Pria itu menjelma menjadi seorang
tiran yang tak memiliki hati. Perlakuan kasarnya pada sang istri yang tak
pernah sekalipun ia lakukan sebelumnya, membuat lelaki kecil yang berdiri
dibalik pintu yang sedikit terbuka itu ketakutan dan menutup mulutnya
rapat-rapat agar tak menimbulkan suara saat menyaksikan pertengkaran hebat
kedua orang tuanya.
Ia tahu betul alasan pertengkaran
kedua orang tuanya, tak lain karena sebuah foto yang sempat ia temukan tadi
pagi di garasi mobil.
Seorang wanita berpostur tinggi, langsing dan berparas cantik. Iris matanya
yang bagai zamrud menambah kecantikannya. Wajahnya yang jelas bukan wajah pribumi,
membuat kecantikannya tampak berbeda. Foto yang berlatarkan sebuah kebun bunga
yang cantik itu memperlihatkan senyum bahagia wanita yang tengah menggendong
seorang bayi mungil. Sedang di samping kanannya berdiri seorang pria dengan
kaca mata yang membingkai matanya dan tangan kirinya merangkul pundak wanita
itu.
Ayah.
Wajah yang sangat ia kenal. Pria
yang sangat ia hormati. Pria yang selama ini begitu menyayangi keluarganya
mengapa berfoto dengan orang lain? Pertanyaan sederhana yang mampu dipikirkan
oleh lelaki kecil itu.
"Ada apa sayang?" Suara
lembut seseorang membuat lelaki kecil itu terperanjat dan buru-buru
menyembunyikan foto tersebut.
"Tidak ibu, tidak ada
apa-apa." Jawab lelaki kecil itu tergagap.
"Tapi itu apa yang di
belakangmu? Coba sini ibu lihat." Sang ibu yang memaksa, merampas foto
yang berusaha disembunyikan lelaki kecil itu di balik punggungnya. Raut riang
wanita itu luntur seketika begitu melihat pria yang berada dalam foto tersebut.
Itu terakhir kalinya ia berbicara
pada ibunya. Kenyataan pahit yang dilontarkan oleh ayahnya telah mengantarkan
ibunya ke surga. Di depan matanya, sebilah pisau ditancapkan oleh tangan sang
ibu pada bagian dadanya hingga wanita itu tergeletak di lantai dengan darah
yang mengalir membasahi lantai yang seputih salju itu.
"Kak... Bangun. Kak...
Cepatlah." Sebuah suara yang cukup keras samar-samar terdengar di telinga
Harry.
"Leo." Harry
memicingkan matanya menatap adik laki-lakinya yang telah berpakaian rapi tengah
menarik-narik selimut yang masih membalut hangat tubuh Harry. "Kenapa kau
ini?" Tanya Harry heran. Tidak biasanya adiknya itu akan begitu perhatian
untuk membangunkannya setiap pagi.
"Kau mengigau. Suaramu
begitu keras dan terdengar sampai di luar."
Harry menghela nafas berat
melalui mulutnya. Mimpi itu lagi. Mimpi buruk yang selalu menghantui hampir
setiap malamnya. Ia bangun dan meraih ponselnya yang berada di samping
bantalnya, mengecek alarm yang seharusnya menyala pukul enam pagi yang berarti
satu jam yang lalu. Ternyata ponselnya telah kehabisan daya sebelum mampu
menjalankan tugasnya.
"Kau mimpi tentang ibu
lagi?" Leo tahu betul, kakaknya sering mengigau dan memanggil ibunya. Tapi
Harry tak pernah bercerita tentang detailnya. Yang Leo tahu, ibunya meninggal
karena sakit. Sakit yang dideritanya akibat tekanan batin yang didapat dari
ayahnya karena perselingkuhan.
"Begitulah."
Sejak kematian ibunya, Harry
mulai menarik diri. Wajahnya selalu murung. Kebencian telah mengakar dalam
hatinya. Terlebih ketika ia memandang selembar foto kusut yang ia temukan dua
puluh dua tahun yang lalu. Foto yang akhirnya mampu membawa ibunya pergi
meninggalkannya. Rahasia itu masih ia simpan dengan rapat. Bahkan Harry tak
pernah menceritakan pada Leo kenyataan bahwa ibunya bunuh diri tepat di depan
matanya.
***
Langit tampak muram dengan
gerimis yang cukup teratur ketika seorang gadis menerobos masuk ke dalam
ruangan yang berada di ujung koridor. Ruangan yang cukup besar, didominasi
warna krem dengan barang-barang mewah bertebaran di setiap sisi.
Sepatu bertumit tinggi milik
gadis itu tampak meninggalkan jejak basah pada lantai yang bersih yang berwarna
senada dengan warna dinding ruangan.
"Oh... Seperti biasa kau
tampak suram, Harry." Nada mengejek terdengar dalam suara manja gadis itu.
Di hadapan jendela ruangan
tersebut, terlihat Harry memandang jalanan basah yang digenangi air hujan
dengan tatapan kosong. Harry kemudian melirik ke balik bahu ke arah gadis itu.
"Rina, kau tak perlu
mengkritikku. Bagaimana dengan pekerjaanmu?"
