Gedung lima lantai itu berdiri menjulang di area perkantoran yang ada di pusat kota. Begitu memasuki lobi gedung, tampaklah deretan cover majalah dalam ukuran besar yang dipajang memenuhi dinding gedung. Seorang gadis berdiri dari balik meja resepsionis untuk menyambut kedatangan Anna, Liza, Rick, dan Hans ke kantor majalah ini. Mereka berempat akan menemui editor majalah untuk menanyakan beberapa perihal mengenai hilangnya orang penting dalam perusahaan ini.
Sampai saat ini, info yang sudah didapat adalah gadis bernama Safira itu
terlihat sedang makan malam bersama seorang model bernama Max Dawson. Lelaki
itu dikabarkan tengah menjalin hubungan spesial dengan Safira. Dan setelah
malam itulah Safira bagai hilang tanpa jejak. Padahal ia sudah dijadwalkan
untuk melakukan perjalanan keesokan harinya.
Setelah menunggu hampir sepuluh menit, akhirnya tim detektif itu
dipersilakan untuk pergi ke lantai lima di mana ruangan editor berada. Anna
sudah siap dengan kamera yang tergantung di lehernya, Liza siap dengan alat
perekamnya, Rick dengan buku catatan, sementara Hans dengan... kesiagaannya.
Mereka menunggu di depan pintu lift yang akan membawa mereka menuju lantai
lima.
Begitu pintu lift terbuka, tiba-tiba saja seseorang meneriakkan nama Anna.
Sontak mereka berempat menoleh ke arah sumber suara lalu mengernyitkan kening.
Hanya Anna yang langsung mengenali siapa yang memanggilnya.
“Leah?” Anna nyaris berseru dengan suara tidak percaya. Leah merupakan
salah satu teman di klub fotografi yang diikutinya selama masa kuliah.
“Aku tidak percaya bisa bertemu denganmu setelah sekian lama,” ujar Leah
takjub.
Anna menoleh ke arah timnya yang sedang menunggu. “Teman-teman, kalian
pergilah lebih dulu. Nanti aku akan menyusul.”
Mereka bertiga saling berpandangan lalu menggedikkan bahu nyaris bersamaan.
Mereka memutuskan untuk segera masuk ke dalam lift dan meninggalkan Anna.
Sesaat sebelum pintu lift tertutup, Liza berkata, “Kami akan menunggumu, Anna.”
Anna hanya mengangguk sekilas lalu perhatiannya kembali teralih kepada
Leah. “Apa yang kaulakukan di sini?”
Leah memilih untuk tidak langsung menjawab. Ia terlebih dulu membenamkan
tubuhnya yang mungil ke dalam pelukan Anna. Begitu melepaskan pelukan ia
berkata, “Aku bekerja sebagai fotografer untuk majalah ini.”
“Wah, kau hebat, Leah!” puji Anna.
“Terima kasih,” balas Leah. “Kau sendiri sedang apa di sini, Anna?”
Mata detektif Anna memperhatikan ekspresi Leah dengan saksama sebelum ia
membisikan pertanyannya, “Apa kau tahu di mana pimpinanmu berada?”
“Maksudmu, Nona Safira?” Kening Leah mengernyit meminta kepastian mereka
sedang membicarakan orang yang sama. “Beliau sedang dalam perjalanan bisnis.
Ada apa, Anna? Apakah kau ingin bertemu dengannya?”
Anna mengusap tengkuknya sambil tertawa kecil. Ia berusaha menyembunyikan
perubahan ekspresinya. Ternyata berita hilangnya gadis itu benar-benar
dirahasiakan sekalipun dari karyawan kantornya sendiri.
“Tentu saja tidak. Aku dan teman-temanku ingin bertemu dengan editormu di
lantai lima,” jawab Anna sekenanya. “Kau sendiri apa sedang senggang?”
“Tentu saja tidak.” Leah menjawab sambil menekan tombol lift. “Aku sedang
istirahat sebelum melanjutkan sesi pemotretan dengan Max Dawson.”
Telinga Anna berkedut mendengar nama itu. Alisnya terangkat dengan punggung
menegak siaga. “Max Dawson?”
“Benar.” Leah tersenyum antusias. “Model lelaki yang tampan dan menawan
itu, kau tahu?”
Mata Anna mengerjap. “Bolehkah aku menemuinya?”
