Di dalam cerpen ini, terdapat beberapa kata yang menggunakan bahasa Jepang,
kalau ada yang salah tolong dikasih tau yang benar ya.
Selamat membaca :)
Musim dingin sudah tiba. Angin mulai
bertiup kencang hari ini. Seorang gadis berdiri di depan gerbang sekolah. Ia
memasukkan tangannya ke dalam saku mantel yang melapisi seragamnya. Embusan
angin menerpa wajahnya, membuat ia menaikkan sedikit syal yang melilit di
lehernya untuk menutupi hidungnya. Hawa dingin seperti ini membuat gadis itu
membayangkan secangkir teh hangat dan semangkuk ramen di rumah. Betapa menyenangkannya meringkuk dalam selimut
tebalnya di kamar...
“Maaf membuatmu menunggu lama, Yumeko.”
Sebuah suara membuyarkan lamunan Yumeko
akan kehangatan selimutnya. Ia harus sedikit mengangkat kepalanya untuk menatap
wajah lelaki bernama Yasuo yang berdiri di sampingnya sekarang. Mereka
mengenakan syal yang sama —ibu
Yumeko yang merajutnya untuk mereka berdua, tapi entah mengapa syal itu tampak
lebih baik melingkar di leher lelaki ini daripada di leher gadis seperti
Yumeko.
“Tidak masalah.” Yumeko terkekeh. “Ada lagi?”
Tanpa perlu saling menjelaskan panjang
lebar, mereka berdua sama-sama mengerti apa maksud ada lagi yang diucapkan Yumeko. Tidak ada jawaban selain pernyataan
cinta. Setidaknya dalam seminggu akan ada dua gadis yang menyatakan cintanya
pada Yasuo. Entah itu teman sekelas, kohai[1], bahkan senpai[2].
“Ya,” jawab Yasuo sambil menggerakkan
bahunya dengan malas.
Tanpa ada komando, mereka berdua
melangkahkan kaki seirama menjauhi gerbang sekolah.
“Lalu, apa jawabanmu?” tanya Yumeko ingin
tahu.
Yasuo menatap gadis yang berjalan di
sisinya dengan tatapan apa-kau-yakin-menanyakan-hal-itu-padaku.
“Tentu saja aku menolaknya.”
Tentu
saja. Yumeko memutar bola
matanya dengan kesal. Lagi-lagi penolakan. “Sebenarnya apa yang salah denganmu?
Aku lihat, mereka gadis-gadis baik dan cantik.”
Yasuo mengembuskan napasnya yang berwarna
putih. “Entahlah— aku
hanya tidak ingin terjebak dalam hubungan karena terpaksa.”
“Apa tidak ada satu pun di antara
gadis-gadis itu yang menarik perhatianmu?”
“Tidak ada,” ujar Yasuo sambil
menggelengkan kepalanya. “Bagaimana denganmu, Yumeko? Aku lihat, kau juga tidak
dekat dengan lelaki mana pun.”
Secara tiba-tiba Yumeko menghentikan
langkahnya. Yasuo yang sedikit terkejut ikut berhenti dua langkah di depan
Yumeko. Lelaki itu menoleh dan mendapati dirinya sedang ditatap dengan tatapan kau-kira-ini-gara-gara-siapa.
“Tidak ada lelaki yang mendekatiku karena
kau selalu menempel di dekatku seperti lumut pada batu.”
Yasuo terkekeh. “Lalu kenapa? Aku tidak
keberatan. Bukankah kita selalu bersama sejak masih kecil?”
“Tentu saja kau tidak keberatan.” Yumeko
mendesah kesal. Gumpalan karbondioksida putih membumbung di udara. “Gadis-gadis itu tetap akan mengerubungimu
seperti semut melihat gula.”
Yasuo kembali terkekeh mendengar Yumeko
menggunakan peribahasa dalam kalimatnya.
“Dan yang kau tidak tahu, Yoshida Yasuo-san, beberapa di antara gadis-gadis
itu meminta izin padaku sebelum menyatakan
perasaannya padamu. Mereka ingin memastikan bahwa hubungan kita tidak lebih
dari sahabat.”
Sekejap mata Yasuo melebar karena
mendengar fakta yang baru ia ketahui itu. Lelaki itu melangkah lebar
meninggalkan Yumeko yang akhirnya kebingungan mengimbangi langkahnya. Entah
mengapa Yasuo merasa ingin segera keluar dari percakapan ini.
“Sebenarnya, gadis seperti apa yang kau
inginkan menjadi kekasihmu?”
Yasuo mendecak kesal karena mendengar
Yumeko masih membicarakan hal yang sama. “Bisakah kita menghentikan pembicaraan
ini dan segera pulang? Aku sudah hampir membeku sekarang.”
Setelah itu, tidak ada lagi yang
berbicara.
***
Ibu Yumeko berteman dengan ibu Yasuo sejak
masih mereka duduk di kelas sepuluh. Persahabatan itu berlangsung langgeng hingga sekarang. Setelah menikah
dengan pasangan masing-masing, mereka memutuskan tinggal berdekatan untuk tetap
saling menjaga persahabatan. Bahkan persahabatan itu kini berlanjut hingga anak
mereka.
Sejak kecil, Yumeko sudah mengenal Yasuo
yang lahir dua bulan lebih dulu. Setiap hari mereka bermain di halaman rumah,
menghadiri tradisi shichi-go-san[3] bersama,
dan tumbuh besar bersama-sama. Yumeko sangat menyukai Yasuo. Lelaki itu sudah
seperti kakak dan sahabat yang baik baginya. Yasuo selalu melindunginya dari
anak-anak yang nakal, membelikannya es krim, walau terkadang lelaki itu juga
mengusilinya hingga Yumeko menangis.
