Ada beberapa bahasa Spanyol yang terselip dalam
cerpen ini.
Kalau ada yang salah, ketawain dulu tapi setelah
itu kasih tau yang bener ya. ^^
Camilan sudah siap? Oke.
Selamat membaca.
Selamat tahun baru 2015!! \(^^)/
Semoga di tahun
ini kita semua akan menjadi bangsa yang lebih baik.
Aamiin.
Giselle berdiri
menghadap kaca jendela besar gedung ini, menatap jalanan yang cukup ramai di
bawah sana. Perlahan gadis itu menyesap kopi pahitnya lalu memperhatikan
orang-orang yang berjalan di sepanjang
trotoar dan mobil-mobil yang berlalu-lalang di jalan raya. Pemandangan yang
biasa terjadi setiap harinya. Ia memang tipikal gadis yang suka memperhatikan
orang-orang di sekitarnya. Memperhatikan ekspresi mereka sambil menerka apa
yang ada dalam pikiran orang-orang itu.
Saat ini Giselle
sedang berada di sebuah ruang pertemuan milik majalah Belleza. Sebentar lagi
akan diadakan pertemuan untuk membahas konsep pemotretan yang akan diadakan minggu
depan. Ini adalah pekerjaan pertama yang gadis itu terima setelah vakum dari
dunia modeling selama hampir dua tahun.
Gadis itu
menjauhi jendela dan kembali ke tempat duduknya saat mendengar beberapa orang
masuk ke ruangan. Itu berarti sebentar lagi pertemuan akan segera di mulai.
Sedikit banyak Giselle sudah mendengar konsep dasar pemotretan ini dari
manajernya yang sekarang duduk di samping kanannya. Pemotretan kali ini mengambil
konsep percintaan karena memang bertujuan untuk menyambut valentine di bulan Februari. Dan lelaki yang duduk di samping
kirinya ini yang akan menjadi pasangannya.
Giselle mencuri
pandang sekilas ke arah lelaki yang tidak lain adalah Gilberto. Ia mengenal lelaki
ini sejak mereka berdua masih anak-anak. Kedua ibu mereka saling mengenal
dengan baik karena tinggal bertetangga. Ibu Gilberto yang dulu mengajak ibu
Giselle untuk mengenalkan anak mereka ke dunia modeling. Beruntung, hal
tersebut berdampak baik. Sejak saat itu, Giselle dan Gilberto dikenal sebagai
model yang berbakat.
Belakangan ini,
banyak media yang memberitakan kedekatan mereka berdua. Media cukup heboh
membahas percintaan dari dua model yang sudah dekat sejak kecil dan akhirnya
jatuh cinta. Padahal berita tersebut sama sekali bohong. Hubungan Giselle dan
Gilberto murni hanya sebagai sahabat. Tapi majalah ini memanfaatkan dengan baik
kehebohan itu dan menjadikan mereka sepasang kekasih untuk foto sampul majalah fashion ini.
Gilberto dua
tahun lebih tua dari Giselle. Wajah mereka berdua memiliki daya tarik
masing-masing yang disukai oleh para fotografer. Gilberto memang memiliki wajah
tampan khas orang Spanyol yang disukai para gadis. Bahkan Giselle pun mengakui
hal tersebut. Matanya yang cokelat seakan mampu membuat setiap gadis tenggelam
dalam tatapannya. Hidungnya mancung dengan bibir yang tipis. Alisnya yang tebal
dan tegas, juga kulitnya yang kecokelatan menambah kesan jantan dan gagah.
Sementara Giselle
tampak menarik dan unik karena memilki mata bulat dengan manik hitam dan kulit
berwarna kuning langsat seperti ibunya. Pipinya merona. Bibirnya mungil
berwarna merah muda. Rambutnya ikal dan menjuntai indah sampai punggungnya.
Mereka berdua
juga sama-sama memiliki bentuk tubuh proporsional yang disukai para
perancang busana. Tidak terlalu
kurus, juga tidak terlalu gemuk. Kepandaian
mereka berbicara juga menjadi nilai
tambah yang membuat orang-orang
senang untuk bekerja sama
dengan mereka. Bukan hal yang
mengherankan jika mereka bisa terus mempertahankan eksistensi di dunia modeling.
