Senin, 12 Januari 2015

Yuki-zora



Di dalam cerpen ini, terdapat beberapa kata yang menggunakan bahasa Jepang,
kalau ada yang salah tolong dikasih tau yang benar ya.
Selamat membaca :)



Musim dingin sudah tiba. Angin mulai bertiup kencang hari ini. Seorang gadis berdiri di depan gerbang sekolah. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku mantel yang melapisi seragamnya. Embusan angin menerpa wajahnya, membuat ia menaikkan sedikit syal yang melilit di lehernya untuk menutupi hidungnya. Hawa dingin seperti ini membuat gadis itu membayangkan secangkir teh hangat dan semangkuk ramen di rumah. Betapa menyenangkannya meringkuk dalam selimut tebalnya di kamar...

“Maaf membuatmu menunggu lama, Yumeko.”

Sebuah suara membuyarkan lamunan Yumeko akan kehangatan selimutnya. Ia harus sedikit mengangkat kepalanya untuk menatap wajah lelaki bernama Yasuo yang berdiri di sampingnya sekarang. Mereka mengenakan syal yang sama ibu Yumeko yang merajutnya untuk mereka berdua, tapi entah mengapa syal itu tampak lebih baik melingkar di leher lelaki ini daripada di leher gadis seperti Yumeko.

“Tidak masalah.” Yumeko terkekeh. “Ada lagi?”

Tanpa perlu saling menjelaskan panjang lebar, mereka berdua sama-sama mengerti apa maksud ada lagi yang diucapkan Yumeko. Tidak ada jawaban selain pernyataan cinta. Setidaknya dalam seminggu akan ada dua gadis yang menyatakan cintanya pada Yasuo. Entah itu teman sekelas, kohai[1], bahkan senpai[2].

“Ya,” jawab Yasuo sambil menggerakkan bahunya dengan malas.

Tanpa ada komando, mereka berdua melangkahkan kaki seirama menjauhi gerbang sekolah.

“Lalu, apa jawabanmu?” tanya Yumeko ingin tahu.

Yasuo menatap gadis yang berjalan di sisinya dengan tatapan apa-kau-yakin-menanyakan-hal-itu-padaku. “Tentu saja aku menolaknya.”

Tentu saja. Yumeko memutar bola matanya dengan kesal. Lagi-lagi penolakan. “Sebenarnya apa yang salah denganmu? Aku lihat, mereka gadis-gadis baik dan cantik.”

Yasuo mengembuskan napasnya yang berwarna putih. “Entahlah aku hanya tidak ingin terjebak dalam hubungan karena terpaksa.”

“Apa tidak ada satu pun di antara gadis-gadis itu yang menarik perhatianmu?”

“Tidak ada,” ujar Yasuo sambil menggelengkan kepalanya. “Bagaimana denganmu, Yumeko? Aku lihat, kau juga tidak dekat dengan lelaki mana pun.”

Secara tiba-tiba Yumeko menghentikan langkahnya. Yasuo yang sedikit terkejut ikut berhenti dua langkah di depan Yumeko. Lelaki itu menoleh dan mendapati dirinya sedang ditatap dengan tatapan kau-kira-ini-gara-gara-siapa.

“Tidak ada lelaki yang mendekatiku karena kau selalu menempel di dekatku seperti lumut pada batu.”

Yasuo terkekeh. “Lalu kenapa? Aku tidak keberatan. Bukankah kita selalu bersama sejak masih kecil?”

“Tentu saja kau tidak keberatan.” Yumeko mendesah kesal. Gumpalan karbondioksida putih membumbung di udara.  “Gadis-gadis itu tetap akan mengerubungimu seperti semut melihat gula.”

Yasuo kembali terkekeh mendengar Yumeko menggunakan peribahasa dalam kalimatnya.

“Dan yang kau tidak tahu, Yoshida Yasuo-san, beberapa di antara gadis-gadis itu  meminta izin padaku sebelum menyatakan perasaannya padamu. Mereka ingin memastikan bahwa hubungan kita tidak lebih dari sahabat.”

Sekejap mata Yasuo melebar karena mendengar fakta yang baru ia ketahui itu. Lelaki itu melangkah lebar meninggalkan Yumeko yang akhirnya kebingungan mengimbangi langkahnya. Entah mengapa Yasuo merasa ingin segera keluar dari percakapan ini.

“Sebenarnya, gadis seperti apa yang kau inginkan menjadi kekasihmu?”

Yasuo mendecak kesal karena mendengar Yumeko masih membicarakan hal yang sama. “Bisakah kita menghentikan pembicaraan ini dan segera pulang? Aku sudah hampir membeku sekarang.”

Setelah itu, tidak ada lagi yang berbicara.

***

Ibu Yumeko berteman dengan ibu Yasuo sejak masih mereka duduk di kelas sepuluh. Persahabatan itu  berlangsung langgeng hingga sekarang. Setelah menikah dengan pasangan masing-masing, mereka memutuskan tinggal berdekatan untuk tetap saling menjaga persahabatan. Bahkan persahabatan itu kini berlanjut hingga anak mereka.

Sejak kecil, Yumeko sudah mengenal Yasuo yang lahir dua bulan lebih dulu. Setiap hari mereka bermain di halaman rumah, menghadiri tradisi shichi-go-san[3] bersama, dan tumbuh besar bersama-sama. Yumeko sangat menyukai Yasuo. Lelaki itu sudah seperti kakak dan sahabat yang baik baginya. Yasuo selalu melindunginya dari anak-anak yang nakal, membelikannya es krim, walau terkadang lelaki itu juga mengusilinya hingga Yumeko menangis.
  
