Kamis, 30 April 2015

Catch Me If You Can Part 2



Anna melemparkan berkas kasus ke atas meja kerjanya dengan kesal. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa yang nyaman jauh dari meja kerjanya. Jauh dari berkas-berkas terkutuk itu. Jari telunjuknya yang ramping mulai memijat pelipisnya yang berkedut.

“Ada apa dengan wajahmu, Anna? Lihatlah alismu nyaris menyatu.”

Tanpa mengangkat wajahnya, Anna hafal benar suara yang mengalun selembut beledu itu. Suara itu pasti milik sahabatnya yang cantik itu. Tapi kali ini, suara itu terdengar sumbang bagai jarum yang menusuk–nusuk kepalanya.

“Wajahmu terlihat menyeramkan, Anna.” Liza bergumam khawatir melihat ekspresi sahabatnya itu. Ia masuk ke ruangan lalu duduk di sofa panjang lalu diikuti Rick dan juga Hans.

Lelaki yang masuk terakhir itu merupakan seorang intelijen yang bergabung dalam tim mereka untuk menuntaskan kasus ini. Pembunuhan yang terjadi terhadap gadis dengan rambut yang dicat pirang memang bukan yang kali pertama ini terjadi. Sudah terjadi lebih dari lima kasus serupa yang entah mengapa selalu menjadikan gadis dengan rambut dicat pirang sebagai sasarannya.

Anna membuang mukanya ke arah pintu kantornya yang terbuka. Ketiga orang rekan kerjanya ini pasti tidak akan mengerti perasaannya. Ia dan rekan-rekannya baru saja melakukan olah TKP. Tapi kasus yang ia tangani kali ini masih mengalami jalan buntu. Semua terasa janggal tapi begitu sulit rasanya sel abu-abu dalam otaknya memunculkan hipotesis yang tajam. Kasus ini seolah mengabur tanpa bukti yang berarti.

“Jangan terlalu memaksakan dirimu, Anna.” Kali ini Rick yang bersuara.

Tapi Anna memilih untuk tetap diam.

“Lebih baik tenangkan dulu pikiranmu dan kita analisis ini bersama-sama,” timpal Liza sambil meletakkan sekaleng soda ke atas meja dan mendorongnya ke arah Anna.

Anna melirik sedikit ke arah kaleng yang ada di hadapannya. Tapi ia masih saja diam. Rasanya percuma berbicara dengan orang yang tidak memahaminya. Selama ini Anna selalu bergerak cepat dan memecahkan teka-teki kasus seakurat mungkin disertai bukti yang kuat. Tapi kasus kali ini benar-benar....

“Apa kita perlu menambah anggota ke dalam tim kita?” usul Liza.

“Tidak!” sergah Anna cepat. “Cukup kita berempat. Semakin banyak anggota semakin banyak masalah yang akan mempersulit kita untuk mencari titik terang dalam memecahkan kasus ini.”

Anna meraih kaleng soda di hadapannya lalu menaikkan kedua kakinya ke atas meja. Hanya Hans yang sedikit terkejut dengan sikap Anna yang seperti itu. Sementara kedua temannya tampak sudah terbiasa dengan hal tersebut.

Dalam satu tarikan, Anna membuka penutup kaleng menggunakan jari telunjuknya. Sesaat terdengar suara mendesis yang khas sebelum gadis itu meneguk minumannya. “Aku merasakan ada banyak kejanggalan dalam kasus ini.”

“Kau benar, Anna,” sahut Liza. “Semua tersebar begitu membingungkan. Salah satunya... kenapa selalu gadis dengan rambut yang dicat pirang?”

Hans mengangguk setuju. “Sementara gadis dengan rambut pirang alami yang syukurlah tidak pernah menjadi sasaran pelaku. Apakah ini semacam fetish tertentu yang membuat pelaku terobsesi pada gadis dengan rambut dicat pirang? Lalu berakhir pada tindakan yang kelewat batas.”

“Mungkinkah ini ada hubungannya dengan salon tempat gadis-gadis itu mengecat rambutnya?” Tiba-tiba Anna merasa ada setitik cahaya di ujung pikirannya.

“Sepertinya tidak ada,” jawab Hans. “Aku sudah melakukan penyelidikan terkait hal itu. Tapi hasilnya nihil. Semua korban itu mengecat rambut mereka di salon yang berbeda dan merk cat rambut yang berbeda juga.”

Sontak cahaya di pikiran Anna meredup seketika. “Lalu apa sebenarnya yang melatar belakangi pembunuhan terhadap gadis-gadis muda ini?”

“Mungkin... balas dendam atau persaingan karier,” jawab Rick mengira-ngira.

“Ah, siapa yang menyangka gadis secantik itu memiliki musuh yang kejam,” sahut Hans dengan nada prihatin.

Rick menganggukkan kepalanya. “Kau benar. Padahal gadis itu seharusnya lebih pantas berada di pesta  mewah dengan pipi yang bersemu merah muda seperti gaunnya.”

“Tapi bukan sikap prihatin yang harus kita tunjukkan sekarang. Melainkan secepat mungkin menangkap pelakunya,” ujar Hans.

