Jumat, 29 Mei 2015

Red Lie - Chapter 3


Cuaca pagi ini sangat cerah—ketika sinar matahari masuk melalui celah tirai kamar Trisia, Trisia beringsut dari tempat tidurnya, meraih sandal merahnya dan bergegas menuju dapur untuk menyeduh secangkir kopi untuk menyambut pagi yang menyenangkan.
Sambil melantunkan syair lagu kesukaannya, Trisia menyiapkan kopi untuk Tomi sebelum lelaki itu bangun. Sejak dua hari yang lalu tampaknya Tomi telah kembali menjadi lelaki yang dicintainya dahulu. Lelaki itu tak lagi menyakitinya. Justru semalam Tomi telah meminta maaf pada Trisia.
Setelah secangkir kopi panas selesai disiapkan, Trisia segera menuju kamar Tomi untuk membangunkannya. Tapi ia tak menemukan Tomi di kamarnya dan suara-suara berisik justru terdengar jelas di kamar sebelah. Setelah itulah segala sesuatu tampak tidak beres. Sambil membawa secangkir kopi di tangannya, Trisia bergegas menuju asal suara yang berasal dari kamarnya.
"Kenapa bisa tak ada makanan disini?" Teriak Tomi sambil menendang salah satu kursi di kamar Trisia.
"Persediaan kita habis, Tom. Aku akan membelinya sepulang aku kerja nanti."
"Lalu aku sarapan apa? Aku harus kuliah Tris. Kau pikir aku tak perlu makan?" Tomi meradang karena tak puas pada jawaban Trisia.
"Aku sudah bilang, bukan? Aku akan membelinya nanti, Tom. Kau bisa membeli sesuatu sebelum kau ke kampus. Minumlah ini." Trisia menyodorkan secangkir kopi yang dibuatnya dengan penuh cinta untuk Tomi.
"Aku tak butuh kopi Trisia." Tomi menampik kopi tersebut hingga terjatuh dan berceceran ke lantai. "Aku lapar! Aku butuh makan, bukan kopi!"
"Sudahlah Tom, ada apa sih denganmu? Kupikir kau sudah benar-benar berubah. Ternyata kau masih sama saja!" Nada Trisia sedikit meninggi. Rasa kecewa menjalar dalam hatinya, membuat matanya berair.
Plak.
Sebuah tamparan menjadi sarapan Trisia pagi ini. Meski ini bukan kali pertama Tomi menamparnya, tapi pagi ini Tomi benar-benar telah menyakiti hatinya. Air matanya tak mampu lagi terbendung ketika dengan kasar Tomi membanting pintu kamar Trisia dan meninggalkannya sendiri di kamarnya.
***
Paginya benar-benar menjadi buruk dalam sekejap. Dengan mata yang sembap dan suasana hati yang buruk, Trisia memaksakan diri untuk pergi ke kantin. Ia hanya perlu berharap untuk tidak bertemu Tomi sepanjang jam kerjanya di kantin atau suasana hatinya akan bertambah lebih buruk lagi.
"Katakan padaku mengapa kulihat Tomi asyik bermain-main dengan gadis-gadis itu sedangkan kau menekuk wajahmu sepanjang hari?" Tanya Vany yang berdiri tepat di samping Trisia yang sedang mencuci piring.
"Tidak apa-apa. Seperti biasa, Van." Ujar Trisia singkat. Baginya, bercerita sama seperti mengungkit kemarahan yang telah berusaha ia pendam. Ia masih perlu waktu untuk bercerita.
"Kupikir aku akan mendapatkan berita bagus pagi ini," Gerutu Vany cemberut.
"Memangnya kau mau berita apa?"
"Em... Mungkin, 'Van, aku sudah putus dengan Tomi' atau sejenisnya." Vany menirukan gaya bicara Trisia, membuat gadis itu sedikit tersenyum mendengar celotehan sahabatnya itu. "Kapan kau putus? Dia tidak baik untukmu Tris."
"Van, kau tahu alasanku. Gara-gara aku, dia diusir orang tuanya. Aku merasa bertanggung jawab untuk itu."
"Dia laki-laki, kau boleh saja meninggalkannya. Perbuatannya tak bisa dimaafkan, dia..."
"Van..." Trisia memotong ucapan sahabatnya. "Cukup. Aku tak ingin melanjutkan itu." Ia tahu apa yang dikatakan sahabatnya itu benar, tapi bagaimanapun juga rasa bersalah masih menghantui Trisia.
"Tris, coba pikir, dia terlalu sibuk mencoreng kertas putihmu dengan tinta hitamnya. Bahkan penghapus pun tak akan mampu mengembalikannya. Kau terlalu berharga untuknya, kau..."
"Trisia, ada yang ingin bertemu denganmu." Teriak sang pemilik kantin memotong ucapan Vany. Trisia mengerutkan dahi menatap Vany sementara Vany hanya mengangkat pundaknya sambil menggeleng. Trisia bergegas menghentikan aktivitasnya, buru-buru ia melepaskan celemeknya dan menemui pemilik kantin.
"Itu." Ujar pemilik kantin menunjuk seorang lelaki muda yang bertampang cerdas dengan kacamata yang membingkai matanya. Setelan jas berwarna abu-abu membalut tubuhnya dan matanya tertuju pada sebuah ponsel yang ada di genggamannya.
