Kamis, 01 Januari 2015

Gracias



Ada beberapa bahasa Spanyol yang terselip dalam cerpen ini.
Kalau ada yang salah, ketawain dulu tapi setelah itu kasih tau yang bener ya. ^^
Camilan sudah siap? Oke.
Selamat membaca.
Selamat tahun baru 2015!! \(^^)/
Semoga di tahun ini kita semua akan menjadi bangsa yang lebih baik.
Aamiin.



Giselle berdiri menghadap kaca jendela besar gedung ini, menatap jalanan yang cukup ramai di bawah sana. Perlahan gadis itu menyesap kopi pahitnya lalu memperhatikan orang-orang yang  berjalan di sepanjang trotoar dan mobil-mobil yang berlalu-lalang di jalan raya. Pemandangan yang biasa terjadi setiap harinya. Ia memang tipikal gadis yang suka memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Memperhatikan ekspresi mereka sambil menerka apa yang ada dalam pikiran orang-orang itu.

Saat ini Giselle sedang berada di sebuah ruang pertemuan milik majalah Belleza. Sebentar lagi akan diadakan pertemuan untuk membahas konsep pemotretan yang akan diadakan minggu depan. Ini adalah pekerjaan pertama yang gadis itu terima setelah vakum dari dunia modeling selama hampir dua tahun.

Gadis itu menjauhi jendela dan kembali ke tempat duduknya saat mendengar beberapa orang masuk ke ruangan. Itu berarti sebentar lagi pertemuan akan segera di mulai. Sedikit banyak Giselle sudah mendengar konsep dasar pemotretan ini dari manajernya yang sekarang duduk di samping kanannya. Pemotretan kali ini mengambil konsep percintaan karena memang bertujuan untuk menyambut valentine di bulan Februari. Dan lelaki yang duduk di samping kirinya ini yang akan menjadi pasangannya.

Giselle mencuri pandang sekilas ke arah lelaki yang tidak lain adalah Gilberto. Ia mengenal lelaki ini sejak mereka berdua masih anak-anak. Kedua ibu mereka saling mengenal dengan baik karena tinggal bertetangga. Ibu Gilberto yang dulu mengajak ibu Giselle untuk mengenalkan anak mereka ke dunia modeling. Beruntung, hal tersebut berdampak baik. Sejak saat itu, Giselle dan Gilberto dikenal sebagai model yang berbakat.

Belakangan ini, banyak media yang memberitakan kedekatan mereka berdua. Media cukup heboh membahas percintaan dari dua model yang sudah dekat sejak kecil dan akhirnya jatuh cinta. Padahal berita tersebut sama sekali bohong. Hubungan Giselle dan Gilberto murni hanya sebagai sahabat. Tapi majalah ini memanfaatkan dengan baik kehebohan itu dan menjadikan mereka sepasang kekasih untuk foto sampul majalah fashion ini.

Gilberto dua tahun lebih tua dari Giselle. Wajah mereka berdua memiliki daya tarik masing-masing yang disukai oleh para fotografer. Gilberto memang memiliki wajah tampan khas orang Spanyol yang disukai para gadis. Bahkan Giselle pun mengakui hal tersebut. Matanya yang cokelat seakan mampu membuat setiap gadis tenggelam dalam tatapannya. Hidungnya mancung dengan bibir yang tipis. Alisnya yang tebal dan tegas, juga kulitnya yang kecokelatan menambah kesan jantan dan gagah.
Sementara Giselle tampak menarik dan unik karena memilki mata bulat dengan manik hitam dan kulit berwarna kuning langsat seperti ibunya. Pipinya merona. Bibirnya mungil berwarna merah muda. Rambutnya ikal dan menjuntai indah sampai punggungnya.

Mereka berdua juga sama-sama memiliki bentuk tubuh proporsional yang disukai para perancang busana. Tidak terlalu kurus, juga tidak terlalu gemuk.  Kepandaian mereka berbicara juga menjadi nilai tambah yang membuat orang-orang senang untuk bekerja sama dengan mereka. Bukan hal yang mengherankan jika mereka bisa terus mempertahankan eksistensi di dunia modeling.