Terdengar bunyi berdenting, diikuti pintu lift yang terbuka. Tanpa komando,
Anna dan Leah bersama-sama memasuki lift.
“Wah, apa kau salah satu penggemarnya, Anna? Wajar saja karena dia
benar-benar mempesona.” Mata Leah tampak berbinar-binar bahagia.
Anna menggedikkan bahunya. “Ya... seperti itulah kira-kira.”
“Baiklah. Kalau begitu, kau bisa bertemu dengannya setelah ini. Tapi jangan
terlalu lama karena dia benar-benar sangat disipilin mengenai waktu.”
“Tenang saja. Aku hanya akan mengajukan beberapa pertanyaan saja,” jawab
Anna sambil tersenyum puas. Setidaknya kini ia selangkah lebih maju daripada
teman-temannya yang sombong itu.
***
Anna mengikuti langkah Leah memasuki sebuah ruangan yang didominasi warna
putih. Sehelai kain menjuntai lebar pada salah satu sisi dindingnya. Beberapa
alat bantu pencahayaan, payung reflektor, dan peralatan lainnya ditata rapi
dalam ruangan tersebut. Ruangan itu sangat luas. Mungkin sama luasnya jika
kamarnya dan kamar Liza digabung menjadi satu.
Sesaat Anna meras iri. Leah benar-benar beruntung bisa bekerja di tempat
seperti ini. Sementara ia sendiri harus menggunakan kemampuan fotografinya
untuk memotret mayat-mayat yang menjadi korban pembunuhan. Benar-benar bagaikan
langit dan bumi.
“Mohon maaf, Tuan Max Dawson. Ada seorang teman saya yang ingin menemui
Anda. Bisakah Anda menemaninya sebentar —sementara saya mempersiapkan sesi pemotretan kita
selanjutnya?”
Tiba-tiba Anna terkesiap. Ia terlalu sibuk memperhatikan ruangan itu hingga
suara Leah menyadarkannya. Saat ini gadis itu tengah berbicara dengan seseorang
yang duduk di sudut ruangan.
“Tidak masalah, Nona Leah.” Lelaki itu menjawab sambil bangkit dari
duduknya.
“Terima kasih banyak,” timpal Leah tersenyum. Ia menolehkan kepala kepada
Anna. “Maaf aku harus meninggalkanmu, Anna.”
Anna hanya melemparkan senyum maklum lalu melambaikan tangan kepada Leah
yang langsung tampak sibuk dengan segala persiapannya. Dan begitu ia
mengalihkan pandangannya kepada lelaki di hadapannya, Anna seolah merasa
kehilangan suaranya. Bibirnya kaku dengan tenggorokan yang tercekat. Lelaki
ini... Max Dawson... yang merupakan tersangka dalam kasus penculikan kali ini.
“Aku Max Dawson,” ujar lelaki itu sambil mengulurkan tangannya.
Mata Anna menatap lama ke arah uluran tangan itu. Ia hanya bisa menelan
ludah sebelum akhirnya menyambut jabatan tangan Max.
“Ya. Saya mengenal Anda tentu saja. Anda adalah model berbakat yang sering
menghiasi sampul majalah dan panggung pagelaran busana.” Dengan cepat Anna
sudah menguasai dirinya. Nada bicaranya sudah kembali ke mode normal. Datar
walaupun terdengar sedikit angkuh. “Perkenalkan, saya Anna. Detektif.”
Anna bisa melihat dengan jelas sinar keterkejutan di mata Max. “Detektif?”
“Ya. Walaupun yang saya tangani hanyalah kasus perselingkuhan dan pencarian
kucing peliharaan yang hilang,” jawab Anna lantas tertawa renyah.
Max mengembuskan napasnya. Tampak sedikti lega. Lalu ia ikut tertawa kecil.
“Senang bertemu denganmu, Nona Detektif.”
“Apa ini pertama kalinya Anda melakukan pemotretan di majalah ini?”
“Tidak.” Max menggelengkan kepalanya. “Aku sudah beberapa kali menjadi
model untuk majalah ini.”
Anna menganggukkan kepalanya. “Lalu apakah Anda tahu mengenai kabar pemilik
majalah ini?”
Seketika ekspresi wajah Max berubah kurang dari satu detik. Senyum ramahnya
sirna, berganti dengan rahang yang tampak mengetat. Matanya terbelalak.
