Jumat, 30 Januari 2015

The Forgotten

Hari ini adalah tepat hari dimana usia gadis itu bertambah, dua puluh satu tahun. Ia menatap cermin dengan senyumnya yang begitu lebar. Wajahnya terlihat begitu segar, hari ini ia mempunyai acara kencan dengan kekasihnya, Rendi. Lelaki yang telah menjalin hubungan dengannya sejak empat tahun yang lalu.

“Semua ini berkat kau Clarisse. Terima kasih.” Ujar Karina sambil menatap bayangannya yang memantul dari cermin. Berkat permohonannya pada Clarisse –hantu cermin yang dipanggilnya empat tahun silam untuk mengabulkan permohonannya– lelaki bernama Rendi itu secara ajaib menyatakan perasaannya pada Karina hanya dalam waktu seminggu dan hubungan mereka tetap terjalin hingga hari ini.

Dengan pulasan lipstik berwarna pink, Karina telah mengakhiri aktivitasnya di depan cermin. Terusan berwarna senada dengan bibirnya telah ia kenakan, membuatnya tampak begitu anggun. Sepasang sepatu dengan tumit yang tinggi membalut cantik kakinya yang ramping.

“Karina, Rendi sudah datang.” Panggi sang ibu. Karina pun bergegas, menyambut sang pangeran yang tengah berdiri memandangnya terpesona.

“Kau cantik.” Puji Rendi tulus. Karina hanya tersenyum simpul dengan wajahnya yang merona.  Tanpa membuang waktu lagi, dibimbingnya Karina menuju mobil hitam yang telah terparkir di halaman rumahnya.

Sebuah restoran bergaya vintage dengan ornamen beraksen klasik dipilih Rendi untuk merayakan ulang tahun Karina. Sebuah kue ulang tahun pun telah disiapkan di meja yang telah dipesan oleh Rendi.

“Selamat ulang tahun sayang.” Kata Rendi memberikan sebuket mawar pada Karina. Karina senang bukan kepalang, ini jauh dari apa yang dibayangkan Karina, makan berdua di kafe tempat mereka biasa makan, sebuah ucapan selamat ulang tahun dan sebuah kado.

“Kau benar-benar romantis sayang. Terima kasih banyak.” Senyum Karina melebar, seolah hampir menyentuh telinganya. Setelah Karina meniup lilin, ia memotong kue yang tak terlalu besar itu. Namun sesuatu mengganjal pisaunya, membuat Karina mengerutkan dahi karena kebingungan.

Karina mencoba memotong kue tersebut dalam bagian kecil-kecil dan menemukan sebuah kotak berwarna keemasan yang tersimpan di dalam kue tersebut. Gadis itu menatap kekasihnya yang tengah tersenyum. Diraihnya kotak yang lengket karena krim kue itu, kemudian dibukanya perlahan. Sesuatu berkilau kerena cahaya lampu yang begitu terang di ruangan itu. Sebuah kalung dengan bentuk hati terpampang di hadapannya. Rendi beringsut, meraih kalung tersebut dan memakaikannya di leher Karina.

“Sangat cantik. Terima kasih sayang.” Kata Karina girang.

“Tapi kau jauh lebih cantik.” Ujar Rendi yang lagi-lagi menorehkan semburat kemerahan di wajah Karina.

Karina melangkah menuju wastafel, mencuci tangannya yang kotor dan lengket. Ia memandang bayangannya pada cermin dihadapannya. Begitu cantik dengan kalung pemberian Rendi.

Tiba-tiba bayangan lain berdiri di belakangnya, seorang wanita dengan wajahnya yang mengerikan menunjuk dirinya dari pantulan cermin. Karina menoleh, mencari sosok yang ada di belakangnya, namun tak ada seorangpun berdiri di belakangnya. Ia cepat-cepat membersihkan tangannya dan kembali ke meja.

***

Makan malam berakhir dengan sebuah lamaran romantis oleh Rendi. Kebahagiaan menyelimuti hati Karina, namun  bayangan itu masih mengganggu pikirannya. Matanya nyalang menatap langit-langit kamarnya. Tiba-tiba ingatannya tentang sahabatnya, Ellen bergelayutan dalam pikirannya. Sesaat kemudian kebahagiaannya luntur berganti rasa takut ketika memandang cermin besar di kamarnya.

Empat tahun yang lalu, wanita itu muncul dalam bayangan cermin. Seperti hari ini, wanita itu menunjuk Ellen dengan tangannya yang kurus.  Kemudian wanita itu membawa Ellen pergi untuk selamanya. Masih jelas dalam ingatannya ketika ia memandang sahabatnya yang tengah ketakutan setelah melihat wanita itu.

Karina meraih ponselnya untuk mengalihkan perhatiannya. Dipandangnya sebuket mawar yang masih segar itu di atas meja. Rendi. Satu nama yang akan selalu bisa menenangkannya. Disentuhnya layar ponsel yang bertuliskan nama Rendi, kemudian kembali ia menyentuh layar ponselnya yang bersimbol gagang telpon.

“Rendi, aku tak bisa tidur.” Kata Karina setelah nada sambung berganti dengan suara kekasihnya.

“Kenapa sayang? Ini sudah tengah malam.” Suara Rendi terdengar parau.