Pertemuan hari ini sudah berakhir. Giselle berjalan keluar ruangan berdampingan dengan Gilberto. Ia ingat bahwa ada hal yang ingin ia katakan kepada lelaki ini.

“Gilberto.” Panggil Giselle saat mereka melangkah masuk ke dalam lift. “Apa malam ini kau ada pekerjaan?”

Lelaki itu menatap ke arah Giselle tapi tidak langsung menjawab. Ia mengerutkan kening sejenak untuk mengingat kemudian berkata, “Sepertinya tidak ada.”

“Bagus.” Giselle berdecak penuh semangat. “Nanti malam kau datang ke rumahku, ya. Kita makan malam bersama.”

Gilberto mengangkat alisnya. Ada apa ini? Kenapa gadis ini mengundangnya makan malam? “Kenapa?”

“Kakak mengajak gadis yang akan menjadi pengantinya ke rumah malam ini, kau tahu? Mana mungkin aku tahan berada di meja makan dengan sepasang kekasih yang tengah dibakar rindu,” ucap Giselle sambil memohon dengan wajah yang melas.

Gilberto menghela napas berat. Ia tahu benar jika gadis ini sudah  berekspresi seperti  itu, maka tidak ada jawaban selain menyetujui ajakannya. Setelah Gilberto menganggukkan kepalanya, Giselle langsung cengar-cengir sebagai tanda rayuannya berhasil.

***

Giselle keluar dari kamar mandi dengan rambut yang dibungkus handuk. Ia harus segera berdandan untuk menyambut kedatangan calon kakak iparnya. Sambil berdiri di depan cermin besar di kamarnya, gadis itu merias diri sambil berdendang ceria. Ini adalah kebahagiaan kakaknya yang juga menjadi kebahagiaannya.

Tepat saat Giselle memulas bibirnya dengan lipstik merah muda, ia mendengar bunyi mesin mobil kakaknya berhenti di depan rumah. Gadis itu bergegas mengintip melalui jendela kamarnya. Kamar Giselle berada di lantai dua dan melalui jendela kamar ia dapat melihat jelas pemandangan di depan rumah. Kakaknya turun dari mobil diikuti seorang gadis cantik. Mereka membawa beberapa koper.

Sebelum keluar dari kamarnya, sekali lagi Giselle mematut bayangan dirinya di cermin. Ia ingin memastikan bahwa penampilannya sudah sempurna. Rambutnya yang panjang sudah tertata rapi. Riasan wajahnya natural dan tidak berlebihan. Terusan sepanjang lutut berwarna khaki membalut tubuh semampainya dengan pas. Perfecto.

Giselle tiba tepat waktu di depan pintu utama rumahnya. Ia menahan napas sambil membuka pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung memeluk erat kakaknya sebagai ungkapan kerinduan. Sedetik kemudian Giselle mengalihkan pandangannya kepada gadis di samping kakaknya.

Gadis itu sedikit menganggukkan kepalanya dengan ramah ke arah Giselle. Kakaknya pernah mengatakan bahwa gadis ini bernama Gita. Seorang gadis yang berasal dari Indonesia sama seperti negara asal ibunya. Kakak Giselle yang bernama Gabriel, bertemu dengan gadis ini di tempat mereka kuliah. Saat itu ayah mereka memang mengirim Gabriel untuk kuliah di Indonesia sekaligus untuk memantau cabang perusahaan yang ada di sana. Tapi siapa yang menyangka bahwa meninggalnya kedua orang tua mereka mengharuskan Gabriel untuk memimpin langsung perusahaan.

¡Hola! Me llamo Giselle. ¿Cómo se llama?” Giselle mengucap salam, memperkenalkan diri, dan menanyakan nama gadis di hadapannya dalam bahasa Spanyol.