Pertemuan hari
ini sudah berakhir. Giselle berjalan keluar ruangan berdampingan dengan
Gilberto. Ia ingat bahwa ada hal yang ingin ia katakan kepada lelaki ini.
“Gilberto.”
Panggil Giselle saat mereka melangkah masuk ke dalam lift. “Apa malam ini kau
ada pekerjaan?”
Lelaki itu
menatap ke arah Giselle tapi tidak langsung menjawab. Ia mengerutkan kening
sejenak untuk mengingat kemudian berkata, “Sepertinya tidak ada.”
“Bagus.” Giselle
berdecak penuh semangat. “Nanti malam kau datang ke rumahku, ya. Kita makan
malam bersama.”
Gilberto
mengangkat alisnya. Ada apa ini?
Kenapa gadis ini mengundangnya makan malam? “Kenapa?”
“Kakak mengajak gadis
yang akan menjadi pengantinya ke rumah malam ini, kau tahu? Mana mungkin aku
tahan berada di meja makan dengan sepasang kekasih yang tengah dibakar rindu,”
ucap Giselle sambil memohon dengan wajah yang melas.
Gilberto menghela
napas berat. Ia tahu benar jika gadis ini sudah
berekspresi seperti itu, maka
tidak ada jawaban selain menyetujui ajakannya. Setelah Gilberto menganggukkan
kepalanya, Giselle langsung cengar-cengir sebagai tanda rayuannya berhasil.
***
Giselle keluar
dari kamar mandi dengan rambut yang dibungkus handuk. Ia harus segera berdandan
untuk menyambut kedatangan calon kakak iparnya. Sambil berdiri di depan cermin
besar di kamarnya, gadis itu merias diri sambil berdendang ceria. Ini adalah
kebahagiaan kakaknya yang juga menjadi kebahagiaannya.
Tepat saat
Giselle memulas bibirnya dengan lipstik merah muda, ia mendengar bunyi mesin
mobil kakaknya berhenti di depan rumah. Gadis itu bergegas mengintip melalui
jendela kamarnya. Kamar Giselle berada di lantai dua dan melalui jendela kamar
ia dapat melihat jelas pemandangan di depan rumah. Kakaknya turun dari mobil
diikuti seorang gadis cantik. Mereka membawa beberapa koper.
Sebelum keluar
dari kamarnya, sekali lagi Giselle mematut bayangan dirinya di cermin. Ia ingin
memastikan bahwa penampilannya sudah sempurna. Rambutnya yang panjang sudah
tertata rapi. Riasan wajahnya natural dan tidak berlebihan. Terusan sepanjang
lutut berwarna khaki membalut tubuh
semampainya dengan pas. Perfecto.
Giselle tiba
tepat waktu di depan pintu utama rumahnya. Ia menahan napas sambil membuka
pintu. Begitu pintu terbuka, ia langsung memeluk erat kakaknya sebagai ungkapan
kerinduan. Sedetik kemudian Giselle mengalihkan pandangannya kepada gadis di
samping kakaknya.
Gadis itu sedikit
menganggukkan kepalanya dengan ramah ke arah Giselle. Kakaknya pernah
mengatakan bahwa gadis ini bernama Gita. Seorang gadis yang berasal dari
Indonesia sama seperti negara asal ibunya. Kakak Giselle yang bernama Gabriel,
bertemu dengan gadis ini di tempat mereka kuliah. Saat itu ayah mereka memang
mengirim Gabriel untuk kuliah di Indonesia sekaligus untuk memantau cabang perusahaan
yang ada di sana. Tapi siapa yang menyangka bahwa meninggalnya kedua orang tua
mereka mengharuskan Gabriel untuk memimpin langsung perusahaan.
“¡Hola!
Me llamo Giselle. ¿Cómo se llama?” Giselle mengucap salam, memperkenalkan diri, dan
menanyakan nama gadis di hadapannya dalam bahasa Spanyol.
Sontak Gita mengernyitkan
dahinya dengan bingung. Tidak mengerti apa yang dikatakan gadis di hadapannya.