Tapi sudah sekitar satu tahun terakhir, Yumeko menyadari bahwa ia sudah tidak lagi melihat Yasuo sebagai seorang kakak ataupun sahabat. Ia melihat Yasuo sebagai seorang... lelaki. Lelaki yang disukainya sepenuh hatinya.

Satu yang membuat Yumeko bingung adalah Yasuo tidak pernah mengungkapkan perasaan apapun terhadap dirinya. Di satu sisi, lelaki itu juga terus menerus menolak gadis-gadis yang menyatakan cinta padanya. Hal itu membuat Yumeko tidak bisa membaca apa yang dipikirkan Yasuo tentang dirinya. Bahkan saat ia menanyakan gadis seperti apa yang disukai Yasuo, lelaki itu malah mengalihkan pembicaraan dengan kesal.

Jika terus seperti tu, maka Yumeko akan terus terbelenggu dalam perasaan abu-abu. Ia tidak akan bisa menentukan antara menyerah atau terus maju. Perasaan suka yang disimpannya sendiri terus menerus berkembang hingga memenuhi laci-laci di dalam hati.

Mungkin Yumeko hanya bisa menunggu waktu memberikan jawabannya.

***

Guru di depan kelas sudah mengakhiri pelajaran. Begitu bel tanda istirahat sekolah sudah berbunyi, beberapa siswa berhamburan keluar kelas seperti tahanan yang bebas dari penjara. Mereka semua menikmati waktu istirahat untuk menyegarkan pikiran sebelum kembali menerima pelajaran.

Yumeko dan beberapa temannya memilih untuk tetap di dalam kelas. Mereka duduk mengelilingi beberapa meja yang digabungkan, lalu menyantap bentō[4] masing-masing. Tidak jarang di antar mereka saling bertukar lauk ataupun berbagi resep memasak yang mudah.

“Wah, Yumeko, jam tanganmu bagus,” puji salah seorang temannya.

“Terima kasih,” ujar Yumeko sambil sedikit mengangkat lengannya yang dibalut jam berwarna merah itu. Sebenarnya jam tangan ini satu set dengan jam tangan milik Yasuo. “Aku memang menyukai modelnya.”

 Teman-teman yang lain ikut tertarik dan memuji jam tangan milik Yumeko.

“Sepertinya tadi aku melihat Yasuo mengenakan jam tangan seperti ini. Hanya saja sedikit lebih besar...”

“Ah ya memang benar.” Yumeko cepat-cepat bersuara sebelum gadis-gadis ini berasumsi terlalu jauh. “Ibu Yasuo yang mengirimkan ini dari luar negeri sebagai hadiah natal yang diberikan lebih awal.”

“Sebenarnya bagaimana hubungan yang terjalin antara kalian? Apa benar hubungan kalian hanya sebatas teman masa kecil?” Seorang teman yang duduk di samping Yumeko bertanya dengan sorot mata penasaran.

Yumeko menelan ludah sebelum menjawab. “Tentu saja. Kami hanya seperti sahabat sejak kecil.”

“Benarkah?” tanya yang lain tidak percaya.

Yumeko menatap teman-temannya dengan pandangan apa-aku-harus-mengatakannya-ribuan-kali-hingga-kalian-percaya. “Orang tua kami bersahabat dekat. Maka, Yasuo sudah seperti seorang kakak bagiku. Kurang lebih, seperti itulah hubunganku dengan Yasuo.”

“Oh, begitu.”

Perlahan Yumeko menghela napas lega yang nyaris tidak terdengar. Syukurlah, mereka mempercayai kebohongan Yumeko. Tentu saja perasaan Yumeko lebih dari itu.

Tiba-tiba para gadis terdiam dan melihat dengan pandangan terpana ke arah balik punggung Yumeko. Sontak Yumeko menoleh dan mendapati Yasuo sedang berjalan ke arahnya dengan senyuman di wajahnya. Seragam lelaki itu tampak sedikit berantakan. Titik keringat menghiasi dahinya. Lelaki itu pasti baru saja selesai bermain sepak bola di lapangan sekolah.

“Yumeko, dimana bentō milikku?” tanya Yasuo sambil mengulurkan telapak tangannya yang terbuka.

Yumeko merogoh tasnya lalu memberikan sebuah kotak yang dibungkus kain kepada Yasuo. Wangi keringat Yasuo yang bercampur matahari, terasa seperti wangi parfum mahal di hidung Yumeko. Ingin rasanya ia mendekap lelaki itu untuk memonopoli wangi itu untuk dirinya sendiri.

“Jadi, Yumeko membuatkan bentō untuk Yoshida-san?” Seseorang bertanya untuk memenuhi rasa penasarannya.

Yasuo yang mendengar pertanyaan itu sedikit menahan tawanya seperti merasa geli. Tapi sedetik kemudian, ia tertawa terbahak-bahak seolah itu adalah sesuatu yang lucu.

“Itu hal yang mustahil. Perlu kalian tahu, tangan Yumeko pahit[5] dalam hal memasak,” jawab Yasuo di tengah tawanya. “Ibu Yumeko yang membuat bentō ini.”

Setelah mengolok-olok Yumeko seperti itu, Yasuo segera berlari menjauh dari jangkauan tangan gadis itu. Tapi Yumeko tidak kehabisan akal. Ia mengambil penghapus karet dari atas mejanya lalu melemparkannya ke arah Yasuo yang sudah di ambang pintu kelas. Penghapus itu tepat mengenai punggung Yasuo. Lelaki itu sempat meringis kesakitan lalu tertawa.

Baka[6]!” umpat Yumeko dengan kesal.

“Sebenarnya, kalian pasangan yang serasi,” kata seorang teman Yumeko.

“Benar. Aku merasa iri dengan kedekatan kalian berdua,” sahut yang lain.