Sontak Gita mengernyitkan dahinya dengan bingung. Tidak mengerti apa yang dikatakan gadis di hadapannya. Ia lalu menggerakkan kepala ke arah Gabriel, meminta penjelasan darinya. Tapi lelaki itu malah menatap kesal ke arah gadis yang tengah tersenyum lebar itu.

“Giselle.” Suara Gabriel terdengar sedikit geram. Ia sudah hafal dengan keusilan adiknya ini. “Jangan membuat Gita bingung.”

Giselle malah terkekeh mendengar teguran kakaknya itu. “Maaf,maaf. Aku hanya bercanda, Kak.”

Tentu saja Giselle bisa berbahasa Indonesia. Sejak kecil, ibunya yang mengajarinya. Ia lalu tersenyum lembut ke arah Gita sambil mengulurkan tangannya. Mereka berdua saling menyebutkan nama masing-masing. Tidak perlu menunggu waktu lama, mereka sudah akrab begitu saja. Giselle dan Gita berbicara tentang banyak selama mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Selama berada di Spanyol, Gita akan menginap di kamar yang bersebelahan dengan kamar Giselle.

“Hei. Jika merasa bosan, kau bisa mengetuk pintu kamarku. Kita bisa mengobrol atau minum teh bersama di balkon kamarku,” kata Giselle saat mengantarkan Gita ke kamarnya.

Gita mengangguk setuju lalu tersenyum. Giselle adalah gadis yang lucu dan lugas. Gita mungkin bisa berteman baik dengannya.

“Maaf. Aku lupa cerita padamu kalau adikku itu cerewet,” ujar Gabriel yang disambut pukulan ringan di lengannya, tanda protes dari Giselle. Gita hanya tertawa melihat perdebatan kakak-adik yang berlangsung di hadapannya.

“Kalau begitu,  aku kembali ke kamar dulu,” pamit Giselle kepada Gita. Ia berpura-pura tidak mendengar Gabriel yang masih terus mencoba memancing perdebatan konyol. “Sampai bertemu saat makan malam.”

Giselle berjalan meninggalkan sepasang kekasih itu. Dalam hati, ia mendoakan kebahagiaan Gabriel. Kakaknya itu pasti sangat tersiksa saat harus berpisah dengan gadis yang dicintainya selama dua tahun. Dan sedikit banyak Giselle merasa bersalah karena kakaknya harus mengorbankan kebahagiaannya demi menjaga dirinya yang terbaring koma dan menemani selama ia menjalani proses penyembuhan.

Yang sekarang bisa dilakukan Giselle hanyalah membantu Gabriel untuk mendapatkan kebahagiaan.

***

“Ini kopimu.”

Giselle menoleh dan melihat penata riasnya sedang mengulurkan secangkir kopi yang mengepul. Senyum Giselle mengembang saat menghirup aroma kopi yang menguar di udara. Ia menerima secangkir kopi itu, menyesapnya, lalu mendesah senang ketika kehangatan kopi itu menjalari tenggorokan dan dadanya.

“Terima kasih,” kata Giselle kemudian.

Melalui cermin di hadapannya, gadis itu dapat melihat jelas sosok Gilberto yang tengah mengobrol dengan wajah serius bersama kepala redaksi, fotografer, dan beberapa staf lain.

Pemotretan kali ini mengusung tema cinta yang murni. Pakaian serba putih dan latar yang juga putih dipilih agar sesuai dengan tema. Tapi beberapa menit yang lalu, pemotretan dihentikan secara tiba-tiba. Kepala redaksi majalah Belezza merasa kurang puas dengan hasil pemotretan. Seperti ada yang kurang dan membosankan.

Giselle kembali menyesap kopinya dan berusaha untuk tidak peduli. Ingatannya melayang ke malam dimana ia, Gilberto, Gabriel, dan Gita makan malam bersama di rumahnya. Saat itu Giselle benar-benar melihat binar kebahagiaan yang nyata di mata kakaknya. Cara mereka berdua saling menatap, saling menyentuh, dan saling memuji satu sama lain tampak begitu penuh cinta. Seperti ada benang merah tak terlihat yang mengikat di jari kelingking mereka. Jodoh yang sudah ditentukan Tuhan. Giselle jadi bertanya-tanya, kapan ia akan bertemu lelaki yang jari kelingkingnya terikat di ujung benang merah yang mengikat jari kelingkingnya.

