk Jihan. Andai saja ia berhak
melayangkan pukulan ke wajah Julian.
Andai saja ia berhak....
***
Tidak sedikit pun Silvia bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ternyata
pilihannya tidak salah untuk mengenalkan Jihan kepada Julian. Lihat saja mereka
berdua! Dalam sekejap mereka sudah akrab seolah sudah mengenal bertahun-tahun
lamanya. Julian tampak nyaman berkelakar kepada Jihan yang selalu membalas
dengan gurauan lainnya. Atau terkadang gadis itu hanya tertawa dan memukul
lengan Julian main-main. Silvia berani memastikan, mereka berdua akan menjadi
pasangan dalam waktu dekat.
Tetapi sekarang bukanlah saat yang tepat untuk memikirkan percintaan orang
lain. Silvia sadar bahwa ia harus memperjuangkan cintanya sendiri. Ia harus
bisa membuat Rangga menyatakan cinta kepadanya. Mungkin hari ini ia harus
mengajak Rangga untuk menonton film romantis yang bisa mendukung suasana merah
muda di antara mereka berdua.
Sepertinya itu akan menjadi strategi yang bagus.
Mendadak kening Silvia berkerut samar. Wajahnya mendongak dan menatap
langsung wajah Rangga. Ia bisa merasakan otot-otot lengan Rangga menegang dalam
genggamannya. Dan entah mengapa tatapan mata lelaki itu tampak membara.
Seolah-olah sedang merasa... marah?
“Rangga?”
Suara kalem Silvia di sampingnya, menggugah Rangga dari lamunannya. Ia
menoleh dan menatap gadis itu dengan lembut. “Ya?”
Apakah itu tadi hanya halusinasinya? Silvia mengerjapkan mata beberapa
kali. Tidak salah lagi. Sekarang ia melihat sepasang mata itu menatapnya dengan
lembut. Seolah binar amarah yang tadi dilihatnya hanya ilusi semata.
“Kenapa?” Silvia coba bertanya. Ia masih merasa yakin itu tadi bukanlah
halusinasinya.
“Kenapa apa?” timpal Rangga sambil
mengernyitkan keningnya bingung.
“Kau... bersikap aneh. Tadi bahkan aku merasa kau sedang... marah,” ucap
Silvia setengah berbisik.
Rangga tertawa pendek dan berkata ringan, “Aku marah? Memang apa yang
terjadi hingga aku harus marah?”
“Jadi... apa mungkin kau kelelahan dan butuh istirahat?” bisik Silvia
lembut penuh pengertian.
Silvia selalu bersikap seperti itu. Begitu lembut dan penuh pengertian. Apa
pun yang dilakukan Rangga, gadis itu selalu bisa mengerti tanpa pernah bersikap
over-protective. Bukankah gadis
pilihan ibunya ini sudah cukup sempurna untuk mendampinginya? Apalagi
sebenarnya yang ia cari?
“Kita bisa pulang lebih awal jika kau mau. Aku yang akan mengantarmu. Jadi,
Julian bisa mengantar Jihan pulang nanti,” tambah Silvia lalu menatap ke arah
Julian dan Jihan yang sedang berdiri di depan deretan poster film yang
ditayangkan hari ini.
Mata Rangga terbelalak mendengar gagasan itu. Tetapi Silvia tidak
menyadarinya. “Jangan khawatir. Aku baik-baik saja,” katanya kemudian.
Rangga mengikuti arah pandang Silvia dengan gigi bergemeletuk. Meninggalkan
Jihan berduaan dengan Julian? Tidak,
terima kasih.
***
Jadi, ini gadis bernama Jihan itu?
Julian diam-diam melirik gadis yang berdiri di sampingnya. Gadis itu tampak
sibuk memerhatikan poster-poster film yang tertempel di dinding. Kepalanya
dimiringkan dengan bibir mengerucut. Mata bulatnya bergerak penuh pertimbangan.
Gadis ini tidak lebih cantik dari Silvia, pikir Julian. Penampilannya juga
tampak biasa saja. Rambut lurusnya diikat tinggi di atas kepala seolah ia seorang
anggota tim pemandu sorak. Riasan wajahnya juga sederhana dengan lipgloss tipis yang membuat bibirnya tampak
mengilap. Tidak ada yang istimewa.
