Cinta itu
menerima apa adanya.
Suasana pusat perbelanjaan terbesar di kota pada malam
ini sangat ramai. Beberapa orang berlalu lalang dengan tas belanjaan yang penuh
dengan barang-barang yang baru mereka beli. Hampir semua toko seakan berlomba
memajang poster diskon di depan toko untuk menarik pembeli. Seperti inilah
suasana yang tampak saat akhir tahun tiba.
“Sayang, apa lagi yang ingin kau beli?” tanya seorang
lelaki dengan lembut pada gadis di sampingnya.
“Apa aku boleh membeli stiletto yang itu?” Seorang gadis balik bertanya dengan suara
sopran yang lembut. Jari lentiknya menunjuk ke arah sebuah toko merk sepatu wanita yang cukup terkenal.
Lelaki itu tersenyum dengan lembut penuh kasih sayang.
“Tentu saja. Silakan beli apapun yang kau inginkan, gadis cantik.”
Senyum bahagia langsung merekah di bibir Safira yang
bergincu merah. Gadis itu segera melangkahkan kaki jenjangnya menuju toko yang
tadi ia tunjuk. Ia berjalan dengan langkah lebar sambil mengamit lengan Sabad,
kekasihnya. Lelaki itu sedikit kesulitan mengimbangi langkah gadisnya yang
sedang bersemangat. Sementara ia harus tetap menggenggam erat tali-tali tas
belanjaan di tangannya.
Seorang pramuniaga menyambut ramah kedatangan Safira dan
Sabad ke toko mereka. Pramuniaga itu membimbing Safira menuju sepatu yang
diinginkan gadis itu. Gadis itu menanyakan warna apa saja yang tersedia untuk
sepatu model itu. Jawaban pramuniaga itu membuat Safira bingung untuk memilih
warna merah atau hitam. Ia lalu menoleh pada kekasihnya untuk berdiskusi, dan
Safira memutuskan untuk membeli dua
sepatu dengan warna yang berbeda.
Sabad hanya tersenyum simpul. Ia hanya akan bahagia jika
Safira bahagia. Kebahagiaan bagi lelaki itu memang sesederhana itu.
Sejak kedatangan mereka ke pusat perbelanjaan ini sudah
membuat banyak pasang mata merasa tertarik. Safira dengan penampilannya yang
eksentrik, membuat banyak orang memandang kagum sekaligus heran ke arahnya.
Rambutnya dicat pirang stroberi, wajahnya dirias dengan make-up berkualitas dunia, dan jemari lentiknya dengan kuku yang
dicat merah muda menyala sangat menarik perhatian. Kakinya yang jenjang seperti
sengaja dipamerkan karena ia mengenakan rok pendek berwarna merah muda. Rok
berbahan sifon itu membungkus indah pinggulnya yang bergoyang saat ia
melangkahkan kakinya.
Sementara penampilan Sabad bisa dibilang cukup sederhana.
Lelaki itu hanya mengenakan polo shirt biru, celana jeans, dan sepatu kulit tanpa tali berwarna hitam. Tapi tetap saja
lelaki itu menarik perhatian karena ia hanya memiliki tangan kanan. Dan
satu-satunya tangan yang ia miliki itu sedang sibuk membawa belanjaan
kekasihnya.
Tidak tampak sedikitpun rasa keberatan maupun enggan di
wajah Sabad. Ia sangat mencintai Safira dan ia menerima gadis itu apa adanya. Gadis itu tidak meninggalkannya,
bahkan masih mau menggandeng tangannya yang hanya satu.
Bukankah itu berarti Safira juga menerima Sabad apa
adanya?
***
Cinta itu kehilangan.
Kehidupan Sabad lima tahun yang lalu sangat jauh berbeda
dengan kehidupannya yang sekarang. Saat itu ia benar-benar terpuruk dalam
jurang yang sangat dalam. Semua orang menatapnya dengan hina seakan ia adalah
sampah tak berguna.
Semua yang terjadi memang kesalahan Sabad. Tapi lelaki
itu tidak pernah sudi untuk mengakui bahwa itu sepenuhnya merupakan
kesalahannya. Ia masih ingat dengan wanita cantik berhati iblis yang menariknya
ke dalam penderitaan berkepanjangan.