“...selle?”

Benar juga. Benang merah.

“Giselle?”

Giselle tersentak, mendongak dan menatap langsung ke arah lelaki yang menyebut namanya. Ternyata lelaki itu Gerardo, si fotografer. Sekarang lelaki itu tengah memandang cemas ke arah Giselle yang tidak menjawab pertanyaannya.

“Apa kau memiliki ide untuk pemotretan ini, Giselle? Biasanya para gadis memiliki sisi romantis yang menakjubkan,” ujar Gerardo seraya tersenyum.

Giselle mengerjap satu kali karena baru tersadar dari lamunan. Perlahan ia  mengembuskan napas lalu bergumam, “Sepertinya ada.”

Tidak ada yang bersuara. Semua menunggu Giselle untuk mengutarakan idenya. Benar kata Gerardo, para gadis biasanya memang memiliki sisi romantis yang menakjubkan.

“Menurutku, bagaimana jika ditambahkan benda lain ke latar pemotretan. Mungkin balon berwarna merah atau bantal merah berbentuk hati.”

Semua orang masih terdiam dan seperti menunggu. Giselle bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah Gilberto. Ia meraih tangan lelaki itu lalu menggenggamnya. Menautkan jemarinya di sela jemari lelaki itu.

“Atau mungkin aku dan Gilberto...” Takut-takut Giselle mengungkapkan ide yang terlintas begitu saja di benaknya. “Tanganku dan tangan Gilberto bergenggaman seperti ini lalu diikat dengan pita berwarna merah. Seperti benang merah perjodohan.”

Ruangan itu tetap sunyi. Tapi, kesunyian kali ini berbeda. Semua orang tampak hanyut bersama visualisasi ide yang diungkapkan Giselle dalam pikiran mereka masing-masing.

Gerardo melirik ke arah kepala redaksi, diikuti yang lainnya. Sedetik kemudian, kepala redaksi tampak menganggukkan kepalanya. “Saya suka... warna merah di tengah warna putih yang suci. Saya setuju. Kita mulai pemotretan dalam sepuluh menit.” Kepala redaksi menepuk ringan bahu Giselle. “Buen trabajo, Giselle.”

Semua orang langsung kembali ke posisi masing-masing setelah mendengar pernyataan kepala redaksi.

Sementara Giselle merasakan darahnya berdesir hangat. Wajahnya berangsur berseri. Perlahan ia melepaskan genggaman tangannya di tangan Gilberto, lalu berjalan kembali ke meja riasnya. Memperisapkan diri untuk melanjutkan pemotretan.

Tanpa ada yang menyadari. Gilberto masih terpaku selama beberapa detik.  Membiarkan dirinya sendiri terbengong-bengong di tengah ruangan dengan wajah yang memerah.

***

Mobil Giselle yang dikendarai supirnya mulai melaju di jalanan. Ia duduk di bangku penumpang bersebelahan dengan manajernya yang sedang mengingatkannya tentang apa saja kegiatannya hari ini. Setelah ia dan Gilberto tampil di sampul majalah Belezza, tawaran pekerjaan untuk gadis itu datang silih berganti. Begitu manajernya selesai berbicara, Giselle mengangguk tanda mengerti.

Giselle melahap satu persatu churros dalam kantung kertas di pangkuannya sambil memegang ponsel di tangan kirinya. Saat ini ia sedang membuka sebuah situs online berbahasa Indonesia yang menyuguhkan cerita-cerita romantis. Ini adalah salah satu caranya untuk menghabiskan waktu luangnya -membaca cerita sambil mengunyah camilan. Cerita-cerita romantis yang dibacanya terkadang membuat gadis itu mengkhayal bisa bertemu dengan lelaki sempurna seperti tokoh utama dalam cerita-cerita itu.