Anna mendengus kesal. “Sejak awal itulah yang aku pikirkan.”

“Mungkin kita bisa bercakap-cakap dengan tetangga gadis itu?” Liza memberikan usul.

“Kenapa?” tanya Rick.

“Karena melalui percakapan bisa saja kita menemukan petunjuk lain,” jawab Liza sambil mengangkat bahunya lalu melirik ke arah Anna. “Kalau kita sering bercakap-cakap, maka ada banyak hal yang bisa terungkap.”

Anna membenamkan wajahnya di antara kedua telapak tangannya. Sesaat, sebuah perasaan negatif menelusup ke dalam hatinya. Ia merasa sudah gagal sebagai seorang detektif. Tapi cepat-cepat ia menggelengkan kepala menolak pemikiran itu. Secepatnya ia harus memecahkan misteri ini dan melemparkan pelakunya ke dalam penjara.

Bagaimanapun caranya. Ia harus bisa bergerak lebih cepat. Demi hasratnya yang selalu haus akan petualangan yang mendebarkan.

***

Anna keluar dari kamarnya sambil mengusap-usap rambut basahnya menggunakan handuk. Perasaannya lebih baik sekarang. Pancuran air yang mengguyur tubuhnya membuat ototnya yang kaku terasa kembali lentur. Begitu juga dengan otaknya yang penat mulai terasa kembali segar.

Setelah mengalungkan handuknya ke leher, Anna ikut bergabung bersama Liza di meja makan. Selain berada dalam satu profesi, Liza dan Anna juga tinggal dalam satu flat yang mereka sewa bersama. Mereka memang sudah terbiasa bersama sejak duduk di kelas sepuluh. Dan terus bersahabat sampai berkuliah di univeresitas yang sama walaupun di jurusan yang berebeda.

Anna memperhatikan Liza yang tengah duduk memeluk lutut dan tampak sibuk dengan layar handphone-nya. Sementara ia sendiri mulai menyalakan laptopnya lalu menyalin data foto dari kameranya.

“Siapa yang sedang kauperhatikan, Nona Stalker?” sindir Anna saat melihat Liza tengah mengumbar senyum kepada layar handphone dalam genggaman. Sementara ia sendiri harus menatap layar laptop yang menampilkan gadis korban pembunuhan yang diketahui bernama Victoria itu.

Liza tidak langsung menjawab. Gadis itu masih tampak asyik berkutat dengan layar handphone-nya. Hingga beberapa detik kemudian ekspresinya berubah lalu berkata, “Melihat blog yang ditulis Rick. Ia baru saja menulis tentang perjalanannya selama cuti tiga hari yang lalu.”

Anna memutar bola matanya. Lagi-lagi lelaki itu.

Kira-kira sejak tiga bulan terakhir ini Liza mulai menaruh perhatian terhadap salah satu rekan kerjanya itu. Semua itu dimulai saat mereka terlibat dalam kasus yang sama. Di tengah penyelidikan, si pelaku yang merasa tidak terima atas tuduhan yang disampaikan Liza menyerang secara tiba-tiba. Beruntung, saat itu Rick yang berada di dekatnya dengan sigap melindungi gadis itu. Bahkan rela terluka cukup dalam yang bahkan masih membekas hingga sekarang.

“Tidak bisakah kaulupakan sejenak masalah percintaanmu itu, Liza? Kita harus memecahkan kasus yang rumit ini sekarang.”

Liza meletakkan handphone­-nya di atas meja. “Kau memang lamban, Anna.”

“Apa?” Mata Anna mendelik mendengar ucapan Liza.

Liza menutupi mulutnya dengan telapak tangan lalu tertawa kecil. “Jangan tersinggung dulu. Kau memang akan kesulitan menemukan petunjuk jika berpikir dengan kepala berat dan otak yang panas.”

“Memang apa yang sudah kautemukan dengan otak dingin-mu itu?” Anna bertanya dengan nada menantang. Satu alisnya terangkat, sedikit tersinggung dengan kata-kata Liza.

Perlahan Liza menarik kursinya lalu duduk tepat di samping Anna. Telunjuknya yang lentik menunjuk ke arah layar laptop milik sahabatnya itu. “Lihatlah gadis ini. Ia terbaring di atas lantai rumahnya dengan riasan sempurna... gaun dan sepasang sepatu yang... cantik. Seolah ia memang sudah menunggu kematiannya malam itu.”

Kening Anna mengernyit lalu berkata sengit. “Mana mungkin ada orang yang bisa mengetahui kapan ia akan meninggal apalagi dengan cara dibunuh.”

“Oh, ayolah! Tentu saja tidak ada, Anna.” Liza memutar bola matanya lalu mendengus kesal. Sepertinya otak milik Anna benar-benar sudah emncapai batasnya karena terlalu dipaksa. “Itu berarti pada malam nahas itu, korban sedang menunggu seseorang datang atau dia sedang bersiap untuk menemui seseorang.”

Punggung Anna menegak seolah ada yang menekan sakelar dan menyalakan bohlam dalam benaknya. “Kau benar, Liza. Kenapa aku sulit menyadari hal ini?”