Tujuh tahun yang lalu Sabad menjalani hidup normal dan
sederhana. Ia menikahi seorang gadis sederhana dan baik-baik. Mereka hidup
harmonis dan memiliki seorang anak. Rumah impian berhasil mereka bangun setelah
dua tahun pernikahan. Tidak sampai di situ. Sabad yang tekun dalam bekerja
mendapatkan kenaikan jabatan di tempatnya bekerja.
Semua terasa baik saja dan nyaris sempurna.
Sampai akhirnya wanita itu datang ke dalam kehidupan
Sabad.
Wanita itu sangat cantik dan menggoda. Wajahnya cantik,
bibirnya yang penuh selalu mengucapkan kata-kata rayuan, dan tubuhnya ramping
sempurna begitu menggoda untuk dipeluk.
Sabad yang tengah merasa di atas angin dengan semua tahta
dan harta yang dimilikinya jatuh begitu saja ke dalam rayuan wanita itu. Ia
melakukan apa saja demi wanita itu. Bahkan ia sudah berani menenggak minuman
beralkohol yang selama ini selalu dijauhinya. Ia juga mulai mengabaikan
keluarga kecilnya di rumah.
Sikap Sabad yang biasanya lembut, perlahan mulai berubah.
Ia menjadi lebih temperamen, mudah marah, dan tersinggung. Sepertinya kehadiran
wanita itu benar-benar membuat Sabad tergila-gila. Dan tidak lagi menghiraukan
istrinya.
Puncaknya terjadi pada suatu malam yang dingin. Sabad
mengendarai mobilnya pulang ke rumah. Begitu tiba di rumah, ternyata istrinya
belum tidur seperti biasanya. Istrinya yang baik sepertinya memang sengaja
menunggu kepulangan Sabad.
“Kenapa baru pulang sekarang?” tanya istrinya dengan
hati-hati. Matanya melirik ke arah jam dinding yang terpasang di ruang tamu.
“Bukan urusanmu!” balas Sabad sambil melemparkan sepatu
kerjanya ke rak kayu yang dulu dibuatnya sendiri.
Istrinya menundukkan kepala karena kaget dibentak seperti
itu. Ia seperti sudah tidak mengenal Sabad sebagai suami yang ia cintai. Sebenarnya siapa lelaki ini? Istri Sabad
menggigit bibirnya untuk menghapus rasa gentar di hatinya.
“Aku hanya khawatir dengan keadaanmu. Keadaan... rumah
tangga kita.” Sekuat tenaga istri Sabad menahan air matanya yang sudah
menggenang di pelupuk mata. “Apa yang kau lakukan di luar sana? Apa... apa...”
suara wanita itu bergetar. “Apa ada wanita lain?”
Plak! Sabad begitu marah mendengar tuduhan yang dilontarkan
istrinya. Pertama kalinya ia menampar pipi wanita yang dinikahinya dua tahun
lalu itu. Tamparannya begitu kuat hingga membuat istrinya tersungkur ke
lantai. Wanita itu memegang pipinya yang merah bekas ditampar suaminya.
Sementara matanya sudah tidak bisa lagi membendung air mata yang ditahannya
selama ini.
Mata Sabad terbelalak tidak percaya dengan apa yang sudah
dilakukannnya. Dalam sekejap rasa menyesal langsung memenuhi hatinya. Ia lantas
bersimpuh dan meminta maaf kepada istrinya. Tentu saja tidak semudah itu
istrinya memaafkan kesalahannya. Berkali-kali istrinya mengibaskan tangannya,
mendorong bahu Sabad, sekuat tenaga menolak sentuhan dari suami yang sudah
menyakitinya.
Dengan penuh kesabaran Sabad meminta maaf sampai istrinya
memaafkan semua kesalahnnya. Ia berjanji akan memperbaiki segalanya dan memulai
lagi kehidupan mereka dari awal. Kehidupan harmonis yang sudah mereka bangun
dengan susah payah selama ini.
Keesokan harinya, Sabad bergegas menemui wanita iblis itu
di apartemen mewahnya saat jam makan siang kantor. Seperti biasa wanita itu
menyambutnya dengan pelukan menggoda juga kecupan di kedua pipi Sabad. Tapi
lelaki itu yakin ia tidak akan tergoda kali ini. Ia berencana menemui wanita ini
hanya untuk memutuskan hubungan mereka.
“Kenapa kau dingin sekali hari ini, Sayang?” tanya wanita
itu dengan manja. “Apa kau tidak ingin balas memelukku?”
