Jumat, 02 Januari 2015

Flabbergast



Ibuku, beliau adalah wanita yang selalu ku puja. Parasnya begitu cantik, tingkahnya begitu anggun, tutur katanya begitu halus. Begitu banyak orang yang iri melihat betapa sempurnanya Tuhan menciptakan sesosok malaikat tak bersayap yang selalu mendampingiku.

Ah, aku jadi teringat tiga tahun yang lalu. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas empat SD. Setiap ibu guru memintaku membuat karangan tentang ibu, aku selalu bersemangat untuk menulisnya. Teman-temanku hanya perlu selembar kertas untuk menyelesaikan karangannya, namun tidak untukku. Aku perlu beberapa lembar, bagiku terlalu banyak kenangan manis yang perlu kutulis dan ku pamerkan pada teman-temanku.

Empat tahun yang lalu, aku menangis tersedu-sedu di pelukan ibu. Aku jatuh tersungkur, terguling, bahkan darah keluar dari pelipisku. Ibu mendekapku, menenangkan aku, mengobati lukaku dengan sabar, teliti dan hati-hati.

Hingga suatu waktu, ayahku membawa seorang wanita kerumah. Cantik. Namun tak lebih cantik dari ibuku. Aku heran, mengapa ibuku tidak marah. Ibu hanya berdiri di sampingku dengan wajah pucat pasi.

“Wina, kenalkan, ini ibu barumu.” Kata ayah. Saat itu aku bodoh. Aku tidak protes meski aku tahu ayah membawa wanita lain. Aku memandang ibu. Beliau diam dan air mata menetes dari sudut matanya. Seminggu kemudian, ayah melangsungkan pernikahannya dengan wanita itu. Ibu hanya menyaksikannya dengan wajahnya yang pucat. Aku mengkhawatirkan kesehatan beliau. Namun beliau menyuruhku untuk tak khawatir.

Setelah pernikahan ayah, ibu selalu tidur di kamarku. Kemanapun aku pergi, beliau selalu menemaniku. Aku senang ibu tak pernah melakukan pekerjaan rumah, karena istri baru ayah yang mengerjakan semuanya. Namun ada yang aneh. Ibu tak pernah tidur di kasurku. Beliau selalu memilih untuk tidur di kolong tempat tidurku. Beliau bilang, agar ayahmu tak melihatku disini. Tapi kenapa? Beliau sering kali bersembunyi saat ayah datang ke kamar.

Suatu hari kuberanikan diri untuk berbicara pada ayah dan ibu tiriku.

“Ayah, ibu belakangan ini wajahnya pucat. Aku sudah bilang agar beliau tidur bersamaku, tapi beliau menolak dan lebih memilih tidur di kolong tempat tidur. Tidakkah kita membawanya ke dokter?”

Mereka berdua saling bertukar pandang. Seolah mereka bisa berbicara hanya dengan gerak mata. Aku menunggu jawaban ayah. Namun ayah bilang, aku sedang mengigau, bahkan menyuruhku untuk segera kembali kekamarku. Mengapa sejak ayah membawa wanita itu kerumah, beliau berubah seperti ini? Ayah menarik tangan ibu tiriku masuk kedalam kamar. Ibu tiriku meringis kesakitan namun tetap mengikuti langkah ayahku. Dengan perasaan was-was aku menguping pembicaraan mereka.

“Kau juga tahu kan aku sudah membereskannya? Bahkan kau juga yang membantuku menguburnya di halaman belakang kan.” Kata ayah setengah berteriak.

“Tutup mulutmu. Wina bisa mendengarnya.” Kata ibu tiriku. “Lalu mengapa Wina mengatakan bahwa ibunya tidur bersamanya?” Bentak ibu tiriku. Aku masih terus mengingat kata-kata mereka. Saat itu aku masih cukup bodoh untuk mengerti maksud mereka berdua. Hingga kini aku menyadari, aku telah paham dengan maksud mereka. Aku sangat kecewa pada mereka. Tapi sudahlah, tak masalah, itu adalah masa lalu. Setidaknya kini aku bisa memiliki ibu untukku sendiri dan mencium pipi ibuku setiap malam. Ku lihat jam dinding yang tergantung di tembok. Jam sebelas malam. Besok aku harus sekolah.

Ku padamkan lampu tidurku, kutarik selimut untuk menghangatkanku. Dilingkarkannya tangan wanita yang kini bersedia tidur di sampingku. Aku tersenyum manja, mengecup pipinya.

“Selamat tidur, Bu.”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D