Senin, 19 Januari 2015

Sacrifice




Cinta itu menerima apa adanya.

Suasana pusat perbelanjaan terbesar di kota pada malam ini sangat ramai. Beberapa orang berlalu lalang dengan tas belanjaan yang penuh dengan barang-barang yang baru mereka beli. Hampir semua toko seakan berlomba memajang poster diskon di depan toko untuk menarik pembeli. Seperti inilah suasana yang tampak saat akhir tahun tiba.

“Sayang, apa lagi yang ingin kau beli?” tanya seorang lelaki dengan lembut pada gadis di sampingnya.

“Apa aku boleh membeli stiletto yang itu?” Seorang gadis balik bertanya dengan suara sopran yang lembut. Jari lentiknya menunjuk ke arah sebuah toko merk sepatu wanita yang  cukup terkenal.

Lelaki itu tersenyum dengan lembut penuh kasih sayang. “Tentu saja. Silakan beli apapun yang kau inginkan, gadis cantik.”

Senyum bahagia langsung merekah di bibir Safira yang bergincu merah. Gadis itu segera melangkahkan kaki jenjangnya menuju toko yang tadi ia tunjuk. Ia berjalan dengan langkah lebar sambil mengamit lengan Sabad, kekasihnya. Lelaki itu sedikit kesulitan mengimbangi langkah gadisnya yang sedang bersemangat. Sementara ia harus tetap menggenggam erat tali-tali tas belanjaan di tangannya.

Seorang pramuniaga menyambut ramah kedatangan Safira dan Sabad ke toko mereka. Pramuniaga itu membimbing Safira menuju sepatu yang diinginkan gadis itu. Gadis itu menanyakan warna apa saja yang tersedia untuk sepatu model itu. Jawaban pramuniaga itu membuat Safira bingung untuk memilih warna merah atau hitam. Ia lalu menoleh pada kekasihnya untuk berdiskusi, dan Safira memutuskan untuk membeli  dua sepatu dengan warna yang berbeda.

Sabad hanya tersenyum simpul. Ia hanya akan bahagia jika Safira bahagia. Kebahagiaan bagi lelaki itu memang sesederhana itu.

Sejak kedatangan mereka ke pusat perbelanjaan ini sudah membuat banyak pasang mata merasa tertarik. Safira dengan penampilannya yang eksentrik, membuat banyak orang memandang kagum sekaligus heran ke arahnya. Rambutnya dicat pirang stroberi, wajahnya dirias dengan make-up berkualitas dunia, dan jemari lentiknya dengan kuku yang dicat merah muda menyala sangat menarik perhatian. Kakinya yang jenjang seperti sengaja dipamerkan karena ia mengenakan rok pendek berwarna merah muda. Rok berbahan sifon itu membungkus indah pinggulnya yang bergoyang saat ia melangkahkan kakinya.

Sementara penampilan Sabad bisa dibilang cukup sederhana. Lelaki itu hanya mengenakan polo shirt biru, celana jeans, dan sepatu kulit tanpa tali berwarna hitam. Tapi tetap saja lelaki itu menarik perhatian karena ia hanya memiliki tangan kanan. Dan satu-satunya tangan yang ia miliki itu sedang sibuk membawa belanjaan kekasihnya.

Tidak tampak sedikitpun rasa keberatan maupun enggan di wajah Sabad. Ia sangat mencintai Safira dan ia menerima  gadis itu apa adanya. Gadis itu tidak meninggalkannya, bahkan masih mau menggandeng tangannya yang hanya satu.

Bukankah itu berarti Safira juga menerima Sabad apa adanya?

***

Cinta itu kehilangan.

Kehidupan Sabad lima tahun yang lalu sangat jauh berbeda dengan kehidupannya yang sekarang. Saat itu ia benar-benar terpuruk dalam jurang yang sangat dalam. Semua orang menatapnya dengan hina seakan ia adalah sampah tak berguna.

Semua yang terjadi memang kesalahan Sabad. Tapi lelaki itu tidak pernah sudi untuk mengakui bahwa itu sepenuhnya merupakan kesalahannya. Ia masih ingat dengan wanita cantik berhati iblis yang menariknya ke dalam penderitaan berkepanjangan.