“Aku takut. Bayangan Clarisse muncul tadi ketika aku mencuci tangan.” Karina mulai membuka rahasia yang selama ini ia sembunyikan dari Rendi. Ia menceritakan segalanya pada Rendi malam itu, mulai dari bagaimana ia memanggil Clarisse, permohonannya untuk mendapatkan Rendi, hingga meninggalnya Ellen dalam kecelakaan bersama Adam setelah Clarisse menunjuknya. Namun Rendi sama sekali tak mempercayai hal-hal seperti itu.

“Itu hanya kebetulan, sayang. Sudahlah, sebaiknya sekarang kau tidur, ini sudah tengah malam.” Kata Rendi dengan sabar.

“Ren, hingga kini Adam masih tak bisa melupakan Ellen. Jika aku mati, apa kau pun tak akan melupakan aku?” Tanya Karina ragu.

“Bicara apa kau ini. Cepat tidur.”

“Jawab aku sebelum aku tidur.” Rengek Karina manja.

“Tidak Karina, aku tak akan melupakanmu seumur hidupku. Tapi aku akan lebih bersyukur jika seumur hidup kau akan selalu mendampingiku.” Rendi menjawab dengan tulus. “Sebaiknya sekarang kau tidur. Sampai jumpa besok sayang.”

“Sampai jumpa.” Karina menutup telponnya. Kembali ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dengan was-was. Kemudian matanya terpaku pada cermin di hadapannya. Wanita itu muncul, tangan kotornya seolah menembus cermin itu.

“Pergi Clarisse. Jangan mendekat!” Karina berteriak dengan kencang, berharap ayah atau ibunya akan mendengarnya. Diraihnya sebuket mawar pemberian Rendi, kemudian Karina berusaha memukul cermin tersebut hingga kelopaknya pun berserakah di lantai.

“Pergi Clarisse!” Teriakannya melengking, melemparkan apapun yang ia dapat ia raih.

***

“Karina, cepat bangun. Ini sudah jam sebelas.” Teriak sang ibu. “Karina, mau tidur sampai kapan? Ini sudah siang.” Sang ibu menarik paksa selimut Karina. Pemandangan dihadapannya membuatnya terperangah. Gadis itu terbujur kaku dengan wajahnya yang pucat pasi.

Sang ibu berteriak melihat anak gadisnya tergeletak tak bernyawa. Tak ada riwayat penyakit dalam tubuh Karina. Bahkan jika ada perampok pun tak ada tanda-tanda kamar itu telah diobrak-abrik. Semua terlihat baik-baik saja, kecuali Karina yang kehilangan nyawanya secara mendadak.

Isak tangis terdengar bersahut-sahutan ketika keranda yang membawa Karina semakin menjauh. Namun batang hidung Rendi justru tak terlihat sama sekali menimbulkan kebingungan diantara keluarga Karina.

***

“Ren, Karina meninggal tadi pagi.” Kata ibu Rendi sambil memotong sebuah apel.

“Karina siapa bu?” Tanya Rendi sambil tetap memainkan ponselnya.

“Ya Karina. Anak bu Arman, tetangga kita dulu. Dia meninggal mendadak tadi pagi.”

“Oh.. Aku sudah hampir lupa, bu. Sudah enam tahun lebih aku tidak pernah berhubungan dengan Karina.” Kata Rendi sambil memasukkan sepotong apel kedalam mulutnya.


TAMAT

Kamis, 29 Januari 2015

Melo(ve)dy



Seorang lelaki sedang duduk dalam keheningan di tengah ramainya pengunjung restoran. Suara dentingan sendok garpu yang beradu dengan piring, juga dengungan obrolan selepas makan siang tidak sedikit pun mampu mengusir kemasygulan dari wajah lelaki itu.

Asap rokok membumbung saat lelaki itu mengembuskannya melalui bibirnya. Sebenarnya, ia tahu bahwa restoran ini melarang pengunjungnya untuk merokok di dalam ruangan. Tapi lelaki itu tidak peduli. Terlebih ia mengenal baik pemilik restoran ini.

“Martin, bukankah kau bisa melihat tanda dilarang merokok yang ditempel di dinding restoran ini?”

Terdengar suara seorang gadis tengah menegur lelaki bernama Martin itu. Tidak perlu menolehkan kepalanya, Martin tahu siapa gadis itu. Ia sangat mengenal suara gadis cerewet yang merupakan adik dari sahabatnya sang pemiliki restoran ini.

Martin menyesap tetes terakhir kopi hitamnya yang sudah dingin. Lalu lelaki itu melemparkan puntung rokoknya ke dalam cangkir kopi itu. Ia bangkit dari duduknya dan berdiri menjulang di hadapan gadis yang menegurnya.

“Tidak perlu mengomel, gadis cantik. Aku sudah selesai,” kata Martin sambil tersenyum merayu.

Tapi gadis itu malah memberengut dan sama sekali tidak tergoda pada senyuman Martin. Bukan karena Martin tidak cukup tampan untuk merayu gadis seperti dirinya. Melainkan karena ia sudah sangat mengenal sikap sahabat dekat kakaknya yang satu ini. Lelaki flamboyan yang gemar tebar pesona pada setiap gadis yang temuinya.