“Sudah cukup,” balas Sabad dengan perasaan muak. “Aku
kemari hanya untuk mengakhiri hubungan kita.”
Wanita itu melepas dekapannya di lengan Sabad lalu
berjalan menjauh. Ia mengambil pemantik api dan menyalakan rokok yang tersemat
di jemari lentiknya. Jemarinya mengarahkan batang rokok ke bibir ranumnya yang
menggoda. Dijauhkannya batang rokok itu, lalu bibirnya mengembuskan asap dengan
elegan.
Wanita itu sedang merasa gundah karena pernyataan Sabad.
Ia berusaha menghalau rasa gundah itu dengan mengembuskannnya bersama asap
rokok. Matanya menatap tajam ke arah Sabad.
“Kau yakin dengan apa yang kau katakan, Sayang?” Suara
wanita itu berubah dingin sekarang.
“Ya. Aku yakin,” jawab Sabad dengan mantap. “Dan kau boleh
memiliki apartemen ini tanpa khawatir aku akan memintanya suatu hari nanti.”
Sabad memang membelikan apartemen ini untuk wanita yang
ia kira sebagai cinta sejatinya. Tapi ia salah. Air mata istrinya tadi malam
sudah membuatnya sadar.
“Oh, bukan itu yang aku inginkan, Sabad.” Kali ini suara
wanita itu kembali berubah manja. “Aku mencintaimu, kau tahu itu?”
“Tapi aku tidak mencintaimu,” kata Sabad jelas dan lugas.
“Aku sudah sadar sekarang bahwa hanya istrikulah yang aku cintai.”
Wanita itu berdecak kesal lalu menekan ujung rokoknya
yang membara ke dalam asbak. “Baiklah jika itu yang kau inginkan.”
Selesai sudah. Sabad meninggalkan apartemen itu dengan
semua kesalahan dan pengkhianatan yang ia lakukan di sana. Mulai hari ini Sabad
bisa menjalani kembali kehidupannya yang tenang bersama keluarga kecilnya.
Tapi penyesalan tinggal penyesalan saat Sabad menyadari
bahwa tidak ada lagi kesempatan kedua bagi dirinya.
Petang itu, Sabad pulang ke rumah dengan sebuket bunga
mawar untuk istri tercintanya. Senyum kebahagiaan tidak henti-hentinya
menghiasi wajah lelaki itu. Tapi senyuman itu sama sekali tidak abadi saat ia
mendapati rumah impiannya tengah membara. Terbakar habis dengan istri dan
anaknya di dalam sana.
Petugas pemadam kebakaran yang dibantu beberapa warga
tampak sibuk memadamkan api yang melahap rumah kecil itu. Warga yang lain
langsung menahan Sabad yang tampak seperti orang gila hendak melompat ke dalam
api.
Sabad merasa begitu marah dan hancur. Dan ia tahu benar
siapa yang melakukan hal ini. Ia memang tidak memiliki bukti yang kuat untuk
menuntut wanita itu secara hukum. Maka ia bertekad akan menyelesaikan masalah
ini langsung dengan yang bersangkutan. Darah harus dibayar dengan darah.
Keesokan harinya, berita yang lebih mengejutkan datang ke
hadapannya. Perusahaan tempat ia bekerja memberhentikannya secara tidak
terhormat karena ia sudah berselingkuh. Dan wanita iblis yang menjadi
selingkuhannya merupakan istri dari atasannya.
Sabad merasa begitu hancur lebur. Tidak ada tempat
baginya untuk bernaung. Tidak satu pun sanak saudara dan teman yang mau
menerima ataupun membantunya. Berhari-hari ia hidup terlunta-lunta di jalan tanpa
tempat tinggal.
Di tengah keterpurukannya itu, Sabad bertekad untuk pergi
meninggalkan kota ini dan memulai hidup baru di tempat baru. Dengan semua sisa
uang yang dimilikinya, Sabad menaiki bis dan meluncur meninggalkan kota penuh
kepahitan ini.
Tidak pernah sedetik pun Sabad mengira semua yang ia
cinta akan hilang sekejap mata.
***
Cinta itu perjanjian.
Memulai kehidupan yang baru di tempat baru ternyata tidak
semudah yang Sabad bayangkan. Di tempat baru ini, ia malah terjebak dalam utang
yang melilitnya seperti ular. Utang-utang itu ia dapatkan karena permainan judi
yang ia lakukan hampir setiap hari. Sama seperti penduduk di sekitar sini.