Tiga puluh menit kemudian, Giselle sudah tiba di taman yang menjadi lokasi pemotretan untuk hari ini dan sudah duduk di dalam tenda sementara yang didirikan di salah satu sudut Parque del Buen Retiro. Ia memandang berkeliling. Di sekitarnya terlihat para staf yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Ada yang mengangkut sesuatu, memasang sesuatu,  dan saling berseru untuk memastikan persiapan sudah sempurna.

Taman ini cukup luas dan terkenal. Banyak musisi dan seniman jalanan yang mempertunjukkan bakat mereka kepada para pengunjung. Di taman ini terdapat beberapa air mancur yang indah yang memiliki bentuk klasik khas Eropa Barat. Patung-patung bebentuk malaikat juga tampak menghiasi taman ini. ada juga bangunan klasik, monumen, dan danau di taman yang merupakan peninggalan kerajaan ini.

Giselle dan tiga model lainnya sudah siap. Keempat gadis itu sudah selesai dirias dan mengenakan gaun pengantin yang mereka peragakan. Gaun-gaun pengantin yang cantik itu merupakan hasil rancangan seorang desainer Spanyol yang terkenal di dunia. Giselle merasa beruntung bisa mengenakan gaun yang membuatnya merasa seperti pengantin sungguhan.

Pemuda jangkung yang sedang memegang kamera itu tersenyum ramah kepada Giselle. Dengan sigap ia memberi pengarahan kepada Giselle yang sedang berpose di dekat mawar-mawar yang bermekaran. Giselle sudah sering bertemu dengan fotografer ini dalam beberapa pemotretan sebelumnya. Pertemuan pertama mereka adalah saat pemotretan di majalah Belezza. Lelaki bernama Gerardo itu cukup mengusik hati Giselle beberapa pekan terakhir ini.

Gerardo membidikkan kameranya ke arah Giselle. Ia merasa terpana dengan sosok gadis yang dilihatnya dari balik lensa. Gadis itu tampak cantik mengenakan gaun pernikahan dengan potongan one shoulder dan empire line. Gaun berbahan kain sifon putih itu tampak melekat pas di tubuh rampingnya. Giselle bergerak dengan begitu anggun, membuat ia terlihat seperti dewi kahyangan.

Gerardo berjanji dalam hati, ia akan mengajak kencan gadis ini secepatnya.

***

Sabtu malam, Giselle berdiri di depan cermin, mencoba gaun yang berbeda untuk kencannya malam ini. masih terasa mimpi bagi gadis itu saat Gerardo mengajaknya kencan. Tanpa sempat berpikir sekali lagi, saat itu juga ia langsung menyetujui ajakan lelaki itu.

Gerardo berkata, ia akan menjemput Giselle pukul tujuh malam. Itu berarti ia memiliki waktu satu jam untuk bersiap-siap. Gadis itu bergegas menentukan pakaian, sepatu, dan tas yang akan ia kenakan malam ini. Ia ingin membuat lelaki itu terkesan pada penampilannya.

Sebelum pukul tujuh, Giselle sudah selesai berdandan lalu memutuskan untuk menunggu Gerardo di ruang tamu. Tak lama kemudian, ia mendengar pintu rumahnya diketuk. Dengan cepat Giselle membuka pintu dan mendapati seorang lelaki tampan berdiri di hadapannya.

Gilberto.

Lelaki itu menatap heran ke arah Giselle yang tampak sangat cantik. “Kau mau pergi?”

Giselle menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lebar. Sudah sejak beberapa hari yang lalu, ia ingin sekali menceritakan hal ini kepada sahabatnya, Gilberto. Tapi kesibukan mereka masing-masing membuatnya sulit bertemu dengan Gilberto. Mungkin saat inilah waktu yang tepat untuk bercerita.

“Aku akan pergi berkencan dengan Gerardo -fotografer saat pemotretan di Belezza, kau ingat?” Giselle memulai ceritanya dengan penuh semangat. Matanya menerawang saat Gerardo muncul dalam benaknya. “Dia lelaki yang baik dan menyenangkan.”