"Selamat siang, saya Trisia. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Trisia yang tampaknya sempat membuat lelaki tersebut terkejut.
"Ah, selamat siang. Saya Denis dari perusahaan Quarts Design." Ujar lelaki itu sambil menyerahkan sebuah kartu nama berwarna putih dengan semburat kehijauan bertuliskan Denis Dirganata. "Tujuan saya datang kemari, saya ingin menawarkan pekerjaan dengan gaji besar untuk anda, nona Trisia."
"Pekerjaan bergaji besar untukku? Apakah mungkin anda salah orang?" Tanya Trisia heran. Terasa tak masuk akal seseorang yang tak dikenalnya tiba-tiba datang dan menawarkan pekerjaan bagus. Apalagi Trisia bukanlah gadis yang menonjol dalam lingkungannya.
"Apakah saya sedang berbicara bersama nona Trisia Arissandy?"
"I... Iya. Lalu kalau boleh tahu, pekerjaan apa yang harus saya lakukan?" Trisia mulai tertarik.
"Asisten CEO Quarts Design."
***
Asisten CEO? Pekerjaan seperti apa itu?
Langit sudah hampir gelap ketika Trisia membersihkan meja-meja kantin. Tawaran menggoda untuk menjadi asisten CEO terus menerus berputar dalam kepala Trisia. Tapi ia masih harus memikirkan dengan matang sebelum melepaskan pekerjaannya sebagai pegawai kantin dan mungkin juga pekerjaannya sebagai pelayan café.
"Apa yang kau pikirkan?" Vany menepuk pundak Trisia sehingga membuat gadis itu terkejut.
"Tidak. Aku hanya memikirkan tawaran tadi siang."
"Terima saja. Di perusahaan mungkin kau akan mendapatkan gaji minimal dua kali lipat dari pekerjaanmu di kantin Tris. Dan mungkin saja bosmu akan menyukaimu dan..."
"Vany, hentikan. Ini bukan film romantis seperti yang ada di kepalamu. Kau kenapa belum pulang?"
"Kuliah terakhirku baru saja selesai. Sebentar lagi kau ke Rainbow Café?"
"Tidak. Ini adalah anniversarry ke dua puluh lima pemilik café. Jadi cafe tutup hari ini."
"Kalau begitu kau harus ikut denganku ke suatu tempat."
***
"Katakan padaku kenapa aku harus setuju untuk kau dandani seperti ini?" Gerutu Trisia ketika melihat pantulan dirinya dalam cermin yang berukuran besar di kamar Vany. Sebuah mini dress berwarna hijau zamrud yang senada dengan warna matanya membalut pas tubuh langsing Trisia. Panjangnya gaun yang hanya menutup tiga per empat pahanya membuat gadis itu terus-menerus menarik-narik bagian bawah gaunnya.
"Hentikan Tris, jika kau lakukan itu, gaunku akan robek." Ujar Vany sambil membubuhkan eyeshadow pada kelopak matanya.
"Tapi ini terlalu pendek untukku Van."
"Ini sempurna Tris. Kau akan mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Tomi malam ini." Vany memberikan sentuhan terakhir pada bibirnya. Lipstik pink yang senada dengan pakaiannya membuat Vany tampak begitu cantik malam ini.
"Kita mau kemana dengan pakaian seperti ini?" Tanya Trisia yang masih penasaran. Vany hanya menjawab pertanyaan Trisia dengan seulas senyum kemudian menarik tangan Trisia menuju mobil miliknya.
Seperti biasa, mereka harus bergelut dengan kendaraan yang saling berebut lintasan. Namun itu sudah menjadi hal wajar bagi masyarakat ibukota, termasuk Trisia dan Vany. Cukup lama kendaraan mereka merayap, hingga sampailah ke sebuah jalan yang menurut Trisia berbeda dari jalanan ibukota pada umumnya.
Jalanan yang lebar dan cukup lenggang mengingat ini masih di pusat kota, pohon-pohon peneduh dan beberapa rumah yang sepertinya baru saja dipugar menempati sisi kanan dan kiri jalan. Sekitar seratus meter dari rumah yang terletak di sisi kanan jalan terdapat sebuah restoran Jepang dengan tulisan "Peko-Peko" yang super besar di bagian atas restoran. Kemudian ketika menengok sebelah kiri, sebuah toko yang menjual benda-benda seni mampu menarik perhatian Trisia.
Beberapa menit kemudian, setelah melewati sebuah tikungan yang cukup tajam, Vany memarkirkan mobilnya ke sebuah halaman yang cukup luas untuk sebuah pelataran rumah di ibukota. Banyak mobil dan motor berjajar di pelataran rumah besar bercat abu-abu itu.
"Apakah ada pesta?" Trisia menyebarkan pandangannya di sekeliling tempat yang terasa asing baginya. Vany masih bungkam dan hanya melempar senyum jahil untuk membuat penasaran sahabatnya itu.