Tapi sudah sekitar satu tahun terakhir,
Yumeko menyadari bahwa ia sudah tidak lagi melihat Yasuo sebagai seorang kakak
ataupun sahabat. Ia melihat Yasuo sebagai seorang... lelaki. Lelaki yang
disukainya sepenuh hatinya.
Satu yang membuat Yumeko bingung adalah
Yasuo tidak pernah mengungkapkan perasaan apapun terhadap dirinya. Di satu
sisi, lelaki itu juga terus menerus menolak gadis-gadis yang menyatakan cinta
padanya. Hal itu membuat Yumeko tidak bisa membaca apa yang dipikirkan Yasuo
tentang dirinya. Bahkan saat ia menanyakan gadis seperti apa yang disukai
Yasuo, lelaki itu malah mengalihkan pembicaraan dengan kesal.
Jika terus seperti tu, maka Yumeko akan
terus terbelenggu dalam perasaan abu-abu. Ia tidak akan bisa menentukan antara
menyerah atau terus maju. Perasaan suka yang disimpannya sendiri terus menerus
berkembang hingga memenuhi laci-laci di dalam hati.
Mungkin Yumeko hanya bisa menunggu waktu
memberikan jawabannya.
***
Guru di depan kelas sudah mengakhiri
pelajaran. Begitu bel tanda istirahat sekolah sudah berbunyi, beberapa siswa
berhamburan keluar kelas seperti tahanan yang bebas dari penjara. Mereka semua
menikmati waktu istirahat untuk menyegarkan pikiran sebelum kembali menerima
pelajaran.
Yumeko dan beberapa temannya memilih untuk
tetap di dalam kelas. Mereka duduk mengelilingi beberapa meja yang digabungkan,
lalu menyantap bentō[4] masing-masing. Tidak jarang di antar
mereka saling bertukar lauk ataupun berbagi resep memasak yang mudah.
“Wah, Yumeko, jam tanganmu bagus,” puji
salah seorang temannya.
“Terima kasih,” ujar Yumeko sambil sedikit
mengangkat lengannya yang dibalut jam berwarna merah itu. Sebenarnya jam tangan
ini satu set dengan jam tangan milik Yasuo. “Aku memang menyukai modelnya.”
Teman-teman yang lain ikut tertarik dan memuji
jam tangan milik Yumeko.
“Sepertinya tadi aku melihat Yasuo
mengenakan jam tangan seperti ini. Hanya saja sedikit lebih besar...”
“Ah— ya memang benar.” Yumeko cepat-cepat bersuara
sebelum gadis-gadis ini berasumsi terlalu jauh. “Ibu Yasuo yang mengirimkan ini
dari luar negeri sebagai hadiah natal yang diberikan lebih awal.”
“Sebenarnya bagaimana hubungan yang
terjalin antara kalian? Apa benar hubungan kalian hanya sebatas teman masa
kecil?” Seorang teman yang duduk di samping Yumeko bertanya dengan sorot mata penasaran.
Yumeko menelan ludah sebelum menjawab.
“Tentu saja. Kami hanya seperti sahabat sejak kecil.”
“Benarkah?” tanya yang lain tidak percaya.
Yumeko menatap teman-temannya dengan
pandangan apa-aku-harus-mengatakannya-ribuan-kali-hingga-kalian-percaya.
“Orang tua kami bersahabat dekat. Maka, Yasuo sudah seperti seorang kakak
bagiku. Kurang lebih, seperti itulah hubunganku dengan Yasuo.”
“Oh, begitu.”
Perlahan Yumeko menghela napas lega yang
nyaris tidak terdengar. Syukurlah, mereka mempercayai kebohongan Yumeko. Tentu
saja perasaan Yumeko lebih dari itu.
Tiba-tiba para gadis terdiam dan melihat
dengan pandangan terpana ke arah balik punggung Yumeko. Sontak Yumeko menoleh
dan mendapati Yasuo sedang berjalan ke arahnya dengan senyuman di wajahnya.
Seragam lelaki itu tampak sedikit berantakan. Titik keringat menghiasi dahinya.
Lelaki itu pasti baru saja selesai bermain sepak bola di lapangan sekolah.
“Yumeko, dimana bentō milikku?” tanya
Yasuo sambil mengulurkan telapak tangannya yang terbuka.
Yumeko merogoh tasnya lalu memberikan
sebuah kotak yang dibungkus kain kepada Yasuo. Wangi keringat Yasuo yang
bercampur matahari, terasa seperti wangi parfum mahal di hidung Yumeko. Ingin
rasanya ia mendekap lelaki itu untuk memonopoli wangi itu untuk dirinya
sendiri.
“Jadi, Yumeko membuatkan bentō untuk Yoshida-san?” Seseorang bertanya untuk memenuhi
rasa penasarannya.
Yasuo yang mendengar pertanyaan itu sedikit menahan
tawanya seperti merasa geli. Tapi sedetik kemudian, ia tertawa terbahak-bahak
seolah itu adalah sesuatu yang lucu.
“Itu hal yang mustahil. Perlu kalian tahu, tangan Yumeko pahit[5] dalam
hal memasak,” jawab Yasuo di tengah tawanya. “Ibu Yumeko yang membuat bentō ini.”
Setelah mengolok-olok Yumeko seperti itu, Yasuo segera
berlari menjauh dari jangkauan tangan gadis itu. Tapi Yumeko tidak kehabisan
akal. Ia mengambil penghapus karet dari atas mejanya lalu melemparkannya ke
arah Yasuo yang sudah di ambang pintu kelas. Penghapus itu tepat mengenai
punggung Yasuo. Lelaki itu sempat meringis kesakitan lalu tertawa.
“Baka[6]!”
umpat Yumeko dengan kesal.
“Sebenarnya, kalian pasangan yang serasi,”
kata seorang teman Yumeko.