Yumeko hanya tertawa hambar. Sebenarnya, ia mengharapkan kedekatan yang lebih dari ini. Tapi mereka tidak akan mengerti rasa tersiksa dalam perasaan abu-abu seperti ini.

“Apa kau tahu tipe gadis seperti apa yang disukai Yoshida-san?”

“Sayang sekali aku tidak tahu.” Yumeko menggelengkan kepala kecewa tidak bisa menjawab pertanyaan teman-temannya. Ia sendiri juga ingin tahu tapi ia tidak menemukan jawabannya. “Kalian bukan yang pertama menanyakan hal ini. Aku sudah bertanya langsung tapi dia tidak menjawab.”

“Oh, begitu.”

“Mungkin saja, dia tidak menjawab karena gadis yang disukainya adalah gadis sepertimu, Yumeko-chan.” Seorang teman Yumeko mengucapkan itu dengan nada bergurau.

“Itu tidak mungkin,” balas Yumeko sambil tertawa palsu.

Mendadak kepala Yumeko terasa kosong. Gadis itu perlahan menundukkan kepala berpura-pura menyantap kembali makanannya. Ia membiarkan teman-temannya saling membicarakan tentang libur musim dingin. Sementara lidahnya tidak bisa merasakan apa-apa. Masakan ibunya yang biasanya terasa lezat kali ini terasa hambar.

Yumeko kembali memikirkan kemungkinan yang tidak pernah terpikirkan itu. Kemungkinan bahwa Yasuo menyukai gadis seperti dirinya. Dan pipi gadis itu seketika merona merah.

***

Yumeko menyesap tehnya pelan dan memandang ke luar jendela. Salju mulai turun lagi malam ini. Ia hanya duduk di kursi belajarnya, memandangi butiran salju yang melayang-layang di luar sana.

Sebuah sweter biru hasil rajutan tangannya, terlipat rapi di pangkuannya. Sebuah huruf Y dirajut dengan warna abu-abu di bagian dada kiri nya. Sweter itu tampak hangat, sehangat perasaan suka yang ingin disampaikan Yumeko kepada lelaki yang akan diberinya sweter ini.

Tentu saja lelaki itu adalah Yasuo.

Tapi bagaimana jika penolakan yang akan Yumeko dapatkan nanti? Sementara ia sendiri belum bisa memastikan seperti apa perasaan Yasuo kepadanya. Lelaki itu terus saja mengelak saat Yumeko mencoba menggiringnya ke pembicaraan seputar itu.

Yumeko menghirup napas dalam-dalam. Biarlah. Apapun jawaban Yasuo nanti, ia tidak perlu khawatir. Setidaknya, perasaan dalam hatinya tidak lagi abu-abu. Jika ternyata berubah menjadi hitam, ia akan mundur teratur dan berusaha kembali memandang Yasuo sebagai sahabatnya. Tapi jika berubah menjadi putih, maka ia akan sangat beruntung karena cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.

Gadis itu bangkit dari duduknya menjauhi jendela. Ia meletakkan cangkir tehnya di atas meja belajar lalu menyimpan sweter itu ke dalam laci. Yumeko tidak sabar menunggu hari natal tiba tahun ini.

Tepat pada saat itulah seseorang mengetuk pintu kamarnya.

Ibunya berjalan memasuki kamar. Mata Yumeko tidak berkedip mengamati ibunya yang tampak gugup. Telepon rumah tanpa kabel ada dalam genggaman tangan ibunya.

“Ada apa, Okāsan[7]?” Yumeko memberanikan diri untuk bertanya.

“Yumeko.” Bola mata ibunya tampak bergerak-gerak tidak menentu. Tampaknya ia bingung harus memulai kata-katanya dari mana. “Bagaimana kabar Yasuo-kun?”

Dahi Yumeko mengernyit. Matanya memancarkan pandangan apa-maksud-pertanyaan-itu. Gadis itu berusaha mengingat bagaimana keadaan Yasuo saat terakhir kali mereka bertemu. “Dia baik-baik saja. Tetap ceria dan disukai banyak orang. Memang ada apa, Okāsan?

Ibu Yumeko menggigit bibirnya karena ragu-ragu. Ia bimbang antara bercerita atau tidak. Ini masalah orang tua yang seharusnya tidak diketahui oleh anak seusia Yumeko. Tapi ia juga memikirkan keadaan Yasuo yang sudah ia sayangi seperti anaknya sendiri.

Akhirnya, ibu Yumeko menceritakan masalah yang menimpa keluarga Yoshida. Sahabatnya yang sekaligus adalah ibu Yasuo itu memilih untuk bercerai. Perceraian itu akan segera diurus begitu ia dan suaminya sama-sama kembali ke Jepang. Yasuo sudah diberitahu melalui telepon dan diminta untuk memutuskan siapa yang akan dipilihnya.

Memilih? Apa yang harus dipilih Yasuo? Kedua orang tuanya sama pentingnya bagi Yasuo. Lelaki itu pasti membutuhkan kasih sayang mereka berdua. Bukan keegoisan seperti ini. Air mata Yumeko mulai menitik sementara jemari tangannya mulai saling meremas. Ibunya merengkuh anak gadisnya ke dalam pelukan lalu ikut menangis.

“Aku harus menemui Yasuo sekarang,” gumam Yumeko.

Ibu Yumeko mengernyitkan dahinya menunjukkan perasaan tidak setuju. “Tapi di luar salju sedang turun dengan derasnya.”

“Tidak masalah. Hati Yasuo pasti lebih beku sekarang.” Yumeko berucap penuh penekanan. Ia tidak ingin ibunya menghalangi niatnya.