“Jadi, dugaan perampokan yang sebelumnya kita bahas sekarang menjadi gugur,” lanjut Liza. “Sepertinya pelaku adalah orang yang dikenal korban. Apalagi terbukti tidak ada barang berharga yang hilang dari rumah korban.”

Anna hanya mengganggukkan kepala tanda mengerti. Ia menunggu kalimat Liza selanjutnya.

“Yang kedua, kenapa pintu rumah gadis itu dalam keadaan terkunci? Begitu juga dengan jendela dan pintu yang lainnya. Padahal kematiannya sama sekali tidak direkayasa seperti kejadian bunuh diri. Bukankah itu malah membuang waktu bagi pelaku? Bisa saja seseorang memergokinya saat sedang mengunci pintu

Kata-kata Liza terhenti karena tiba-tiba saja Anna mengangkat tangannya.

“Sebentar, Liza. Bisakah kau menjelaskan lebih perlahan? Telingaku rasanya berdenging mendengar kalimatmu yang berderet seperti gerbong kereta.”

“Kau benar-benar terlalu memaksakan dirimu, Anna.” Liza mengerutkan kening dengan khawatir.

“Tidak. Aku hanya sedang lelah.”

“Lelah?” Liza mengerjap heran. “Pergi ke mana semangatmu akan sensasi kotor ini, Anna? Bukankah ini yang kauinginkan?”

Anna menelan ludahnya yang terasa pahit mendengar sindiran langsung dari sahabatnya itu. “Aku masih bersemangat. Tentu saja. Hanya saja... kepalaku terasa pusing sekarang.”

Selama beberapa detik Liza terdiam. Ia memperhatikan wajah Anna yang tampak pucat. Lalu otak analisisnya menyimpulkan satu hal, “Berapa puluh cangkir kopi yang kauminum hari ini, Anna?”

Anna mengangkat wajahnya lalu tersipu. Dugaan Liza itu tepat sasaran. Dalam gerakan lambat, ia mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara.

Liza menatap Anna dengan kedua alis yang terangkat. Ia tahu benar itu bukan jawaban final.

“Dua... belas,” jawab Anna lirih.

Mata Liza mendelik dari balik kacamatanya. “Kenapa? Kau tahu itu tidak baik untuk kesehatanmu.”

“Entahlah, Bu Dokter.” Anna menggedikkan bahunya. “Seperti yang kaulihat. Tubuhku masih sehat hingga saat ini.”

“Lalu apa yang sudah kaumakan hari ini?”

Anna menggelengkan kepalanya. “Tidak ada.”

Mulut Liza ternganga tidak percaya. “Jadi, hanya kopi?”

“Hem, ya.” Anna tersenyum datar yang tidak menyentuh matanya.

“Tunggu di situ.” Liza meraih handphone tanpa bangkit dari duduknya. “Aku akan memesan makanan.”

***

Berbeda dengan cuaca mendung yang membayang dua hari sebelumnya. Pagi ini matahari tampak bersemangat bertengger di langit. Cahaya begitu menghangatkan sebelum akhirnya menyengat begitu memasuki tengah hari nanti.

Anna memarkirkan mobilnya di pelataran parkir kantor detektif tempat ia dan Liza bekerja. Kemacetan pagi ini cukup menguras tenaganya. Ia harus berjuang agar ia dan Liza bisa datang tepat waktu pagi ini.

Liza turun lebih dulu dari mobil. Gadis itu memperhatikan bayangannya yang terpantul di kaca jendela mobil sebelum memasuki kantor bersama Anna.

“Selamat pagi,” ucap Anna sambil tersenyum kepada gadis yang duduk di bagian resepsionis. Pikirannya lebih jernih sekarang. Tadi pagi Liza setengah mati memaksanya untuk sarapan.

“Anna, Liza.” Tiba-tiba terdengar suara Rick saat Anna baru saja memutar handle pintu ruang kerjanya.

“Ada apa, Rick?” Liza bertanya dengan nada yang melenakan.

“Ada kasus baru.”

“Lebih baik kita bicarakan di dalam.” Anna mengajak kedua rekan kerjanya itu masuk.

Begitu mereka duduk di sofa yang melingkari meja.

“Ada kasus apa? Apakah Hans sudah mengetahui tentang hal ini?” tanya Anna.

“Belum. Hans belum datang ke kantor kita.” Rick menggelengkan kepalanya. “Ini kasus penculikan.”

“Penculikan?” Kening Anna mengernyit heran. Ia dan Liza saling melempar tatapan bingung.

“Ini penculikan yang menyerang seorang gadis yang memimpin sebuah majalah fashion.” Rick meletakkan berkas kasus ke atas meja. “Belum ada media manapun yang mengetahui peristiwa ini. Kecuali redaksi majalah yang ia pimpin tentu saja.”

“Kenapa?”

“Pihak dari majalah itu sendiri yang melarang keras berita tentang hilangnya pimpinan mereka. Dan kita tentu saja mau tidak mau harus mengikuti keinginan tersebut.”