Sayangnya, kesialan yang dibawa Sabad dari masa lalu
sepertinya masih menempel erat di punggungnya. Sehingga jarang sekali Sabad
memenangkan sebuah pertaruhan. Tapi entah kenapa, Sabad tetap tidak bisa
sedikitpun melepaskan diri dari judi yang membawanya hingga harus berutang
kepada lintah darat.
Dan hari ini merupakan waktu bagi Sabad membayar utangnya
yang terus membengkak. Para penagih utang itu sedang menggedor kuat pintu
gubuknya yang reyot. Tangan Sabad gemetar saat membukakan pintu. Para lelaki
berbadan kekar itu masuk ke rumah Sabad tanpa sopan santun. Tanpa basa-basi,
mereka langsung menanyakan uang yang harus dibayar Sabad hari ini.
Sabad hanya menggelengkan kepala dan meminta maaf karena
belum bisa membayar utangnya hari ini. Wajah para penagih utang itu seketika
berubah geram. Buru-buru Sabad mengucapkan janji untuk membayar utang-utangnya
tiga hari lagi. Tapi mereka tidak mengindahkan kata-kata Sabad dan malah
mendaratkan bogem mentah ke wajah lelaki malang itu.
Tubuh Sabad limbung ke kanan dan langsung disambut dengan
pukulan keras di rahang kanannya. Ia jatuh tersungkur. Sedetik kemudian
tangan-tangan kekar itu langsung menarik tubuhnya untuk berdiri. Mereka kembali
menghujani Sabad dengan hantaman bertubi-tubi di sekujur tubuhnya. Begitu Sabad
tampak sudah tidak berdaya lagi, mereka baru menghentikan penyiksaan itu dan
meninggalkan rumah Sabad. Terdengar suara tendangan di pintu rumah Sabad
diikuti umpatan kasar bernada ancaman.
Di tengah kesadaran yang semakin menipis, Sabad merasakan
kehadiran seseorang di tengah kegelapan. Sebuah tangan terulur dan mengusap
darah yang mengalir dari kepala Sabad. Seketika itu juga Sabad merasakan bulu
kuduknya meremang.
Sabad, aku datang
untuk memberikan penawaran kepadamu.
Sabad mendengar suara seseorang di telinganya. Suara itu
begitu tegas dan mengintimidasi. Tapi rasa penasaran membuat Sabad tertarik
dengan penawaran yang dikatakan orang itu.
Aku akan
memeberikanmu uang yang tidak akan pernah habis seumur hidupmu. Tapi kau harus
berjanji untuk menyerahkan jiwamu untuk ku makan saat kau mati nanti. Apa kau
setuju untuk memenuhi janji itu, Sabad?
Tanpa berpikir dua kali, Sabad menyetujui penawaran
menggiurkan dari orang misterius itu. Siapa orang bodoh yang akan menolak uang
yang tidak akan habis seumur hidupnya? Dan setelah itu, kegelapan yang nyata
menelan habis kesadaran Sabad.
Keesokan harinya, Sabad terbangun di atas tempat
tidurnya. Kepalanya masih terasa pening akibat pukulan-pukulan yang ia terima
kemarin. Tapi sesuatu yang mengganjal di bawah bantalnya membuat lelaki itu
tertarik. Cepat-cepat ia menyingkirkan bantal itu dan mendapati berlembar-lembar
uang seratus ribuan tersusun rapi di sana. Mata Sabad terbelalk tidak percaya.
Ia menyentuh uang-uang dan merasakan bahwa ini semua adalah nyata.
Cepat-cepat Sabad mandi dan berganti pakaian. Ia
melangkahkan kaki ke sebuah rumah mewah di ujung jalan. Kali ini ia tidak
datang untuk meminjam uang tapi untuk membayar utang-utangnya. Semua utangnya
lunas beserta bunganya yang tinggi.
Sabad sadar bahwa ia tidak bisa terus tinggal di kota
ini. Ia harus pindah ke kota lain yang lebih cocok dengan kehidupan barunya.
Tidak akan ada lagi judi dan utang dalam hidup Sabad. Untuk apa ia berjudi jika
dengan hanya tidur, uang akan muncul dibalik bantalnya.