Rumah keluarga Yoshida memang cukup dekat. Hanya berjarak tiga rumah dari rumah Yumeko. Tapi di tengah hujan salju dan angin yang kencang seperti ini, mungkin itu akan menjadi perjalanan yang melelahkan.

Ibu Yumeko menghela napas berat. “Baiklah. Tapi jangan lupa kenakan mantelmu.”

Yumeko mengangguk mantap. Ia menatap ibunya dengan tatapan doakan-aku.

Ittekimasu[8]!” seru gadis itu setelah menyambar mantel hangat yang tergantung di balik pintu kamarnya.

***

Dahulu. Mungkin saat berusia sepuluh tahun. Yumeko pernah berlari di tengah hujan salju seperti ini.  

Malam itu, Yasuo menghilang. Anak lelaki itu kabur dari rumahnya karena mendengar kedua orang tuanya bertengkar. Kedua orang tuanya dengan panik datang mencari Yasuo ke rumah Yumeko. Tapi Yasuo tidak ada di sana. Begitu Yumeko mendengar kabar tersebut, tanpa pikir panjang gadis itu berlari keluar rumah untuk mencari sahabatnya.

Yumeko kecil sama sekali tidak menghiraukan teriakan khawatir orang tuanya. Langkah-langkah kecil tercetak di atas jalan yang diselimuti salju. Dimana Yasuo? Baru dua jam berlalu sejak mereka bermain bersama. Saat itu Yasuo masih tertawa sambil melempari Yumeko dengan bola salju. Mereka membangun boneka salju dari tumpukan salju di taman.

Langkah Yumeko terhenti. Akhirnya ia menemukan Yasuo di taman tempat mereka biasa bermain. Lelaki kecil itu berteduh di bawah rumah kecil yang terbuat dari semen.

Saat itu Yasuo tampak tidak peduli dengan kedatangan Yumeko. Ia hanya menggigil sambil memeluk lututnya di depan dada. Tubuhnya bergetar karena menangis sesegukan. Tatapan matanya kosong. Air mata masih mengalir ke pipinya.

Yumeko menatap sahabatnya itu dengan tatapan kosong. Seolah gadis itu bisa merasakan betapa kosongnya hati Yasuo saat itu. Sahabatnya yang ceria dan disukai semua orang, tiba-tiba menjadi begitu patah arang. Tidak ada yang bisa dilakukan Yumeko selain memeluk Yasuo. Ia ikut menitikkan air mata kesedihan di bahu lelaki kecil itu.

Mereka berdua bertahan dalam posisi itu hingga orang tua mereka datang menjemput beberapa menit kemudian. Tidak ada penolakan. Tidak ada pemberontakan. Sepasang anak kecil itu pasrah saat ayah mereka menggendong tubuh dingin mereka. Tidak ada yang menangis. Mungkin air mata pun sudah membeku sebelum sempat menetes dari pelupuk mata.

Sejak saat itu, kedua orang tua Yasuo tidak pernah lagi bertengkar. Mereka lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing di luar kota maupun luar negeri. Semua memang tampak baik-baik saja. Kedua orang tua Yasuo tidak pernah lagi bertengkar karena mereka tidak pernah bertemu.

Tapi hal itu tetap saja tidak memperbaiki keadaan. Yasuo tetap saja menjadi korban keegoisan kedua orang tuanya. Lelaki itu mengikuti saja bagaimana permainan yang dimainkan orang tuanya. Ia kembali ceria dan menjalani semuanya sendiri. Maka dari itu, ibu Yumeko sering mengundang Yasuo untuk makan di rumah mereka, juga membuatkan bekal untuk makan siang di sekolah.

Di balik senyum ceria Yasuo selama ini, Yumeko yakin lelaki itu menyimpan luka di sudut relung hatinya.

Dan setelah tujuh tahun berlalu. Hal yang sama terjadi lagi. Yumeko tidak mungkin menemukan Yasuo di taman itu. Tubuh lelaki itu sudah terlalu besar untuk bersembunyi di rumah-rumah kecil itu. Jadi, yang paling memungkinkan adalah Yasuo sedang menyendiri di rumahnya.

Salju sudah menutupi sebagian papan bertuliskan ‘Yoshida’ yang berada di bagian depan rumah. Tapi Yumeko tidak akan salah rumah. Ia sangat hafal rumah ini seperti mengingat rumahnya sendiri. Perlahan Yumeko mengetuk pintu di hadapannya.

Tidak ada jawaban.

Yumeko mengetuk pintu sekali lagi.

Masih tidak ada jawaban.

Salju menetes dari rambut hitam Yumeko. Tetesan itu mengalir ke balik baju dan menyentuh kulitnya. Yumeko sedikit menggigil sambil kembali mengetuk pintu untuk ketiga kalinya dan tidak mendapat jawaban. Akhirnya, Yumeko berusaha membuka pintu tanpa berharap bisa dibuka.

Ketika pintu itu terbuka, sejenak Yumeko merasa ragu apakah tindakannya kali ini benar. Ini jauh berbeda dengan tujuh tahun yang lalu. Sekarang Yasuo bukan lagi anak kecil yang menangis di taman. Lelaki itu pasti jauh lebih kuat sekarang.

Tapi setidaknya Yumeko ingin melihat bagaimana keadaan Yasuo. jika ternyata baik-baik saja, maka Yumeko akan pergi dan membiarkan lelaki itu sendiri. Mungkin ia perlu waktu untuk berpikir.

“Yasuo?” Dengan hati-hati Yumeko melangkah masuk lalu melepas sepatunya di genkan. Perlahan ia melangkahkan kaki sambil meraba dinding. Cahaya dalam rumah itu sangat minim. Sepertinya Yasuo sengaja memadamkan lampu dan membiarkan hatinya terbenam dalam kegelapan.