Ia lalu menggerakkan kepala ke arah Gabriel, meminta penjelasan darinya. Tapi
lelaki itu malah menatap kesal ke arah gadis yang tengah tersenyum lebar itu.
“Giselle.” Suara Gabriel
terdengar sedikit geram. Ia sudah hafal dengan keusilan adiknya ini. “Jangan
membuat Gita bingung.”
Giselle malah terkekeh
mendengar teguran kakaknya itu. “Maaf,maaf. Aku hanya bercanda, Kak.”
Tentu saja Giselle bisa
berbahasa Indonesia. Sejak kecil, ibunya yang mengajarinya. Ia lalu tersenyum
lembut ke arah Gita sambil mengulurkan tangannya. Mereka berdua saling
menyebutkan nama masing-masing. Tidak perlu menunggu waktu lama, mereka sudah
akrab begitu saja. Giselle dan Gita berbicara tentang banyak selama mereka
menaiki tangga menuju lantai dua. Selama berada di Spanyol, Gita akan menginap
di kamar yang bersebelahan dengan kamar Giselle.
“Hei. Jika merasa bosan,
kau bisa mengetuk pintu kamarku. Kita bisa mengobrol atau minum teh bersama di
balkon kamarku,” kata Giselle saat mengantarkan Gita ke kamarnya.
Gita mengangguk setuju
lalu tersenyum. Giselle adalah gadis yang lucu dan lugas. Gita mungkin bisa
berteman baik dengannya.
“Maaf. Aku lupa cerita
padamu kalau adikku itu cerewet,” ujar Gabriel yang disambut pukulan ringan di
lengannya, tanda protes dari Giselle. Gita hanya tertawa melihat perdebatan
kakak-adik yang berlangsung di hadapannya.
“Kalau begitu, aku kembali ke kamar dulu,” pamit Giselle
kepada Gita. Ia berpura-pura tidak mendengar Gabriel yang masih terus mencoba
memancing perdebatan konyol. “Sampai bertemu saat makan malam.”
Giselle berjalan meninggalkan
sepasang kekasih itu. Dalam hati, ia mendoakan kebahagiaan Gabriel. Kakaknya
itu pasti sangat tersiksa saat harus berpisah dengan gadis yang dicintainya
selama dua tahun. Dan sedikit banyak Giselle merasa bersalah karena kakaknya
harus mengorbankan kebahagiaannya demi menjaga dirinya yang terbaring koma dan
menemani selama ia menjalani proses penyembuhan.
Yang sekarang bisa
dilakukan Giselle hanyalah membantu Gabriel untuk mendapatkan kebahagiaan.
***
“Ini kopimu.”
Giselle menoleh dan
melihat penata riasnya sedang mengulurkan secangkir kopi yang mengepul. Senyum Giselle
mengembang saat menghirup aroma kopi yang menguar di udara. Ia menerima secangkir
kopi itu, menyesapnya, lalu mendesah senang ketika kehangatan kopi itu
menjalari tenggorokan dan dadanya.
“Terima kasih,” kata
Giselle kemudian.
Melalui cermin di
hadapannya, gadis itu dapat melihat jelas sosok Gilberto yang tengah mengobrol
dengan wajah serius bersama kepala redaksi, fotografer, dan beberapa staf lain.
Pemotretan kali ini mengusung
tema cinta yang murni. Pakaian serba putih dan latar yang juga putih dipilih
agar sesuai dengan tema. Tapi beberapa menit yang lalu, pemotretan dihentikan
secara tiba-tiba. Kepala redaksi majalah Belezza merasa kurang puas dengan
hasil pemotretan. Seperti ada yang kurang dan membosankan.
Giselle kembali menyesap
kopinya dan berusaha untuk tidak peduli. Ingatannya melayang ke malam dimana
ia, Gilberto, Gabriel, dan Gita makan malam bersama di rumahnya. Saat itu
Giselle benar-benar melihat binar kebahagiaan yang nyata di mata kakaknya. Cara
mereka berdua saling menatap, saling menyentuh, dan saling memuji satu sama
lain tampak begitu penuh cinta. Seperti ada benang merah tak terlihat yang
mengikat di jari kelingking mereka. Jodoh yang sudah ditentukan Tuhan. Giselle
jadi bertanya-tanya, kapan ia akan bertemu lelaki yang jari kelingkingnya
terikat di ujung benang merah yang mengikat jari kelingkingnya.
