Senin, 04 Mei 2015

Catch Me If You Can Part 3


Gedung lima lantai itu berdiri menjulang di area perkantoran yang ada di pusat kota. Begitu memasuki lobi gedung, tampaklah deretan cover majalah dalam ukuran besar yang dipajang memenuhi dinding gedung. Seorang gadis berdiri dari balik meja resepsionis untuk menyambut kedatangan Anna, Liza, Rick, dan Hans ke kantor majalah ini. Mereka berempat akan menemui editor majalah untuk menanyakan beberapa perihal mengenai hilangnya orang penting dalam perusahaan ini.

Sampai saat ini, info yang sudah didapat adalah gadis bernama Safira itu terlihat sedang makan malam bersama seorang model bernama Max Dawson. Lelaki itu dikabarkan tengah menjalin hubungan spesial dengan Safira. Dan setelah malam itulah Safira bagai hilang tanpa jejak. Padahal ia sudah dijadwalkan untuk melakukan perjalanan keesokan harinya.

Setelah menunggu hampir sepuluh menit, akhirnya tim detektif itu dipersilakan untuk pergi ke lantai lima di mana ruangan editor berada. Anna sudah siap dengan kamera yang tergantung di lehernya, Liza siap dengan alat perekamnya, Rick dengan buku catatan, sementara Hans dengan... kesiagaannya. Mereka menunggu di depan pintu lift yang akan membawa mereka menuju lantai lima.

Begitu pintu lift terbuka, tiba-tiba saja seseorang meneriakkan nama Anna. Sontak mereka berempat menoleh ke arah sumber suara lalu mengernyitkan kening. Hanya Anna yang langsung mengenali siapa yang memanggilnya.

“Leah?” Anna nyaris berseru dengan suara tidak percaya. Leah merupakan salah satu teman di klub fotografi yang diikutinya selama masa kuliah.

“Aku tidak percaya bisa bertemu denganmu setelah sekian lama,” ujar Leah takjub.

Anna menoleh ke arah timnya yang sedang menunggu. “Teman-teman, kalian pergilah lebih dulu. Nanti aku akan menyusul.”

Mereka bertiga saling berpandangan lalu menggedikkan bahu nyaris bersamaan. Mereka memutuskan untuk segera masuk ke dalam lift dan meninggalkan Anna. Sesaat sebelum pintu lift tertutup, Liza berkata, “Kami akan menunggumu, Anna.”

Anna hanya mengangguk sekilas lalu perhatiannya kembali teralih kepada Leah. “Apa yang kaulakukan di sini?”

Leah memilih untuk tidak langsung menjawab. Ia terlebih dulu membenamkan tubuhnya yang mungil ke dalam pelukan Anna. Begitu melepaskan pelukan ia berkata, “Aku bekerja sebagai fotografer untuk majalah ini.”

“Wah, kau hebat, Leah!” puji Anna.

“Terima kasih,” balas Leah. “Kau sendiri sedang apa di sini, Anna?”

Mata detektif Anna memperhatikan ekspresi Leah dengan saksama sebelum ia membisikan pertanyannya, “Apa kau tahu di mana pimpinanmu berada?”

“Maksudmu, Nona Safira?” Kening Leah mengernyit meminta kepastian mereka sedang membicarakan orang yang sama. “Beliau sedang dalam perjalanan bisnis. Ada apa, Anna? Apakah kau ingin bertemu dengannya?”

Anna mengusap tengkuknya sambil tertawa kecil. Ia berusaha menyembunyikan perubahan ekspresinya. Ternyata berita hilangnya gadis itu benar-benar dirahasiakan sekalipun dari karyawan kantornya sendiri.

“Tentu saja tidak. Aku dan teman-temanku ingin bertemu dengan editormu di lantai lima,” jawab Anna sekenanya. “Kau sendiri apa sedang senggang?”

“Tentu saja tidak.” Leah menjawab sambil menekan tombol lift. “Aku sedang istirahat sebelum melanjutkan sesi pemotretan dengan Max Dawson.”

Telinga Anna berkedut mendengar nama itu. Alisnya terangkat dengan punggung menegak siaga. “Max Dawson?”

“Benar.” Leah tersenyum antusias. “Model lelaki yang tampan dan menawan itu, kau tahu?”