Perjanjian yang Sabad lakukan pada penawaran orang
misterius itu sudah mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
***
Cinta itu
perjuangan.
Sabad memulai hidup barunya sekali lagi di sebuah kota
metropolitan. Ia membeli sebuah rumah sederhana di lingkungan barunya. Sengaja
ia tidak membeli rumah yang terlampau mewah agar orang-orang tidak
mempertanyakan dari mana asal kekayaannya sementara lelaki itu selalu tampak
seperti pengangguran.
Rambut-rambut di wajah Sabad sudah tumbuh dengan lebat.
Ia memang melewatkan hari bercukur yang seharusnya dilakukannya dua hari yang
lalu. Sambil berdiri di depan cermin, Sabad mulai menggerakkan pisau cukur
untuk membabat habis janggutnya.
Hidup Sabad kali ini terasa sempurna. Hanya saja masih
ada yang kurang. Bagaimana pun manusia memang diciptakan sebagai makhluk yang
tidak pernah puas. Walaupun Sabad sudah hidup bergelimang harta, tapi saat ini ia
masih memiliki keinginan lain. Sabad begitu mendambakan kehadiran seorang gadis
cantik sebagai pendampingnya.
Entah karena kurang hati-hati atau kurang konsentrasi,
pisau cukur yang digenggam Sabad sedikit bergeser dan menggores kulit wajahnya.
Lelaki itu mengaduh karena terkejut. Darah menetes dari dagunya ke atas
wastafel.
Tiba-tiba saja udara di sekeliling Sabad terasa dingin.
Bulu kuduk lelaki itu mulai meremang saat ia menyadari seseorang berdiri di
belakangnya. Ia memperhatikan kehadiran orang misterius itu melalui cermin di
hadapannya. Akhirnya, orang itu hadir kembali setelah melakukan perjanjian di
gubuk reyot setahun yang lalu itu.
Apa ada yang kau
inginkan, Sabad?
Orang misterius itu bertanya dengan suara yang tajam.
Bibir yang tertutup tudung itu tetap terkatup, tapi Sabad bisa mendengar apa
yang dikatakannya.
“Aku menginginkan seorang gadis cantik untuk menjadi
pendamping hidupku. Apa kau bisa mengabulkannya?”
Orang itu tersenyum sinis hingga membuat Sabad merinding.
Tentu saja bisa.
Tapi ada harga yang harus langsung kau bayar untuk itu.
Dahi Sabad mengernyit. “Apa itu?”
Tangan kirimu.
Mata Sabad terbelalak hingga nyaris melompat keluar.
Tangan kirinya? Apa orang ini bercanda? Sabad menggerak-gerakkan tangan kirinya
seakan itu yang terakhir kalinya.
Tidak ada yang
gratis di dunia ini, Sabad. Kau harus berjuang untuk mendapatkan yang kau
inginkan.
Sabad menelan ludah. Jantungnya terasa begitu
berdebar-debar sekarang. Apa benar ia harus kehilangan tangan kirinya demi
seorang gadis cantik untuk menjadi kekasihnya?
“Baiklah. Aku setuju,” kata Sabad kemudian. Tidak masalah
baginya untuk kehilangan tangan kiri. Bukankah ia masih memiliki tangan kanan?
Orang itu mengeluarkan sebuah kapak besar berwarna merah
dari balik jubahnya. Seketika membuat Sabad gemetar dan nyaris membatalkan
permintaannya. Tapi bukankah seorang lelaki tidak akan menarik kata-kata yang
sudah diucapkan?
Kapak itu mengayun di udara lalu menebas lengan Sabad
dalam sekali gerakan. Bibir Sabad terbuka dan meneriakkan suara kesakitan. Ia
bergerak ke sana kemari tak tentu arah. Tangan kanannya memegangi lengan
kirinya yang terus mengucurkan darah segar. Kepala Sabad terasa
berkunang-kunang dan membuatnya berbaring meronta di atas lantai. Orang
misterius itu membawa tangan kiri Sabad lalu hilang ke dalam kegelapan yang
juga merenggut kesadaran Sabad.
Tiga hari kemudian Sabad baru sadarkan diri. Bau rumah
sakit yang khas menggelitik ujung hidungnya. Saat ia membuka mata,
langit-langit serba putih menyambutnya. Siapa yang membawa dirinya ke rumah
sakit? Bukankah selama ini ia hanya tinggal sendiri?