Hening. Tidak ada jawaban apa-apa yang keluar dari bibir Gilberto. Lelaki itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba Glberto merasa jantungnya seperti jatuh ke tanah saat menyadari bahwa Giselle tampil secantik ini untuk lelaki selain dirinya. Apa yang harus dilakukannya sekarang?

Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah Giselle. Seketika itu juga, wajah gadis di hadapan Gilberto semakin merona.

Sial.

“Jangan pergi,” Gilberto menggeram. Rahangnya tampak mengeras dengan gigi gemeretak.

Giselle mengerutkan kening. Ia menatap lekat-lekat lelaki di hadapannya. Apa katanya tadi?

“Jangan pergi, Giselle.” Gilberto mengulangi kata-katanya. “Temui aku di taman tempat kita bermain saat masih anak-anak.”

Giselle semakin bingung dengan sikap Gilberto yang tidak seperti biasanya. Untuk apa pergi ke taman malam-malam begini? Gadis itu lantas tertawa kecil saat menyadari adanya kemungkinan lelaki ini sedang bercanda. Dengan cepat ia memeluk Gilberto singkat lalu berpamitan untuk pergi. Ia melangkah menuju Gerardo yang membukakan pintu mobil untuknya, lalu mereka pun pergi.

Mobil itu melaju meninggalkan Gilberto yang masih berdiri terpaku di depan pintu.

***

“Aku senang kau menerima ajakan kencanku,” kata Gerardo sambil menggenggam tangan Giselle di atas meja.

Mereka berdua duduk berhadapan di dalam sebuah restoran mewah. Restoran ini menyajikan makanan khas Spanyol. Lampu-lampu kuning yang menghiasi ruangan menjadi sumber cahaya utama restoran ini. Beberapa piring dan pigura dipajang dengan indah di dindingnya.

Semua berlangsung baik saja. Mereka berdua menyantap makanan sambil mengobrol singkat. Ia merasa bahagia bisa pergi makan malam dengan lelaki tampan dan baik seperti Gerardo. Sempat Giselle berpikir bahwa mungkin saja lelaki ini jodoh yang diciptakan Tuhan untuknya. Hingga tiba ketika dalam sekejap semua yang bisa dipikirkan Giselle hanyalah sosok Gilberto yang berdiri di depan pintu rumahnya.

Giselle tidak bisa berhenti memikirkan lelaki itu. Apa yang sudah terjadi pada Gilberto? Ia terus bertanya-tanya. Rasa penasaran memenuhi hatinya hingga ia tidak lagi mendengarkan lelaki di hadapannya.

Sekarang Giselle hanya ingin pergi dari sini dan menemui Gilberto. Ia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Ini kencan yang sudah ditunggu-tunggunya. Tapi sekarang ia malah memikirkan lelaki lain di kengah kencannya.

“Ada apa, Giselle?” tanya Gerardo dengan wajah cemas saat menyadari perubahan ekspresi Giselle.

Giselle menggelengkan kepalanya. “Tidak ada apa-apa. Hanya saja...  aku harus pulang sekarang.”

Gerardo mengernyitkan dahinya. Ia tidak bisa langsung memahami maksud perkataan gadis di hadapannya. “Tapi kita belum selesai makan.”

“Maaf,” kata Giselle sambil sedikit menundukkan kepalanya. “Tapi aku harus menemui Gilberto.”

Belum sempat Gerardo membalas perkataan Giselle, gadis itu sudah bangkit dari duduknya.

“Sekali lagi maaf,” kata Giselle sambil mengangkat tasnya. “Biar aku yang membayar makanan kita.”

Tanpa peduli dengan Gerardo yang berusaha menahannya, Giselle segera pergi dari hadapan lelaki yang tengah patah hati itu.

***

Begitu turun dari taksi yang ditumpanginya, Giselle segera memasuki rumahnya. Ia berharap Gilberto masih menunggunya di sini. Tapi yang ia lihat bukan Gilberto melainkan Gabriel yang tengah duduk di beranda depan rumahnya.