“Benar. Aku merasa iri dengan kedekatan
kalian berdua,” sahut yang lain.
Yumeko hanya tertawa hambar. Sebenarnya,
ia mengharapkan kedekatan yang lebih dari ini. Tapi mereka tidak akan mengerti
rasa tersiksa dalam perasaan abu-abu seperti ini.
“Apa kau tahu tipe gadis seperti apa yang
disukai Yoshida-san?”
“Sayang sekali aku tidak tahu.” Yumeko
menggelengkan kepala kecewa tidak bisa menjawab pertanyaan teman-temannya. Ia
sendiri juga ingin tahu tapi ia tidak menemukan jawabannya. “Kalian bukan yang
pertama menanyakan hal ini. Aku sudah bertanya langsung tapi dia tidak
menjawab.”
“Oh, begitu.”
“Mungkin saja, dia tidak menjawab karena
gadis yang disukainya adalah gadis sepertimu, Yumeko-chan.” Seorang teman Yumeko mengucapkan itu dengan nada bergurau.
“Itu tidak mungkin,” balas Yumeko sambil
tertawa palsu.
Mendadak kepala Yumeko terasa kosong.
Gadis itu perlahan menundukkan kepala berpura-pura menyantap kembali
makanannya. Ia membiarkan teman-temannya saling membicarakan tentang libur
musim dingin. Sementara lidahnya tidak bisa merasakan apa-apa. Masakan ibunya
yang biasanya terasa lezat kali ini terasa hambar.
Yumeko kembali memikirkan kemungkinan yang
tidak pernah terpikirkan itu. Kemungkinan bahwa Yasuo menyukai gadis seperti
dirinya. Dan pipi gadis itu seketika merona merah.
***
Yumeko menyesap tehnya pelan dan memandang
ke luar jendela. Salju mulai turun lagi malam ini. Ia hanya duduk di kursi
belajarnya, memandangi butiran salju yang melayang-layang di luar sana.
Sebuah sweter biru hasil rajutan
tangannya, terlipat rapi di pangkuannya. Sebuah huruf Y dirajut dengan warna
abu-abu di bagian dada kiri nya. Sweter itu tampak hangat, sehangat perasaan
suka yang ingin disampaikan Yumeko kepada lelaki yang akan diberinya sweter
ini.
Tentu saja lelaki itu adalah Yasuo.
Tapi bagaimana jika penolakan yang akan
Yumeko dapatkan nanti? Sementara ia sendiri belum bisa memastikan seperti apa
perasaan Yasuo kepadanya. Lelaki itu terus saja mengelak saat Yumeko mencoba
menggiringnya ke pembicaraan seputar itu.
Yumeko menghirup napas dalam-dalam.
Biarlah. Apapun jawaban Yasuo nanti, ia tidak perlu khawatir. Setidaknya,
perasaan dalam hatinya tidak lagi abu-abu. Jika ternyata berubah menjadi hitam,
ia akan mundur teratur dan berusaha kembali memandang Yasuo sebagai sahabatnya.
Tapi jika berubah menjadi putih, maka ia akan sangat beruntung karena cintanya
tidak bertepuk sebelah tangan.
Gadis itu bangkit dari duduknya menjauhi
jendela. Ia meletakkan cangkir tehnya di atas meja belajar lalu menyimpan sweter
itu ke dalam laci. Yumeko tidak sabar menunggu hari natal tiba tahun ini.
Tepat pada saat itulah seseorang mengetuk
pintu kamarnya.
Ibunya berjalan memasuki kamar. Mata
Yumeko tidak berkedip mengamati ibunya yang tampak gugup. Telepon rumah tanpa
kabel ada dalam genggaman tangan ibunya.
“Yumeko.” Bola mata ibunya tampak
bergerak-gerak tidak menentu. Tampaknya ia bingung harus memulai kata-katanya
dari mana. “Bagaimana kabar Yasuo-kun?”
Dahi Yumeko mengernyit. Matanya
memancarkan pandangan apa-maksud-pertanyaan-itu.
Gadis itu berusaha mengingat bagaimana keadaan Yasuo saat terakhir kali mereka
bertemu. “Dia baik-baik saja. Tetap ceria dan disukai banyak orang. Memang ada
apa, Okāsan?
Ibu Yumeko menggigit bibirnya karena
ragu-ragu. Ia bimbang antara bercerita atau tidak. Ini masalah orang tua yang
seharusnya tidak diketahui oleh anak seusia Yumeko. Tapi ia juga memikirkan
keadaan Yasuo yang sudah ia sayangi seperti anaknya sendiri.
Akhirnya, ibu Yumeko menceritakan masalah
yang menimpa keluarga Yoshida. Sahabatnya —yang sekaligus adalah ibu Yasuo itu
memilih untuk bercerai. Perceraian itu akan segera diurus begitu ia dan
suaminya sama-sama kembali ke Jepang. Yasuo sudah diberitahu melalui telepon
dan diminta untuk memutuskan siapa yang akan dipilihnya.
Memilih? Apa yang harus dipilih Yasuo? Kedua orang
tuanya sama pentingnya bagi Yasuo. Lelaki itu pasti membutuhkan kasih sayang
mereka berdua. Bukan keegoisan seperti ini. Air mata Yumeko mulai menitik
sementara jemari tangannya mulai saling meremas. Ibunya merengkuh anak gadisnya
ke dalam pelukan lalu ikut menangis.
“Aku harus menemui Yasuo sekarang,” gumam
Yumeko.
Ibu Yumeko mengernyitkan dahinya
menunjukkan perasaan tidak setuju. “Tapi di luar salju sedang turun dengan
derasnya.”
“Tidak masalah. Hati Yasuo pasti lebih
beku sekarang.” Yumeko berucap penuh penekanan. Ia tidak ingin ibunya
menghalangi niatnya.