Ada hal lain membuat Sabad lebih heran.
Kehadiran seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya.
Wajah gadis itu tampak cemas saat melihat Sabad perlahan membuka matanya. Siapa gadis ini? Apa mungkin seorang
perawat?
“Sayang, syukurlah kau sudah sadarkan diri!.”
Gadis itu berseru riang dengan suara sopran yang lembut.
Ia bangkit dari duduk lalu memeluk tubuh Sabad yang masih terbaring. Benak
lelaki itu semakin bertanya-tanya mengenai kehadiran gadis ini. Apalagi jika
Sabad tidak salah dengar, gadis itu baru saja memanggilnya dengan panggilan
sayang.
“Siapa kau?” tanya Sabad dengan suara serak.
Dahi gadis itu mengernyit. “Astaga— apa kau melupakan kekasihmu sendiri? Aku Safira, Sayang.
Kekasihmu.”
Sabad berusaha mengaduk-aduk isi kepalanya. Ia mencoba
menggali ingatannya akan seorang gadis bernama Safira. Tapi nihil. Apa yang
salah? Tidak biasanya ia melupakan seorang gadis. Apalagi jika gadis itu
secantik ini.
“Oh— apa mungkin kepala terantuk tegel atau wastafel
sehingga ingatanmu agak terganggu?” tanya Safira penuh rasa khawatir. “Malam
itu aku menunggmu di tempat kita kencan, Sayang. Tapi kau tidak kunjung datang
sehingga aku memutuskan untuk menjemputmu... ke rumah. Dan... aku
menemukanmu... tergeletak berlumuran darah. Benar-benar mengerikan.”
Sabad memperhatikan wajah Safira yang tampak memucat.
Kulit wajah yang sudah dipolesi bedak itu semakin terlihat putih seperti
kekurangan darah. Keadaannya saat itu pastilah benar-benar mengerikan.
Tunggu dulu. Watafel? Darah? Dahi Sabad kembali
mengernyit untuk mengingat kejadian malam itu. Mungkinkah Safira adalah gadis
yang dikirim orang misterius itu sabagai pasangan Sabad? Antara percaya dan
tidak tapi sekali lagi Sabad mendapatkan apa yang diinginkannya dengan begitu
mudah.
Safira memperhatikan keadaan Sabad yang tampak masih
kebingungan. Buru-buru gadis itu menekan sebuah tombol untuk memanggil dokter.
Ia takut terjadi sesuatu yang buruk terhadap Sabad. Apalagi lelaki itu tadi
seperti tidak mengenalnya.
Sabad menatap paras cantik kekasihnya. Safira. Ia mengulang
nama itu berkali-kali di dalam hati agar tidak lupa. Andaikan Safira mengetahui
bahwa hilangnya tangan kiri Sabad adalah sebuah perjuangan untuk mendapatkan
cinta seorang Safira.
***
Cinta itu pembuktian.
Sabad menatap Safira yang duduk termenung menatap
tumpukan benda yang dibelikan Sabad untuk gadis itu pada diskon akhir tahun
kemarin. Tiga helai gaun malam, tujuh warna lipstik yang berbeda, lima kotak
sepatu, dan benda-benda mewah lainnya. Tapi entah mengapa gadis tampak kurang
senang. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
“Apa yang mengganggu pikiranmu, Sayang?” tanya Sabad
sambil membelai rambut Safira yang halus karena rutin melakukan perawatan di
salon itu.
Safira tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap sekilas
ke arah kekasih di sampingnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya tapi ia
tidak punya keberanian yang cukup untuk mengungkapkannya.
“Katakan saja apa keinginanmu. Aku akan berusaha
mengabulkan apapun keinginanmu sebagai bukti cintaku padamu,” ujar Sabad lalu
mengecup lembut punggung tangan Safira.
Benarkah? Mata Safira terbelalak lebar. Tapi tiba-tiba binar
semangat di mata gadis itu meredup. Ia sedang menimbang-nimbang berapa banyak
kekayaan kekasihnya saat ini. Mungkinkah uang-uang itu cukup untuk mengabulkan
keinginan Safira?
“Aku hanya sedang berpikir...” Safira menggigit bibirnya
sedikit ragu. “...apa kau tidak menginginkan rumah yang lebih luas?”
“Rumah seperti apa yang kau inginkan?”