Tujuh tahun yang lalu Sabad menjalani hidup normal dan sederhana. Ia menikahi seorang gadis sederhana dan baik-baik. Mereka hidup harmonis dan memiliki seorang anak. Rumah impian berhasil mereka bangun setelah dua tahun pernikahan. Tidak sampai di situ. Sabad yang tekun dalam bekerja mendapatkan kenaikan jabatan di tempatnya bekerja.

Semua terasa baik saja dan nyaris sempurna.

Sampai akhirnya wanita itu datang ke dalam kehidupan Sabad.

Wanita itu sangat cantik dan menggoda. Wajahnya cantik, bibirnya yang penuh selalu mengucapkan kata-kata rayuan, dan tubuhnya ramping sempurna begitu menggoda untuk dipeluk.

Sabad yang tengah merasa di atas angin dengan semua tahta dan harta yang dimilikinya jatuh begitu saja ke dalam rayuan wanita itu. Ia melakukan apa saja demi wanita itu. Bahkan ia sudah berani menenggak minuman beralkohol yang selama ini selalu dijauhinya. Ia juga mulai mengabaikan keluarga kecilnya di rumah.

Sikap Sabad yang biasanya lembut, perlahan mulai berubah. Ia menjadi lebih temperamen, mudah marah, dan tersinggung. Sepertinya kehadiran wanita itu benar-benar membuat Sabad tergila-gila. Dan tidak lagi menghiraukan istrinya.

Puncaknya terjadi pada suatu malam yang dingin. Sabad mengendarai mobilnya pulang ke rumah. Begitu tiba di rumah, ternyata istrinya belum tidur seperti biasanya. Istrinya yang baik sepertinya memang sengaja menunggu kepulangan Sabad.

“Kenapa baru pulang sekarang?” tanya istrinya dengan hati-hati. Matanya melirik ke arah jam dinding yang terpasang di ruang tamu.

“Bukan urusanmu!” balas Sabad sambil melemparkan sepatu kerjanya ke rak kayu yang dulu dibuatnya sendiri.

Istrinya menundukkan kepala karena kaget dibentak seperti itu. Ia seperti sudah tidak mengenal Sabad sebagai suami yang ia cintai. Sebenarnya siapa lelaki ini? Istri Sabad menggigit bibirnya untuk menghapus rasa gentar di hatinya.

“Aku hanya khawatir dengan keadaanmu. Keadaan... rumah tangga kita.” Sekuat tenaga istri Sabad menahan air matanya yang sudah menggenang di pelupuk mata. “Apa yang kau lakukan di luar sana? Apa... apa...” suara wanita itu bergetar. “Apa ada wanita lain?”

Plak! Sabad begitu marah mendengar tuduhan yang dilontarkan istrinya. Pertama kalinya ia menampar pipi wanita yang dinikahinya dua tahun lalu itu. Tamparannya begitu kuat hingga membuat istrinya tersungkur ke lantai. Wanita itu memegang pipinya yang merah bekas ditampar suaminya. Sementara matanya sudah tidak bisa lagi membendung air mata yang ditahannya selama ini.

Mata Sabad terbelalak tidak percaya dengan apa yang sudah dilakukannnya. Dalam sekejap rasa menyesal langsung memenuhi hatinya. Ia lantas bersimpuh dan meminta maaf kepada istrinya. Tentu saja tidak semudah itu istrinya memaafkan kesalahannya. Berkali-kali istrinya mengibaskan tangannya, mendorong bahu Sabad, sekuat tenaga menolak sentuhan dari suami yang sudah menyakitinya.

Dengan penuh kesabaran Sabad meminta maaf sampai istrinya memaafkan semua kesalahnnya. Ia berjanji akan memperbaiki segalanya dan memulai lagi kehidupan mereka dari awal. Kehidupan harmonis yang sudah mereka bangun dengan susah payah selama ini.

Keesokan harinya, Sabad bergegas menemui wanita iblis itu di apartemen mewahnya saat jam makan siang kantor. Seperti biasa wanita itu menyambutnya dengan pelukan menggoda juga kecupan di kedua pipi Sabad. Tapi lelaki itu yakin ia tidak akan tergoda kali ini. Ia berencana menemui wanita ini hanya untuk memutuskan hubungan mereka.