Mata Anna mengerjap. “Bolehkah aku menemuinya?”

Terdengar bunyi berdenting, diikuti pintu lift yang terbuka. Tanpa komando, Anna dan Leah bersama-sama memasuki lift.

“Wah, apa kau salah satu penggemarnya, Anna? Wajar saja karena dia benar-benar mempesona.” Mata Leah tampak berbinar-binar bahagia.

Anna menggedikkan bahunya. “Ya... seperti itulah kira-kira.”

“Baiklah. Kalau begitu, kau bisa bertemu dengannya setelah ini. Tapi jangan terlalu lama karena dia benar-benar sangat disipilin mengenai waktu.”

“Tenang saja. Aku hanya akan mengajukan beberapa pertanyaan saja,” jawab Anna sambil tersenyum puas. Setidaknya kini ia selangkah lebih maju daripada teman-temannya yang sombong itu.

***

Anna mengikuti langkah Leah memasuki sebuah ruangan yang didominasi warna putih. Sehelai kain menjuntai lebar pada salah satu sisi dindingnya. Beberapa alat bantu pencahayaan, payung reflektor, dan peralatan lainnya ditata rapi dalam ruangan tersebut. Ruangan itu sangat luas. Mungkin sama luasnya jika kamarnya dan kamar Liza digabung menjadi satu.

Sesaat Anna meras iri. Leah benar-benar beruntung bisa bekerja di tempat seperti ini. Sementara ia sendiri harus menggunakan kemampuan fotografinya untuk memotret mayat-mayat yang menjadi korban pembunuhan. Benar-benar bagaikan langit dan bumi.

“Mohon maaf, Tuan Max Dawson. Ada seorang teman saya yang ingin menemui Anda. Bisakah Anda menemaninya sebentar sementara saya mempersiapkan sesi pemotretan kita selanjutnya?”

Tiba-tiba Anna terkesiap. Ia terlalu sibuk memperhatikan ruangan itu hingga suara Leah menyadarkannya. Saat ini gadis itu tengah berbicara dengan seseorang yang duduk di sudut ruangan.

“Tidak masalah, Nona Leah.” Lelaki itu menjawab sambil bangkit dari duduknya.

“Terima kasih banyak,” timpal Leah tersenyum. Ia menolehkan kepala kepada Anna. “Maaf aku harus meninggalkanmu, Anna.”

Anna hanya melemparkan senyum maklum lalu melambaikan tangan kepada Leah yang langsung tampak sibuk dengan segala persiapannya. Dan begitu ia mengalihkan pandangannya kepada lelaki di hadapannya, Anna seolah merasa kehilangan suaranya. Bibirnya kaku dengan tenggorokan yang tercekat. Lelaki ini... Max Dawson... yang merupakan tersangka dalam kasus penculikan kali ini.

“Aku Max Dawson,” ujar lelaki itu sambil mengulurkan tangannya.

Mata Anna menatap lama ke arah uluran tangan itu. Ia hanya bisa menelan ludah sebelum akhirnya menyambut jabatan tangan Max.

“Ya. Saya mengenal Anda tentu saja. Anda adalah model berbakat yang sering menghiasi sampul majalah dan panggung pagelaran busana.” Dengan cepat Anna sudah menguasai dirinya. Nada bicaranya sudah kembali ke mode normal. Datar walaupun terdengar sedikit angkuh. “Perkenalkan, saya Anna. Detektif.”

Anna bisa melihat dengan jelas sinar keterkejutan di mata Max. “Detektif?”

“Ya. Walaupun yang saya tangani hanyalah kasus perselingkuhan dan pencarian kucing peliharaan yang hilang,” jawab Anna lantas tertawa renyah.

Max mengembuskan napasnya. Tampak sedikti lega. Lalu ia ikut tertawa kecil. “Senang bertemu denganmu, Nona Detektif.”

“Apa ini pertama kalinya Anda melakukan pemotretan di majalah ini?”

“Tidak.” Max menggelengkan kepalanya. “Aku sudah beberapa kali menjadi model untuk majalah ini.”

Anna menganggukkan kepalanya. “Lalu apakah Anda tahu mengenai kabar pemilik majalah ini?”

Seketika ekspresi wajah Max berubah kurang dari satu detik. Senyum ramahnya sirna, berganti dengan rahang yang tampak mengetat. Matanya terbelalak. Kelihatannya pertanyaan itu cukup mengganggu lelaki itu.