“Aku akan pulang sekarang. Sampaikan salamku untuk kakakmu.” Martin berjalan meninggalkan gadis itu lalu pergi menuju kasir untuk membayar secangkir kopi yang diminumnya. Sebelum keluar dari restoran itu, ia masih sempat melontarkan rayuan kepada seorang waitress.

Martin berdiri di depan pintu masuk restoran itu sambil menyalakan satu batang rokok lagi. Hujan deras memang baru saja berhenti beberapa saat yang lalu. Tapi hujan masih meninggalkan jejak basah dan genangan air di jalanan.

Sebenarnya Martin datang ke restoran hanya untuk menemui sahabatnya. Tapi ternyata lelaki itu sedang pergi dengan kekasihnya untuk fitting pakaian pernikahan mereka. Martin sedikit merasa kecewa karena ia tidak lagi bisa menemui sahabatnya itu sesuka hati.

Sebelum bertemu dengan kekasihnya itu, sahabat Martin bukanlah lelaki yang seperti itu. Ia lebih tampak seperti robot yang terus bekerja setiap saat demi membesarkan nama restorannya. Tidak peduli dengan hal lain, apalagi memikirkan seorang gadis untuk menjadi pasangannya. Hanya adik perempuannya dan Martin yang peduli untuk mengingatkan lelaki itu agar tidak mengabaikan kesehatannya sendiri.

Dan kini Martin merasa begitu iri. Bagaimana mungkin sahabatnya itu bisa dengan mudah menemukan cinta sejati? Sementara Martin yang cukup dekat dengan banyak gadis cantik, sampai saat ini tidak pernah bertemu dengan cinta sejatinya. Tidak ada satu pun di antara para gadis itu yang membuat Martin jatuh cinta.

Martin melangkahkan kakinya menjauhi restoran itu. Sengaja ia meninggalkan mobilnya di latar parkir restoran yang tampak penuh. Saat ini Martin hanya ingin berjalan-jalan sebentar menikmati suasana setelah hujan.

Titik-titik hujan bergayut pada ujung ranting dan daun. Aroma tanah setelah hujan menguar di udara seperti aroma tubuh bidadari. Martin terus berjalan sambil memenuhi paru-parunya dengan aroma itu, mencoba menggantikan asap rokok yang menempel erat di paru-parunya.

Gedebuk!

Tiba-tiba sebuah bunyi benda jatuh membentur sesuatu, yang disusul pekikan seorang gadis. Dengan cepat kepala Martin menoleh dan mendapati seorang gadis tengah jatuh terduduk di atas jalan ber-paving yang basah. Ia menghampiri gadis itu lalu mengulurkan tangannya untuk membantu gadis itu berdiri.

Hanya dengan sekali lihat, Martin sudah bisa memutuskan bahwa gadis ini sangat cantik. Sebuah terusan berwarna ungu gelap yang dikenakannya terlihat kontras dengan kulitnya yang cerah berkilau itu. Rambut hitam panjangnya bergelombang sampai punggung. Pipinya merona dan matanya yang cantik dengan bulu mata lentik saat ini tengah menatap uluran tangan Martin.

Detik berikutnya gadis itu sudah menyambut uluran tangan Martin. Dan sekarang mereka tengah berdiri berhadapan. Tapi gadis itu tampak terperangah saat menatap wajah lelaki yang menolongnya.

“Martin?”

Siapa gadis ini? Alis Martin terangkat. Bagaimana bisa gadis ini mengenal dirinya? Martin berusaha mencari memori akan sosok gadis ini. Tapi otaknya tidak menghasilkan apapun. Sangat tidak mungkin ia melewatkan gadis secantik ini dalam hidupnya.

Atau mungkin saja gadis ini seorang bidadari yang dikirim dari kahyangan untuk dirinya. Apa doanya untuk segera bertemu dengan cinta sejatinya sudah didengar dan dikabulkan? Dan mungkin saja tidak ada satupun gadis di dunia ini yang cukup pantas mendampingi Martin, sehingga bidadari ini dikirim jatuh ke bumi demi dirinya.

“Kau Martin, kan?”

Gumaman gadis itu menarik Martin dari dalam khayalannya tentang bidadari.

“Apa kau seorang bidadari?” tanya Martin menyuarakan khayalannya. Dadanya terasa berdebar-debar.

Gadis itu tergelak lalu bertanya, “Apa kau lupa padaku, Martin?”

Martin terpaku menatap ke arah gadis itu. Ia merasa begitu terpana hingga tidak mampu berkata-kata. Padahal biasanya selalu ada kata-kata rayuan yang bisa ia lontarkan kepada seorang gadis. Tapi tidak untuk gadis ini.

“Aku Melina. Kau ingat?”

Melina. Melina. Melina. Martin mengulang nama itu berkali-kali dalam hatinya hingga sebuah ingatan menariknya ke masa lalu. Pada sosok seorang gadis kecil teman sebangkunya di Sekolah Dasar. Rambutnya pendek, sifatnya tomboi, sehingga lebih tampak seperti seorang anak laki-laki. Mereka sering menghabiskan waktu untuk bermain di kubangan lumpur, menangkap capung, bahkan bertengkar seperti adegan gulat di televisi. Hingga suatu hari anak itu harus pindah ke kota lain saat naik ke kelas enam.