Rumah keluarga Yoshida memang cukup dekat.
Hanya berjarak tiga rumah dari rumah Yumeko. Tapi di tengah hujan salju dan
angin yang kencang seperti ini, mungkin itu akan menjadi perjalanan yang
melelahkan.
Ibu Yumeko menghela napas berat. “Baiklah.
Tapi jangan lupa kenakan mantelmu.”
Yumeko mengangguk mantap. Ia menatap
ibunya dengan tatapan doakan-aku.
“Ittekimasu[8]!” seru
gadis itu setelah menyambar mantel hangat yang tergantung di balik pintu
kamarnya.
***
Dahulu. Mungkin saat berusia sepuluh
tahun. Yumeko pernah berlari di tengah hujan salju seperti ini.
Malam itu, Yasuo menghilang. Anak lelaki
itu kabur dari rumahnya karena mendengar kedua orang tuanya bertengkar. Kedua
orang tuanya dengan panik datang mencari Yasuo ke rumah Yumeko. Tapi Yasuo tidak
ada di sana. Begitu Yumeko mendengar kabar tersebut, tanpa pikir panjang gadis
itu berlari keluar rumah untuk mencari sahabatnya.
Yumeko kecil sama sekali tidak
menghiraukan teriakan khawatir orang tuanya. Langkah-langkah kecil tercetak di
atas jalan yang diselimuti salju. Dimana
Yasuo? Baru dua jam berlalu sejak mereka bermain bersama. Saat itu Yasuo
masih tertawa sambil melempari Yumeko dengan bola salju. Mereka membangun
boneka salju dari tumpukan salju di taman.
Langkah Yumeko terhenti. Akhirnya ia
menemukan Yasuo di taman tempat mereka biasa bermain. Lelaki kecil itu berteduh
di bawah rumah kecil yang terbuat dari semen.
Saat itu Yasuo tampak tidak peduli dengan
kedatangan Yumeko. Ia hanya menggigil sambil memeluk lututnya di depan dada. Tubuhnya
bergetar karena menangis sesegukan. Tatapan matanya kosong. Air mata masih
mengalir ke pipinya.
Yumeko menatap sahabatnya itu dengan
tatapan kosong. Seolah gadis itu bisa merasakan betapa kosongnya hati Yasuo
saat itu. Sahabatnya yang ceria dan disukai semua orang, tiba-tiba menjadi begitu
patah arang. Tidak ada yang bisa dilakukan Yumeko selain memeluk Yasuo. Ia ikut
menitikkan air mata kesedihan di bahu lelaki kecil itu.
Mereka berdua bertahan dalam posisi itu
hingga orang tua mereka datang menjemput beberapa menit kemudian. Tidak ada
penolakan. Tidak ada pemberontakan. Sepasang anak kecil itu pasrah saat ayah
mereka menggendong tubuh dingin mereka. Tidak ada yang menangis. Mungkin air
mata pun sudah membeku sebelum sempat menetes dari pelupuk mata.
Sejak saat itu, kedua orang tua Yasuo
tidak pernah lagi bertengkar. Mereka lebih memilih menyibukkan diri dengan
pekerjaan masing-masing di luar kota maupun luar negeri. Semua memang tampak
baik-baik saja. Kedua orang tua Yasuo tidak pernah lagi bertengkar karena
mereka tidak pernah bertemu.
Tapi hal itu tetap saja tidak memperbaiki
keadaan. Yasuo tetap saja menjadi korban keegoisan kedua orang tuanya. Lelaki
itu mengikuti saja bagaimana permainan yang dimainkan orang tuanya. Ia kembali
ceria dan menjalani semuanya sendiri. Maka dari itu, ibu Yumeko sering
mengundang Yasuo untuk makan di rumah mereka, juga membuatkan bekal untuk makan
siang di sekolah.
Di balik senyum ceria Yasuo selama ini,
Yumeko yakin lelaki itu menyimpan luka di sudut relung hatinya.
Dan setelah tujuh tahun berlalu. Hal yang
sama terjadi lagi. Yumeko tidak mungkin menemukan Yasuo di taman itu. Tubuh
lelaki itu sudah terlalu besar untuk bersembunyi di rumah-rumah kecil itu.
Jadi, yang paling memungkinkan adalah Yasuo sedang menyendiri di rumahnya.
Salju sudah menutupi sebagian papan
bertuliskan ‘Yoshida’ yang berada di
bagian depan rumah. Tapi Yumeko tidak akan salah rumah. Ia sangat hafal rumah
ini seperti mengingat rumahnya sendiri. Perlahan Yumeko mengetuk pintu di
hadapannya.
Tidak ada jawaban.
Yumeko mengetuk pintu sekali lagi.
Masih tidak ada jawaban.
Salju menetes dari rambut hitam Yumeko.
Tetesan itu mengalir ke balik baju dan menyentuh kulitnya. Yumeko sedikit
menggigil sambil kembali mengetuk pintu untuk ketiga kalinya dan tidak mendapat
jawaban. Akhirnya, Yumeko berusaha membuka pintu tanpa berharap bisa dibuka.
Ketika pintu itu terbuka, sejenak Yumeko
merasa ragu apakah tindakannya kali ini benar. Ini jauh berbeda dengan tujuh tahun yang lalu. Sekarang Yasuo bukan lagi anak kecil yang menangis di taman.
Lelaki itu pasti jauh lebih kuat sekarang.
Tapi setidaknya Yumeko ingin melihat
bagaimana keadaan Yasuo. jika ternyata baik-baik saja, maka Yumeko akan pergi
dan membiarkan lelaki itu sendiri. Mungkin ia perlu waktu untuk berpikir.