“Kenapa kau dingin sekali hari ini, Sayang?” tanya wanita itu dengan manja. “Apa kau tidak ingin balas memelukku?”

“Sudah cukup,” balas Sabad dengan perasaan muak. “Aku kemari hanya untuk mengakhiri hubungan kita.”

Wanita itu melepas dekapannya di lengan Sabad lalu berjalan menjauh. Ia mengambil pemantik api dan menyalakan rokok yang tersemat di jemari lentiknya. Jemarinya mengarahkan batang rokok ke bibir ranumnya yang menggoda. Dijauhkannya batang rokok itu, lalu bibirnya mengembuskan asap dengan elegan.

Wanita itu sedang merasa gundah karena pernyataan Sabad. Ia berusaha menghalau rasa gundah itu dengan mengembuskannnya bersama asap rokok. Matanya menatap tajam ke arah Sabad.

“Kau yakin dengan apa yang kau katakan, Sayang?” Suara wanita itu berubah dingin sekarang.

“Ya. Aku yakin,” jawab Sabad dengan mantap. “Dan kau boleh memiliki apartemen ini tanpa khawatir aku akan memintanya suatu hari nanti.”

Sabad memang membelikan apartemen ini untuk wanita yang ia kira sebagai cinta sejatinya. Tapi ia salah. Air mata istrinya tadi malam sudah membuatnya sadar.

“Oh, bukan itu yang aku inginkan, Sabad.” Kali ini suara wanita itu kembali berubah manja. “Aku mencintaimu, kau tahu itu?”

“Tapi aku tidak mencintaimu,” kata Sabad jelas dan lugas. “Aku sudah sadar sekarang bahwa hanya istrikulah yang aku cintai.”

Wanita itu berdecak kesal lalu menekan ujung rokoknya yang membara ke dalam asbak. “Baiklah jika itu yang kau inginkan.”

Selesai sudah. Sabad meninggalkan apartemen itu dengan semua kesalahan dan pengkhianatan yang ia lakukan di sana. Mulai hari ini Sabad bisa menjalani kembali kehidupannya yang tenang bersama keluarga kecilnya.

Tapi penyesalan tinggal penyesalan saat Sabad menyadari bahwa tidak ada lagi kesempatan kedua bagi dirinya.

Petang itu, Sabad pulang ke rumah dengan sebuket bunga mawar untuk istri tercintanya. Senyum kebahagiaan tidak henti-hentinya menghiasi wajah lelaki itu. Tapi senyuman itu sama sekali tidak abadi saat ia mendapati rumah impiannya tengah membara. Terbakar habis dengan istri dan anaknya di dalam sana.

Petugas pemadam kebakaran yang dibantu beberapa warga tampak sibuk memadamkan api yang melahap rumah kecil itu. Warga yang lain langsung menahan Sabad yang tampak seperti orang gila hendak melompat ke dalam api.

Sabad merasa begitu marah dan hancur. Dan ia tahu benar siapa yang melakukan hal ini. Ia memang tidak memiliki bukti yang kuat untuk menuntut wanita itu secara hukum. Maka ia bertekad akan menyelesaikan masalah ini langsung dengan yang bersangkutan. Darah harus dibayar dengan darah.

Keesokan harinya, berita yang lebih mengejutkan datang ke hadapannya. Perusahaan tempat ia bekerja memberhentikannya secara tidak terhormat karena ia sudah berselingkuh. Dan wanita iblis yang menjadi selingkuhannya merupakan istri dari atasannya.

Sabad merasa begitu hancur lebur. Tidak ada tempat baginya untuk bernaung. Tidak satu pun sanak saudara dan teman yang mau menerima ataupun membantunya. Berhari-hari ia hidup terlunta-lunta di jalan tanpa tempat tinggal.

Di tengah keterpurukannya itu, Sabad bertekad untuk pergi meninggalkan kota ini dan memulai hidup baru di tempat baru. Dengan semua sisa uang yang dimilikinya, Sabad menaiki bis dan meluncur meninggalkan kota penuh kepahitan ini.

Tidak pernah sedetik pun Sabad mengira semua yang ia cinta akan hilang sekejap mata.

***

Cinta itu perjanjian.