Lantas, apa yang membuat Rangga tidak bisa berhenti memikirkan gadis ini?
Julian nyaris tidak bisa menahan tawa melihat ekspresi Rangga saat ia
merangkul bahu Jihan. Ia bisa melihat jelas berbagai emosi berkelebat dalam
mata sahabatnya itu, tetapi ia tidak bisa mengartikannya dengan pasti. Tetapi
ia berani bertaruh bahwa lelaki yang malang itu pasti sedang berniat
membunuhnya.
“Julian? Kenapa denganmu?” panggil Jihan yang baru menyadari bahwa lelaki
di sampingnya sedang menatapnya sambil tersenyum lebar alih-alih ikut
memikirkan film apa yang sebaiknya mereka tonton.
Julian terdiam sejenak sambil tetap menatap intens kepada Jihan, membuat
gadis itu tersipu. “Aku hanya kehabisan kata-kata. Kau benar-benar... cantik,” kata
Julian sambil mempertegas senyumannya.
Selama ini, Jihan selalu berhati-hati dengan apa yang diucapkan lelaki.
Biasanya, kata-kata itu mengandung rayuan yang dipenuhi maksud tertentu. Tetapi
mendengar Julian memujinya seperti itu, ia hanya bisa menunduk rikuh karena malu.
Entah mengapa, nada bicara lelaki itu terdengar begitu tulus di telinga Jihan.
“Te, terima kasih,” jawab Jihan lirih. Lebih seperti bisikan untuk dirinya
sendiri.
Julian memerhatikan reaksi itu lalu tersenyum simpul. “Apakah ini pertama
kalinya, ada lelaki yang memuji kecantikanmu?”
Tidak. Sebenarnya Jihan ingin membantah tebakan Julian. Tetapi
ia lebih memilih untuk tetap menunduk dan menyembunyikan wajahnya yang merona.
Lagi pula, untuk apa ia menceritakan hal seperti itu kepada lelaki yang baru
ditemuinya?
Dahulu... di masa lalu... ada seseorang yang pernah mengatakan bahwa ia
cantik. Tetapi sekarang, mungkin lelaki itu sudah lupa sama sekali dengan apa
yang pernah dikatakannya.
“Para lelaki yang bertemu denganmu sebelum ini pastilah buta atau
benar-benar bodoh kalau tidak menyadari betapa cantiknya dirimu,” tambah Julian
walaupun Jihan belum mengatakan apa-apa. “Tapi tidak apa-apa. Itu mungkin saja
berarti kau adalah peri yang dikirim khusus untukku.”
“Peri?” gumam Jihan singkat. Kali ini ia sudah berani mengangkat wajahnya
dan sudah tidak lagi tersipu. Entah mengapa ia merasa bahwa Julian mulai
sedikit berlebihan.
Julian menganggukkan kepalanya. “Kau peri untukku. Dan Silvia adalah peri
untuk Rangga.”
Mata Jihan langsung membeku seolah ada belati yang menusuk tepat di
jantungnya. Sementara leher gadis itu bergerak-gerak menelan ludahnya yang
terasa pahit. Dan Julian bisa melihat jelas perubahan ekspresi yang kentara
itu. Ia menyadari benar bahwa sejak tadi gadis ini terus menerus berusaha
bersikap tenang untuk menyembunyikan perasaannya. Tetapi setelah mendengar
kata-kata Julian barusan, mendadak gadis ini seperti buku yang terbuka.
“Ah, kau benar.” Jihan mengembuskan napasnya perlahan. Baru menyadari bahwa
sejak tadi ia menahan napas.
Tidak diragukan lagi. Ada sesuatu di antara Jihan dan Rangga. Dan mereka
menyembunyikan itu dari banyak orang. Termasuk Silvia tentu saja. Sesuatu itu
mungkin saja terjadi di masa lalu. Sesuatu yang membuat Rangga uring-uringan
hingga mengabaikan masakan Julian.
Ini menarik sekali. Julian nyaris tidak bisa menahan seringainya.
***
“Jadi, kalian sudah menentukan akan menonton film apa?”