“Yasuo?” Dengan hati-hati Yumeko melangkah
masuk lalu melepas sepatunya di genkan.
Perlahan ia melangkahkan kaki sambil meraba dinding. Cahaya dalam rumah itu
sangat minim. Sepertinya Yasuo sengaja memadamkan lampu dan membiarkan hatinya
terbenam dalam kegelapan.
Hanya cahaya rembulan yang samar-samar
membantu penglihatan Yumeko. Dan juga sedikit cahaya yang bergerak-gerak dari
arah ruang santai rumah ini. Di ruangan itu ada perapian. Pasti Yasuo ada di
sana.
Yumeko berjalan menghampiri dan mendapati
dirinya tiba di ruang santai itu. Cahaya dari luar masuk melalui jendela kamar.
Kayu bakar berkobar di perapian besar. Sebuah sofa besar menarik perhatiannya
karena di sana, dengan kaki bertengger pada lengan sofa, terbaring sahabatnya.
“Yasuo?” Yumeko berjalan mendekat sambil
menyebut nama Yasuo. Ia tidak ingin lelaki itu terkejut lalu berteriak seperti
melihat hantu.
Yasuo bangkit dan duduk di sofanya lalu
menyambut kedatangan Yumeko.
“Oh— hei Yumeko. Ada apa?” tanya Yasuo sambil melengkungkan
bibirnya. Sebuah senyuman palsu. Mata
lelaki itu menatap kosong tanpa senyuman.
Yumeko berjalan mendekat ke arah Yasuo.
Pipinya kemerahan karena hawa dingin di luar sana. Butiran-butiran salju
berkilau menempel di rambut dan baju gadis itu. Sorot matanya tampak dingin. Yasuo
tidak mengerti itu sorot mata khawatir atau marah.
“Apa yang kau lakukan?” Alih-alih menjawab
pertanyaan Yasuo, Yumeko malah balik bertanya sambil duduk di samping Yasuo.
“Tidak ada. Aku hanya menghangatkan diri dan berniat
untuk tidur.”
Sudut mata Yumeko menatap beberapa kaleng
minuman beralkohol yang ada di atas meja. Belum ada satu pun kaleng yang
terbuka. Ia mendesah napas lega. Berarti ada kemungkinan Yasuo belum meminum
setetes pun dari kaleng-kaleng ini.
“Lalu, minuman ini?” tanya Yumeko sambil
menunjuk ke arah kaleng-kaleng itu.
Mata Yasuo mengikuti arah telunjuk Yumeko
lantas tertawa. Tapi tawa itu terdengar getir di telinga Yumeko. “Minuman itu
katanya tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi setidaknya akan membantu melupakan masalah untuk sejenak.”
Mata Yumeko terbelalak marah mendengar
penjelasan Yasuo. “Apa yang kau pikirkan? Kau bahkan belum berusia dua puluh
tahun.”
Tanpa disadari Yumeko. Ia sudah mengatakan
kalimat itu dengan nada yang lebih tinggi. Yasuo yang mendengar itu, malah
terdiam dan enggan menatap ke arah Yumeko. Apa gadis ini hanya datang untuk
menasehatinya dengan kata-kata seperti itu?
“Lalu, apa menurutmu, kesedihan pernah
memandang usia?” Yasuo membalas dengan nada yang sama tingginya. “Apa hanya
orang dewasa yang akan memiliki masalah dan merasakan kesedihan?”
Sontak Yumeko membeku di tempat ia duduk.
Sama sekali ia tidak bermaksud begitu. Ia hanya tidak ingin sahabat baiknya,
lelaki yang dicintainya melarikan diri kepada suatu hal tidak menyelesaikan
masalah sama sekali.
“Kalau kau datang hanya untuk mengoceh,
lebih baik kau tinggalkan aku sekarang!” Yasuo berkata sambil memandang tajam
ke arah Yumeko dengan tatapan kau-tidak-mengerti-perasaanku.
“Kau pasti tahu dimana pintu keluarnya.”
Jantung Yumeko seperti ditarik paksa ke
arah kakinya saat mendengar nada kesakitan dari Yasuo. Tentu saja ia mengerti
bagaimana perasaan lelaki itu sekarang. Sama seperti tujuh tahun yang lalu. Ia
tidak mungkin meninggalkan Yasuo sendirian dalam keadaan kacau seperti ini.
Takut-takut Yumeko mengulurkan tangannya
untuk menyentuh bahu Yasuo yang bergetar. Tidak ada penolakan. Yumeko
memberanikan diri untuk mendekat dan memeluk tubuh Yasuo dari samping. Ia
membenamkan wajahnya di bahu lelaki itu.
“Ibu meneleponku mengabarkan perceraiannya
dengan ayah. Mereka sudah sepakat dan memintaku untuk memilih.” Yasuo tiba-tiba mulai
berkata-kata dengan suara yang tertahan. “Saat aku menyatakan tidak setuju, ibu
bilang aku egois.”
Yumeko menutup rapat mulutnya. Ia yakin saat
ini Yasuo hanya butuh didengarkan tanpa mengharapkan jawaban yang tidak
penting. Tanpa diminta, gadis itu mengetatkan pelukannya, mencoba melelehkan
rasa kecewa yang membekukan hati Yasuo.
“Sebenarnya, siapa yang egois?” Yasuo
menggigit bibirnya, lantas tertawa pahit sambil berkata, “Dasar orang tua
durhaka.”
Setelah itu, tidak ada lagi bersuara.
Suasana begitu sunyi. Hanya terdengar angin yang mengetuk jendela juga bunyi
kayu yang terbakar.
Setelah saling terdiam cukup lama, Yasuo
tiba-tiba menggeliat ingin lepas dari pelukan Yumeko. Tanpa bertanya apa-apa, gadis itu melepaskan pelukannya. Ia
menatap heran ke arah Yasuo yang kini duduk mengahadap ke arahnya.
