Siang yang begitu terik. Aku harus mengangkat beberapa kardus berisi barang pribadiku sendirian lantaran aku diusir dari kost lama sebab aku ketahuan mabuk-mabukan di dalam kost bersama teman-teman kuliahku. Aku mencoba mengguyur tenggorokanku yang terasa begitu kering dengan segelas es teh yang kubeli di warung ketika perjalanan menuju kost baruku.
Kost tempatku sekarang lebih mirip rumah pribadi dari pada rumah kost. Hanya berisi empat kamar, tiga untuk disewakan dan satu lagi kamar pemilik rumah. Kamarku begitu feminin, bercat pink cerah, berada di lantai dua. Itu membuatku harus berusaha lebih keras lagi untuk memindahkan barang-barangku. Aku memasukkan pakaianku kedalam lemari, bersiul mendendangkan sebuah lagu favoritku ketika seseorang tengah berdiri di depan pintu kamar yang terbuka.
“Hus, jangan siul di dalem rumah, bro. Pamali.” Ujar lelaki berkulit gelap itu dengan rambut kribonya yang tampaknya lebih tua dariku.
“Masih percaya aja sama begituan, bang.” Kataku sambil membereskan kardus yang masih berserakan.
“Eh beneran loh. Kata nenek di kampung siul di rumah bisa datengin setan.” Kata lelaki itu dengan logatnya khas Medan.
“Ah, masa sih?” Kataku yang memang tak percaya dengan mitos. “Saya Rio, bang. Hari ini baru pindah.”
“Semoga betah di sini. Panggil aku Jo.” Kata lelaki itu menjabat tanganku. “Mau dibantu?”
“Nggak usah. Makasih. Udah selesai juga kok.” Begitulah, akhirnya kami melanjutkan obrolan ringan hingga tak terasa merah dan jingga telah bertahta di langit senja.
***
Aku terlentang di atas kasurku yang terasa begitu nyaman. Demi membunuh sepi, aku kembali bersiul mendendangkan lagu favoritku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan, dengan baterai ponsel yang mulai berubah merah. Mataku nyalang menatap langit-langit kusam dengan garis abstrak coklat di beberapa sudut. Mendadak kakiku terasa dingin, akupun melangkahkan kakiku dengan malas demi ngambil sarung yang masih berada di lemariku.
“Hai.” Sapa seorang gadis begitu aku membuka lemari pakaian yang sontak membuatku berdiri kaku karena ketakutan. Buru-buru kututup kembali lemari itu. Aku menggelengkan kepalaku untuk mengusir segala pikiran negatif yang meracuni otakku. Kemudian dengan jantung yang berdegup cukup kencang ku beranikan diri untuk membuka lemari itu kembali. Kosong. Tak ada siapapun di dalam lemari. Aku mendesah lega dan segera ku ambil sarung untuk mengusir dingin.
Aku berbalik dengan perasaan lega. Namun sedetik kemudian tepat di depanku seorang gadis pucat dengan rambut yang lurus panjang berponi tengah tersenyum simpul kepadaku. Jantungku seolah meloncat lewat tenggorokan. Aku mencoba berteriak, namun suaraku tampaknya tunggang langgang meninggalkanku di hadapan gadis itu.
“Kau mau jadi pacarku kan?” Kata gadis itu dengan senyum seribu wattnya yang tak membuatku terpesona sama sekali. Pacar? Jangan bercanda! Batinku. Aku masih berdiri terpaku dengan jiwa yang terguncang hebat ketika hawa dingin semakin menyelimutiku.
“Se– setan!!!” Teriakku dengan mengerahkan kekuatan yang tersisa di tubuhku. Aku berlari untuk membuka pintu. Kuputar kenop pintu dengan tergesa-gesa. Malang, pintuku tak kunjung bisa terbuka. Aku berteriak memanggil nama Jo, berharap ia mendengarku. Namun sepertinya ia tak bisa kuharapkan. Gadis itu menyentuh pundakku. Tangannya terasa begitu dingin membuat bulu kudukku berdiri.
“Jangan takut padaku. Aku hanya ingin punya pacar.” Seru gadis itu dengan wajah sedihnya yang terlihat mengerikan karena wajahnya yang begitu pucat. Aku masih terus menggedor-gedor pintu. Meneriakkan nama Jo untuk meminta bantuan. Aku pernah menonton film hantu macam ini, tokoh utamanya akan mati mengenaskan karena dicekik oleh setan yang mengganggunya. Aku semakin panik. Mulutku komat kamit membaca ayat-ayat suci untuk mengusirnya. Pintuku tiba-tiba terbuka tanpa aku menyentuh kenop pintu. Tak perlu menyia-nyiakan kesempatan itu, aku segera berhambur menuju kamar Jo.