“Kak, apa Gilberto datang kemari?” tanya Giselle dengan napas terburu-buru.

“Ya.” Gabriel menganggukkan kepalanya. “Dia menitipkan ini untukmu.”

Giselle menyambar kotak yang disodorkan Gabriel padanya. Ia membuka kotak itu dan menemukan selembar foto. Foto sepasang anak kecil yang terlihat begitu manis. Gadis kecil itu mengenakan gaun putih dan bando melingkari kepalanya yang terbuat dari bunga. Tangannya menggenggam sekeranjang bunga sementara tangan yang lain berada dalam genggaman lelaki kecil di sampingnya.

Kening Giselle berkerut samar. Sepertinya ia kenal siapa gadis itu. Matanya terbelalak saat mengingat bahwa gadis kecil itu adalah dirinya sendiri. Sementara anak lelaki di sampingnya itu pasti... Gilberto.  Giselle membalik foto itu dan menemukan tulisan di sana.

Giselle... Mi novia...
23 September 1998

Sepucuk kertas juga ada di dalam kotak itu. Giselle mengambil dan membaca tulisan tangan Gilberto yang sudah sangat ia kenal itu.

Giselle,
Apa kau ingat di hari itu kita saling mengikrarkan janji? Kau berkata akan menjadi pengantinku. Aku harap kau masih mengingat semua itu. Tapi jika kau lupa, semoga selembar foto ini akan membuatmu ingat. Kembalilah padaku, karena kau milikku.

Yang selalu mencintaimu,
Gilberto.   


Mata Giselle berkaca-kaca saat membaca catatan itu. Ia mengingat kejadian yang terjadi saat ia berusia delapan tahun.  Foto ini diambil di hari pernikahan salah seorang tetangga mereka. Saat itu mereka bermain bersama, berjalan bergandengan tangan, mengucapkan janji seperti pasangan pengantin hari itu. Tapi setelah hari itu berlalu, Giselle melupakan permainan itu. Apalagi setiap hari ia memang terbiasa bemain bersama Gilberto. Kenangan itu hanya menjadi sebagian dari ingatan masa kecilnya bersama lelaki itu.

Berbeda dengan Gilberto. Lelaki itu mengingat semuanya. Bahkan menyimpan foto mereka berdua. Menempatkan kejadian itu sebagai kenangan indah di dalam hatinya. Sesaat ada perasaan hangat yang menjalari hati Giselle. Tapi kenapa selama ini Gilberto tidak pernah membicarakan hal ini?

“Giselle.”

Suara Gabriel membuat gadis itu mengangkat kepalanya.

“Seharusnya kau berterima kasih pada Gilberto. Dia yang selalu menjagamu saat kau koma akibat gempa bumi dua tahun yang lalu. Setiap hari dia datang hanya untuk menggenggam tanganmu dan memohon agar kau segera sadar.”

Giselle terkesiap karena mendengar fakta baru yang sama sekali tidak ia ketahui sebelumnya.

“Dia tampak sangat sedih dan kacau. Bahkan mungkin perasaannya jauh lebih tersiksa daripada perasaanku saat itu.” Gabriel melanjutkan ceritanya. “Aku rasa, dia -Gilberto mencintaimu.”

Air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk mata Giselle, seketika menetes saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Gabriel.

Jika memang benar Gilberto mencintainya sejak dulu, kenapa lelaki itu hanya diam saja? Giselle mengusap air matanya yang  masih deras mengalir di pipinya. Ia jadi membayangkan bagaimana perasaan Gilberto selama ini setiap kali ia menceritakan lelaki lain yang tampak menarik di matanya. Ah- tadi ia juga bercerita dengan penuh semangat kepada Gilberto tentang rencana kencannya. Tanpa sedikit pun memikirkan perasaan lelaki itu.

“Temui dia,” Gilberto berujar singkat sambil menatap adiknya penuh kasih sayang.

Dahi Giselle mengernyit. Benar. Ia harus segera bertemu dengan lelaki itu. Tapi kemana ia harus mencari Gilberto? Oh- mungkin ia bisa langsung mendatangi rumah lelaki itu sekarang...