Memulai kehidupan yang baru di tempat baru ternyata tidak semudah yang Sabad bayangkan. Di tempat baru ini, ia malah terjebak dalam utang yang melilitnya seperti ular. Utang-utang itu ia dapatkan karena permainan judi yang ia lakukan hampir setiap hari. Sama seperti penduduk di sekitar sini.

Sayangnya, kesialan yang dibawa Sabad dari masa lalu sepertinya masih menempel erat di punggungnya. Sehingga jarang sekali Sabad memenangkan sebuah pertaruhan. Tapi entah kenapa, Sabad tetap tidak bisa sedikitpun melepaskan diri dari judi yang membawanya hingga harus berutang kepada lintah darat.

Dan hari ini merupakan waktu bagi Sabad membayar utangnya yang terus membengkak. Para penagih utang itu sedang menggedor kuat pintu gubuknya yang reyot. Tangan Sabad gemetar saat membukakan pintu. Para lelaki berbadan kekar itu masuk ke rumah Sabad tanpa sopan santun. Tanpa basa-basi, mereka langsung menanyakan uang yang harus dibayar Sabad hari ini.

Sabad hanya menggelengkan kepala dan meminta maaf karena belum bisa membayar utangnya hari ini. Wajah para penagih utang itu seketika berubah geram. Buru-buru Sabad mengucapkan janji untuk membayar utang-utangnya tiga hari lagi. Tapi mereka tidak mengindahkan kata-kata Sabad dan malah mendaratkan bogem mentah ke wajah lelaki malang itu.

Tubuh Sabad limbung ke kanan dan langsung disambut dengan pukulan keras di rahang kanannya. Ia jatuh tersungkur. Sedetik kemudian tangan-tangan kekar itu langsung menarik tubuhnya untuk berdiri. Mereka kembali menghujani Sabad dengan hantaman bertubi-tubi di sekujur tubuhnya. Begitu Sabad tampak sudah tidak berdaya lagi, mereka baru menghentikan penyiksaan itu dan meninggalkan rumah Sabad. Terdengar suara tendangan di pintu rumah Sabad diikuti umpatan kasar bernada ancaman.

Di tengah kesadaran yang semakin menipis, Sabad merasakan kehadiran seseorang di tengah kegelapan. Sebuah tangan terulur dan mengusap darah yang mengalir dari kepala Sabad. Seketika itu juga Sabad merasakan bulu kuduknya meremang.

Sabad, aku datang untuk memberikan penawaran kepadamu.

Sabad mendengar suara seseorang di telinganya. Suara itu begitu tegas dan mengintimidasi. Tapi rasa penasaran membuat Sabad tertarik dengan penawaran yang dikatakan orang itu.

Aku akan memeberikanmu uang yang tidak akan pernah habis seumur hidupmu. Tapi kau harus berjanji untuk menyerahkan jiwamu untuk ku makan saat kau mati nanti. Apa kau setuju untuk memenuhi janji itu, Sabad?

Tanpa berpikir dua kali, Sabad menyetujui penawaran menggiurkan dari orang misterius itu. Siapa orang bodoh yang akan menolak uang yang tidak akan habis seumur hidupnya? Dan setelah itu, kegelapan yang nyata menelan habis kesadaran Sabad.

Keesokan harinya, Sabad terbangun di atas tempat tidurnya. Kepalanya masih terasa pening akibat pukulan-pukulan yang ia terima kemarin. Tapi sesuatu yang mengganjal di bawah bantalnya membuat lelaki itu tertarik. Cepat-cepat ia menyingkirkan bantal itu dan mendapati berlembar-lembar uang seratus ribuan tersusun rapi di sana. Mata Sabad terbelalk tidak percaya. Ia menyentuh uang-uang dan merasakan bahwa ini semua adalah nyata.

Cepat-cepat Sabad mandi dan berganti pakaian. Ia melangkahkan kaki ke sebuah rumah mewah di ujung jalan. Kali ini ia tidak datang untuk meminjam uang tapi untuk membayar utang-utangnya. Semua utangnya lunas beserta bunganya yang tinggi.

Sabad sadar bahwa ia tidak bisa terus tinggal di kota ini. Ia harus pindah ke kota lain yang lebih cocok dengan kehidupan barunya. Tidak akan ada lagi judi dan utang dalam hidup Sabad. Untuk apa ia berjudi jika dengan hanya tidur, uang akan muncul dibalik bantalnya.