Hanya cahaya rembulan yang samar-samar membantu penglihatan Yumeko. Dan juga sedikit cahaya yang bergerak-gerak dari arah ruang santai rumah ini. Di ruangan itu ada perapian. Pasti Yasuo ada di sana.

Yumeko berjalan menghampiri dan mendapati dirinya tiba di ruang santai itu. Cahaya dari luar masuk melalui jendela kamar. Kayu bakar berkobar di perapian besar. Sebuah sofa besar menarik perhatiannya karena di sana, dengan kaki bertengger pada lengan sofa, terbaring sahabatnya.

“Yasuo?” Yumeko berjalan mendekat sambil menyebut nama Yasuo. Ia tidak ingin lelaki itu terkejut lalu berteriak seperti melihat hantu.

Yasuo bangkit dan duduk di sofanya lalu menyambut kedatangan Yumeko.

“Oh hei Yumeko. Ada apa?” tanya Yasuo sambil melengkungkan bibirnya.  Sebuah senyuman palsu. Mata lelaki itu menatap kosong tanpa senyuman.

Yumeko berjalan mendekat ke arah Yasuo. Pipinya kemerahan karena hawa dingin di luar sana. Butiran-butiran salju berkilau menempel di rambut dan baju gadis itu. Sorot matanya tampak dingin. Yasuo tidak mengerti itu sorot mata khawatir atau marah.

“Apa yang kau lakukan?” Alih-alih menjawab pertanyaan Yasuo, Yumeko malah balik bertanya sambil duduk di samping Yasuo.

 “Tidak ada. Aku hanya menghangatkan diri dan berniat untuk tidur.”

Sudut mata Yumeko menatap beberapa kaleng minuman beralkohol yang ada di atas meja. Belum ada satu pun kaleng yang terbuka. Ia mendesah napas lega. Berarti ada kemungkinan Yasuo belum meminum setetes pun dari kaleng-kaleng ini.

“Lalu, minuman ini?” tanya Yumeko sambil menunjuk ke arah kaleng-kaleng itu.

Mata Yasuo mengikuti arah telunjuk Yumeko lantas tertawa. Tapi tawa itu terdengar getir di telinga Yumeko. “Minuman itu katanya tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi setidaknya akan membantu  melupakan masalah untuk sejenak.”

Mata Yumeko terbelalak marah mendengar penjelasan Yasuo. “Apa yang kau pikirkan? Kau bahkan belum berusia dua puluh tahun.”

Tanpa disadari Yumeko. Ia sudah mengatakan kalimat itu dengan nada yang lebih tinggi. Yasuo yang mendengar itu, malah terdiam dan enggan menatap ke arah Yumeko. Apa gadis ini hanya datang untuk menasehatinya dengan kata-kata seperti itu?

“Lalu, apa menurutmu, kesedihan pernah memandang usia?” Yasuo membalas dengan nada yang sama tingginya. “Apa hanya orang dewasa yang akan memiliki masalah dan merasakan kesedihan?”

Sontak Yumeko membeku di tempat ia duduk. Sama sekali ia tidak bermaksud begitu. Ia hanya tidak ingin sahabat baiknya, lelaki yang dicintainya melarikan diri kepada suatu hal tidak menyelesaikan masalah sama sekali.

“Kalau kau datang hanya untuk mengoceh, lebih baik kau tinggalkan aku sekarang!” Yasuo berkata sambil memandang tajam ke arah Yumeko dengan tatapan kau-tidak-mengerti-perasaanku. “Kau pasti tahu dimana pintu keluarnya.”

Jantung Yumeko seperti ditarik paksa ke arah kakinya saat mendengar nada kesakitan dari Yasuo. Tentu saja ia mengerti bagaimana perasaan lelaki itu sekarang. Sama seperti tujuh tahun yang lalu. Ia tidak mungkin meninggalkan Yasuo sendirian dalam keadaan kacau seperti ini.

Takut-takut Yumeko mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Yasuo yang bergetar. Tidak ada penolakan. Yumeko memberanikan diri untuk mendekat dan memeluk tubuh Yasuo dari samping. Ia membenamkan wajahnya di bahu lelaki itu.

“Ibu meneleponku mengabarkan perceraiannya dengan ayah. Mereka sudah sepakat dan memintaku untuk memilih.” Yasuo tiba-tiba mulai berkata-kata dengan suara yang tertahan. “Saat aku menyatakan tidak setuju, ibu bilang aku egois.”

Yumeko menutup rapat mulutnya. Ia yakin saat ini Yasuo hanya butuh didengarkan tanpa mengharapkan jawaban yang tidak penting. Tanpa diminta, gadis itu mengetatkan pelukannya, mencoba melelehkan rasa kecewa yang membekukan hati Yasuo.

“Sebenarnya, siapa yang egois?” Yasuo menggigit bibirnya, lantas tertawa pahit sambil berkata, “Dasar orang tua durhaka.”

Setelah itu, tidak ada lagi bersuara. Suasana begitu sunyi. Hanya terdengar angin yang mengetuk jendela juga bunyi kayu yang terbakar.

Setelah saling terdiam cukup lama, Yasuo tiba-tiba menggeliat ingin lepas dari pelukan Yumeko. Tanpa bertanya  apa-apa, gadis itu melepaskan pelukannya. Ia menatap heran ke arah Yasuo yang kini duduk mengahadap ke arahnya.

“Aku kira, aku bisa melewati semua ini sendiri,” ujar Yasuo sambil mengusap lembut pipi Yumeko yang basah karena air mata. “Ternyata aku salah. Maafkan aku sudah berkata kasar padamu.”

Yumeko menganggukkan kepalanya. Pipinya memerah karena ditatap secara intens seperti itu. Beruntung, cahaya api kemerahan menyembunyikannya dari Yasuo.