“Aku kira, aku bisa melewati semua ini
sendiri,” ujar Yasuo sambil mengusap lembut pipi Yumeko yang basah karena air
mata. “Ternyata aku salah. Maafkan aku sudah berkata kasar padamu.”
Yumeko menganggukkan kepalanya. Pipinya
memerah karena ditatap secara intens seperti itu. Beruntung, cahaya api kemerahan
menyembunyikannya dari Yasuo.
Tangan Yasuo tidak berpindah dari pipi
Yumeko, membuat jantung gadis itu berdetak kencang seolah akan melompat keluar.
Ia membiarkan jemarinya saling meremas dengan gugup. Mata mereka saling
bertatapan sehingga Yumeko bisa melihat bayangannya terpantul di manik hitam
mata Yasuo.
Ibu jari Yasuo mengusap lembut bibir
Yumeko. Perlahan lelaki itu mendekatkan wajahnya. Yumeko merasakan suara
debaran jantungnya menggema di ruangan. Pipinya semakin merah seolah jantungnya
memacu semua darah dalam tubuhnya ke kepala.
Sedetik kemudian, Yasuo sudah menempelkan
bibirnya ke bibir Yumeko. Kepala Yumeko terasa kosong. Tapi samar-samar ia
seperti merasakan bibir Yasuo mengucapkan kata suka.
***
Lagu-lagu natal bergema di setiap toko
yang dilalui Yumeko dan Yasuo dalam perjalanan pulang dari sekolah. Segala
pernak-pernik natal dipajang cantik di etalase toko. Mereka berdua bersenda
gurau saling menirukan suara Santa Klaus.
Setelah kejadian malam itu, tidak satupun
dari mereka menyinggung masalah tersebut. Tidak ada yang berubah dalam
huubungan Yasuo dan Yumeko. Mereka tetap bermain bersama, berangkat sekolah
bersama, seolah tidak pernah ada kejadian di malam bersalju itu.
Padahal Yumeko merasa sangat ingin
menanyakan kenapa Yasuo menciumnya malam itu. Dan apa benar lelaki itu
mengucapkan kata suka kepada dirinya. Apa semua itu dilakukan lelaki itu hanya
karena terbawa suasana?
“Yumeko,” panggil Yasuo hingga Yumeko
menoleh kepadanya.
“Ng?”
“Apa kau sudah ada janji kencan di malam
natal?”
Yumeko berdecak kesal lalu ia melayangkan
tatapan apa-kau-mengejekku. “Apa
maksudmu, Tuan populer? Tentu saja aku tidak ada janji dengan siapapun. Berbeda
halnya dengan lelaki berwajah laku[9]
sepertimu.”
Yasuo terkekeh geli mendengar nada kesal
Yumeko. “Hei, hei. Aku hanya ingin memastikan apakah kita akan melewati natal
seperti sebelumnya atau aku harus merelakanmu berkencan dengan orang lain.”
Yumeko hanya diam dan mengerucutkan
bibirnya dengan kesal. Perayaan natal yang mereka lalui selalu sama setiap
tahunnya. Mereka berkumpul bersama keluarga di rumah Yumeko. Ibunya akan
memasak makanan–makanan lezat juga kue-kue manis yang cantik. Sementara para orang tua berpesta sampai mabuk
di halaman belakang, Yumeko dan Yasuo akan bermain kartu bersama saudara yang
lain.
“Kenapa kau cemberut?” tanya Yasuo sambil
mengerutkan keningnya. “Padahal aku baru saja mau mengajakmu pergi kencan.”
Yumeko menoleh. “Kencan? Merayakan natal
di rumahku seperti tahun-tahun sebelumnya, ku rasa tidak termasuk dalam
kencan.”
“Tentu saja bukan,” balas Yasuo cepat.
“Aku ingin mengajakmu pergi berdua di malam natal nanti untuk melihat pohon
natal besar yang sedang dibicarakan orang-orang.”
Berdua? “Apa maksudmu hanya kita berdua? Kau dan
aku?”
“Ya, Yumeko. Kau dan aku,” jawab Yasuo
cepat dan lugas.
***
Semua rencana Yumeko berubah total.
Tidak ada satupun kemungkinan kencan yang
dicatat Yumeko dalam rencanannya. Gadis itu memang berencana akan memberikan
sweter rajutan tangannya kepada Yasuo di malam natal. Tapi ia merencanakan itu
akan terlaksana di halaman depan rumahnya. Saat semua orang sedang sibuk
bermain dan mabuk.
Gadis itu juga akan menyatakan
perasaannya. Maka ia harus memerlukan suasana yang sepi agar tidak perlu
menanggung malu kepada orang lain jika Yasuo menolaknya. Tapi tidak ada yang
menyangka bahwa Yasuo akan mengajaknya kencan sehingga ia harus mengatur ulang
rencananya.
Suasana kota di malam natal benar-benar
meriah. Lampu berkelap-kelip dengan riang. Pohon natal dengan bintang keemasan
di puncaknya. Tapi Yumeko tidak terlalu tertarik dengan suasana itu. Sosok Yasuo
yang berjalan di sampingnya jauh lebih menarik perhatiaannya.
Diam-diam Yumeko melirik ke arah Yasuo. Ia
memperhatikan garis tegas wajah lelaki itu. Begitu mengundang untuk disentuh. Yumeko
menghela napas melalui mulutnya. Ia harus sabar menunggu setidaknya sampai
mereka saling bertukar hadiah nanti. Hadiah yang penuh perasaan.