Perjanjian yang Sabad lakukan pada penawaran orang misterius itu sudah mengubah hidupnya menjadi lebih baik.

***

Cinta itu perjuangan.

Sabad memulai hidup barunya sekali lagi di sebuah kota metropolitan. Ia membeli sebuah rumah sederhana di lingkungan barunya. Sengaja ia tidak membeli rumah yang terlampau mewah agar orang-orang tidak mempertanyakan dari mana asal kekayaannya sementara lelaki itu selalu tampak seperti pengangguran.

Rambut-rambut di wajah Sabad sudah tumbuh dengan lebat. Ia memang melewatkan hari bercukur yang seharusnya dilakukannya dua hari yang lalu. Sambil berdiri di depan cermin, Sabad mulai menggerakkan pisau cukur untuk membabat habis janggutnya.

Hidup Sabad kali ini terasa sempurna. Hanya saja masih ada yang kurang. Bagaimana pun manusia memang diciptakan sebagai makhluk yang tidak pernah puas. Walaupun Sabad sudah hidup bergelimang harta, tapi saat ini ia masih memiliki keinginan lain. Sabad begitu mendambakan kehadiran seorang gadis cantik sebagai pendampingnya.

Entah karena kurang hati-hati atau kurang konsentrasi, pisau cukur yang digenggam Sabad sedikit bergeser dan menggores kulit wajahnya. Lelaki itu mengaduh karena terkejut. Darah menetes dari dagunya ke atas wastafel.

Tiba-tiba saja udara di sekeliling Sabad terasa dingin. Bulu kuduk lelaki itu mulai meremang saat ia menyadari seseorang berdiri di belakangnya. Ia memperhatikan kehadiran orang misterius itu melalui cermin di hadapannya. Akhirnya, orang itu hadir kembali setelah melakukan perjanjian di gubuk reyot setahun yang lalu itu.

Apa ada yang kau inginkan, Sabad?

Orang misterius itu bertanya dengan suara yang tajam. Bibir yang tertutup tudung itu tetap terkatup, tapi Sabad bisa mendengar apa yang dikatakannya.

“Aku menginginkan seorang gadis cantik untuk menjadi pendamping hidupku. Apa kau bisa mengabulkannya?”

Orang itu tersenyum sinis hingga membuat Sabad merinding.

Tentu saja bisa. Tapi ada harga yang harus langsung kau bayar untuk itu.

Dahi Sabad mengernyit. “Apa itu?”

Tangan kirimu.

Mata Sabad terbelalak hingga nyaris melompat keluar. Tangan kirinya? Apa orang ini bercanda? Sabad menggerak-gerakkan tangan kirinya seakan itu yang terakhir kalinya.

Tidak ada yang gratis di dunia ini, Sabad. Kau harus berjuang untuk mendapatkan yang kau inginkan.

Sabad menelan ludah. Jantungnya terasa begitu berdebar-debar sekarang. Apa benar ia harus kehilangan tangan kirinya demi seorang gadis cantik untuk menjadi kekasihnya?

“Baiklah. Aku setuju,” kata Sabad kemudian. Tidak masalah baginya untuk kehilangan tangan kiri. Bukankah ia masih memiliki tangan kanan?

Orang itu mengeluarkan sebuah kapak besar berwarna merah dari balik jubahnya. Seketika membuat Sabad gemetar dan nyaris membatalkan permintaannya. Tapi bukankah seorang lelaki tidak akan menarik kata-kata yang sudah diucapkan?

Kapak itu mengayun di udara lalu menebas lengan Sabad dalam sekali gerakan. Bibir Sabad terbuka dan meneriakkan suara kesakitan. Ia bergerak ke sana kemari tak tentu arah. Tangan kanannya memegangi lengan kirinya yang terus mengucurkan darah segar. Kepala Sabad terasa berkunang-kunang dan membuatnya berbaring meronta di atas lantai. Orang misterius itu membawa tangan kiri Sabad lalu hilang ke dalam kegelapan yang juga merenggut kesadaran Sabad.

Tiga hari kemudian Sabad baru sadarkan diri. Bau rumah sakit yang khas menggelitik ujung hidungnya. Saat ia membuka mata, langit-langit serba putih menyambutnya. Siapa yang membawa dirinya ke rumah sakit? Bukankah selama ini ia hanya tinggal sendiri?