Dan gadis itu merupakan cinta pertama Martin.

Sambil berusaha meredam debaran jantungnya yang lebih cepat dari biasanya, Martin menatap ke arah Melina. Tidak pernah satu kalipun Martin membayangkan bahwa Melina akan berubah menjadi begitu feminin. Gadis ini tampak sangat... cantik.

Tuk! Melina memukul puncak kepala Martin sehingga lelaki itu mengaduh kesakitan.

“Kenapa kau malah melamun? Apa kau terpesona karena aku terlihat lebih cantik sekarang?” tanya Melina sambil tertawa.

Buru-buru Martin memasang ekspresi malas untuk menutupi kekagumannya pada Melina. “Aku pikir kau sudah sepenuhnya menjadi seorang gadis feminin. Ternyata hanya penampilan luarmu saja yang berubah. Lagi pula penampilan seperti ini tidak cocok untukmu.”

Gadis itu tampak terperangah mendengar komentar Martin. “Sampai kapan kau mau terus mengolok-olokku?” tanya Melina sambil memukul lengan Martin.

Tapi entah kenapa, diam-diam Martin merasa bersyukur karena sifat Melina tidak ikut berubah. Masih sama seperti terakhir kali mereka bertemu. Sama seperti Melina yang ia kenal dan membuatnya jatuh cinta.

“Apa kau ada waktu? Kita bisa pergi makan siang bersama di restoran dekat sini.” Melina menyebutkan nama restoran yang tadi baru saja dikunjungi Martin. “Kita rayakan pertemuan kita kembali.”

“Kebetulan aku juga mau pergi ke restoran itu.” Tentu saja. Mobil Martin masih diparkir di sana. Lagi pula ia tidak mungkin melewatkan kesempatan emas seperti ini. “Restoran itu milik sahabatku. Aku sering makan siang di sana.”

“Wah, apa kau sering mendapatkan makan gratis?” tanya Melina sambil mulai melangkah. Kali ini ia harus lebih hati-hati. Ia memang belum terbiasa berjalan menggunakan sepatu hak tinggi di atas jalan yang basah.

“Sayangnya, tidak. Dia lelaki yang keras dan disiplin,” kata Martin dengan ekspresi yang dibuat kecewa. “Tapi biarkan aku mentraktirmu siang ini untuk merayakan pertemuan kita. Bagaimana?”

“Setuju!” Melina berseru dengan lantang.

***

Martin berjalan memasuki sebuah gerbang tinggi berwarna putih yang terletak tidak jauh dari restoran milik sahabatnya. Sebuah bangunan berdiri kokoh di balik gerbang itu. Ada seorang wanita berwajah keibuan menyambut Martin dengan ramah. Wanita itu menanyakan keperluan Martin datang ke panti asuhan ini. Begitu  Martin menyebut nama Melina, wanita itu tersenyum lalu mengantarkan Martin ke sebuah ruangan.

Terdengar bunyi alunan melodi dari balik pintu di hadapan Martin, membuat lelaki itu merasa tertarik untuk membuka pintu kayu itu dan melangkah masuk. Ia ingin melihat siapa pemilik tangan yang begitu mahir memainkan piano ini.

Begitu memasuki ruangan yang cukup luas itu, Martin langsung melihat sekumpulan anak-anak yang tengah mengelilingi piano yang berada di tengah ruangan. Mereka tampak sangat asyik hingga tidak menyadari kehadiran Martin di sana. Seorang lelaki yang cukup tampan walaupun menurut Martin tidak lebih tampan dari dirinya sedang menekan tuts-tuts piano hingga menghasilkan melodi ceria yang diiringi nyanyian sumbang dari anak-anak di sekelilingnya. Dan di samping piano itu seorang gadis tengah berdiri sambil ikut bernyanyi. Jemarinya yang halus menggenggam tangan kecil anak-anak di samping kiri dan kanannya.

Melina.

Mata Martin tidak bisa lepas dari sosok gadis itu, memuji kecantikan bak bidadari yang dimiliki Melina. Entah mengapa gadis itu tampak semakin mempesona. Dan demi alasan yang tidak dimengerti olehnya, Martin merasa ia ingin selalu melihat gadis itu.

Pipi gadis itu tampak sedikit merona. Dan sikap gadis itu tampak sedikit berbeda dari biasanya. Matanya tampak terus berpusat pada sosok lelaki yang tengah memainkan piano itu. Setengah mati Martin berusaha meyakinkan diri bahwa sorot mata Melina hanya berupa kekaguman bukan kerinduan. Tapi entah mengapa kegelisahan itu tidak mau pergi. Seolah sengaja mencuri sebagian tempat di dalam dada Martin.

Mungkinkah Melina mengubah penampilannya demi lelaki itu? Sebuah dugaan muncul di benak Martin, membuat ia bergedik atas pikirannya sendiri. Secepatnya ia harus merebut hati Melina dari lelaki manapun.

Lelaki itu berhenti memainkan piano, bangkit dari duduknya, lalu mempersilakan Melina untuk menggantikan posisinya. Gadis itu tersenyum malu-malu sambil sedikit melirik ke arah lelaki itu. Ia meregangkan jemarinya lalu membiarkan jemari-jemari itu menari di atas tuts-tuts piano. Nada-nada ceria kembali mengalun di udara.