“Apa kau tidak khawatir jika kita bertemu
teman sekelas dan mereka akan berpikir bahwa kita berpacaran?” Yumeko menepuk
bahu Yasuo berusaha meyakinkan lelaki itu bahwa kencan ini tidak akan membuat
ia menyesal. “Dan gosip akan menyebar di sekolah secepat angin musim dingin berembus.”
Sekejap Yumeko melihat kilat amarah di
mata Yasuo tapi tiba-tiba lelaki itu terkekeh riang. “Siapa yang peduli?”
Jika Yasuo tidak peduli, maka Yumeko juga
tidak akan peduli.
Mereka berdua menghabiskan malam itu
dengan bersenang-senang. Mereka membeli ramen,
berfoto di depan pohon natal yang besar, berfoto dengan Santa Klaus, juga
berdansa di jalan dengan alunan musik natal sebagai pengiringnya. Tawa bahagia
tidak henti-hentinya menghiasi wajah mereka berdua. Sejenak Yumeko bisa
melupakan rasa gugupnya akan rencananya malam ini.
“Terima kasih. Hari ini benar-benar
menyenangkan,” ucap Yumeko saat mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang.
“Ya. Syukurlah kau menyukainya. Kau ingin
cokelat?”
“Apa?” Yumeko tidak terlalu mendengarkan
perkataan Yasuo. Sejak beberapa detik lalu ia sudah kembali sibuk memikirkan
perngakuan cintanya sambil melirik sweter yang terbungkus kertas kado dlam tas
yang digenggamnya.
“Ini cokelat yang tadi ku beli di depan
toko pernak-pernik natal. Kau mau?” tanya Yasuo sambil membuka bungkus
cokelatnya yang kedua.
“Tidak. Terima kasih.” Jawab Yumeko datar.
Ini bukan saat yang tepat untuk makan cokelat atau apapun itu ke dalam
perutnya. Ia harus segera menemukan tempat yang tepat untuk menyatakan
perasaannya agar semua ini selesai malam ini.
Mata Yumeko melihat sebuah taman yang
tampak sepi dan rindang. Lampu-lampu taman setinggi pohon menyinari ayunan yang
berdiri kokoh di sana. Dudukan ayunan itu sedikit bergerak-gerak karena ditiup
angin. Sepertinya itu tempat yang cocok. Ia harus mengajak Yasuo ke taman itu.
“Sebelum kita pulang, maukah kau bermain
ayunan sebentar di taman itu?”
Yumeko berani bersumpah itu bukan suaranya
maupun suara hatinya. Ia sangat yakin itu suara Yasuo. Lelaki itu tengah
mengarahkan telunjuknya ke ayunan taman itu.
Kepala Yumeko mengangguk setuju tentu
saja. Dan Yasuo lantas menggenggam tangan Yumeko. Sontak wajah gadis itu
memerah atas tindakan impulsif itu. Tangan Yasuo berbeda dengan tangan kecil
yang selama ini digenggamnya. Sekarang tangan itu begitu besar dan hangat.
Yumeko tidak menyangka jika seorang lelaki akan tumbuh begitu cepat.
Taman itu hanya sebuah taman kecil di
sudut jalan, dengan pepohonan tanpa daun yang berderet rapi. Yumeko menengadah
menatap langit. Cahaya rembulan tampak mengintip dari balik awan tipis di
langit. Embusan angin yang menerpa wajahnya sedikit menambah kesan damai di
taman itu. Butir-butir salju hinggap di rambut mereka berdua.
“Aku hanya tidak sabar untuk melihat
hadiahku,” kata Yasuo sambil melirik tas dalam genggaman Yumeko. “Maka aku akan
memberikanmu hadiah ini terlebih dahulu.”
Yumeko melepas sarung tangannya sebelum menerima
sebuah kotak yang disodorkan Yasuo. Kotak itu terasa hangat. Mungkin karena
Yasuo terus menyimpannya dalam saku mantelnya sejak tadi. Dengan cepat ia
mengelupaskan cellotape yang merekat
di kertas kado itu.
Saat kotak itu terbuka, Yumeko terkesiap.
“Oh— ini
cantik sekali.” Isinya kalung dengan liontin lingkaran berwarna biru yang
bertuliskan kanji yume[10]
dari nama Yumeko. Jantung Yumeko sedikit tersentak saat membayangkan bagaimana
rasanya jika Yasuo memberi hadiah ini karena lelaki itu mencintainya.
Buru-buru Yumeko mengenyahkan pikiran
itu. Ia baru saja akan mengambil kalung
itu dari kotak ketika Yasuo melakukan hal itu untuknya.
“Biar aku yang memakaikannya,”ujar Yasuo
lantas berdiri di belakang Yumeko. Tanpa pikir panjang, Yumeko menarik
rambutnya ke depan sehingga tengkuknya terlihat jelas. Itu akan mempermudah
Yasuo saat memakaikan kalung itu di lehernya.
Terjadi keheningan yang membuat Yumeko
menahan napasnya karena gugup. Ia merasakan tangan Yasuo dingin saat menyentuh
kulitnya. Sentuhan itu hanya sekilas tapi mampu membuat pipi Yumeko terasa
panas. Ia bersyukur Yasuo tidak bisa melihat wajahnya yang tersipu saat ini.
Dan Yumeko yakin ia tidak akan bisa terus menerus berpura-pura bahwa hubungan
mereka tidak berubah. Setidaknya, perasaan Yumeko sendiri yang berubah.
“Terima kasih,” kata Yumeko sambil
menyentuh liontin kalung itu. “Sekarang giliranmu menerima hadiah.”
Yumeko menyerahkan hadiahnya kepada Yasuo
yang sudah kembali duduk di ayunan. Dengan penuh antusias lelaki itu membuka
kertas kadonya. Sementara Yumeko terus berharap dalam hati semoga Yasuo
menyukai hadiahnya.