Ada hal lain membuat Sabad lebih heran.

Kehadiran seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya. Wajah gadis itu tampak cemas saat melihat Sabad perlahan membuka matanya. Siapa gadis ini? Apa mungkin seorang perawat?

“Sayang, syukurlah kau sudah sadarkan diri!.”

Gadis itu berseru riang dengan suara sopran yang lembut. Ia bangkit dari duduk lalu memeluk tubuh Sabad yang masih terbaring. Benak lelaki itu semakin bertanya-tanya mengenai kehadiran gadis ini. Apalagi jika Sabad tidak salah dengar, gadis itu baru saja memanggilnya dengan panggilan sayang.

“Siapa kau?” tanya Sabad dengan suara serak.

Dahi gadis itu mengernyit. “Astaga apa kau melupakan kekasihmu sendiri? Aku Safira, Sayang. Kekasihmu.”

Sabad berusaha mengaduk-aduk isi kepalanya. Ia mencoba menggali ingatannya akan seorang gadis bernama Safira. Tapi nihil. Apa yang salah? Tidak biasanya ia melupakan seorang gadis. Apalagi jika gadis itu secantik ini.

“Oh— apa mungkin kepala terantuk tegel atau wastafel sehingga ingatanmu agak terganggu?” tanya Safira penuh rasa khawatir. “Malam itu aku menunggmu di tempat kita kencan, Sayang. Tapi kau tidak kunjung datang sehingga aku memutuskan untuk menjemputmu... ke rumah. Dan... aku menemukanmu... tergeletak berlumuran darah. Benar-benar mengerikan.”

Sabad memperhatikan wajah Safira yang tampak memucat. Kulit wajah yang sudah dipolesi bedak itu semakin terlihat putih seperti kekurangan darah. Keadaannya saat itu pastilah benar-benar mengerikan.

Tunggu dulu. Watafel? Darah? Dahi Sabad kembali mengernyit untuk mengingat kejadian malam itu. Mungkinkah Safira adalah gadis yang dikirim orang misterius itu sabagai pasangan Sabad? Antara percaya dan tidak tapi sekali lagi Sabad mendapatkan apa yang diinginkannya dengan begitu mudah.

Safira memperhatikan keadaan Sabad yang tampak masih kebingungan. Buru-buru gadis itu menekan sebuah tombol untuk memanggil dokter. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap Sabad. Apalagi lelaki itu tadi seperti tidak mengenalnya.

Sabad menatap paras cantik kekasihnya. Safira. Ia mengulang nama itu berkali-kali di dalam hati agar tidak lupa. Andaikan Safira mengetahui bahwa hilangnya tangan kiri Sabad adalah sebuah perjuangan untuk mendapatkan cinta seorang Safira.

***

Cinta itu pembuktian.

Sabad menatap Safira yang duduk termenung menatap tumpukan benda yang dibelikan Sabad untuk gadis itu pada diskon akhir tahun kemarin. Tiga helai gaun malam, tujuh warna lipstik yang berbeda, lima kotak sepatu, dan benda-benda mewah lainnya. Tapi entah mengapa gadis tampak kurang senang. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

“Apa yang mengganggu pikiranmu, Sayang?” tanya Sabad sambil membelai rambut Safira yang halus karena rutin melakukan perawatan di salon itu.

Safira tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap sekilas ke arah kekasih di sampingnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya tapi ia tidak punya keberanian yang cukup untuk mengungkapkannya.

“Katakan saja apa keinginanmu. Aku akan berusaha mengabulkan apapun keinginanmu sebagai bukti cintaku padamu,” ujar Sabad lalu mengecup lembut punggung tangan Safira.

Benarkah? Mata Safira terbelalak lebar. Tapi tiba-tiba binar semangat di mata gadis itu meredup. Ia sedang menimbang-nimbang berapa banyak kekayaan kekasihnya saat ini. Mungkinkah uang-uang itu cukup untuk mengabulkan keinginan Safira?

“Aku hanya sedang berpikir...” Safira menggigit bibirnya sedikit ragu. “...apa kau tidak menginginkan rumah yang lebih luas?”

“Rumah seperti apa yang kau inginkan?”