Melina menekan nada terakhirnya dengan sentuhan ringan pada tuts piano. Gadis itu menengadahkan kepala lalu tersenyum saat pekikan ceria dan riuh tepuk tangan-tangan kecil menyambutnya. Ekspresi wajah gadis itu tampak sangat bahagia saat lelaki di sampingnya memuji permainan pianonya.

“Melina.”

Martin menyebut nama gadis itu. Suaranya terdengar lantang dan sedikit memburu. Tidak mudah bagi lelaki seperti Martin untuk menekan perasaannya yang membuncah.

Melina tersentak dan menoleh ke arah Martin yang tengah berdiri di samping pintu. Sesaat setelah pandangan mereka bertemu, Melina menarik tangannya dari atas piano lalu bangkit dari duduknya.

“Martin? Kau jadi datang rupanya.” Gadis itu terdengar sedikit gugup. “Apa kau sudah lama menunggu di situ?”

“Tidak juga.” Terasa lama karena aku harus melihatmu tersipu-sipu oleh lelaki lain, batin Martin. “Tapi aku senang karena bisa mendengarmu bermain piano.”

Melina mengajak Martin masuk ke dalam kerumunan anak-anak kecil itu. Seorang anak tersenyum memperlihatkan gigi depannya yang ompong. Tangannya terulur dan ia menyebutkan namanya, diikuti anak-anak yang lain. Martin jadi merasa seperti artis terkenal yang sedang berada di tengah penggemarnya.

Tiba-tiba seorang gadis kecil berkucir dua menggerak-gerakkan tangannya seolah meminta teman-temannya untuk mundur dan berbaris dengan tertib. Kemudian tangan-tangan mungil itu terulur dan Martin menyambutnya dengan hangat. Ia memperkenalkan dirinya dengan hangat dan bersahabat.

Hingga tiba saat Melina mengenalkan Martin kepada lelaki lain di ruangan itu. Senyum Martin pudar seketika. Ia menatap tajam ke arah lelaki itu seakan ingin menegaskan bahwa Melina adalah miliknya seorang. Sebagai basa-basi, Martin menjabat tangan lelaki itu lalu menyebutkan namanya dengan malas.

Hati Martin bersorak saat mendengar lelaki itu berpamitan setelah mengangkat lengannya dan melihat jam tangan yang melingkar di sana. Bahkan cara lelaki itu melihat jam tampak begitu elegan dan mampu mempesona gadis mana pun yang melihatnya. Dan Martin berharap Melina tidak termasuk dalam gadis yang terpesona itu.

“Bagaimana menurutmu lelaki itu?”

Martin mengangkat alisnya dengan gusar. Saat ini mereka sedang berjalan di tepi halaman yang ada di panti asuhan ini. Anak-anak kecil yang tadi tampak bahagia saat menyanyi diiringi piano, kini sedang berlari dan bersenda gurau di atas rumput.

“Aku mengagumi lelaki itu, kau tahu? Dia yang mengajariku bermain piano

Hentikan.

“Usianya masih muda tapi dia memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesamanya. Dia yang mengenalkanku pada panti asuhan ini.

Aku mohon, Melina. Hentikan.

“Aku kagum pada kepeduliannya. Tapi malang sekali nasibnya, kekasihnya harus pergi

“Tolong berhenti membicarakan lelaki itu.” Martin menyela dengan nada ketus.

Melina menatap wajah Martin. Alisnya berkerut karena bingung. “Apa maksud

“Kau boleh membicarakan apapun asal jangan membicarakan lelaki itu.” Martin berkata lagi dengan cepat seakan tidak ingin dibantah. Api cemburu benar-benar membuat darahnya mendidih. Ia tidak ingin mendengar gadis ini memuji-muji lelaki lain.

Melina masih terdiam tidak berkata apa-apa untuk membalas kata-kata Martin. Ia merasa takut untuk membuka mulut. Takut salah bicara.

Diam-diam Martin melirik sedikit ke arah Melina yang tampak sedikit canggung. Tentu saja Martin tidak ingin suasana seperti ini terus berlanjut. Ia harus berusaha untuk mengembalikan suasana akrab di antara mereka berdua.

“Apa kau mau datang bersamaku ke pernikahan sahabatku minggu depan?” tanya Martin mencoba membuka topik obrolan baru di antara mereka. “Mungkin kau bisa menyumbang satu atau dua lagu sambil bermain piano di sana.”

***

“Martin, menurutmu aku akan lebih cantik mengenakan gaun ini atau ini?”

Melina menanyakan pendapat Martin sambil menggenggam hanger di kedua tangannya. Tangan kirinya menggenggam hanger yang tergantung sebuah sheath dress berwarna hitam. Gaun itu akan menempel ketat dan menunjukkan dengan jelas lekuk tubuh pemakainya. Sementara di tangan kanannya tergantung bubble dress berwarna merah gelap dengan rok yang menggelembung.

Martin tampak merenung untuk menimbang-nimbang. Lelaki itu memandang bergantian ke arah dua gaun itu sebelum akhirnya menjawab, “Terserah kau saja.”