Jihan membalikkan tubuh saat mendengar suara Silvia di belakangnya. Lalu ia
menggelengkan kepala. Berjuang keras untuk tidak menatap ke arah Rangga. “Belum.
Terlalu banyak pilihan.”
Julian melihat sekilas ke arah Rangga yang masih saja bertahan dengan
ekspresi datarnya itu. Ia bersyukur
memiliki penglihatan yang baik karena terbiasa memerhatikan bahan makanan berkualitas
untuk masakannya. Dan ia yakin benar di balik ekspresi datar itu tersembunyi
letupan cemburu.
“Bagaimana kalau film horor?” usul Julian sambil menunjuk sebuah poster dengan
latar berwarna hitam. Seorang gadis kecil dengan rambut kusut menggenggam pisau
berlumuran darah. Pakaiannya berwarna putih tampak kotor dengan noda tanah di
beberapa tempat. Anak itu memelotot ke arah mereka dengan mulut terkatup rapat yang
dijahit asal-asalan.
Silvia dan Jihan saling melempar tatapan saling mendukung untuk tidak memilih
film itu. Melihat posternya saja sudah cukup membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Apalagi jika harus menonton filmnya yang bisa dipastikan penuh dengan adegan
menyeramkan.
“Ku, kurasa tidak,” tolak Jihan.
“Aku juga menolak,” timpal Silvia.
“Kenapa?” tanya Julian dengan nada kecewa. Tetapi ia kembali merapatkan
tubuhnya kepada Jihan. “Film ini pasti seru. Kalau hantunya muncul, kau bisa
memelukku. Seperti ini.” Ia memeragakan maksudnya dengan melingkarkan lengannya
di pinggang Jihan. Seketika itu juga ia merasakan aura membunuh mengasap dari
puncak kepala Rangga.
“J-jangan!” Jihan sedikit memundurkan tubuhnya menjauhi Julian dengan
defensif. Kali ini wajahnya pasti semerah kepiting rebus. Ini pertama kalinya
seseorang memperlakukannya seperti ini.
Silvia menahan tawanya diam-diam. Julian yang menyenangkan dan Jihan yang kurang
terbiasa dengan lelaki. Benar-benar pasangan serasi.
“Kalian benar-benar romantis,” ucap Silvia penuh makna. Ia mengulurkan
tangannya yang tidak mengamit lengan Rangga lalu menunjuk salah satu poster
film. “Bagaimana kalau kita menonton film romantis saja?”
Poster kali ini menampilkan seorang lelaki yang membopong seorang gadis di lengannya.
Mereka berdua saling menempelkan kening dan tampak begitu intim. Sementara senyum
mereka menggambarkan kelegaan luar biasa seolah baru saja berhasil melewati
masalah yang berat.
“Teman-teman kita di kantor sudah banyak yang menontonnya, Jihan. Dan
katanya, film ini sangat bagus.” Mata Silvia berkilat-kilat penuh semangat. “Film
ini mengisahkan tentang dua orang yang diam-diam saling mencintai, tapi mereka
tidak bisa bersatu karena suatu keadaan. Dan perjuangan mereka untuk bisa
kembali bersama—“
“Kalau begitu kita menonton yang lain saja,” ujar Rangga memotong cerita
Silvia. “Kau sudah tahu ceritanya, jadi pasti tidak akan seru lagi.”
“Tapi... aku belum tahu ending-nya....”
Silvia mulai merajuk.
Diam-diam Jihan mendesah lega. Syukurlah, Rangga memotong kata-kata Silvia
tadi. Karena entah mengapa ia merasa familier dengan cerita di film itu. Saling
mencintai tetapi tidak bisa bersatu karena keadaan. Mungkinkah... Rangga juga
menyadari hal itu?
“Kalau kalian berdua suka genre film apa?” tanya Julian sambil memandang
Jihan dan Rangga bergantian. Tentu saja ia sudah tahu genre film kesukaan
Rangga. Hanya saja, ia ingin mendengar jawaban lelaki itu dalam kondisi seperti
ini.
“Kalau aku... lebih suka film... action.”
Jihan menjawab dengan ragu-ragu. Ia melirik
sekilas ke arah Rangga yang tengah memandang acuh tak acuh ke arah deretan
poster film.