“Maksudmu... Nona Safira?” tanya Max. Suaranya terdengar berat seolah tertekan oleh sesuatu. “Untuk apa kau menanyakan hal tersebut kepadaku?”

“Hanya ingin memastikan saja. Karena Anda yang terakhir kali terlihat sedang makan malam bersamanya. Lalu keesokan harinya, ia menghilang begitu saja.” Sesaat Anna merasakan pandangan yang menusuk. “Mungkin Anda tahu di mana ia berada.”

“Itu pertanyaan yang tidak masuk akal, Nona Detektif.” Max kembali dengan senyuman menawannya. “Nona Safira saat ini sedang melakukan perjalan bisnis keluar kota. Dan saya yakin dia dalam keadaan baik-baik saja.”

Anna menatap tajam ke arah Max. Tidak sedikitpun ada perasaan gentar. Ia yakin benar bahwa ada yang disembunyikan oleh lelaki ini.
“Bisa kita mulai sekarang?”

Tiba-tiba sebuah suara yang lembut, menginterupsi suasana tegang di antara Anna dan Max Ternyata Leah sudah kembali berdiri di samping mereka. Kali ini sebuah kamera menggantung di lehernya.

“Mohon maaf, Anna. Sepertinya aku harus kembali bekerja,” ujar Max dengan wajah menyesal yang dibuat-buat. Sementara matanya menunjukkan perasaan lega karena Leah muncul di antara mereka.

“Ya. Terima kasih banyak atas waktu Anda,” timpal Anna sambil tersenyum penuh arti. Lalu ia melangkah mendeka kepada Leah. “Aku rasa aku harus segera menyusul teman-temanku.”

***

Anna membenamkan tubuhnya ke sofa yang ada di flatnya. Begitu ia memajamkan mata, benaknya langsung melayang membayangkan pemandangan pantai yang biru dan indah. Kakinya yang telanjang berlari di atas pasir yang hangat. Ombak yang berkejaran menuju pantai, awan yang mengapung di langit....

“Apa kau akan tidur di situ, Anna?”

Anna tersentak. Ia membuka matanya dan mendapati Liza tengah memperhatikan dirinya. Raut wajahnya yang lelah terpantul jelas di lensa kacamata Liza. Sementara sahabatnya itu tampak lebih baik setelah mandi dan berganti pakaian.

“Kau mengganggu lamunan indahku saja.” Anna membuang muka sambil menghela napas berat. “Aku sedang kelelahan luar biasa sekarang. Semua kasus ini terasa... rumit.”

Liza terkikik geli melihat ekspresi terganggu Anna. “Ke mana perginya semangatmu, Anna? Bukankah kau yang berharap agar sesuatu terjadi?”

Anna mengerucutkan hidung dan bibirnya. Pipinya tersipu malu mendengar sindiran itu. “Tapi bukan seperti ini yang aku inginkan. Aku sama sekali tidak mengharapkan ada orang yang meninggal ataupun lenyap tanpa jejak....”

Liza menegakkan punggungnya. Ia melipat tangan di depan dada dan menatap dingin ke arah Anna. Senyuman ramah dan sikap lembut yang biasa ditunjukkannya sirna begitu saja.

“Tidak ada gunanya kau menyesal, Anna. Sekarang yang perlu kita lakukan hanyalah memecahkan kasus ini sesegera mungkin dan menangkap pelakunya.”

Kening Anna mengernyit. Ia menyilangkan kakinya, lalu menumpukan siku di atas lutut. Satu telapak tangannya menopang dagunya. Kepalanya benar-benar terasa berat dengan semua kemungkinan yang melintas berkali-kali di sana.

“Aku juga menginginkan hal yang sama. Tapi semakin aku memikirkannya, terasa semakin sulit.” Anna mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Apalagi satu  kasus belum selesai, kasus yang lain terjadi. Aku bahkan belum memahami misteri pembunuhan gadis bernama Victoria itu.”

Tanpa sadar, Liza mengulum tawa di ujung bibirnya. Lalu ia mengangkat alis meremehkan. “Sudah kuduga. Kau benar-benar lamban dalam kasus ini, Anna.”