Secara mendadak, tangan Yasuo berhenti
bergerak untuk merobek kertas kado itu. Kepalanya menoleh ke arah Yumeko yang
tampak kebingungan.
“Yumeko, sebenarnya ada yang ingin aku
tanyakan,” kata Yasuo sambil meletakkan kado setengah terbuka itu di atas
pangkuannya. “Aku pernah mendengar kau berkata bahwa aku sudah seperti kakak
bagimu. Apa itu benar?”
Yumeko menahan napas karena melihat wajah
Yasuo yang begitu serius saat menanyakan hal tersebut. Ia tersenyum sebelum
menjawab, “Aku akan menjawab setelah kau membuka hadiahmu.”
Yasuo terkekeh pelan lalu melanjutkan
perjalanan menuju hadiahnya. Mata Yasuo terbelalak saat mendapati sebuah sweter
biru sebagai hadiahnya. Cepat-cepat ia mengenakan sweter itu tanpa melepas
mantelnya, membuat Yumeko tidak bisa menahan tawanya.
“Terima kasih, Yumeko.” Yasuo memeluk
singkat tubuh Yumeko. “Apa kau merajutnya sendiri?”
“Ya.” Yumeko menganggukkan kepalanya.
“Syukurlah kau menyukainya.”
“Jadi,” kata Yasuo berusaha melupakan rasa
takjubnya sejenak. “Apa jawabanmu?”
“Itu benar. Selama ini aku selalu
menganggapmu sebagai seorang sahabat dan kakak yang baik,” jawab Yumeko sambil
memperhatikan tumpukan salju di tanah. “Tapi sekitar satu tahun yang lalu aku
baru menyadari bahwa... aku menyukaimu, Yasuo.”
“Apa kau bilang?” tanya Yasuo seakan tidak
percaya pada pedengarannya sendiri.
Tapi Yumeko tidak bermaksud mengulang
perkataannya lagi. Gadis itu masih terus menundukkan kepala menyembunyikan rasa
malunya. “Dan aku merasa bingung kenapa kau menciumku malam itu.”
“Yumeko, apa kau pikir aku akan menciummu
malam itu jika aku hanya menganggapmu sebagai sahabat? Seorang sahabat tidak
akan melakukan hal seperti itu.”
Dahi Yumeko mengernyit. Kepalanya
menengadah pada Yasuo. “Apa kau bilang?”
Yasuo membalas Yumeko dengan tidak
menjawab pertanyaan sama yang diajukan gadis itu. “Jadi, apa benar kau juga
menyukaiku lebih dari seorang sahabat?”
Yumeko kembali menundukkan kepala lalu
berbisik dengan suara perlahan yang ia yakin bisa didengar Yasuo yang duduk di
sebelahnya, “Ya. Aku menyukaimu, Yasuo.”
“Apa?” Yasuo mendekatkan telinganya ke
arah Yumeko. “Aku tidak bisa mendengarnya.”
“Suka. Aku menyukaimu,” kata Yumeko dengan
suara yang lebih keras.
“Angin berembus cukup kencang malam ini
Yumeko. Aku tidak bisa mendengarmu.”
Yumeko mengangkat wajahnya dan menatap
Yasuo dengan kesal. Ia merasa lelaki ini mempermainkannya. Jika itu yang
diinginkan lelaki ini, maka ia akan melakukannya. Yumeko lebih mendekatkan
bibirnya ke telinga Yasuo lalu berteriak lantang, “Daisuki[11], daisuki, suki[12],
suki, suki, suki, suki...”
Tiba-tiba
teriakan Yumeko terhenti begitu saja. Mata gadis itu terbelalak saat merasakan
bibir Yasuo membungkam hangat bibirnya. Waktu terasa bergerak lambat. Sedetik
kemudian lelaki itu membebaskan bibirnya lalu tersenyum.
Jemari Yumeko menyentuh bibirnya sendiri
yang masih terasa hangat. “Kenapa kau... menciumku?”
“Karena kau yang memintanya,” jawab Yasuo
singkat.
Apa? Dahi Yumeko mengernyit. Ia menggelengkan
kepala karena tidak merasa melakukan apa yang dituduhkan Yasuo padanya.”Aku
tidak pernah meminta hal seperti itu.”
Yasuo menatap Yumeko dengan tatapan apa-kau-lupa. “Bukankah tadi kau yang
mengatakannya berkali-kali? Kisu[13], kisu, kisu, kisu seperti itu.”
Mulut Yumeko ternganga karena ia tidak
mengira bahwa Yasuo masih sempat mengusilinya dalam suasana seperti ini. Yasuo
tertawa bahagia sekalipun Yumeko memukuli lengannya berkali-kali dengan kesal.
Dalam hati masing-masing mereka saling berjanji bahwa mereka akan selalu
bersama apapun yang terjadi.
Sekali lagi, Yasuo mencium Yumeko di bawah
langit musim dingin yang menurunkan butiran salju yang berkilau.
TAMAT
* yuki-zora: langit bersalju
Senpai~~
BalasHapusYaranaika? :v
Heiiii--- otakmu sudah terkontaminasi hal-hal seperti itu.. hahaha
Hapuscerita yg romantis dengan setting yang manis. alur cerita membuat pembaca penasaran, terutama mengenai tokoh Yasuo. andai Yasuo.seperti doraemon, bisa masuk ke dalam laci hati Yumeko, pasti Yasuo sejak kecil bisa melihat masa depan, bahwa Yumeko lah belahan hatinya :)
BalasHapusTerima kasih, Pipin atas apresiasinya.. *peluk erat
HapusTapi kita nggak pernah tau apa yang menunggu kita di ujung jalan berbatu yang panjang dan tiada batas.. :v
Ditunggu apresiasinya di cerita-cerita yang lain dalam stoples ini :D
EAT. READ. REPEAT.