“Aku lebih suka genre misteri,” ujar Rangga nyaris tanpa ekspresi.
Misteri? Hati Jihan mencelos saat mendengar jawaban Rangga.
Ternyata lima tahun merupakan waktu yang panjang untuk mengubah banyak hal dari
lelaki itu. Ia masih mengingat jelas bagaimana mereka sering menghabiskan waktu
untuk menonton film action yang
menjadi kesukaan mereka berdua. Tetapi sekarang sepertinya saat-saat itu hanya tersisa
sebagai potongan kenangan. Tanpa bisa diulang.
Julian memasang poker face-nya
sambil terus mengamati. Di balik topeng itu, ia tersenyum penuh arti. Misteri? Sejak kapan sahabatnya yang
satu ini menonton film penuh teka-teki dengan alur yang kadang sulit
dimengerti? Rangga benar-benar membuatnya ingin tertawa terbahak-bahak sekarang
juga.
“Aku tidak keberatan menonton film action
kesukaan Jihan,” ujar Julian sambil menggidikkan bahunya sekilas. “Jadi, kalian
berdua bisa menonton film romantis atau... misteri.”
“Tidak.” Rangga menatap Julian penuh peringatan. Sepertinya ia mulai
menyadari permainan yang sedang dilakukan Julian sekarang. “Kita pergi
berempat. Itu berarti kita juga menonton film yang sama. Berempat.”
***
Setelah berdebat cukup lama, akhirnya pilihan mereka justru jatuh pada sebuah
film bergenre fantasi petualangan. Mereka berempat duduk berderet dengan para
gadis yang berada di tengah. Walaupun duduk bersebelahan, tetapi sepertinya
Silvia memilih untuk mencurahkan perhatiannya kepada Rangga. Tidak sedikit pun
gadis itu menoleh untuk membahas film itu bersama Jihan.
Jihan berusaha mengabaikan kenyataan itu. Hingga tanpa sadar ia sudah
menghabiskan popcorn miliknya
beberapa menit setelah film dimulai. Dengan kesal, ia meletakkan wadah popcorn pada tempat yang disediakan di
dekat lengan kursi bioskop.
“Kau bisa memakan popcorn-ku jika
kau mau,” bisik Julian sambil menyodorkan wadah popcorn-nya yang masih penuh.
Jihan menatap sekumpulan berondong jagung itu dengan alis mengernyit. “Kau
tidak suka popcorn?”
“Popcorn di sini rasanya
mengerikan,” jawab Julian sambil menggidikkan bahunya seolah baru saja melihat
hal yang menjijikan. “Lain kali aku akan membuatkan popcorn sungguhan untukmu.”
Seulas senyum merekah di wajah Jihan. “Akan aku tunggu,” ujarnya sambil
memindahkan popcorn Julian ke
pangkuannya. Lagi pula lidahnya tidak sesensitif itu untuk mengecap rasa hambar
makanan. Yang ia butuhkan sekarang hanyalah pengalih perhatian.
Film tersebut menceritakan tentang seorang anak lelaki yang dikaruniai
kemampuan untuk berkomunikasi dengan tumbuhan. Tetapi banyak orang mengucilkannya
karena ia ‘berbeda’. Hingga suatu hari, ia terdampar di negeri para peri. Dan
sejak hari itu, hidupnya dipenuhi dengan petualangan dan peperangan terhadap
monster yang melakukan agresi wilayah secara brutal.
Tokoh utama film ini bersahabat dengan seorang gadis dari dunia peri.
Lambat laun, rupanya gadis peri itu mulai jatuh cinta kepada sang tokoh utama.
Hanya saja manusia lelaki itu sepertinya lebih tertarik kepada putri dari
kerajaan yang mereka lindungi. Putri itu begitu cantik dengan balutan gaun yang
menyerupai mahkota bunga Azalea merah muda. Dan tentu saja gadis peri itu
memilih untuk mengalah alih-alih memperjuangkan cintanya.
Selalu bersama-sama tetapi tidak bisa bersatu.
Tetapi tidak bisa bersatu.