“...selle?”
Benar juga. Benang merah.
“Giselle?”
Giselle tersentak,
mendongak dan menatap langsung ke arah lelaki yang menyebut namanya. Ternyata
lelaki itu Gerardo, si fotografer. Sekarang lelaki itu tengah memandang cemas
ke arah Giselle yang tidak menjawab pertanyaannya.
“Apa kau memiliki ide
untuk pemotretan ini, Giselle? Biasanya para gadis memiliki sisi romantis yang
menakjubkan,” ujar Gerardo seraya tersenyum.
Giselle mengerjap satu
kali karena baru tersadar dari lamunan. Perlahan ia mengembuskan napas lalu bergumam, “Sepertinya
ada.”
Tidak ada yang bersuara.
Semua menunggu Giselle untuk mengutarakan idenya. Benar kata Gerardo, para
gadis biasanya memang memiliki sisi romantis yang menakjubkan.
“Menurutku, bagaimana
jika ditambahkan benda lain ke latar pemotretan. Mungkin balon berwarna merah
atau bantal merah berbentuk hati.”
Semua orang masih terdiam
dan seperti menunggu. Giselle bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah
Gilberto. Ia meraih tangan lelaki itu lalu menggenggamnya. Menautkan jemarinya
di sela jemari lelaki itu.
“Atau mungkin aku dan
Gilberto...” Takut-takut Giselle mengungkapkan ide yang terlintas begitu saja
di benaknya. “Tanganku dan tangan Gilberto bergenggaman seperti ini lalu diikat
dengan pita berwarna merah. Seperti benang merah perjodohan.”
Ruangan itu tetap sunyi. Tapi,
kesunyian kali ini berbeda. Semua orang tampak hanyut bersama visualisasi ide
yang diungkapkan Giselle dalam pikiran mereka masing-masing.
Gerardo melirik ke arah
kepala redaksi, diikuti yang lainnya. Sedetik kemudian, kepala redaksi tampak
menganggukkan kepalanya. “Saya suka... warna merah di tengah warna putih yang
suci. Saya setuju. Kita mulai pemotretan dalam sepuluh menit.” Kepala redaksi
menepuk ringan bahu Giselle. “Buen
trabajo, Giselle.”
Semua orang langsung
kembali ke posisi masing-masing setelah mendengar pernyataan kepala redaksi.
Sementara Giselle merasakan
darahnya berdesir hangat. Wajahnya berangsur berseri. Perlahan ia melepaskan
genggaman tangannya di tangan Gilberto, lalu berjalan kembali ke meja riasnya.
Memperisapkan diri untuk melanjutkan pemotretan.
Tanpa ada yang menyadari.
Gilberto masih terpaku selama beberapa detik. Membiarkan dirinya sendiri terbengong-bengong
di tengah ruangan dengan wajah yang memerah.
***
Mobil Giselle yang
dikendarai supirnya mulai melaju di jalanan. Ia duduk di bangku penumpang
bersebelahan dengan manajernya yang sedang mengingatkannya tentang apa saja kegiatannya
hari ini. Setelah ia dan Gilberto tampil di sampul majalah Belezza, tawaran
pekerjaan untuk gadis itu datang silih berganti. Begitu manajernya selesai
berbicara, Giselle mengangguk tanda mengerti.
Giselle melahap satu
persatu churros dalam kantung kertas
di pangkuannya sambil memegang ponsel di tangan kirinya. Saat ini ia sedang
membuka sebuah situs online berbahasa
Indonesia yang menyuguhkan cerita-cerita romantis. Ini adalah salah satu
caranya untuk menghabiskan waktu luangnya -membaca cerita sambil mengunyah camilan. Cerita-cerita romantis yang
dibacanya terkadang membuat gadis itu mengkhayal bisa bertemu dengan lelaki
sempurna seperti tokoh utama dalam cerita-cerita itu.
Tiga puluh menit kemudian,
Giselle sudah tiba di taman yang menjadi lokasi pemotretan untuk hari ini dan
sudah duduk di dalam tenda sementara yang didirikan di salah satu sudut Parque del Buen Retiro.