“Apa?” Urat di dahi Anna mencuat tersinggung. Sahabatnya ini benar-benar menyebalkan. “Aku yakin kau juga belum menemukan petunjuk lebih.”

“Kau salah,” sanggah Liza lantas terkekeh. “Aku hanya tinggal mencari bukti untuk menjerat pelakunya.”

Wajah Anna berbinar antusias. “Lalu, siapa pelakunya? Tetangganya? Rekan kerjanya? Siapa?”

Liza menggelengkan kepala. “Aku harus merahasiakan deduksiku sampai ada bukti yang autentik.”

Bibir Anna mengerucut seketika. “Seperti biasa. Kau memang pelit, Liza.”

“Aku tidak bisa mempercayai siapapun termasuk dirimu, Anna.”

Apa boleh buat. Anna mengangkat bahunya lalu menurunkannya dengan pasrah. Seharusnya ia sudah hafal dengan kebiasaan sahabatnya itu. Kepala cantik Liza memang selalu dipenuhi rasa curiga. Lagi pula, hal itu tidak penting sekarang. Seperti yang dikatakan Liza, ia pasti akan mengatakannya begitu ada bukti autentik.

“Yang terpenting sekarang adalah... apakah benar kedua kasus ini saling berhubungan?”

Liza menghela napas. “Aku harap tidak.”

Satu alis Anna terangkat. “Kenapa? Bukankah lebih baik jika berhubungan? Jadi kita hanya perlu menangkap satu pelaku untuk dua kasus yang menyerang gadis dengan rambut dicat pirang?”

Liza membetulkan letak kacamatanya yang merosot. “Jika memang berhubungan... aku takut... jika Safira sudah....”

Mata Anna terbuka lebar. Ia mendecakkan lidah lalu menghalangi Liza melanjutkan kalimatnya. Rasanya menyakitkan saat membayangkan seseorang yang diculik sudah berubah menjadi mayat yang dingin. Terbujur kaku dan dibuang begitu saja secara tidak manusiawi.

 “Jangan mengatakan hal yang mengerikan, Anna! Aku harap gadis itu baik-baik saja. Setidaknya... semoga kita bisa menyelamatkannya sebelum terlambat.”

“Ya. Mungkin sebaiknya kita segera pergi menemui Max Dawson sebagai orang yang terakhir kali ditemui korban.”

Kali ini, Anna yang mengulum tawanya. Ia terkekeh geli dalam mulutnya. Sekarang siapa yang lamban, huh?

Sepasang mata di balik lensa itu memicing curiga. “Apa yang sedang kau tertawakan, Anna?”

Anna menggedikkan bahunya dengan sikap menyebalkan. Ia memutar bola matanya meremehkan lawan bicaranya. “Ternyata kau benar-benar lamban, Liza.”

Liza menelengkan kepalanya ke satu sisi. “Apa maksudmu... jangan-jangan... kau sudah menemui lelaki itu? Lalu apa petunjuk yang kaudapatkan?”

Mulut Anna terkunci rapat. Ia mengedipkan bulu matanya dengan main-main. “Aku tidak bisa mempercayai siapapun termasuk dirimu, Liza,” ucapnya  dengan nada yang dibuat semirip mungkin meniru cara bicara Liza.

Sial. Mata Liza terbelalak dengan kening yang mengernyit. Ini sebuah serangan balasan. “Jangan main-main, Anna.”

“Aku ingin mandi sekarang, Liza. Jangan ganggu aku,” ucap Anna lalu bangkit dari sofa. Ia melenggang pongah menuju kamarnya.

“Ceritakan dulu apa yang kaudapat dari Max Dawson.” Liza berkata setengah memaksa. Ia mengejar Anna yang sudah memutar handle dan membuka pintu kamar. Sesaat sebelum gadis itu menutup pintu, Liza berhasil menahan pintu untuk tetap terbuka. Ia memanjang-manjangkan tangan hingga berhasil menyentuh lengan Anna yang bersembunyi di balik daun pintu. Tapi Anna melakukan perlawanan dan mendorong Liza keluar dari kamarnya.

Sebelum menutup lalu mengunci pintu kamarnya, Anna menyembulkan sedikit kepalanya melalui celah pintu yang terbuka. Ia menjulurkan lidah lalu berkata, “Aku yang akan lebih dulu memecahkan kasus ini.”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D