Tangan Yasuo tidak berpindah dari pipi Yumeko, membuat jantung gadis itu berdetak kencang seolah akan melompat keluar. Ia membiarkan jemarinya saling meremas dengan gugup. Mata mereka saling bertatapan sehingga Yumeko bisa melihat bayangannya terpantul di manik hitam mata Yasuo.

Ibu jari Yasuo mengusap lembut bibir Yumeko. Perlahan lelaki itu mendekatkan wajahnya. Yumeko merasakan suara debaran jantungnya menggema di ruangan. Pipinya semakin merah seolah jantungnya memacu semua darah dalam tubuhnya ke kepala.

Sedetik kemudian, Yasuo sudah menempelkan bibirnya ke bibir Yumeko. Kepala Yumeko terasa kosong. Tapi samar-samar ia seperti merasakan bibir Yasuo mengucapkan kata suka.
  
***

Lagu-lagu natal bergema di setiap toko yang dilalui Yumeko dan Yasuo dalam perjalanan pulang dari sekolah. Segala pernak-pernik natal dipajang cantik di etalase toko. Mereka berdua bersenda gurau saling menirukan suara Santa Klaus.

Setelah kejadian malam itu, tidak satupun dari mereka menyinggung masalah tersebut. Tidak ada yang berubah dalam huubungan Yasuo dan Yumeko. Mereka tetap bermain bersama, berangkat sekolah bersama, seolah tidak pernah ada kejadian di malam bersalju itu.

Padahal Yumeko merasa sangat ingin menanyakan kenapa Yasuo menciumnya malam itu. Dan apa benar lelaki itu mengucapkan kata suka kepada dirinya. Apa semua itu dilakukan lelaki itu hanya karena terbawa suasana?

“Yumeko,” panggil Yasuo hingga Yumeko menoleh kepadanya.

“Ng?”

“Apa kau sudah ada janji kencan di malam natal?”

Yumeko berdecak kesal lalu ia melayangkan tatapan apa-kau-mengejekku. “Apa maksudmu, Tuan populer? Tentu saja aku tidak ada janji dengan siapapun. Berbeda halnya dengan lelaki berwajah laku[9] sepertimu.”

Yasuo terkekeh geli mendengar nada kesal Yumeko. “Hei, hei. Aku hanya ingin memastikan apakah kita akan melewati natal seperti sebelumnya atau aku harus merelakanmu berkencan dengan orang lain.”

Yumeko hanya diam dan mengerucutkan bibirnya dengan kesal. Perayaan natal yang mereka lalui selalu sama setiap tahunnya. Mereka berkumpul bersama keluarga di rumah Yumeko. Ibunya akan memasak makanan–makanan lezat juga kue-kue manis yang cantik.  Sementara para orang tua berpesta sampai mabuk di halaman belakang, Yumeko dan Yasuo akan bermain kartu bersama saudara yang lain.

“Kenapa kau cemberut?” tanya Yasuo sambil mengerutkan keningnya. “Padahal aku baru saja mau mengajakmu pergi kencan.”

Yumeko menoleh. “Kencan? Merayakan natal di rumahku seperti tahun-tahun sebelumnya, ku rasa tidak termasuk dalam kencan.”

“Tentu saja bukan,” balas Yasuo cepat. “Aku ingin mengajakmu pergi berdua di malam natal nanti untuk melihat pohon natal besar yang sedang dibicarakan orang-orang.”

Berdua? “Apa maksudmu hanya kita berdua? Kau dan aku?”

“Ya, Yumeko. Kau dan aku,” jawab Yasuo cepat dan lugas.

***

Semua rencana Yumeko berubah total.

Tidak ada satupun kemungkinan kencan yang dicatat Yumeko dalam rencanannya. Gadis itu memang berencana akan memberikan sweter rajutan tangannya kepada Yasuo di malam natal. Tapi ia merencanakan itu akan terlaksana di halaman depan rumahnya. Saat semua orang sedang sibuk bermain dan mabuk.

Gadis itu juga akan menyatakan perasaannya. Maka ia harus memerlukan suasana yang sepi agar tidak perlu menanggung malu kepada orang lain jika Yasuo menolaknya. Tapi tidak ada yang menyangka bahwa Yasuo akan mengajaknya kencan sehingga ia harus mengatur ulang rencananya.

Suasana kota di malam natal benar-benar meriah. Lampu berkelap-kelip dengan riang. Pohon natal dengan bintang keemasan di puncaknya. Tapi Yumeko tidak terlalu tertarik dengan suasana itu. Sosok Yasuo yang berjalan di sampingnya jauh lebih menarik perhatiaannya.

Diam-diam Yumeko melirik ke arah Yasuo. Ia memperhatikan garis tegas wajah lelaki itu. Begitu mengundang untuk disentuh. Yumeko menghela napas melalui mulutnya. Ia harus sabar menunggu setidaknya sampai mereka saling bertukar hadiah nanti. Hadiah yang penuh perasaan.

“Apa kau tidak khawatir jika kita bertemu teman sekelas dan mereka akan berpikir bahwa kita berpacaran?” Yumeko menepuk bahu Yasuo berusaha meyakinkan lelaki itu bahwa kencan ini tidak akan membuat ia menyesal. “Dan gosip akan menyebar di sekolah secepat angin musim dingin berembus.”

Sekejap Yumeko melihat kilat amarah di mata Yasuo tapi tiba-tiba lelaki itu terkekeh riang. “Siapa yang peduli?”

Jika Yasuo tidak peduli, maka Yumeko juga tidak akan peduli.