"Tentu saja berhasil, Harry.
Jangan lupa dengan siapa kau bekerja sama." Tawa renyah keluar melalui
bibir pink gadis yang dipanggil dengan nama Rina tersebut.
"Aku mendapatkan info
akurat. Bagaimana jika dimulai dengan seratus ribu untuk selembar
fotonya?"
Harry berbalik menatap jendela
kemudian mendengus tak setuju dengan penawaran Rina.
"Bawa kembali semua info
yang kau dapatkan. Ini tidak sesuai kesepakatan. Aku bisa menggaji orang lain
untuk mencari info."
"Tenang Harry, aku hanya
bercanda." Rina menghela nafas, kemudian melangkah menuju kursi yang
disediakan di depan meja kerja Harry.
"Jadi, katankan apa yang
telah kau dapatkan."
"Trisia Arissandy. Hanya dia
satu-satunya yang masih berada di Indonesia. Setelah ayahmu meninggal, wanita
itu kembali ke negaranya. Aku belum bisa menemukan kakak perempuannya.
Selebihnya bisa kau baca di sini." Ujar gadis itu setelah meletakkan
berkas penyelidikan yang telah ia lakukan selama beberapa bulan terakhir di
atas meja.
Harry berbalik menuju meja
kerjanya, merasa tertarik pada berkas yang diberikan Rina padanya.
"Dia sebatang kara?"
Tanya Harry meyakinkan sambil membuka berkas yang telah ia terima. Beberapa
foto hasil penguntitan Trisia membuahkan potret yang cukup menyedihkan. Seulas
senyum puas menghiasi bibir Harry.
"Dia tinggal di panti
asuhan. Beberapa bulan yang lalu, dia pergi dari panti dan tinggal bersama
kekasihnya." Gadis itu menjelaskan. "Nama lelaki itu Tomi. Jika saja
kau tahu, hidupnya benar-benar menyedihkan, Harry." Rina menggeleng pelan,
membayangkan kehidupan Trisia yang telah ia lihat dengan mata kepalanya
sendiri.
"Memang sudah sepantasnya
dia mendapatkan itu, Rin."
"Apa kau yakin masih ingin
membalas dendam? Kau tahu itu salah ibunya, bukan salah Trisia."
Lelaki itu menatap beberapa foto
yang ada di dalam berkas tersebut. Rambut ikalnya tergerai hitam dan panjang.
Mata hijaunya yang cantik diwarisi dari ibunya, membuat Harry semakin geram.
Tubuhnya mungil dan terlihat kurus. Simbol dari kehidupannya yang sama sekali
tidak bahagia.
"Dia, pantas mendapatkannya.
Lihat wajahnya sangat mirip dengan pelacur itu. "
"Tapi tetap saja..."
Rina memutuskan untuk menghentikan ucapannya sebelum ia ditendang keluar tanpa
bayaran oleh rekannya yang ketus itu. "Oh ya, ada lagi, sepertinya
kekasihnya melakukan kekerasan pada gadis itu."
"Lalu apa kau sudah
menyelidiki masalah keuangannya secara detail?" Tanya Harry lagi.
"Untuk apa? Bukankah sudah
kubilang, hidup gadis itu menyedihkan. Sebaiknya urungkan niatmu. Kau tak akan
tega jika melihatnya sendiri secara langsung."
"Tidak. Jangan mencoba
menghalangiku. Keputusanku sudah bulat. Akan kubuat hidupnya makin
menyedihkan."
"Tapi... Sayang sekali kau
membuang-buang uangmu untuk pembalasan yang tidak seharusnya diterima oleh
gadis itu."
"Kenapa hanya ada uang di
otakmu? Aku tak peduli, uang tak bisa mengembalikan segalanya. Uang tak akan
bisa mengembalikan ibuku. Tapi setidaknya, uangku bisa kugunakan untuk membalas
air mata dan luka hati ibuku. Aku sudah lama menantikan ini."
Cukup lama penantian itu hingga
Harry akhirnya menemukan jejak. Mencari seseorang diantara jutaan manusia
bukanlah perkara yang mudah. Butuh waktu tiga tahun untuk menemukan keturunan
dari wanita itu. Terlebih hanya bermodalkan sebuah foto yang diambil beberapa
tahun yang lalu.
Diam-diam, seulas senyum penuh
arti tersungging di bibir Harry. Diraihnya gagang telepon berwarna abu-abu yang
tersusun rapi di atas meja kerjanya. Ia menekan beberapa angka yang tersambung
pada sekretaris pribadinya.
"Liana, suruh Denis
menghadap sekarang. Aku punya pekerjaan penting untuknya."
Bersambung
Wuih... ternyata Harry mau balas dendam sama Trisia. :o terus gimana dongg sama Leo?
BalasHapusKasihan ya Harry menanggung itu semua sendirian... *pukpuk
ditunggu chapter selanjutnya cuyy...
Trisia sama Harry apa Leo yaa enaknya.hihihihi...
HapusChapter 5 sudah diposting silahkan dibaca :
http://stoples-cerita.blogspot.com/2015/06/red-lie-chapter-5.html ^^