Kelihatannya pertanyaan itu cukup mengganggu lelaki itu.
“Maksudmu... Nona Safira?” tanya Max. Suaranya terdengar berat seolah
tertekan oleh sesuatu. “Untuk apa kau menanyakan hal tersebut kepadaku?”
“Hanya ingin memastikan saja. Karena Anda yang terakhir kali terlihat
sedang makan malam bersamanya. Lalu keesokan harinya, ia menghilang begitu
saja.” Sesaat Anna merasakan pandangan yang menusuk. “Mungkin Anda tahu di mana
ia berada.”
“Itu pertanyaan yang tidak masuk akal, Nona Detektif.”
Max kembali dengan senyuman menawannya. “Nona Safira saat ini sedang melakukan
perjalan bisnis keluar kota. Dan saya yakin dia dalam keadaan baik-baik saja.”
Anna menatap tajam ke arah Max. Tidak sedikitpun ada perasaan gentar. Ia
yakin benar bahwa ada yang disembunyikan oleh lelaki ini.
“Bisa kita mulai sekarang?”
Tiba-tiba sebuah suara yang lembut, menginterupsi suasana tegang di antara
Anna dan Max Ternyata Leah sudah kembali berdiri di samping mereka. Kali ini
sebuah kamera menggantung di lehernya.
“Mohon maaf, Anna. Sepertinya aku harus kembali bekerja,” ujar Max dengan
wajah menyesal yang dibuat-buat. Sementara matanya menunjukkan perasaan lega
karena Leah muncul di antara mereka.
“Ya. Terima kasih banyak atas waktu Anda,” timpal Anna sambil tersenyum
penuh arti. Lalu ia melangkah mendeka kepada Leah. “Aku rasa aku harus segera
menyusul teman-temanku.”
***
Anna membenamkan tubuhnya ke sofa yang ada di flatnya. Begitu ia memajamkan
mata, benaknya langsung melayang membayangkan pemandangan pantai yang biru dan
indah. Kakinya yang telanjang berlari di atas pasir yang hangat. Ombak yang
berkejaran menuju pantai, awan yang mengapung di langit....
“Apa kau akan tidur di situ, Anna?”
Anna tersentak. Ia membuka matanya dan mendapati Liza tengah memperhatikan
dirinya. Raut wajahnya yang lelah terpantul jelas di lensa kacamata Liza.
Sementara sahabatnya itu tampak lebih baik setelah mandi dan berganti pakaian.
“Kau mengganggu lamunan indahku saja.” Anna membuang muka sambil menghela
napas berat. “Aku sedang kelelahan luar biasa sekarang. Semua kasus ini
terasa... rumit.”
Liza terkikik geli melihat ekspresi terganggu Anna. “Ke mana perginya
semangatmu, Anna? Bukankah kau yang berharap agar sesuatu terjadi?”
Anna mengerucutkan hidung dan bibirnya. Pipinya tersipu malu mendengar
sindiran itu. “Tapi bukan seperti ini yang aku inginkan. Aku sama sekali tidak
mengharapkan ada orang yang meninggal ataupun lenyap tanpa jejak....”
Liza menegakkan punggungnya. Ia melipat tangan di depan dada dan menatap
dingin ke arah Anna. Senyuman ramah dan sikap lembut yang biasa ditunjukkannya
sirna begitu saja.
“Tidak ada gunanya kau menyesal, Anna. Sekarang yang perlu kita lakukan
hanyalah memecahkan kasus ini sesegera mungkin dan menangkap pelakunya.”
Kening Anna mengernyit. Ia menyilangkan kakinya, lalu menumpukan siku di
atas lutut. Satu telapak tangannya menopang dagunya. Kepalanya benar-benar
terasa berat dengan semua kemungkinan yang melintas berkali-kali di sana.
“Aku juga menginginkan hal yang sama. Tapi semakin aku memikirkannya,
terasa semakin sulit.” Anna mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Apalagi satu kasus belum
selesai, kasus yang lain terjadi. Aku bahkan belum memahami misteri pembunuhan
gadis bernama Victoria itu.”
Tanpa sadar, Liza mengulum tawa di ujung bibirnya. Lalu ia mengangkat alis
meremehkan. “Sudah kuduga. Kau benar-benar lamban dalam kasus ini, Anna.”