Ia memandang berkeliling. Di sekitarnya terlihat para staf yang sibuk dengan
tugas mereka masing-masing. Ada yang mengangkut sesuatu, memasang sesuatu, dan saling berseru untuk memastikan persiapan
sudah sempurna.
Taman ini cukup luas dan
terkenal. Banyak musisi dan seniman jalanan yang mempertunjukkan bakat mereka
kepada para pengunjung. Di taman ini terdapat beberapa air mancur yang indah
yang memiliki bentuk klasik khas Eropa Barat. Patung-patung bebentuk malaikat
juga tampak menghiasi taman ini. ada juga bangunan klasik, monumen, dan danau
di taman yang merupakan peninggalan kerajaan ini.
Giselle dan tiga model
lainnya sudah siap. Keempat gadis itu sudah selesai dirias dan mengenakan gaun
pengantin yang mereka peragakan. Gaun-gaun pengantin yang cantik itu merupakan
hasil rancangan seorang desainer Spanyol yang terkenal di dunia. Giselle merasa
beruntung bisa mengenakan gaun yang membuatnya merasa seperti pengantin
sungguhan.
Pemuda jangkung yang
sedang memegang kamera itu tersenyum ramah kepada Giselle. Dengan sigap ia
memberi pengarahan kepada Giselle yang sedang berpose di dekat mawar-mawar yang
bermekaran. Giselle sudah sering bertemu dengan fotografer ini dalam beberapa
pemotretan sebelumnya. Pertemuan pertama mereka adalah saat pemotretan di majalah
Belezza. Lelaki bernama Gerardo itu cukup mengusik hati Giselle beberapa pekan
terakhir ini.
Gerardo membidikkan
kameranya ke arah Giselle. Ia merasa terpana dengan sosok gadis yang dilihatnya
dari balik lensa. Gadis itu tampak cantik mengenakan gaun pernikahan dengan
potongan one shoulder dan empire line. Gaun berbahan kain sifon
putih itu tampak melekat pas di tubuh rampingnya. Giselle bergerak dengan
begitu anggun, membuat ia terlihat seperti dewi kahyangan.
Gerardo berjanji dalam
hati, ia akan mengajak kencan gadis ini secepatnya.
***
Sabtu malam, Giselle
berdiri di depan cermin, mencoba gaun yang berbeda untuk kencannya malam ini.
masih terasa mimpi bagi gadis itu saat Gerardo mengajaknya kencan. Tanpa sempat
berpikir sekali lagi, saat itu juga ia langsung menyetujui ajakan lelaki itu.
Gerardo berkata, ia akan
menjemput Giselle pukul tujuh malam. Itu berarti ia memiliki waktu satu jam
untuk bersiap-siap. Gadis itu bergegas menentukan pakaian, sepatu, dan tas yang
akan ia kenakan malam ini. Ia ingin membuat lelaki itu terkesan pada
penampilannya.
Sebelum pukul tujuh,
Giselle sudah selesai berdandan lalu memutuskan untuk menunggu Gerardo di ruang
tamu. Tak lama kemudian, ia mendengar pintu rumahnya diketuk. Dengan cepat
Giselle membuka pintu dan mendapati seorang lelaki tampan berdiri di
hadapannya.
Gilberto.
Lelaki itu menatap heran
ke arah Giselle yang tampak sangat cantik. “Kau mau pergi?”
Giselle menganggukkan
kepalanya sambil tersenyum lebar. Sudah sejak beberapa hari yang lalu, ia ingin
sekali menceritakan hal ini kepada sahabatnya, Gilberto. Tapi kesibukan mereka
masing-masing membuatnya sulit bertemu dengan Gilberto. Mungkin saat inilah
waktu yang tepat untuk bercerita.
“Aku akan pergi berkencan
dengan Gerardo -fotografer saat pemotretan di Belezza, kau ingat?”
Giselle memulai ceritanya dengan penuh semangat. Matanya menerawang saat
Gerardo muncul dalam benaknya. “Dia lelaki yang baik dan menyenangkan.”