Tidak. Tunggu dulu.

“Temui aku di taman tempat kita bermain saat masih anak-anak.”

Giselle tahu sekarang kemana ia harus menemukan lelaki itu. Ia segera berlari menuju taman yang dimaksud Gilberto. Kaki telanjang Giselle menyentuh permukaan jalan yang kasar. Ia sudah melepas sepatu hak tingginya yang mengganggu langkahnya. Tapi gadis itu tidak peduli. Saat ini ia hanya ingin secepatnya menemui Gilberto.

Perasaan antara bahagia sekaligus heran masih bergayut di hati Giselle. Ia merasa tidak percaya dengan semua yang terjadi malam ini. Kenapa baru sekarang ia menyadari hal ini? Lelaki yang ia cintai dan mencintainya selalu ada di dekatnya. Kebersamaann mereka yang sangat dekat membuat Giselle tidak menyadari bahwa rasa sayangnya kepada lelaki itu lebih dari sekedar sahabat. Selama ini ia melihat terlalu dekat sehingga tidak menyadari api cinta yang membara di mata Gilberto.

Napas Giselle terengah-engah saat tiba di taman itu. Dengan mudah ia menemukan sosok Gilberto. Lelaki itu tengah duduk di ayunan sambil memegang kepalanya yang tertunduk. Kedua sikunya bertumpu di atas lututnya. Sudah berapa lama lelaki itu menunggunya di sini?

Gilberto mengangkat kepalanya saat menyadari seseorang datang. Tiga jam menunggu tanpa kepastian nyaris membuat ia putus asa. Tapi untunglah ia tidak menyerah. Orang yang ia tunggu sedang berdiri satu meter di hadapannya sekarang. Cantik seperti biasanya walaupun tampak sedikit berantakan.

“Giselle?” gumam Gilberto sambil bangkit dari duduknya hendak menyambut kedatangan gadisnya.

Tapi gadis itu bergeming. Sesaat membuat Gilberto mengira bahwa gadis itu sedang marah.

“Giselle, maafkan aku karena bersikap kekanak-kanakan.”

Giselle sedang berusaha mengatur napasnya saat mendengar Gilberto mulai bicara.

“Tapi memang hanya kenangan masa kecil kitalah satu-satunya bagian darimu yang bisa aku miliki. Tanpa itu semua, aku akan kehilanganmu.”

Bodoh.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Giselle sudah memacu langkahnya lagi. Dengan cepat ia berlari dan menghambur ke dalam pelukan lelaki itu.

“Terima kasih,” bisik Giselle di telinga Gilberto. Lelaki itu nyaris tersungkur di tanah karena Giselle yang tiba-tiba melompat lantas memeluknya. Giselle melepas pelukannya lalu berkata, “Aku mencintaimu, Gilberto.”

Apa?

Mata Gilberto terbelalak saat mendengar pernyataan cinta yang tiba-tiba dari gadis yang kembali memeluknya tanpa ampun. Tapi kemudian lelaki itu tersenyum saat mendengar Giselle mengulang kalimat itu di telinganya. Walaupun ia tidak bisa melihat wajah cantik gadisnya, tapi ia tahu bahwa gadis itu mengatakannya dengan tulus dan penuh perasaan. Tanpa bisa menghapus senyuman di bibirnya, Gilberto mempererat pelukannya. Seolah ia tidak ingin melepaskan gadis itu barang sebentar.

Giselle. Gadis yang diimpikan Gilberto lebih dari segala hal di dunia, berada dalam pelukannya sekarang.

“Terima kasih,” lelaki itu balas berbisik di telinga Giselle.

Terima kasih karena Tuhan mempertemukan kita.
Terima kasih karena kau sudah hadir dalam hidupku.
Terima kasih karena kau kembali sadar dari tidur panjangmu.
Terima kasih karena kau mencintaiku.

Aku mencintaimu, Giselle.


TAMAT

*Gracias = bahasa Spanyol, artinya ‘terima kasih’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D