Alih-alih menjawab pertanyaan Sabad, Safira malah menatap
kedua mata lelaki di hadapannya. Ia mencoba mencari sedikit keraguan di sana.
Tapi mata Sabad begitu tajam dan tegas. Tampak begitu yakin pada kemampuannya
untuk mengabulkan keinginan Safira.
“Aku ingin sebuah rumah yang besar bergaya Eropa. Dengan menara
tinggi, kolam renang, dan taman bunga. Seperti sebuah kastel dengan aku sebagai
Tuan Putrinya.” Perasaan Safira sedikit melambung saat membayangkan rumah
impiannya. Lalu ia melirik skeptis ke arah Sabad. “Apa bisa keinginan itu
terwujud?”
Sabad tersenyum simpul lalu mengecup lembut pipi Safira. “Akan
aku usahakan. Kau tinggal bersiap untuk kita pindah rumah.”
“Apa kau serius?” tanya Safira masih tidak percaya.
“Tentu saja, Sayang. Tapi aku mau ke kamar mandi dulu
sekarang,” ujar Sabad lalu bangkit dari duduknya.
Sabad berdiri dengan bertelanjang dada saling berhadapan
dengan cermin segi empat di kamar mandinya. Ia menyentuh sebuah lambang yang
tercetak di dada kirinya. Lambang itu menyerupai sebuah lingkaran bertumpuk
dengan simbol bintang, tanduk, dan simbol-simbol lain yang tidak Sabad pahami. Hanya
satu hal yang Sabad ketahui bahwa lambang itu muncul setelah kedatangan orang
misterius dengan jubah kegelapan itu.
Dan Sabad membutuhkan orang itu sekarang untuk mewujudkan
keinginan Safira akan sebuah kastel. Ia sadar benar bahwa sebanyak apapun
uangnya tidak akan mampu membangun rumah semegah itu dalam satu malam.
Tapi bagaimana cara memanggil orang itu?
Sabad memeras otaknya untuk mencari cara untuk menemukan
orang itu. Ia berusaha mengingat bagaimana kedatangan orang itu selama ini. Pertama
saat Sabad terluka setelah diserang berama-ramai oleh para penagih utang. Kali kedua,
saat Sabad sedang membayangkan seorang gadis sambil mencukur janggutnya...
Benar juga. Darah. Orang misterius itu selalu tiba-tiba
datang saat Sabad tengah terluka dan berdarah.
Buru-buru Sabad mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk
melukai dari lemari kecil di kamar mandinya. Ia menjatuhkan beberapa botol
sampo hingga menemukan sebuah silet yang sedikit berkarat. Sabad memegang lempengan
besi tipis itu dengan telunjuk dan ibu jarinya. Tanpa sedikit pun rasa ragu,
jari manisnya bergerak cepat di bagian tajam silet. Desisan singkat keluar dari
mulut Sabad saat ia merasakan perih di ujung jari manisnya.
Darah mengalir dari jari manis Sabad lalu menitik di
lantai. Sesaat kemudian suasana tiba-tiba berubah mencekam. Sosok yang
dinantikan Sabad muncul di hadapannya.
Apa ada lagi yang
kau inginkan, Sabad?
Sabad menjelaskan sedetail mungkin mengenai keinginannya.
Sebuah rumah seperti yang dinginkan Safira. Dan Sabad ingin besok pagi rumah
itu harus sudah berdiri kokoh menunjukkan bukti cintanya kepada Safira.
Orang berjubah itu tertawa sinis hingga terasa menusuk ke
tulang. Sekuat tenaga Sabad menahan diri untuk tidak tumbang walaupun kakinya
terasa gemetar.
Manusia memang
makhluk yang menarik. Aku akan mengabulkan permintaanmu. Tapi sebagai bayarannya,
kali ini aku ingin kaki kananmu.
Sejenak Sabad merasa ragu akan keputusan yang ia ambil. Bagaimana
jadinya nanti jika ia harus hidup hanya dengan satu kaki dan satu tangan? Tapi sekelebat
sosok Safira muncul di benaknya membuat lelaki itu memantapkan hatinya. Kebahagiaan
Safira akan menjadi kebahagiannya. Bukankah selama ini Safira tidak pernah
mempermasalahkan tangannya yang hanya satu? Gadis itu tetap berada di
sampingnya dan mengamit lengannya dengan mesra.