Hening. Tidak ada jawaban
apa-apa yang keluar dari bibir Gilberto. Lelaki itu sibuk dengan pikirannya
sendiri. Tiba-tiba Glberto merasa jantungnya seperti jatuh ke tanah saat
menyadari bahwa Giselle tampil secantik ini untuk lelaki selain dirinya. Apa
yang harus dilakukannya sekarang?
Terdengar suara mobil
berhenti di depan rumah Giselle. Seketika itu juga, wajah gadis di hadapan
Gilberto semakin merona.
Sial.
“Jangan pergi,” Gilberto
menggeram. Rahangnya tampak mengeras dengan gigi gemeretak.
Giselle mengerutkan
kening. Ia menatap lekat-lekat lelaki di hadapannya. Apa katanya tadi?
“Jangan pergi, Giselle.”
Gilberto mengulangi kata-katanya. “Temui aku di taman tempat kita bermain saat
masih anak-anak.”
Giselle semakin bingung
dengan sikap Gilberto yang tidak seperti biasanya. Untuk apa pergi ke taman malam-malam begini? Gadis itu lantas
tertawa kecil saat menyadari adanya kemungkinan lelaki ini sedang bercanda.
Dengan cepat ia memeluk Gilberto singkat lalu berpamitan untuk pergi. Ia
melangkah menuju Gerardo yang membukakan pintu mobil untuknya, lalu mereka pun
pergi.
Mobil itu melaju
meninggalkan Gilberto yang masih berdiri terpaku di depan pintu.
***
“Aku senang kau menerima
ajakan kencanku,” kata Gerardo sambil menggenggam tangan Giselle di atas meja.
Mereka berdua duduk
berhadapan di dalam sebuah restoran mewah. Restoran ini menyajikan makanan khas
Spanyol. Lampu-lampu kuning yang menghiasi ruangan menjadi sumber cahaya utama
restoran ini. Beberapa piring dan pigura dipajang dengan indah di dindingnya.
Semua berlangsung baik
saja. Mereka berdua menyantap makanan sambil mengobrol singkat. Ia merasa
bahagia bisa pergi makan malam dengan lelaki tampan dan baik seperti Gerardo.
Sempat Giselle berpikir bahwa mungkin saja lelaki ini jodoh yang diciptakan
Tuhan untuknya. Hingga tiba ketika dalam sekejap semua yang bisa dipikirkan
Giselle hanyalah sosok Gilberto yang berdiri di depan pintu rumahnya.
Giselle tidak bisa
berhenti memikirkan lelaki itu. Apa yang
sudah terjadi pada Gilberto? Ia terus bertanya-tanya. Rasa penasaran
memenuhi hatinya hingga ia tidak lagi mendengarkan lelaki di hadapannya.
Sekarang Giselle hanya
ingin pergi dari sini dan menemui Gilberto. Ia merasa bingung dengan dirinya
sendiri. Ini kencan yang sudah ditunggu-tunggunya. Tapi sekarang ia malah
memikirkan lelaki lain di kengah kencannya.
“Ada apa, Giselle?” tanya
Gerardo dengan wajah cemas saat menyadari perubahan ekspresi Giselle.
Giselle menggelengkan
kepalanya. “Tidak ada apa-apa. Hanya saja... aku harus pulang sekarang.”
Gerardo mengernyitkan
dahinya. Ia tidak bisa langsung memahami maksud perkataan gadis di hadapannya. “Tapi
kita belum selesai makan.”
“Maaf,” kata Giselle
sambil sedikit menundukkan kepalanya. “Tapi aku harus menemui Gilberto.”
Belum sempat Gerardo
membalas perkataan Giselle, gadis itu sudah bangkit dari duduknya.
“Sekali lagi maaf,” kata
Giselle sambil mengangkat tasnya. “Biar aku yang membayar makanan kita.”
Tanpa peduli dengan
Gerardo yang berusaha menahannya, Giselle segera pergi dari hadapan lelaki yang
tengah patah hati itu.
***
Begitu turun dari taksi
yang ditumpanginya, Giselle segera memasuki rumahnya. Ia berharap Gilberto
masih menunggunya di sini. Tapi yang ia lihat bukan Gilberto melainkan Gabriel
yang tengah duduk di beranda depan rumahnya.