Alih-alih menjawab pertanyaan Sabad, Safira malah menatap kedua mata lelaki di hadapannya. Ia mencoba mencari sedikit keraguan di sana. Tapi mata Sabad begitu tajam dan tegas. Tampak begitu yakin pada kemampuannya untuk mengabulkan keinginan Safira.

“Aku ingin sebuah rumah yang besar bergaya Eropa. Dengan menara tinggi, kolam renang, dan taman bunga. Seperti sebuah kastel dengan aku sebagai Tuan Putrinya.” Perasaan Safira sedikit melambung saat membayangkan rumah impiannya. Lalu ia melirik skeptis ke arah Sabad. “Apa bisa keinginan itu terwujud?”

Sabad tersenyum simpul lalu mengecup lembut pipi Safira. “Akan aku usahakan. Kau tinggal bersiap untuk kita pindah rumah.”

“Apa kau serius?” tanya Safira masih tidak percaya.

“Tentu saja, Sayang. Tapi aku mau ke kamar mandi dulu sekarang,” ujar Sabad lalu bangkit dari duduknya.

Sabad berdiri dengan bertelanjang dada saling berhadapan dengan cermin segi empat di kamar mandinya. Ia menyentuh sebuah lambang yang tercetak di dada kirinya. Lambang itu menyerupai sebuah lingkaran bertumpuk dengan simbol bintang, tanduk, dan simbol-simbol lain yang tidak Sabad pahami. Hanya satu hal yang Sabad ketahui bahwa lambang itu muncul setelah kedatangan orang misterius dengan jubah kegelapan itu.

Dan Sabad membutuhkan orang itu sekarang untuk mewujudkan keinginan Safira akan sebuah kastel. Ia sadar benar bahwa sebanyak apapun uangnya tidak akan mampu membangun rumah semegah itu dalam satu malam.

Tapi bagaimana cara memanggil orang itu?

Sabad memeras otaknya untuk mencari cara untuk menemukan orang itu. Ia berusaha mengingat bagaimana kedatangan orang itu selama ini. Pertama saat Sabad terluka setelah diserang berama-ramai oleh para penagih utang. Kali kedua, saat Sabad sedang membayangkan seorang gadis sambil mencukur janggutnya...

Benar juga. Darah. Orang misterius itu selalu tiba-tiba datang saat Sabad tengah terluka dan berdarah.

Buru-buru Sabad mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk melukai dari lemari kecil di kamar mandinya. Ia menjatuhkan beberapa botol sampo hingga menemukan sebuah silet yang sedikit berkarat. Sabad memegang lempengan besi tipis itu dengan telunjuk dan ibu jarinya. Tanpa sedikit pun rasa ragu, jari manisnya bergerak cepat di bagian tajam silet. Desisan singkat keluar dari mulut Sabad saat ia merasakan perih di ujung jari manisnya.

Darah mengalir dari jari manis Sabad lalu menitik di lantai. Sesaat kemudian suasana tiba-tiba berubah mencekam. Sosok yang dinantikan Sabad muncul di hadapannya.

Apa ada lagi yang kau inginkan, Sabad?

Sabad menjelaskan sedetail mungkin mengenai keinginannya. Sebuah rumah seperti yang dinginkan Safira. Dan Sabad ingin besok pagi rumah itu harus sudah berdiri kokoh menunjukkan bukti cintanya kepada Safira.

Orang berjubah itu tertawa sinis hingga terasa menusuk ke tulang. Sekuat tenaga Sabad menahan diri untuk tidak tumbang walaupun kakinya terasa gemetar.

Manusia memang makhluk yang menarik. Aku akan mengabulkan permintaanmu. Tapi sebagai bayarannya, kali ini aku ingin kaki kananmu.

Sejenak Sabad merasa ragu akan keputusan yang ia ambil. Bagaimana jadinya nanti jika ia harus hidup hanya dengan satu kaki dan satu tangan? Tapi sekelebat sosok Safira muncul di benaknya membuat lelaki itu memantapkan hatinya. Kebahagiaan Safira akan menjadi kebahagiannya. Bukankah selama ini Safira tidak pernah mempermasalahkan tangannya yang hanya satu? Gadis itu tetap berada di sampingnya dan mengamit lengannya dengan mesra.