Melina mengerutkan keningnya sambil membiarkan mulutnya sedikit terbuka. Jika Melina bisa menentukan semudah itu, ia tidak akan menanyakan pendapat pribadi lelaki itu. Ia sangat berharap Martin bisa membantunya untuk memutuskan. Tapi yang ia dapatkan hanya jawaban terserah.

Sebenarnya Martin sendiri tidak peduli pada pakaian apa yang akan dikenakan Melina. Gadis itu akan selalu tampak cantik di matanya. Yang penting adalah Melina akan berdandan cantik untuk Martin. Bukan untuk lelaki sialan di panti asuhan. Bukan untuk lelaki manapun selain Martin.

Hubungan Martin dan Melina semakin terjalin sejak pertemuan mereka kembali setelah sekian lama. Mereka sering menghabiskan waktu bersama walaupun tidak lagi menangkap capung ataupun bermain di kubangan lumpur. Sekarang mereka lebih sering pergi ke panti asuhan, makan siang bersama, menonton film di bioskop, membicarakan kejadian konyol di masa kecil mereka, atau sekedar duduk berdua dan Melina akan bernyanyi sambil bermain gitar.

Martin sangat menikmati saat-saat itu. Ia bahagia berada di dekat Melina. Ia merasa senang mendengar gadis itu menyanyi dan memainkan melodi cantik untuk telinga Martin. Dan ia senang Melina tidak pernah membicarakan lelaki lain di hadapannya.

Martin ingin menjadikan Melina miliknya seorang.

“Ayolah, bantu aku memilih.” Suara Melina menyadarkan Martin dari lamunannya. Gadis itu tampak menempelkan gaun-gaun di tangannya ke tubuhnya secara bergantian di hadapan cermin. “Aku harus tampil cantik di pesta pernikahan sahabatmu. Karena aku datang sebagai pasanganmu.”

Pasangan? Ah benar juga. Mereka akan datang berdua ke pesta pernikahan itu. Sebagai pasangan di hari itu. Tapi Martin ingin menjadi pasangan Melina seumur hidupnya. Mungkinkah Melina merasakan apa yang dirasakannya?

“Kenapa kau tidak membeli dua-duanya saja?”

Melina memutar bola matanya. “Jangan coba-coba mengajariku untuk boros, Martin.”

“Itu tidak boros. Kau bisa mengenakan gaun yang satu untuk pergi makan malam denganku, misalnya.”

Melina melemparkan pandangan heran ke arah Martin. “Aku tidak yakin kau punya waktu untuk mengajakku makan malam.”

“Kenapa kau tidak yakin?”

Melina tidak menjawab. Ia hanya menatap Martin sejenak seakan menandakan bahwa Martin seharusnya tahu alasannya. Bukankah lelaki itu selalu dikelilingi banyak gadis cantik?

Tapi Martin sungguh tidak tahu. Sehingga lelaki itu hanya mampu menatap bingung ke arah Melina. Hingga ia menyadari satu kemungkinan. Oh mungkinkah Melina bermaksud memberikan tanda bahwa ia mencintai lelaki lain?

Itu. Tidak. Boleh. Terjadi.

“Baiklah. Aku memilih bubble dress saja. Sepertinya aku memiliki sepatu yang serasi dengan gaun ini.”

Martin keluar dari pikirannya saat mendengar suara Melina. Tapi lelaki itu tidak benar-benar mendengar. Ia masih sibuk mencari cara untuk menaklukkan hati Melina sebelum ada lelaki lain yang melakukannya. Entah mengapa Martin sama sekali tidak dapat menemukan kata-kata rayuan yang biasanya mengalir begitu saja saat berada di hadapan gadis-gadis.

Sialan kau, Melina. Gadis itu membuat otaknya beku dan lidahnya menjadi kelu.

“Martin?”

Martin mengangkat kepalanya dan mengerutkan kening. “Ya, Melina?”

“Aku bilang, aku sudah selesai,” jawab Melina sambil mengangkat kantung belanjaan berisi gaun yang baru saja dibayarnya.

Martin menatap kantung kertas itu dengan kecewa. “Kenapa kau tidak bilang? Aku bisa membelikannya untukmu.” Tadi Martin memang ingin menunjukkan sedikit sikap gentleman­-nya dengan cara membayar gaun yang diinginkan Melina.

“Aku perhatikan akhir-akhir ini kau sering melamun,” kata Melina tanpa menghiraukan kata-kata Martin. Mereka mulai berjalan beriringan keluar dari toko di pusat perbelanjaan itu. “Apa ada yang mengganggumu?”

Martin mendengar suara gadis itu terdengar khawatir. “Tidak ada. Aku hanya tidak percaya bisa bertemu kembali denganmu.”

“Benarkah?” Melina bertanya dengan skeptis. “Bukan karena ada gadis mungkin kekasihmu yang cemburu melihat aku berada di dekatmu?”

Martin menggidikkan tubuhnya karena merasa geli dengan kecurigaan Melina. “Tidak. Tidak ada gadis manapun. Hanya ada kau, Melina,” kata Martin selembut mungkin. Tapi sepertinya gadis itu tidak menyadari perasaan dalam kata-kata Martin.

“Syukurlah,” kata Melina lantas tertawa. Ia tidak ingin dituduh sebagai perebut kekasih orang. “Bagaimana kalau sekarang kita beli es krim sebelum pulang?”