“Kak, apa Gilberto datang
kemari?” tanya Giselle dengan napas terburu-buru.
“Ya.” Gabriel
menganggukkan kepalanya. “Dia menitipkan ini untukmu.”
Giselle menyambar kotak
yang disodorkan Gabriel padanya. Ia membuka kotak itu dan menemukan selembar
foto. Foto sepasang anak kecil yang terlihat begitu manis. Gadis kecil itu
mengenakan gaun putih dan bando melingkari kepalanya yang terbuat dari bunga. Tangannya
menggenggam sekeranjang bunga sementara tangan yang lain berada dalam genggaman
lelaki kecil di sampingnya.
Kening Giselle berkerut
samar. Sepertinya ia kenal siapa gadis itu. Matanya terbelalak saat mengingat
bahwa gadis kecil itu adalah dirinya sendiri. Sementara anak lelaki di
sampingnya itu pasti... Gilberto. Giselle membalik foto itu dan menemukan
tulisan di sana.
Giselle... Mi novia...
23 September 1998
Sepucuk kertas juga ada
di dalam kotak itu. Giselle mengambil dan membaca tulisan tangan Gilberto yang
sudah sangat ia kenal itu.
Giselle,
Apa kau ingat di hari itu kita saling mengikrarkan janji? Kau berkata akan
menjadi pengantinku. Aku harap kau masih mengingat semua itu. Tapi jika kau
lupa, semoga selembar foto ini akan membuatmu ingat. Kembalilah padaku, karena
kau milikku.
Yang selalu mencintaimu,
Gilberto.
Mata Giselle berkaca-kaca
saat membaca catatan itu. Ia mengingat kejadian yang terjadi saat ia berusia
delapan tahun. Foto ini diambil di hari
pernikahan salah seorang tetangga mereka. Saat itu mereka bermain bersama,
berjalan bergandengan tangan, mengucapkan janji seperti pasangan pengantin hari
itu. Tapi setelah hari itu berlalu, Giselle melupakan permainan itu. Apalagi setiap hari ia memang terbiasa bemain
bersama Gilberto. Kenangan itu hanya menjadi sebagian dari ingatan masa
kecilnya bersama lelaki itu.
Berbeda dengan Gilberto.
Lelaki itu mengingat semuanya. Bahkan menyimpan foto mereka berdua. Menempatkan
kejadian itu sebagai kenangan indah di dalam hatinya. Sesaat ada perasaan hangat
yang menjalari hati Giselle. Tapi kenapa
selama ini Gilberto tidak pernah membicarakan hal ini?
“Giselle.”
Suara Gabriel membuat
gadis itu mengangkat kepalanya.
“Seharusnya kau berterima
kasih pada Gilberto. Dia yang selalu menjagamu saat kau koma akibat gempa bumi
dua tahun yang lalu. Setiap hari dia datang hanya untuk menggenggam tanganmu
dan memohon agar kau segera sadar.”
Giselle terkesiap karena
mendengar fakta baru yang sama sekali tidak ia ketahui sebelumnya.
“Dia tampak sangat sedih
dan kacau. Bahkan mungkin perasaannya jauh lebih tersiksa daripada perasaanku
saat itu.” Gabriel melanjutkan ceritanya. “Aku rasa, dia -Gilberto mencintaimu.”
Air mata yang sejak tadi
menggenang di pelupuk mata Giselle, seketika menetes saat mendengar kalimat terakhir
yang diucapkan Gabriel.
Jika memang benar Gilberto mencintainya sejak dulu, kenapa lelaki itu hanya
diam saja? Giselle mengusap air
matanya yang masih deras mengalir di
pipinya. Ia jadi membayangkan bagaimana perasaan Gilberto selama ini setiap
kali ia menceritakan lelaki lain yang tampak menarik di matanya. Ah- tadi ia juga bercerita dengan penuh semangat kepada Gilberto tentang
rencana kencannya. Tanpa sedikit pun memikirkan perasaan lelaki itu.
“Temui dia,” Gilberto
berujar singkat sambil menatap adiknya penuh kasih sayang.
Dahi Giselle mengernyit. Benar.
Ia harus segera bertemu dengan lelaki itu. Tapi kemana ia harus mencari
Gilberto? Oh- mungkin ia bisa langsung mendatangi rumah lelaki itu
sekarang...