Radar di kepala Anna menangkap sinyal teka-teki yang disukainya. Pasti ada sesuatu yang berusaha ditutupi mereka. Hanya saja....

“Pasti ada sesuatu. Hingga harus ditutupi seperti itu,” gumam Liza.

“Lalu, kenapa kita yang bertugas menangani kasus ini?” tanya Anna.

Rick mengambil selembar foto yang terselip di antara kertas lalu mendorongnya ke hadapan Anna dan Liza. “Karena ini.”

Liza dan Anna terbelalak menatap foto yang menampilkan sosok seorang gadis. Kulitnya wajahnya tampak halus berlapis bedak, hidungnya mancung, alisnya tampak dibentuk sedemikian rupa, bibirnya penuh dengan lipstik merah menyala, dan yang menghubungkan gadis itu dengan kasus yang ditangani mereka adalah warna rambutnya.

Anna mengehempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Lagi-lagi gadis dengan rambut dicat pirang!




Selasa, 28 April 2015

Love For Money part 3



Entah mengapa hariku terasa begitu buruk akhir-akhir ini. Terlebih setelah beberapa hari yang lalu aku melihat Johnie bersama gadis itu. Gadis yang pernah menjadi kekasihnya beberapa tahun silam. Apakah John akan kembali padanya? Entahlah, yang jelas itu membuat suasana hatiku benar-benar buruk.

Aku menantang matahari pagi, berjalan dengan tumitku yang tinggi. Untunglah aku sudah terbiasa berjalan dengan tumit setinggi ini, tentu saja setelah latihan berbulan-bulan ala model profesional yang berjalan di atas catwalk.

Aku sampai di sebuah bangunan tinggi bertuliskan Dortman’s House. Sebuah gedung yang hampir penuh dengan kaca, terlihat mewah dan berkelas. Aku merapikan gaun dan kacamataku, melangkah dengan harga diri tinggi menuju ke dalam gedung itu.

“Selamat pagi, saya ingin bertemu dengan Mr. James. Saya sudah ada janji dengan beliau.” Aku berkata pada gadis berambut coklat yang digelung dengan rapi.

“Tentu, silahkan masuk.” Dengan ramah gadis itu mempersilahkanku masuk ke ruangan James.

Ruangan yang sangat familiar untukku. Dengan dekorasi klasik yang didominasi warna coklat dan barang-barang mahal yang mengisi setiap sudut ruangan. Siapa yang tak kenal James? CEO Dortman Enterprise yang sukses di usia muda. Taipan tampan yang menikah dengan seorang model berkelas internasional yang lebih tua enam tahun darinya.

“Selamat pagi Mr. James.” Ujarku sambil melepas kacamata hitamku.

“Stella.” Mata lelaki itu terbelalak menatapku. Apakah baginya aku adalah sebuah kejutan? Entahlah. Mungkin saja nona Stella yang cantik ini akan selalu membuatnya terkejut setiap saat.

“Tak perlu terkejut James.” Aku bersandar pada meja kerja lelaki itu. “Bagaimana pendapat istrimu tentang gadis yang kau ajak makan malam tempo hari?”

“Anastasia, kau benar-benar perempuan licik!” Ujar James yang mencoba meredam kemarahannya.

“Istrimu itu yang terlalu berlebihan. Itu hanya foto James, apapun bisa terjadi.”

James menghela nafasnya yang tampak begitu menyiksa untuknya. Rahangnya menegang, punggungnya menegak. Mungkin dadanya seakan hendak meledak. Oh, teman —mungkin tepatnya mantan musuh— yang sudah lama ku kenal ini wajahnya begitu kusut dan makin menua. Maaf  James, aku tak punya pilihan lain.

“Lalu apa yang kau mau sekarang?” Nadanya sedikit keras. Ia melonggarkan dasinya yang sebenarnya justru ingin kuikat dengan kencang di lehernya.

“Aku butuh uang.” Wajah James semakin memerah mendengar kata-kataku. “Atau aku akan membongkar semuanya pada istrimu. Tentang perselingkuhanmu dengan gadis itu.”

Lelaki itu terdiam untuk beberapa saat. Aku tahu darahnya mendidih. Tapi aku tak mungkin mundur. Aku sudah melangkah sejauh ini. Permainan ini harus kuteruskan atau aku akan menjadi gelandangan cantik karena diusir oleh pemilik rumahku yang sewanya tak kubayar selama beberapa bulan.

“Diam kau sialan. Berapa uang yang kau minta?”

“Secukupnya. Harga yang pantas untuk tutup mulut.” Aku tahu James adalah lelaki bijak. Dia sangat membutuhkan investasi istrinya untuk perusahaanya. Tak perlu berdebat lebih lama hingga lelaki itu menandatangani cek untukku. Aku mengucapkan selamat tinggal dengan senyum yang cukup lebar sebelum meninggalkan perusahaan besar itu.
***
Lusa tanggal dua puluh tujuh.  Hari ulang tahun Johnie. Aku ingin memberikan kejutan padanya. Sepasang sepatu berwarna abu-abu yang terpajang di etalase bagian depan sebuah toko sepatu menarik perhatianku. Itu adalah sepatu yang sama seperti yang diinginkan Johnie beberapa bulan yang lalu. Hingga akupun memutuskan membelinya untuk hadiah Johnie.