***

Martin menghentikan mobilnya kemudian turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Melina. Kaki jenjang gadis itu keluar dari mobil dan menginjak jalanan. Kemudian disusul seluruh tubuhnya yang keluar dari mobil. Gadis itu berdiri di samping mobil sementara Martin menutup pintu mobil. Sebenarnya Melina bisa melakukan semua itu sendiri tapi Martin memintanya seperti itu entah untuk alasan apa.

“Kenapa kau suka melakukan hal-hal yang merepotkan seperti itu?”

“Tidak ada alasan khusus. Aku hanya ingin menjadi pangeran yang memperlakukan seorang gadis bak seorang putri.”

Tanpa dinyana, pipi Melina sedikit merona mendengar kata-kata Martin. Tapi dengan cepat ia sadar bahwa tidak hanya dirinya yang diperlakukan begitu manis oleh lelaki ini. Mungkin ia harus sedikit berhati-hati agar tidak tergoda.

“Terima kasih untuk hari ini, Martin,” ujar Melina sambil menyelipakan rambut ke balik telinga. “Terima kasih untuk semuanya. Saat-saat bersamamu selalu terasa menyenangkan.”

Tapi Martin tidak menjawab. Lagi-lagi lelaki itu melamun. Bahkan lelaki itu tetap diam saat Melina pergi meninggalkannya. Sehingga Melina memutuskan bahwa lelaki itu perlu waktu untuk memikirkan sesuatu. Tapi ketika Melina sudah berdiri di ambang pintu, lelaki itu memanggilnya.

“Melina?”

Melina menolehkan kepalanya sambil mengerutkan keningnya. “Ya?”

Martin berdiri di sana, tampak begitu tampan seperti pangeran sempurna dari negeri dongeng. Tangannya bersedekap dan tubuhnya sedikit bersandar ke mobil. Sejenak ia memejamkan mata lalu menarik napas dalam. Detik berikutnya, bibir lelaki itu mengucapkan kata-kata yang mengejutkan.

“Melina, aku rasa aku jatuh cinta padamu.”

***

Suasana pesta hari itu tampak begitu ramai dan semua orang tampak berbaur satu sama lain. Pesta pernikahan ini menjadi pesta pernikahan paling meriah yang pernah didatangi Melina. Jamuan makan yang melimpah dan ditata elegan di setiap sudut ruangan. Dekorasi serba putih yang menambah kesan mewah. Sebuah kue pengantin bertingkat dihiasi krim berwarna putih dengan hiasan berupa patung kecil sepasang pengantin di tingkat paling atas. Foto-foto pre-wedding dipajang dalam bingkai-bingkai putih. Kedua pasangan itu tampak bahagia berfoto di tepi pantai yang menjadi tempat pertemuan mereka.

Dan sepasang pengantin yang menjadi tokoh utama di cara ini tampak serasi dengan pakaian pengantin serba putih. Mereka berdampingan di atas panggung menyambut para tamu untuk berjabat tangan dan berfoto bersama.

Melina melangkah dengan sangat hati-hati saat turun dari panggung pengantin. Saat ini ia tengah mengamit lengan Martin yang menuntunnya ke arah piano putih yang ada di sayap kiri ruangan ini. tadi saat di panggung, Martin meminta izin kepada kedua mempelai untuk Melina memainkan satu lagu. Dan mereka dengan senang hati mengizinkan Melina menggunakan piano itu.

Musik pengiring berhenti atas satu komando saat Melina duduk dengan anggunnya di depan piano. Gadis itu membuat duduknya senyaman mungkin baru kemudian membuka penutup tuts. Melina mengembuskan napas perlahan lalu bunyi dentingan piano yang lembut mulai terdengar. Kemudian suara lembut Melina juga mengalunkan nyanyian penuh perasaan. Sebuah lagi dari band Maroon 5.

We were just wasting time...
For my whole life...
We never crossed the line...
Only friends in my mind..
But now I realize...
It was always you...
Can’t believe I could not see it all this time..
All this time..
It was always you..


Melina menyanyikan lagu itu sambil menatap ke arah Martin yang tengah berdiri di tengah ruangan. Lelaki itu tampak begitu tampan dan mempesona, dengan rambut yang disisir rapi dan tuksedo hitam yang membalut postur tubuhnya yang tegap. Bahkan Martin berpuluh kali lebih tampan daripada pengantin pria di pesta ini.


Dan Melina sudah memutuskan untuk membalas pernyataan cinta Martin malam itu.


Martin mendengarkan setiap alunan melodi yang dimainkan Melina. Matanya tidak bisa lepas dari sosok gadis itu. Melina tampak luar biasa cantik dengan bubble dress merah gelap yang semakin menonjolkan kulitnya yang halus. Rambut panjang bergelombangnya dibiarkan terurai menutupi punggung. Dan sekarang gadis itu tengah memainkan piano dengan cantiknya, membuat banyak mata memperhatikan gadis itu.

Tiba-tiba Martin merasa gelisah. Ia merasa takut akan ada lelaki yang mencoba untuk menarik perhatian Melina. Entah mengapa, Martin berharap gadis itu cepat menyelesaikan lagunya dan turun dari sana. Kembali ke pelukan Martin.