Mereka berdua menghabiskan malam itu dengan bersenang-senang. Mereka membeli ramen, berfoto di depan pohon natal yang besar, berfoto dengan Santa Klaus, juga berdansa di jalan dengan alunan musik natal sebagai pengiringnya. Tawa bahagia tidak henti-hentinya menghiasi wajah mereka berdua. Sejenak Yumeko bisa melupakan rasa gugupnya akan rencananya malam ini.

“Terima kasih. Hari ini benar-benar menyenangkan,” ucap Yumeko saat mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang.

“Ya. Syukurlah kau menyukainya. Kau ingin cokelat?”

“Apa?” Yumeko tidak terlalu mendengarkan perkataan Yasuo. Sejak beberapa detik lalu ia sudah kembali sibuk memikirkan perngakuan cintanya sambil melirik sweter yang terbungkus kertas kado dlam tas yang digenggamnya.

“Ini cokelat yang tadi ku beli di depan toko pernak-pernik natal. Kau mau?” tanya Yasuo sambil membuka bungkus cokelatnya yang kedua.

“Tidak. Terima kasih.” Jawab Yumeko datar. Ini bukan saat yang tepat untuk makan cokelat atau apapun itu ke dalam perutnya. Ia harus segera menemukan tempat yang tepat untuk menyatakan perasaannya agar semua ini selesai malam ini.

Mata Yumeko melihat sebuah taman yang tampak sepi dan rindang. Lampu-lampu taman setinggi pohon menyinari ayunan yang berdiri kokoh di sana. Dudukan ayunan itu sedikit bergerak-gerak karena ditiup angin. Sepertinya itu tempat yang cocok. Ia harus mengajak Yasuo ke taman itu.

“Sebelum kita pulang, maukah kau bermain ayunan sebentar di taman itu?”

Yumeko berani bersumpah itu bukan suaranya maupun suara hatinya. Ia sangat yakin itu suara Yasuo. Lelaki itu tengah mengarahkan telunjuknya ke ayunan taman itu.

Kepala Yumeko mengangguk setuju tentu saja. Dan Yasuo lantas menggenggam tangan Yumeko. Sontak wajah gadis itu memerah atas tindakan impulsif itu. Tangan Yasuo berbeda dengan tangan kecil yang selama ini digenggamnya. Sekarang tangan itu begitu besar dan hangat. Yumeko tidak menyangka jika seorang lelaki akan tumbuh begitu cepat.

Taman itu hanya sebuah taman kecil di sudut jalan, dengan pepohonan tanpa daun yang berderet rapi. Yumeko menengadah menatap langit. Cahaya rembulan tampak mengintip dari balik awan tipis di langit. Embusan angin yang menerpa wajahnya sedikit menambah kesan damai di taman itu. Butir-butir salju hinggap di rambut mereka berdua.

“Aku hanya tidak sabar untuk melihat hadiahku,” kata Yasuo sambil melirik tas dalam genggaman Yumeko. “Maka aku akan memberikanmu hadiah ini terlebih dahulu.”

Yumeko melepas sarung tangannya sebelum menerima sebuah kotak yang disodorkan Yasuo. Kotak itu terasa hangat. Mungkin karena Yasuo terus menyimpannya dalam saku mantelnya sejak tadi. Dengan cepat ia mengelupaskan cellotape yang merekat di kertas kado itu.

Saat kotak itu terbuka, Yumeko terkesiap. “Oh ini cantik sekali.” Isinya kalung dengan liontin lingkaran berwarna biru yang bertuliskan kanji yume[10] dari nama Yumeko. Jantung Yumeko sedikit tersentak saat membayangkan bagaimana rasanya jika Yasuo memberi hadiah ini karena lelaki itu mencintainya.

Buru-buru Yumeko mengenyahkan pikiran itu.  Ia baru saja akan mengambil kalung itu dari kotak ketika Yasuo melakukan hal itu untuknya.

“Biar aku yang memakaikannya,”ujar Yasuo lantas berdiri di belakang Yumeko. Tanpa pikir panjang, Yumeko menarik rambutnya ke depan sehingga tengkuknya terlihat jelas. Itu akan mempermudah Yasuo saat memakaikan kalung itu di lehernya.

Terjadi keheningan yang membuat Yumeko menahan napasnya karena gugup. Ia merasakan tangan Yasuo dingin saat menyentuh kulitnya. Sentuhan itu hanya sekilas tapi mampu membuat pipi Yumeko terasa panas. Ia bersyukur Yasuo tidak bisa melihat wajahnya yang tersipu saat ini. Dan Yumeko yakin ia tidak akan bisa terus menerus berpura-pura bahwa hubungan mereka tidak berubah. Setidaknya, perasaan Yumeko sendiri yang berubah.

“Terima kasih,” kata Yumeko sambil menyentuh liontin kalung itu. “Sekarang giliranmu menerima hadiah.”

Yumeko menyerahkan hadiahnya kepada Yasuo yang sudah kembali duduk di ayunan. Dengan penuh antusias lelaki itu membuka kertas kadonya. Sementara Yumeko terus berharap dalam hati semoga Yasuo menyukai hadiahnya.

Secara mendadak, tangan Yasuo berhenti bergerak untuk merobek kertas kado itu. Kepalanya menoleh ke arah Yumeko yang tampak kebingungan.

“Yumeko, sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan,” kata Yasuo sambil meletakkan kado setengah terbuka itu di atas pangkuannya. “Aku pernah mendengar kau berkata bahwa aku sudah seperti kakak bagimu. Apa itu benar?”

Yumeko menahan napas karena melihat wajah Yasuo yang begitu serius saat menanyakan hal tersebut. Ia tersenyum sebelum menjawab, “Aku akan menjawab setelah kau membuka hadiahmu.”