Setelah membeli hadiah dan beberapa kebutuhaku, aku bergegas pulang dan mempersiapkan sesuatu untuk Johnie.

“Stella… Stella…” Suara seorang wanita membuatku membalikkan badan ketika aku hampir mencapai pintu rumah yang untungnya telah diperbaiki oleh Johnie.

“Ada apa, tante?” Jantungku berdegup kencang ketika melihat wanita itu menangis sesegukan hingga wajahnya memerah.

“Johnie... polisi membawa Johnie tadi siang.”

“Apa lagi yang dilakukan Johnie? Anak itu kenapa tak berubah juga.” Aku menggerutu kesal.

“Dia memukul kepala seseorang gadis hingga gadis itu mengalami pendarahan hebat di kepalanya.”

Antara panik, marah, bingung, bercampur aduk dalam diriku. Bagaimana bisa dia melanggar janjinya padaku untuk tak melakukan hal-hal kriminal lagi.

“Stella, bisakah kau membantuku?”

“Untuk?”

“Bantulah aku untuk menebusnya dari penjara. Aku tak punya uang lagi Stella, aku harus membayar biaya pengobatan korban John. Kumohon, apa kau tega John memakan makanan anjing di sana?”

“Dari mana aku mendapatkan uang untuk menebus Johnie?” Tentu saja, biaya untuk menebus Johnie tidak sedikit. Bahkan bukannya tak mungkin jika hal itu akan menghabiskan uang yang kuperas dari James tadi pagi. Tapi apakah aku akan setega itu melihat lelaki yang kucintai mendekam di penjara di hari ulang tahunnya?

“Aku akan mengusahakannya.”
***
Handukku masih membungkus rapi rambutku yang basah. Aku duduk di sofa abu-abu yang biasa ditempati oleh Johnie sambil memikirkan cara untuk membebaskannya. Tak mungkin aku harus memeras James lagi. Aku masih memiliki hati nurani meski itu tak mendominasi. Ponselku berbunyi kala aku masih berusaha memutar otakku.

Makan malam besok di Red Hill, Ana?
Harry.

Harry? Lelaki kaya itu masih saja terus-menerus mengejarku. Tidakkah cukup penolakanku kemarin? Melihat raut wajah Johnie ketika aku dan Harry meninggalkannya semalam membuatku cukup terluka hingga aku mampu membuat keputusan bijak untuk Harry. Ini demi kebaikanku, Harry dan tentu saja Johnie. Demi Johnie? Kurasa suatu ide cemerlang terlintas di benakku.

Oke. Kita akan bertemu di Red Hill jam 7.

Aku akan menjemputmu di rumahmu Ana. Berikan alamatnya.

Sial. Ini tak boleh terjadi atau kedokku akan terbongkar.

Tidak Harry. Aku akan menemuimu di Red Hill atau tidak ada makan malam.

Baik. Kutunggu jam 7, cantik.
***
Sebuah restoran mewah bergaya konservatif Cina yang didominasi oleh warna merah yang tampak begitu elegan. Disetiap sudutnya terdapat hiasan-hiasan dengan tulisan Cina yang tentu saja tak bisa ku baca. Benar-benar jauh dari bayanganku. Red Hill, yang awalnya kupikir adalah sebuah restoran Eropa bergaya modern ternyata adalah sebuah restoran Cina yang tampak sangat mewah.

Aku mencoba menutup rasa kagumku dengan terus berjalan untuk mencari lelaki yang memiliki janji denganku malam ini.

“Anastasia.” Senyuman tersungging di wajahnya. Kemudian ia berdiri dan menarik kursi di hadapannya untukku. Aku segera memutuskan pesanan secara acak karena aku tahu aku tak akan bisa menikmatinya nanti.

“Jadi bagaimana dengan bisnismu?” Aku mulai membuka percakapan untuk mencairkan suasana ini.

“Berjalan lancar. Aku memang jenius. Kau tahu itu Ana.” Dia tertawa dengan bangga. Ini membuatku muak. Tapi sayang aku masih harus bertahan.

Demi Johnie. Demi Johnie. Demi Johnie. Mantra sihir yang terus kuulang untuk bertahan di hadapan lelaki sombong ini.

“Aku butuh modal usaha. Kira-kira empat sampai lima ratus juta.” Nominal yang cukup besar memang dan nyaris membuat bola mata lelaki itu melompat keluar.

“Untuk usaha apa?”

 “Sebuah butik. Kurasa itu nominal kecil untukmu bukan? Seorang pengusaha yang kaya raya. Bisakah kau memberiku pinjaman tanpa bunga?”

Dia terdiam sejenak untuk berpikir.

“Aku bahkan bisa memberimu cuma-cuma Anastasia. Tentu saja dengan syarat.”

“Apa itu?”

Harry meraih tanganku dan menggenggamnya. Matanya menatap ke dalam mataku seraya berkata, “Menikahlah denganku.”