Ketika alunan nada yang dimainkan gadis itu akhirnya berhenti, Martin langsung bertepuk tangan. Tepuk tangan itu memecah suasana dan membawa tepuk tangan berikutnya yang susul menyusul sehingga suasana ruangan itu menjadi riuh rendah karena suara tepuk tangan yang membahana.

Cepat-cepat Martin mendekat ke arah panggung rendah itu untuk menjemput gadisnya. Melina membungkukkan tubuhnya sejenak sebagai ungkapan terima kasih sebelum akhirnya Martin mengulurkan tangannya membantu gadis itu turun dari panggung. Martin melingkarkan lengannya di pinggang Melina dengan begitu intim untuk mengklaim gadis itu sebagai miliknya di hadapan banyak orang. Supaya tidak ada satu pun lelaki yang mencoba merebut gadis ini dari sisinya.

“Kau benar-benar hebat,” bisik Martin di telinga Melina. Mereka berdua berdiri berhadapan di sudut ruangan yang tidak mencolok. Saat ini semua perhatian orang tengah kembali terarah pada pengantin di atas panggung.


“Terima kasih,” balas Melina sambil tersipu. Wajahnya masih merona merah sejak Martin memeluk erat pinggangnya tadi. “Dan jawaban untuk pernyataan cintamu malam itu... aku rasa... aku juga mencintaimu Martin.”

Bibir Martin melengkung ke bawah tanda kecewa. Ia tidak pernah ditolak oleh seorang gadis sebelumnya tunggu dulu. Apa katanya tadi?

“Apa?”

Melina menggigit bibirnya dengan gugup sebelum mengulang kata-katanya. “Aku mencintaimu, Martin.”

Apakah benar ini sebuah pernyataan cinta? Lelaki mana yang jantungnya tidak berdegup ganda saat gadis yang dicintainya membalas perasaannya. Martin sendiri merasakan debaran jantungnya yang semakin cepat. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak tahu harus mengatakan apa.

“Lalu? Bagaimana dengan lelaki itu?” Martin tampak kebingungan untuk berkata-kata. “Lelaki yang selalu kau tatap penuh kasih. Lelaki di panti asuhan itu

Melina tergelak saat menyadari siapa lelaki yang dimaksud Martin. “Itu tidak seperti yang kau lihat, Martin. Aku hanya mengaguminya. Tidak lebih.”

Martin tidak mengatakan apa-apa. Wajah tampannya tampak sedikit pucat mendengar jawaban Melina. Mana mungkin ia salah membaca keadaan. Benar-benar memalukan.

“Sebenarnya, aku sudah berada di kota ini hampir satu tahun. Selama itu aku sering membantu lelaki itu di panti asuhan miliknya. Dia memiliki seorang kekasih yang sangat cantik dan sangat mengerti tentang sepatu-sepatu cantik. Aku jadi banyak belajar darinya. Mereka benar-benar pasangan yang menyenangkan.” Tiba-tiba ekspresi dan nada bicara Melina berubah sedih. “Sayangnya, maut merenggut kekasih itu lebih dahulu.’’

“Oh sampaikan dukaku untuknya,” kata Martin dengan wajah masam. Ia merasa bersalah karena sudah berpikiran buruk terhadap lelaki itu.

“Dan apa kau tahu alasanku kembali ke kota ini setelah sekian lama?”

Martin menggelengkan kepalanya. Ia memang tidak tahu apa alasannya.

“Untuk bertemu denganmu,” ujar Melina sambil menekan telunjuknya kuat-kuat ke dada kiri Martin.

Apa? Martin terpana. Matanya terbelalak seakan tidak percaya dengan apa yang didengar indra pendengarnya.

“Lalu, kenapa kau tidak langsung menemuiku? Aku rasa tidak sulit untuk menemukanku.”

“Memang tidak sulit. Aku menemukanmu di hari kedua aku menginjakkan kakiku di kota ini,” jawab Melina sambil menatap dalam ke mata Martin. “Tapi yang aku lihat saat itu kau selalu dikelilingi oelh gadis-gadis cantik dengan pakaian modis, membuat aku tidak berani menampakkan diri di hadapanmu. Sehingga aku memutuskan untuk mengubah penampilanku sebelum akhirnya menemuimu. Aku ingin membuatmu terkesan. Sayangnya, pertemuan kita diwarnai dengan insiden terpeleset di atas jalan yang basah.” Wajah Melina memerah saat mengingat kejadian itu. Benar-benar memalukan.

Martin kembali membelalakkan matanya. Ia tidak menyangka bahwa dugaannya selama ini salah. Jadi, Melina kembali ke kota ini demi dirinya? Dan Melina berubah demi dirinya?

“Tapi sempat bingung saat mendengar kau berkata bahwa penampilan ini tidak cocok untukku,” ujar Melina sambil menundukkan kepalanya dengan sedih.

Martin maju satu langkah lalu merengkuh Melina ke dalam pelukannya. Ia berbisik perlahan dan terdengar seperti melodi cinta di telinga Melina.

“Seharusnya kau tidak perlu mengubah apapun dari dirimu. Karena sejak lima belas tahun yang lalu aku sudah jatuh cinta kepadamu yang apa adanya, Melina.”

TAMAT