Sabad menganggukkan kepalanya ke arah orang itu. Dalam hati
ia mengucapkan selamat tinggal kepada kaki kanannya. Sedetik kemudian kapak
besar itu mengayun di udara disertai jeritan dari mulut Sabad. Bau anyir yang
khas sontak memenuhi udara.
Sebuah senyuman lemah tersungging di bibir Sabad. Inilah salah
satu bentuk bukti cintanya kepada Safira.
***
Cinta itu
pengorbanan.
Suara ketukan sepatu yang dikenakan Safira menggema di lorong
kastel mewah itu. Saat ini ia sedang mendorong sebuah kursi roda ke arah taman
bunga yang tampak sangat indah. Bermacam bunga warna-warni tumbuh begitu
terawat di taman itu.
Seorang lelaki duduk di kursi roda yang didorong Safira. Lelaki
itu tersenyum untuk menikmati pagi singkatnya hari ini. Safira tidak lagi
menemani Sabad setiap saat. Sudah satu bulan terakhir Safira sibuk mengurus
perusahaan majalah fashion yang
dipimpinnya.
Sabad duduk dengan wajah pucat seperti kekurangan darah. Tapi
senyum bahagia tidak pernah berhenti hinggap di bibirnya. Ia merasa sangat
bahagia saat Safira merasa bahagia. Walaupun ia harus kehilangan seluruh tangan
dan kakinya.
Tiga bulan yang lalu Sabad mengorbankan tangan kirinya
demi keinginan Safira untuk memiliki sebuah mobil mewah. Mobil itu diproduksi
oleh sebuah perusahaan mobil ternama dan hanya ada tujuh di dunia ini. Safira
menginginkan mobil itu untuk menghadiri pesta ulang tahun seorang temannya yang
diadakan tiga hari setelah peluncuran mobil itu.
Sedangkan kaki kanan Sabad ia korbankan sebulan yang
lalu. Saat itu Safira mengeluh bahwa ia bosan berada di rumah sepanjang hari. Dan
tiba-tiba ia ingin memiliki sebuah perusahaan majalah fashion yang akan dipimpinnya sendiri. Dalam semalam, perusahaan
itu sudah selesai dibangun. Bahkan majalah itu sudah bisa bersaing dengan
majalah-majalah fashion dari luar
negeri.
Safira berlutut di hadapan Sabad. Bibirnya yang bergincu
tersenyum manis ke arah Sabad. Lalu bibir itu mendekat dan mengecup lembut
bibir Sabad yang pucat.
“Terima kasih atas semua yang sudah kau berikan,” kata
Safira lalu memeluk Sabad.
Sabad tersenyum bahagia karena ia memiliki seorang gadis
yang menyayanginya.
“Sebenarnya aku memiliki satu keinginan lagi yang belum
terpenuhi,” bisik Safira di telinga Sabad. “Aku ingin memiliki seorang pasangan
yang sempurna.”
Sekali lagi mengecup bibir Sabad lalu meninggalkan lelaki
sendiri. Ia akan berangkat ke kantor dan mengurus pekerjaannya. Akan ada
kunjungan dari model kelas dunia ke kantornya hari ini. Langkah Safira kembali
terdengar menegtuk lantai marmer kastel megah itu.
Mata Sabad menatap nyalang ke arah taman bunga. Ia masih
tidak bisa mencerna dengan jelas apa yang diinginkan Safira tadi. Seorang
pasangan? Tapi bukankah Sabad merupakan pasangan Safira? Oh— benar juga. Sabad bukan seorang pasangan yang sempurna. Ia
bahkan tidak memiliki kaki dan tangan untuk memeluk kekasihnya.
Sabad selalu ingin menjadi pangeran dalam hidup Safira. Ia
sangat ingin mengabulkan semua permintaan Safira. Walaupun ia sadar bahwa ia
bukan lagi pangeran bagi Safira, melainkan hanya seorang pelayan.
Tapi rasa cinta dalam hati Sabad memang sudah membuatnya gila.
Lelaki itu membenturkan kepalanya berkali-kali ke dinding hingga mengeluarkan
darah. Sesosok makhluk misterius itu pun muncul di hadapan Sabad dan menanyakan
permintaannya.
Sabad menelan ludahnya yang terasa pahit. Bukankah kini hanya
tinggal kepalanya saja yang belum ia korbankan?
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D