Bersambung ke part 4


Senin, 27 April 2015

Catch Me If You Can Part 1



Victoria berjalan sedikit berjinjit keluar dari kamar mandi pribadinya yang terhubung dengan kamar tidurnya. Beberapa air menetes ke lantai dari ujung rambutnya. Seperti hujan yang mengguyur deras di luar sana. Cepat-cepat ia menyambar handuk untuk membungkus rambutnya. Sementara bibirnya yang yang penuh merekah itu bersiul dengan riang.


Dinding kamar Victoria dicat warna merah muda yang lembut. Perabot di dalamnya begitu menunjukkan bahwa penghuni kamar itu adalah seorang gadis. Tempat tidurnya berbalut seprai dengan motif polkadot. Sepasang nakas lengkap dengan lampu tidur diletakkan di kedua sisi tempat tidurnya. Tirai panjang menjuntai menutupi jendela kamarnya, selalu diganti setiap seminggu sekali.


Bukan masalah jika Victoria mendekorasi kamarnya sendiri sesuai keinginannya. Ia tinggal sendirian di kota besar ini. Sejak kuliah, Victoria memang sudah terbiasa hidup mandiri. Setelah lulus, ia langsung diterima bekerja pada sebuah perusahaan ternama. Dan dengan hasil jerih payahnya itu, ia bisa pindah dari kamar indekosnya yang sempit untuk menyewa sebuah rumah yang dekat dengan kantornya.


Rumah itu sebenarnya cukup sederhana. Dinding luarnya hanya dicat dengan warna konservatif yaitu putih. Tidak akan ada yang menyangka bahwa kamar tidur rumah ini didekorasi seperti kamar putri kerajaan. Victoria memanfaatkan pekarangannya yang sempit untuk menanam beberapa jenis bunga. Dan pada waktunya mekar, pekarangannya akan tampak begitu cantik.


Sebagai seorang gadis yang memiliki karier cemerlang, bukan berarti menghambat Victoria untuk mempertahankan kemolekan penampilannya. Pola makan sehari-harinya selalu diperhatikan. Jangan sampai ada lemak tidak diinginkan yang terdampar di sudut tubuh semampainya. Ia juga rutin mengunjungi salon dengan jadwal berbeda untuk perawatan yang berbeda pula. Bahkan baru-baru ini mewarnai rambut panjangnya.


Victoria duduk di hadapan meja riasnya yang penuh dengan bedak, lipstik, dan alat rias dari merk ternama yang berkualitas. Secara saksama, ia memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Begitu merasa riasannya sudah simetris sempurna, ia melepas handuk yang membungkus rambutnya. Perlahan, Victoria mengusap-usap rambut kusutnya dengan handuk. Lalu ia menyisir rambutnya sebelum akhirnya meniupkan udara panas dari ujung hair-dryer-nya.


Banyak rekan kerja yang menentang warna rambut yang dipilih Victoria. Padahal menurut dirinya, warna pirang adalah warna rambut yang cantik untuk seorang gadis. Lagipula, pihak perusahaannya tidak melarang pekerjanya untuk mewarnai rambut mereka dengan warna tertentu. Sehingga Victoria tetap mempertahankan warna rambutnya.


Semua kekhawatiran rekan kerjanya itu bukan tidak beralasan. Akhir-akhir ini, memang sedang ramai diberitakan mengenai pembunuhan berantai yang menyerang gadis dengan rambut dicat pirang. Tapi Victoria tidak peduli. Sejak dulu, ia selalu merasa mampu menjaga dirinya sendiri. Ia juga tidak pernah lalai dengan keamanan rumah kecilnya. Jadi, apa yang harus dikhawatirkan?


Lagi pula, beberapa hari terakhir ini Victoria baru saja berkenalan dengan seorang lelaki yang membuatnya berbunga-bunga. Walaupun tidak setampan model idola Victoria yaitu Max Dawson,  tapi lelaki itu memiliki wajah yang tampan. Dan selain tubuhnya yang gagah, pekerjaan lelaki itu juga membuat Victoria nyaman dan merasa aman.


Victoria pertama kali berkenalan dengan lelaki itu sekitar seminggu yang lalu. Mereka sering bertemu saat jam makan siang di kafetaria yang dekat dengan tempat Victoria bekerja. Hanya melalui obrolan-obrolan singkat saat makan siang itu, entah mengapa ia merasa bahwa lelaki itu orang yang menyenangkan. Padahal mereka bahkan belum bertukar kontak sama sekali. Dan kencan malam ini juga diputuskan saat mereka bertemu kemarin siang.


Lelaki itu tidak akan datang menjemput Victoria di rumahnya. Sebuah restoran Prancis yang ada di pusat kota, menjadi tempat janjian mereka berdua malam ini. Dan Victoria merasa tidak sabar untuk segera bertemu lelaki itu. Ia cukup berharap bisa menjalin hubungan yang lebih dengan lelaki itu.