Sabad menganggukkan kepalanya ke arah orang itu. Dalam hati ia mengucapkan selamat tinggal kepada kaki kanannya. Sedetik kemudian kapak besar itu mengayun di udara disertai jeritan dari mulut Sabad. Bau anyir yang khas sontak memenuhi udara.

Sebuah senyuman lemah tersungging di bibir Sabad. Inilah salah satu bentuk bukti cintanya kepada Safira.

***

Cinta itu pengorbanan.

Suara ketukan sepatu yang dikenakan Safira menggema di lorong kastel mewah itu. Saat ini ia sedang mendorong sebuah kursi roda ke arah taman bunga yang tampak sangat indah. Bermacam bunga warna-warni tumbuh begitu terawat di taman itu.

Seorang lelaki duduk di kursi roda yang didorong Safira. Lelaki itu tersenyum untuk menikmati pagi singkatnya hari ini. Safira tidak lagi menemani Sabad setiap saat. Sudah satu bulan terakhir Safira sibuk mengurus perusahaan majalah fashion yang dipimpinnya.

Sabad duduk dengan wajah pucat seperti kekurangan darah. Tapi senyum bahagia tidak pernah berhenti hinggap di bibirnya. Ia merasa sangat bahagia saat Safira merasa bahagia. Walaupun ia harus kehilangan seluruh tangan dan kakinya.

Tiga bulan yang lalu Sabad mengorbankan tangan kirinya demi keinginan Safira untuk memiliki sebuah mobil mewah. Mobil itu diproduksi oleh sebuah perusahaan mobil ternama dan hanya ada tujuh di dunia ini. Safira menginginkan mobil itu untuk menghadiri pesta ulang tahun seorang temannya yang diadakan tiga hari setelah peluncuran mobil itu.

Sedangkan kaki kanan Sabad ia korbankan sebulan yang lalu. Saat itu Safira mengeluh bahwa ia bosan berada di rumah sepanjang hari. Dan tiba-tiba ia ingin memiliki sebuah perusahaan majalah fashion yang akan dipimpinnya sendiri. Dalam semalam, perusahaan itu sudah selesai dibangun. Bahkan majalah itu sudah bisa bersaing dengan majalah-majalah fashion dari luar negeri.

Safira berlutut di hadapan Sabad. Bibirnya yang bergincu tersenyum manis ke arah Sabad. Lalu bibir itu mendekat dan mengecup lembut bibir Sabad yang pucat.

“Terima kasih atas semua yang sudah kau berikan,” kata Safira lalu memeluk Sabad.

Sabad tersenyum bahagia karena ia memiliki seorang gadis yang menyayanginya.

“Sebenarnya aku memiliki satu keinginan lagi yang belum terpenuhi,” bisik Safira di telinga Sabad. “Aku ingin memiliki seorang pasangan yang sempurna.”

Sekali lagi mengecup bibir Sabad lalu meninggalkan lelaki sendiri. Ia akan berangkat ke kantor dan mengurus pekerjaannya. Akan ada kunjungan dari model kelas dunia ke kantornya hari ini. Langkah Safira kembali terdengar menegtuk lantai marmer kastel megah itu.

Mata Sabad menatap nyalang ke arah taman bunga. Ia masih tidak bisa mencerna dengan jelas apa yang diinginkan Safira tadi. Seorang pasangan? Tapi bukankah Sabad merupakan pasangan Safira? Oh benar juga. Sabad bukan seorang pasangan yang sempurna. Ia bahkan tidak memiliki kaki dan tangan untuk memeluk kekasihnya.

Sabad selalu ingin menjadi pangeran dalam hidup Safira. Ia sangat ingin mengabulkan semua permintaan Safira. Walaupun ia sadar bahwa ia bukan lagi pangeran bagi Safira, melainkan hanya seorang pelayan.

Tapi rasa cinta dalam hati Sabad memang sudah membuatnya gila. Lelaki itu membenturkan kepalanya berkali-kali ke dinding hingga mengeluarkan darah. Sesosok makhluk misterius itu pun muncul di hadapan Sabad dan menanyakan permintaannya.

Sabad menelan ludahnya yang terasa pahit. Bukankah kini hanya tinggal kepalanya saja yang belum ia korbankan?

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D