Ibuku,
beliau adalah wanita yang selalu ku puja. Parasnya begitu cantik, tingkahnya
begitu anggun, tutur katanya begitu halus. Begitu banyak orang yang iri melihat
betapa sempurnanya Tuhan menciptakan sesosok malaikat tak bersayap yang selalu mendampingiku.
Ah,
aku jadi teringat tiga tahun yang lalu. Saat itu aku masih duduk di bangku
kelas empat SD. Setiap ibu guru memintaku membuat karangan tentang ibu, aku
selalu bersemangat untuk menulisnya. Teman-temanku hanya perlu selembar kertas
untuk menyelesaikan karangannya, namun tidak untukku. Aku perlu beberapa lembar,
bagiku terlalu banyak kenangan manis yang perlu kutulis dan ku pamerkan pada
teman-temanku.
Empat
tahun yang lalu, aku menangis tersedu-sedu di pelukan ibu. Aku jatuh
tersungkur, terguling, bahkan darah keluar dari pelipisku. Ibu mendekapku,
menenangkan aku, mengobati lukaku dengan sabar, teliti dan hati-hati.
Hingga
suatu waktu, ayahku membawa seorang wanita kerumah. Cantik. Namun tak lebih
cantik dari ibuku. Aku heran, mengapa ibuku tidak marah. Ibu hanya berdiri di
sampingku dengan wajah pucat pasi.
“Wina,
kenalkan, ini ibu barumu.” Kata ayah. Saat itu aku bodoh. Aku tidak protes
meski aku tahu ayah membawa wanita lain. Aku memandang ibu. Beliau diam dan air
mata menetes dari sudut matanya. Seminggu kemudian, ayah melangsungkan
pernikahannya dengan wanita itu. Ibu hanya menyaksikannya dengan wajahnya yang
pucat. Aku mengkhawatirkan kesehatan beliau. Namun beliau menyuruhku untuk tak
khawatir.
Setelah
pernikahan ayah, ibu selalu tidur di kamarku. Kemanapun aku pergi, beliau
selalu menemaniku. Aku senang ibu tak pernah melakukan pekerjaan rumah, karena
istri baru ayah yang mengerjakan semuanya. Namun ada yang aneh. Ibu tak pernah
tidur di kasurku. Beliau selalu memilih untuk tidur di kolong tempat tidurku.
Beliau bilang, agar ayahmu tak melihatku disini. Tapi
kenapa? Beliau sering kali bersembunyi saat ayah datang ke kamar.
Suatu
hari kuberanikan diri untuk berbicara pada ayah dan ibu tiriku.
“Ayah,
ibu belakangan ini wajahnya pucat. Aku sudah bilang agar beliau tidur
bersamaku, tapi beliau menolak dan lebih memilih tidur di kolong tempat tidur.
Tidakkah kita membawanya ke dokter?”
Mereka
berdua saling bertukar pandang. Seolah mereka bisa berbicara hanya dengan gerak
mata. Aku menunggu jawaban ayah. Namun ayah bilang, aku sedang mengigau, bahkan
menyuruhku untuk segera kembali kekamarku. Mengapa sejak ayah membawa wanita
itu kerumah, beliau berubah seperti ini? Ayah menarik tangan ibu tiriku masuk
kedalam kamar. Ibu tiriku meringis kesakitan namun tetap mengikuti langkah
ayahku. Dengan perasaan was-was aku menguping pembicaraan mereka.
“Kau
juga tahu kan aku sudah membereskannya? Bahkan kau juga yang membantuku menguburnya
di halaman belakang kan.” Kata ayah setengah berteriak.
“Tutup
mulutmu. Wina bisa mendengarnya.” Kata ibu tiriku. “Lalu mengapa Wina
mengatakan bahwa ibunya tidur bersamanya?” Bentak ibu tiriku. Aku masih terus
mengingat kata-kata mereka. Saat itu aku masih cukup bodoh untuk mengerti
maksud mereka berdua. Hingga kini aku menyadari, aku telah paham dengan maksud
mereka. Aku sangat kecewa pada mereka. Tapi sudahlah, tak masalah, itu adalah
masa lalu. Setidaknya kini aku bisa memiliki ibu untukku sendiri dan mencium
pipi ibuku setiap malam. Ku lihat jam dinding yang tergantung di tembok. Jam
sebelas malam. Besok aku harus sekolah.
Ku
padamkan lampu tidurku, kutarik selimut untuk menghangatkanku. Dilingkarkannya
tangan wanita yang kini bersedia tidur di sampingku. Aku tersenyum manja,
mengecup pipinya.
“Selamat
tidur, Bu.”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D