Tepat pukul enam malam, Victoria sudah siap dengan penampilannya yang sempurna. Ia memilih sackdress polos berwarna merah muda untuk kencan pertamanya kali ini. Stiletto berwarna senada dengan bajunya, membungkus cantik kaki jenjangnya. Sementara rambutnya dibiarkan tergerai sehalus satin membingkai wajahnya yang cantik.


Victoria baru saja hendak menggenggam handphone-nya untuk memesan taksi tapi tiba-tiba saja ia tersentak. Punggungnya menegak saat mendengar bel rumahnya berdering sumbang. Ia melirik jam tangannya lalu mengernyitkan kening. Siapa yang bertamu dalam keadaan hujan seperti ini? Untuk menjawab keheranannya, ia berjalan perlahan keluar dari kamarnya. Sebelum membuka pintu utama, terlebih dulu ia memeriksa penampilannya pada cermin besar yang tergantung di samping pintu.


Begitu pintu terbuka, mata Victoria langsung terbelalak. Ia mengatupkan bibirnya yang nyaris berteriak. Apakah ini mimpi? Bagaimana mungkin lelaki itu ada di sini... di rumahnya? Sementara ia merasa tidak pernah memberitahukan alamat rumahnya kepada lelaki ini.


“Kenapa kau ada di sini?” tanya Victoria sedikit melengking. Sedetik yang lalu ia nyaris memekik dengan riang melihat lelaki di hadapannya. “Bukankah kita akan bertemu di restoran Prancis pukul tujuh malam?”


Lelaki itu hanya bergeming. Lalu perlahan masuk tanpa diminta. Victoria masih merasa bingung, jadi ia membiarkan saja lelaki itu memasuki rumahnya. Lagi pula jika lelaki ini memang tipikal yang suka memberikan kejutan, maka itu menjadi nilai tambah di mata Victoria.


“Kenapa kau mengenakan jas hujan plastik seperti itu?” tanya Victoria heran. Biasanya lelaki itu datang mengendarai mobil pribadinya untuk makan di restoran. Apa mungkin mobilnya sedang di bengkel atau—


Benak Victoria yang dipenuhi segala dugaan, mendadak kosong seketika. Lelaki itu tiba-tiba saja mengecup bibirnya dengan lembut. Perlahan, ciuman lelaki itu semakin intens dan dalam. Sehingga Victoria mulai terbuai dengan ciuman pertama mereka.


“Aku suka warna rambutmu,” bisik lelaki itu di tengah ciuman mereka. Dan Victoria tersenyum bahagia mendengarnya. Selama ini, lelaki itu memang selalu memuji warna pilihannya itu. Sepertinya, Victoria tidak salah jika memilih lelaki ini sebagai pendamping—


Sial. Victoria terkejut dan nyaris berteriak. Tapi mulutnya terbungkam ciuman lelakinya. Ia merasakan sengatan menyakitkan yang menusuk dadanya. Gadis itu meronta untuk melepaskan diri. Dan begitu pelukan brengsek itu melonggar, ia mendorong lelaki itu dengan tenaga terakhirnya.


Kepala Victoria terasa berputar-putar. Dengan pandangan yang mengabur karena air mata, ia bisa melihat lelaki itu menyeringai kepadanya. Perasaan muak memenuhi dadanya hingga membuat ia ingin muntah. Begitu kepalanya berputar ke arah cermin di samping pintu, ia melihat sackdress merah mudanya berubah warna menjadi merah menyala.


Darah menetes ke lantai seolah menyambut Victoria yang kemudian berbaring di sana. Air mata menitik di sudut mata gadis itu saat kegelapan merenggut penuh kesadarannya. Ia ditinggalkan terbaring  dalam genangan darahnya sendiri.



Ternyata kencan pertamanya harus berakhir sebelum sempat dimulai....


***


“Semoga saja terjadi sesuatu,” gumam Anna sambil menghempaskan pantatnya ke sofa untuk satu orang itu.


Liza —sahabat baik sekligus rekan kerjanya— memandangnya tidak setuju. “Berhati-hatilah dengan keinginanmu, Anna. Hasratmu akan sensasi menegangkan benar-benar membuatku khawatir.”


“Apa kau tidak bosan, Liza?” Anna menyandarkan tengkuknya pada sandaran sofa kelabu itu. Matanya terpejam dan masa lalu terbayang di benaknya. “Sejak lulus kuliah, kita diterima bekerja begitu saja sebagai detektif di sini. Itu semua karena prestasi kita dalam memecahkan kasus selama ini. Semua itu terasa terlalu luar biasa bagiku.”


“Benar.” Liza menyetujui kata-kata Anna. Ia membetulkan letak kacamatanya yang merosot dengan jari tengahnya. “Lalu apa yang kauinginkan sekarang? Bukankah menyenangkan hidup kita jadi begitu mudah?”


“Ya, benar. Hidup kita benar-benar mudah.” Anna kembali duduk tegak. “Tapi coba lihat akhir-akhir ini. Kasus yang datang ke kantor ini hanya pencarian kucing hilang, menguntit suami yang diduga selingkuh, dan beberapa kasus kecil pencurian.”