Sementara Vany berjalan dengan anggun di depan Trisia melewati pelataran rumah, Trisia justru masih sibuk memandangi sekitarnya dengan tatapan kagum. Lampu-lampu kecil menghiasi pohon-pohon cemara yang berjajar di sisi kanan dan kiri bagian dalam pagar, mirip seperti pohon natal namun dalam jumlah banyak. Dua orang berkemeja gelap yang dipadukan dengan celana bahan dengan warna senada tengah asyik bercengkrama di depan pintu lebar yang tertutup rapat.
Vany mendorong pintu tersebut, kemudian sebuah anak tangga menuju ke atas dan kebawah terlihat, begitu mereka memasuki ruangan yang minim perabot dengan lantai yang dilapisi karpet bermotif abstrak. Kemudian Vany melanjutkan langkahnya menuju tangga yang mengarah ke bawah. Trisia yang memang dilahirkan dengan gen penasaran yang berlebihan masih terus menanyakan apa yang akan mereka lakukan di tempat ini.
"Aku tak tahu apa Tomi pernah mengajakmu ke tempat ini atau tidak. Tapi, semoga malam ini kau mendapatkan keberuntunganmu." Vany yang sengaja diam akhirnya membuka mulut. Tangan kanannya meraih gagang pintu, kemudian mendorong pintu tersebut hingga terbuka. Begitu terkejutnya Trisia ketika sorot cahaya lampu berwarna biru dan merah menyentuh wajahnya secara bergantian hingga Trisia memicingkan matanya karena cahaya yang menyilaukan.
Musik-musik bertempo cepat disertai suara riuh orang-orang yang mencoba mengalahkan dentuman musik sungguh memekakkan telinga. Vany menggandeng sahabatnya, membelah kerumunan orang yang menari-nari di atas lantai dansa menuju ke sebuah meja yang berada di sisi kanan lantai dansa.
Vany memesankan minuman untuk Trisia, karena ia yakin betul Trisia belum pernah menginjakkan kaki di sebuah club malam semacam ini. Tak perlu menunggu lama, pelayan membawakan dua gelas minuman berwarna merah.
"Kau mau berdansa?" Tanya Vany setelah meneguk minumannya. Trisia hanya menggeleng tanpa memandang Vany. Ini benar-benar hal yang baru bagi Trisia. Matanya tak berhenti berkeliling untuk menyaksikan segala yang ada dalam tempat itu.
"Baiklah. Tunggu sebentar, aku mau ke toilet. Kau mau ikut?" Tawar Vany pada sahabatnya yang tampaknya sedang tenggelam dalam pikirannya.
"Tidak. Aku tunggu di sini saja."
Cukup lama Vany meninggalkan Trisia, rasa bosan mulai bergeriliya dalam diri Trisia. Mata cantiknya justru semakin jeli mengamati keadaan sekelilingnya hingga matanya terpaku pada seorang lelaki. Lelaki yang begitu dikenalnya tengah menyelipkan wajahnya diantara leher dan pundak seorang gadis berambut pirang, sedangkan kedua tangannya mendarat pada pinggang gadis itu. Perasaan marah dan jijik bercampur aduk dalam diri Trisia. Dengan langkah tegas, ia berjalan mendekati lelaki itu.
Plak. 
Sebuah tamparan mendarat sempurna di pipi kanan lelaki itu hingga wajahnya memerah. "Tomi, apa yang kau lakukan bersama jalang ini? Menjijikkan!" Bentak Trisia yang kemudian melangkah mundur dan siap untuk berbalik. Namun sayang, Tangan Tomi terlebih dahulu menarik ikatan rambut Trisia hingga ia terpaksa mengurungkan niatnya untuk pergi.
Aku pasti mati! Pikir Trisia. Ia tahu benar bagaimana kelakuan Tomi padanya. Bukan hal mustahil jika Tomi akan mengeluarkan pisau lipat yang selalu ia simpan dalam jaketnya dan menyayat tubuh Trisia. Trisia terus meronta hingga seseorang datang menepuk pundak Tomi.
"Sebagai seorang lelaki apa pantas kau lakukan hal seperti itu pada seorang gadis? Lepaskan dia."
Bersambung




3 komentar:

  1. Wohooo~
    jadi ini kejadian yang dilihat Leo pas di chapter 1 ya, dde?
    penasaran sama kelanjutannya. gimana nanti perkenalan Leo sama Trisia?
    semoga Trisia sama Leo aja.
    Tomi kejem ngono :|

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaa..hehehe...
      ditunggu ajaa yaa perkenalannya..Nanti pasti dikenalin kok..
      Nanti Leo sama aku ajaa..soale bayanganku Leo ganteng XDD

      Hapus
    2. sepupuku yang namanya Leo emang ngganteng kok :3
      ditunggu lanjutannya!

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D