Yasuo terkekeh pelan lalu melanjutkan perjalanan menuju hadiahnya. Mata Yasuo terbelalak saat mendapati sebuah sweter biru sebagai hadiahnya. Cepat-cepat ia mengenakan sweter itu tanpa melepas mantelnya, membuat Yumeko tidak bisa menahan tawanya.

“Terima kasih, Yumeko.” Yasuo memeluk singkat tubuh Yumeko. “Apa kau merajutnya sendiri?”

“Ya.” Yumeko menganggukkan kepalanya. “Syukurlah kau menyukainya.”

“Jadi,” kata Yasuo berusaha melupakan rasa takjubnya sejenak. “Apa jawabanmu?”

“Itu benar. Selama ini aku selalu menganggapmu sebagai seorang sahabat dan kakak yang baik,” jawab Yumeko sambil memperhatikan tumpukan salju di tanah. “Tapi sekitar satu tahun yang lalu aku baru menyadari bahwa... aku menyukaimu, Yasuo.”

“Apa kau bilang?” tanya Yasuo seakan tidak percaya pada pedengarannya sendiri.

Tapi Yumeko tidak bermaksud mengulang perkataannya lagi. Gadis itu masih terus menundukkan kepala menyembunyikan rasa malunya. “Dan aku merasa bingung kenapa kau menciumku malam itu.”

“Yumeko, apa kau pikir aku akan menciummu malam itu jika aku hanya menganggapmu sebagai sahabat? Seorang sahabat tidak akan melakukan hal seperti itu.”

Dahi Yumeko mengernyit. Kepalanya menengadah pada Yasuo. “Apa kau bilang?”

Yasuo membalas Yumeko dengan tidak menjawab pertanyaan sama yang diajukan gadis itu. “Jadi, apa benar kau juga menyukaiku lebih dari seorang sahabat?”

Yumeko kembali menundukkan kepala lalu berbisik dengan suara perlahan yang ia yakin bisa didengar Yasuo yang duduk di sebelahnya, “Ya. Aku menyukaimu, Yasuo.”

“Apa?” Yasuo mendekatkan telinganya ke arah Yumeko. “Aku tidak bisa mendengarnya.”

“Suka. Aku menyukaimu,” kata Yumeko dengan suara yang lebih keras.

“Angin berembus cukup kencang malam ini Yumeko. Aku tidak bisa mendengarmu.”

Yumeko mengangkat wajahnya dan menatap Yasuo dengan kesal. Ia merasa lelaki ini mempermainkannya. Jika itu yang diinginkan lelaki ini, maka ia akan melakukannya. Yumeko lebih mendekatkan bibirnya ke telinga Yasuo lalu berteriak lantang, “Daisuki[11], daisuki, suki[12], suki, suki, suki, suki...”

Tiba-tiba  teriakan Yumeko terhenti begitu saja. Mata gadis itu terbelalak saat merasakan bibir Yasuo membungkam hangat bibirnya. Waktu terasa bergerak lambat. Sedetik kemudian lelaki itu membebaskan bibirnya lalu tersenyum.

Jemari Yumeko menyentuh bibirnya sendiri yang masih terasa hangat. “Kenapa kau... menciumku?”

“Karena kau yang memintanya,” jawab Yasuo singkat.

Apa? Dahi Yumeko mengernyit. Ia menggelengkan kepala karena tidak merasa melakukan apa yang dituduhkan Yasuo padanya.”Aku tidak pernah meminta hal seperti itu.”

Yasuo menatap Yumeko dengan tatapan apa-kau-lupa. “Bukankah tadi kau yang mengatakannya berkali-kali? Kisu[13], kisu, kisu, kisu seperti itu.”

Mulut Yumeko ternganga karena ia tidak mengira bahwa Yasuo masih sempat mengusilinya dalam suasana seperti ini. Yasuo tertawa bahagia sekalipun Yumeko memukuli lengannya berkali-kali dengan kesal. Dalam hati masing-masing mereka saling berjanji bahwa mereka akan selalu bersama apapun yang terjadi.

Sekali lagi, Yasuo mencium Yumeko di bawah langit musim dingin yang menurunkan butiran salju yang berkilau.

TAMAT


* yuki-zora: langit bersalju

[1] kohai: adik kelas
[2] senpai: kakak kelas
[3] shichi-go-san: tradisi di Jepang untuk merayakan pertumbuhan anak usia 3, 5, dan 7 tahun.
[4] bentō: bekal makan
[5] nigate (terdiri dari kanji pahit dan kanji tangan): tidak mahir
[6] baka: bodoh (kalau dalam bahasa Komering, ‘baka’ artinya wadah :p)
[7] Okāsan: ibu
[8] Ittekimasu: aku pergi (diucapkan saat hendak keluar rumah)
[9] kao ga ureru (wajah laku): populer atau terkenal
[10] yume: mimpi atau impian
[11] daisuki: sangat suka
[12] suki: suka
[13] kisu (kiss): cium

4 komentar:

  1. Balasan
    1. Heiiii--- otakmu sudah terkontaminasi hal-hal seperti itu.. hahaha

      Hapus
  2. cerita yg romantis dengan setting yang manis. alur cerita membuat pembaca penasaran, terutama mengenai tokoh Yasuo. andai Yasuo.seperti doraemon, bisa masuk ke dalam laci hati Yumeko, pasti Yasuo sejak kecil bisa melihat masa depan, bahwa Yumeko lah belahan hatinya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Pipin atas apresiasinya.. *peluk erat

      Tapi kita nggak pernah tau apa yang menunggu kita di ujung jalan berbatu yang panjang dan tiada batas.. :v

      Ditunggu apresiasinya di cerita-cerita yang lain dalam stoples ini :D

      EAT. READ. REPEAT.

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D