Tidak. Tunggu dulu.
“Temui aku di taman tempat kita bermain saat masih anak-anak.”
Giselle tahu sekarang
kemana ia harus menemukan lelaki itu. Ia segera berlari menuju taman yang
dimaksud Gilberto. Kaki telanjang Giselle menyentuh permukaan jalan yang kasar.
Ia sudah melepas sepatu hak tingginya yang mengganggu langkahnya. Tapi gadis
itu tidak peduli. Saat ini ia hanya ingin secepatnya menemui Gilberto.
Perasaan antara bahagia
sekaligus heran masih bergayut di hati Giselle. Ia merasa tidak percaya dengan
semua yang terjadi malam ini. Kenapa baru
sekarang ia menyadari hal ini? Lelaki yang ia cintai dan mencintainya
selalu ada di dekatnya. Kebersamaann mereka yang sangat dekat membuat Giselle
tidak menyadari bahwa rasa sayangnya kepada lelaki itu lebih dari sekedar
sahabat. Selama ini ia melihat terlalu dekat sehingga tidak menyadari api cinta
yang membara di mata Gilberto.
Napas Giselle
terengah-engah saat tiba di taman itu. Dengan mudah ia menemukan sosok
Gilberto. Lelaki itu tengah duduk di ayunan sambil memegang kepalanya yang
tertunduk. Kedua sikunya bertumpu di atas lututnya. Sudah berapa lama lelaki itu menunggunya di sini?
Gilberto mengangkat
kepalanya saat menyadari seseorang datang. Tiga jam menunggu tanpa kepastian
nyaris membuat ia putus asa. Tapi untunglah ia tidak menyerah. Orang yang ia
tunggu sedang berdiri satu meter di hadapannya sekarang. Cantik seperti
biasanya walaupun tampak sedikit berantakan.
“Giselle?” gumam Gilberto
sambil bangkit dari duduknya hendak menyambut kedatangan gadisnya.
Tapi gadis itu bergeming.
Sesaat membuat Gilberto mengira bahwa gadis itu sedang marah.
“Giselle, maafkan aku
karena bersikap kekanak-kanakan.”
Giselle sedang berusaha
mengatur napasnya saat mendengar Gilberto mulai bicara.
“Tapi memang hanya kenangan
masa kecil kitalah satu-satunya bagian darimu yang bisa aku miliki. Tanpa itu
semua, aku akan kehilanganmu.”
Bodoh.
Tanpa mengatakan apa-apa
lagi, Giselle sudah memacu langkahnya lagi. Dengan cepat ia berlari dan
menghambur ke dalam pelukan lelaki itu.
“Terima kasih,” bisik
Giselle di telinga Gilberto. Lelaki itu nyaris tersungkur di tanah karena
Giselle yang tiba-tiba melompat lantas memeluknya. Giselle melepas pelukannya
lalu berkata, “Aku mencintaimu, Gilberto.”
Apa?
Mata Gilberto terbelalak
saat mendengar pernyataan cinta yang tiba-tiba dari gadis yang kembali
memeluknya tanpa ampun. Tapi kemudian lelaki itu tersenyum saat mendengar
Giselle mengulang kalimat itu di telinganya. Walaupun ia tidak bisa melihat wajah
cantik gadisnya, tapi ia tahu bahwa gadis itu mengatakannya dengan tulus dan
penuh perasaan. Tanpa bisa menghapus senyuman di bibirnya, Gilberto mempererat
pelukannya. Seolah ia tidak ingin melepaskan gadis itu barang sebentar.
Giselle. Gadis yang
diimpikan Gilberto lebih dari segala hal di dunia, berada dalam pelukannya
sekarang.
“Terima kasih,” lelaki
itu balas berbisik di telinga Giselle.
Terima kasih karena Tuhan mempertemukan kita.
Terima kasih karena kau sudah hadir dalam hidupku.
Terima kasih karena kau kembali sadar dari tidur panjangmu.
Terima kasih karena kau mencintaiku.
Aku mencintaimu, Giselle.
TAMAT
*Gracias = bahasa Spanyol, artinya ‘terima kasih’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D