“Bukankah itu baik? Apa kau tidak suka jika dunia dalam keadaan damai dan tentram?”


“Bukan aku tidak suka, Liza. Hanya saja....” Anna mengusap tengkuknya yang terbuka karena rambutnya digelung di atas kepalanya. Ia mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Bukankah keadaan selalu tenang sebelum badai?”


Liza mengangkat satu alisnya. “Jadi, kau mengharapkan ada seseorang yang mati demi memuaskan hasratmu akan sensasi ini? Oh! Jangan gila, Anna!”


“Jangan salah paham, Liza!” ucap Anna sambil mengangkat kedua tangannya setinggi bahu. “Bukan kematian yang aku inginkan. Mungkin seperti kasus pencurian berlian yang sangat sempurna atau penculikan seorang anak pejabat.”


“Aku tidak ingin semua itu terjadi.” Liza mengangkat bahunya pasrah. “Bukankah seharusnya sebisa mungkin kita mencegah hal buruk itu terjadi? Dari pada harus memecahkan teka-teki di balik suatu kasus. Bukan begitu, Anna?”


“Kau benar, Liza,” gumam Anna. “Tapi kita bekerja sebagai detektif bukan superhero.”


“Coba kau ambil jatah cutimu dan pergilah berlibur,” usul Liza. “Semoga setelah itu pikiranmu akan kembali jernih.”


“Sebagai detektif kita harus membuat sel abu-abu otak kita terus bekerja.”


“Kata-kata yang bagus, Anna. Tapi sayang tidak orisinil.” Liza menyahut dengan sinis.


“Lagi pula dunia ini dipenuhi dengan kebencian,” lanjut Anna tanpa menghiraukan usulan Liza. “Akan ada saja manusia yang merasa dengki dan loba akan harta yang tidak dimilikinya. Dan itu bisa saja  memicu tindakan kriminal apapun. Dan kita bertugas memecahkan teka-teki dan menemukan bukti untuk menyeret si pelaku ke penjara dan mendapat hukuman yang setimpal.”


“Tapi dunia ini akan lebih berbahaya jika dipenuhi orang yang haus akan sensasi kotor seperti—“


Kata-kata Liza mendadak terhenti saat seseorang membuka pintu ruang kerja mereka. Diam-diam ia merapikan rok dan cara duduknya lalu berdeham singkat. Ia juga cepat-cepat membenahi posisi kacamatanya yang kembali merosot.


“Apa aku mengganggu waktu kalian, Ladies?” tanya lelaki itu sambil tersenyum jenaka. Kepalanya melongok dari balik daun pintu.


“Tentu saja tidak,” sahut Anna. “Ada apa, Rick?”


Lelaki yang dipanggil Rick itu melangkah masuk lalu duduk di sofa panjang kelabu di dekat sofa tempat duduk Anna. Ia meletakkan setumpuk kertas ke atas meja. Kertas-kertas laporan yang sangat akrab dengan perkerjaan mereka sehari-hari.


Liza bangkit dari kursi di balik meja kerjanya. Ia melangkah perlahan lalu duduk seanggun mungkin di samping Rick. Matanya ikut memperhatikan tumpukan kertas di atas meja.


“Ada kasus,” jawab Rick sambil membeberkan tumpukan kertasnya. “Seorang gadis ditemukan meninggal berlumuran darah di rumahnya pukul lima tiga puluh pagi ini.”


Mata Anna melebar. Punggungnya menegak seperti kucing yang dihadapkan dengan semangkuk penuh ikan segar. Dan ia tersenyum malu-malu saat menyadari Liza memperhatikannya sambil memelotot penuh kritik.


“Sayang sekali kau harus bertemu dengan kasus pagi ini, Rick. Padahal kau baru saja pulang dari liburanmu,” ucap Anna berusaha mengalihkan perhatiaan Liza.


Rick terkekeh. “Tidak masalah. Bukankah itu memang sudah menjadi tugas kita?”


“Ya. Kau benar, Rick.” Anna menimpali kata-kata Rick tapi matanya berkilat geli melihat Liza yang masih memelototinya.


“Lalu kapan kita bisa segera ke TKP (Tempat Kejadian Perkara)?” tanya Liza.


Rick mengalihkan perhatiannya pada Liza. “Segera setelah ini, Liza.”


Liza menganggukkan kepala lantas mengalihkan perhatian dari sosok Rick. Lelaki itu tetap terlihat menawan hari ini. Padahal ia hanya mengenakan kemeja putih berlengan pendek yang dimasukkan rapi ke dalam celana jeans berwarna hitamnya.


“Tetangga sebelah gadis itu yang menemukannya pertama kali,” lanjut Rick. “Dan yang menjadi pertanyaan adalah posisi pintu rumah gadis itu yang terkunci dari dalam. Pintu itu baru lepas dari kosennya setelah warga sekitar mendobrak masuk.”


Nah! Misteri dan teka-teki.


Mata Anna kembali melebar. Iris matanya yang hitam berkilat penuh petualangan. Inilah yang ia tunggu selama ini. Hasrat yang sekian lama dipendamnya hingga membuat darahnya mendidih.