Mendadak Jihan merasakan perutnya menegang begitu saja. Dalam hati ia
mengutuk semua sutradara yang membuat film dengan cerita-cerita seperti itu. Ia
berdecak kesal saat menyadari wadah pengalih perhatiannya yang kedua sudah
kosong.
“Silvia, aku mau membeli popcorn
lagi. Kau mau juga?” bisik Jihan.
“Tidak. Terima kasih,” jawab Silvia pelan takut mengganggu penonton yang
lain.
Jihan mendesah lega mendengar jawaban Silvia pada basa-basinya. Sebenarnya,
ia memang tidak berniat membeli popcorn
lagi. Ia hanya ingin menghindar. Tetapi... menghindar dari apa sebenarnya?
“Aku keluar sebentar,” pamit Jihan pada Julian. Lalu ia meminta izin untuk
melewati gang sempit antara lutut dan sandaran kursi di depan lelaki itu.
Jihan memilih duduk di bangku di luar pintu teater. Ia berusaha sangat keras
untuk tidak memikirkan segala macam keironisan di sekelilingnya. Tetapi
bagaimanapun memang ironis kelihatannya. Entah mengapa ia melihat gadis peri di
film itu seperti melihat dirinya sendiri. Walaupun itu bukan berarti ia pernah
berkhayal menjadi peri dan terbang bebas di angkasa. Atau terpengaruh kata-kata
Julian yang menyebutnya sebagai peri yang dikirim khusus untuk lelaki itu. Hanya
saja... ia seakan bisa mengerti perasaan gadis peri di film itu.
“Sudah kukatakan, lebih baik kita menonton film horor.”
Kepala Jihan menengadah dan bertatapan langsung dengan Julian yang tengah
tersenyum lebar kepadanya. Lelaki itu berdiri di sana seperti pangeran hedonis
yang berkuasa. Kedua tangannya disimpan ke dalam saku celananya.
“Film horor selalu mampu memperbaiki suasana hati,” ujar Julian lantas
duduk di samping Jihan.
Jihan hanya tersenyum dan kembali menundukkan kepala. Entah mengapa, ia
tidak berani menatap langsung ke mata Julian. “Adegan perang di film ini saja sudah
cukup menyeramkan bagiku.”
Julian mengangkat alisnya skeptis. Alasan macam apa itu? Ia hampir saja
tidak bisa menahan diri untuk tertawa. Adegan perang di film ini hanya
menggambarkan pedang yang saling berdenting. Bahkan kebanyakan darah yang
mengalir saat tokohnya terluka sama sekali tidak terlihat seperti darah.
Warnanya berkilau dan bermacam-macam, menyesuaikan warna rambut tokoh-tokohnya.
Bahkan adegan perang seperti itu masih pantas ditonton anak-anak berusia tujuh
tahun.
“Jadi, apa popocorn-mu sudah
habis?”
Jihan tersentak saat menyadari bahwa ia lelaki itu mungkin saja sudah
memergokinya berbohong. Maka ia mengalihkan wajahnya ke arah counter
makanan lalu bergumam, “Aku baru saja akan membelinya.”
“Lalu apa yang kau lakukan sejak tadi?”
“Tadi... antreannya panjang. Jadi aku menunggu,” jawab Jihan asal. “Kau
sendiri kenapa ada di sini?”
Julian menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan keras. Lalu ia
menepuk pahanya dan bangkit dari duduknya. “Benar juga. Aku mau pergi ke
toilet. Di dalam dingin sekali.”
Jihan ikut berdiri dan menatap kepergian Julian. Lalu ia mengalihkan
perhatiannya ke arah papan menu besar yang dipajang di counter makanan. Walaupun
sesungguhnya ia tidak benar-benar memerhatikan. Ia sibuk mempertimbangkan harus kembali dan
menonton sebagian film, atau diam menunggu di luar hingga film selesai.
“Apa yang kau lakukan?”
Kali ini sebuah suara seakan menusuk
punggungnya. Ia memutar kepalanya dalam gerakan lambat. Begitu menoleh
sempurna, sepasang mata menatap tajam kepadanya. Seolah ingin menelanjangi
perasaannya.
Oh, tidak.
Rangga jangan berlebihan cemburunya ha.ha
BalasHapusIya. gara-gara galau itu Rangga hahaha ( ̄∀ ̄)
Hapus