Jo tertawa terbahak-bahak mendengar ceritaku. Ia tak pernah mendengar teriakanku, bahkan gedoran pintu yang berasal dari kamarku yang ada tepat di samping kamarnya.
“Makanya jangan siul di dalem rumah. Kan udah aku bilang itu pamali. Ngundang setan.” Kata Jo dengan tatapan makanya-percaya-aku.
“Tapi biasanya aku begitu juga aman-aman aja bang.” Sanggahku dengan hati yang masih tak karuan.
“Tapi kamarmu itu emang serem sih. Yang biasanya sewa di situ, paling cuma tahan sebulan. Malah dulu si Heri baru dua hari udah pindah lagi.” Kata Jo yang terang membuatku mencurahkan seluruh perhatianku padanya. Aku mengerutkan kening. Bersiap mendengarkan cerita si kribo. Tampaknya ia paham dengan isyaratku dan melanjutkan ceritanya.
“Itu kamar anak bungsu pemilik kost. Namanya Ellen. Kecelakaan tiga tahun yang lalu. ABG yang belom pernah ngerasain pacaran kali, makanya tiap ada cowok yang sewa kamarnya, diajakin pacaran melulu.” Gurauan yang diiringi gelak tawa Jo justru membuatku makin bergidik ngeri. Jo terus menceritakan kisah itu dengan bersemangat sebaliknya membuat nyaliku menciut. Akhirnya kuputuskan untuk menghabiskan malam itu di kamar Jo.
Esoknya, dengan ditemani Jo aku kembali kekamar. Jo mewanti-wanti agar aku tak bersiul di dalam kamar. Akupun menurut. Hantu Ellen tak pernah muncul lagi sejak saat itu, sejak aku menutup mulutku dengan rapat.
Hingga malam itu, aku terlalu girang karena gadis yang kuincar setuju makan siang denganku besok. Aku meletakkan ponsel di bawah bantal setelah mengakhiri percakapan, aku menutup mata sambil bersiul mendendangkan lagu yang mewakili perasaanku.
“Aku juga ingin sepertimu.” Kata Ellen yang muncul tiba-tiba dan tengkurap di sampingku dengan tangannya yang menyangga dagunya. Aku terkejut hingga jatuh ke lantai. “Aku menyukaimu, jika kau tidak mau menjadi pacarku, seumur hidupmu aku akan menghantuimu. Tak peduli meski kau pergi ke ujung dunia.” Ancam Ellen yang menjulurkan kepalanya dari atas ranjang untuk melihatku. Hingga aku mengiyakan permintaan Ellen. Dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih padaku.
Sejak itu ia terus menempel denganku. Selalu memuja-muja status kami. Awalnya memang menggangguku, namun lama-kelamaan aku mulai terbiasa dengan setan yang terus mengikutiku itu. Suatu hari gadis yang kusukai, Rina, mengajakku untuk makan malam. Jika aku memang pacaran dengan Ellen, apakah makan malamku dengan Rina berarti selingkuh? Bimbang sempat menyerbu pikiranku. Namun aku kembali tersadar Ellen semu sedangkan Rina nyata. Akhirnya kuputuskan untuk pergi dengan Rina meski Ellen terus bertanya kemana aku akan pergi. Raut wajahnya tampak kecewa setelah mendengar jawabanku. Namun seulas senyum segera menghiasi bibirnya.
“Terima kasih Rio. Semoga kalian bahagia.” Itu kata-kata terakhirnya yang membuatku merasa bersalah. Semenjak itu Ellen tak pernah lagi muncul meski sering kali aku sengaja bersiul untuk memanggilnya. Kadang secuil hatiku merasa kesepian tanpa kehadirannya, namun aku sadar kami hidup di dunia yang berbeda. Inilah yang terbaik untuk kami berdua.
TAMAT
Hei~ kenapa settingnya harus di kosan siiiih?? :(
BalasHapusati2 kali buka lemari.. tapi mending Ellen toh yg kluar daripada neneknya coming soon? hihihihi
BalasHapusWalah, lek iku yo lebih serem tah.. opo maneh ambek sisiran ngono.. :O
Hapus