“Apa?” Urat di dahi Anna mencuat tersinggung. Sahabatnya ini benar-benar
menyebalkan. “Aku yakin kau juga belum menemukan petunjuk lebih.”
“Kau salah,” sanggah Liza lantas terkekeh. “Aku hanya tinggal mencari bukti
untuk menjerat pelakunya.”
Wajah Anna berbinar antusias. “Lalu, siapa pelakunya? Tetangganya? Rekan
kerjanya? Siapa?”
Liza menggelengkan kepala. “Aku harus merahasiakan deduksiku sampai ada
bukti yang autentik.”
Bibir Anna mengerucut seketika. “Seperti biasa. Kau memang pelit, Liza.”
“Aku tidak bisa mempercayai siapapun termasuk dirimu, Anna.”
Apa boleh buat. Anna
mengangkat bahunya lalu menurunkannya dengan pasrah. Seharusnya ia sudah hafal
dengan kebiasaan sahabatnya itu. Kepala cantik Liza memang selalu dipenuhi rasa
curiga. Lagi pula, hal itu tidak penting sekarang. Seperti yang dikatakan Liza,
ia pasti akan mengatakannya begitu ada bukti autentik.
“Yang terpenting sekarang adalah... apakah benar kedua kasus ini saling
berhubungan?”
Liza menghela napas. “Aku harap tidak.”
Satu alis Anna terangkat. “Kenapa? Bukankah lebih baik jika berhubungan?
Jadi kita hanya perlu menangkap satu pelaku untuk dua kasus yang menyerang
gadis dengan rambut dicat pirang?”
Liza membetulkan letak kacamatanya yang merosot. “Jika memang berhubungan...
aku takut... jika Safira sudah....”
Mata Anna terbuka lebar. Ia mendecakkan lidah lalu menghalangi Liza
melanjutkan kalimatnya. Rasanya menyakitkan saat membayangkan seseorang yang
diculik sudah berubah menjadi mayat yang dingin. Terbujur kaku dan dibuang
begitu saja secara tidak manusiawi.
“Jangan mengatakan hal yang mengerikan, Anna! Aku harap gadis itu
baik-baik saja. Setidaknya... semoga kita bisa menyelamatkannya sebelum
terlambat.”
“Ya. Mungkin sebaiknya kita segera pergi menemui Max Dawson —sebagai orang
yang terakhir kali ditemui korban.”
Kali ini, Anna yang mengulum tawanya. Ia terkekeh geli dalam mulutnya. Sekarang siapa yang
lamban, huh?
Sepasang mata di balik lensa itu memicing curiga. “Apa yang sedang kau
tertawakan, Anna?”
Anna menggedikkan bahunya dengan sikap menyebalkan. Ia memutar bola matanya
meremehkan lawan bicaranya. “Ternyata kau benar-benar lamban, Liza.”
Liza menelengkan kepalanya ke satu sisi. “Apa maksudmu... jangan-jangan...
kau sudah menemui lelaki itu? Lalu apa petunjuk yang kaudapatkan?”
Mulut Anna terkunci rapat. Ia mengedipkan bulu matanya dengan main-main.
“Aku tidak bisa mempercayai siapapun termasuk dirimu, Liza,” ucapnya dengan nada yang dibuat semirip
mungkin meniru cara bicara Liza.
Sial. Mata Liza terbelalak dengan kening yang
mengernyit. Ini sebuah serangan balasan. “Jangan main-main, Anna.”
“Aku ingin mandi sekarang, Liza. Jangan ganggu aku,” ucap Anna lalu bangkit
dari sofa. Ia melenggang pongah menuju kamarnya.
“Ceritakan dulu apa yang kaudapat dari Max Dawson.” Liza berkata setengah
memaksa. Ia mengejar Anna yang sudah memutar handle dan membuka pintu kamar. Sesaat
sebelum gadis itu menutup pintu, Liza berhasil menahan pintu untuk tetap
terbuka. Ia memanjang-manjangkan tangan hingga berhasil menyentuh lengan Anna
yang bersembunyi di balik daun pintu. Tapi Anna melakukan perlawanan dan
mendorong Liza keluar dari kamarnya.
Sebelum menutup lalu mengunci pintu kamarnya, Anna menyembulkan sedikit
kepalanya melalui celah pintu yang terbuka. Ia menjulurkan lidah lalu berkata,
“Aku yang akan lebih dulu memecahkan kasus ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D