Selamat siang, semuanya! \(^o^
Hari
ini posting pertama Orange Sunset (Prolog) didedikasikan
untuk
sumber insprasi setiap hari : Dimas Ermona.
Selamat
membaca.
JENDELA kelas dua belas
yang berada di lantai dua terbuka lebar. Ini merupakan ruang kelas yang dipenuhi
kenangan. Nama dan foto para mantan penghuninya masih terpampang di dinding.
Gumpalan tawa dan air mata bergulung jadi satu. Gerbang sekolah terlihat jelas
dari sini. Andai saja waktu bisa dihentikan sehingga tidak seorang pun yang
akan pergi meninggalkan sekolah ini.
Seorang gadis berdiri di
tepi jendela. Kedua sikunya bertumpu pada kosen dan menopang dagunya. Ia
mengenakan kebaya berwarna jingga. Tampak senada dengan langit senja di luar
sana. Rambutnya disanggul rapi, hasil duduk di salon tadi pagi. Wajahnya disapu
riasan sederhana. Semua itu demi upacara kelulusan yang baru saja selesai
dihadirinya.
Air mata mulai merebak di
mata gadis itu. Tidak terasa waktu bergulir secepat ini. Siapa yang menyangka
bahwa setelah ini ia akan menyandang status mahasiswa. Dan itu berarti ia harus
bersikap lebih dewasa dari saat ini. Menyadari hal itu, ia menghapus air
matanya yang mengalir dan membiarkan sisanya tertahan di tenggorokan seperti
duri yang tersangkut.
‘Jihan!’
Seseorang menyerukan nama
gadis itu hingga ia menoleh. Ia mendapati seorang lelaki dengan setelan jas
hitam berdiri di ambang pintu. Kedua tangannya dilipat ke balik punggungnya.
Seolah menyembunyikan sesuatu. Ada sesuatu yang berbeda dari penampilan lelaki
itu. Jihan memerhatikan dengan saksama. Mungkinkah...?
‘Hei, ke mana perginya
kameramu?’ tanya Jihan heran. Biasanya kamera milik lelaki itu selalu terkalung
setia di lehernya.
‘Aku menitipkannya pada
orang tuaku,’ jawab lelaki itu sambil tersenyum.
Perlahan lelaki itu
berjalan lalu berdiri di hadapan Jihan. Kemudian ia mengulurkan tangannya dari
balik punggung, menyodorkan sebuket bunga kepada gadis yang tengadah menatap
kepadanya.
‘Jihan, selamat atas
kelulusanmu... kelulusan kita.’
Jihan menerima buket
bunga itu lalu membenamkan puncak hidungnya ke dalamnya. Sejenak, ia menghirup wangi
segar bunga-bunga itu. Seulas senyum mewarnai bibirnya yang merah seperti selai
stroberi.
‘Terima kasih, Rangga.’
Jihan menelengkan kepalanya ke satu sisi. Alisnya berkerut rikuh. ‘Tapi,
maafkan aku. Aku tidak menyiapkan hadiah apa pun untukmu.’
Rangga hanya tersenyum.
Lelaki itu sedikit membungkukkan tubuh jangkungnya lalu mencubit ujung hidung
Jihan. ‘Tidak apa-apa, Jihan. Sekarang yang paling penting adalah mempersiapkan
itu.’
Jihan menganggukkan
kepalanya mantap. Rangga memang sahabat terbaiknya. Banyak kenangan yang sudah
mereka ukir bersama selama ini. Mulai dari lomba makan di kantin sekolah,
bersaing mendapat nilai fisika terbaik, hingga membolos sekolah bersama.
Dan apa yang akan mereka
lakukan setelah ini mungkin akan menjadi kenakalan mereka yang terakhir di
sekolah ini. Mereka sudah tidak perlu takut dipanggil ke ruang kepala sekolah
lagi. Tidak ada yang bisa menghukum mereka. Mereka bukan lagi siswa sekolah
ini. Mulai hari ini mereka bebas.
Tetapi Jihan berharap,
kebersamaan mereka akan abadi selamanya.
Samar-samar mulai
terdengar suara gaduh dari bagian dalam gedung sekolah. Tidak lama kemudian,
para guru, orang tua, dan siswa mulai terlihat memenuhi halaman sekolah. Mereka
semua sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Acara jamuan makan sudah selesai
rupanya.
‘Kau siap?’ tanya Rangga
sambil memberi aba-aba.
Begitu Jihan
menganggukkan kepala, secara bersamaan mereka menumpahkan isi kantung besar dalam
genggaman masing-masing. Potongan-potongan kecil kertas warna-warni melayang-layang
di udara. Kertas-kertas itu menghiasi langit senja dan menghujani orang-orang
yang ada di halaman sekolah.
Sementara kedua
pelakunya, cepat-cepat berjongkok dan bersandar pada dinding di bawah jendela.
Mereka berdua terkekeh mendengar suara takjub dan heran orang-orang di bawah
sana. Syukurlah, persiapan yang mereka lakukan tidak berakhir sia-sia.
‘Kita harus cepat
meninggalkan kelas. Sebelum ada guru yang menyadari dari mana asalnya
kertas-kertas itu.’
Rangga menggenggam tangan
kiri Jihan, menuntun gadis itu keluar dari kelas. Jihan mencengkram bunga
pemberian Rangga dengan tangan kanannya. Ia sedikit kesulitan untuk membuat
langkah mereka sejajar. Rok panjang dan sepatu hak tinggi yang tidak terbiasa
dikenakannya, cukup menghambat langkahnya. Beruntung, Rangga menghentikan
langkahnya dan memilih bersembunyi di laboratorium kimia yang berada di dekat
tangga.
Entah karena apa, suasana
meriah yang sebelumnya mendadak lenyap begitu saja. Jihan dan Rangga malah
tenggelam dalam kesunyiaan yang menyesakkan. Hal ini tidak pernah terjadi
sebelumnya. Hingga Jihan hanya bisa menunduk rikuh saat menyadari tatapan mata Rangga
yang berbeda dari sebelumnya. Begitu intens dan entah mengapa sedikit gugup.
‘Kau... cantik,’ gumam Rangga.
Tidak sedikit pun matanya beralih dari wajah Jihan.
‘Apa?’ Jihan mendongak
canggung. Ia hanya ingin memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar.
Benarkah tadi Rangga menyebutnya... cantik?
‘Aku bilang, kau cantik.’
Dengan enggan Rangga mengulang kalimat yang terasa asing di lidahnya itu.
‘A-apa maksud
kata-katamu?’
Rangga memilih untuk
tidak langsung menjawab. Lelaki itu malah membiarkan Jihan tersiksa di bawah
tatapannya. Ini adalah suasana canggung pertama dalam sejarah persahabatan
mereka.
Tidak ada yang bisa
dilakukan Jihan selain menundukkan kepala dan menunggu Rangga berbicara. Tetapi
kata-kata yang diucapkan lelaki itu benar-benar di luar dugaan Jihan.
‘Aku suka melihatmu
seperti ini, Jihan. Ini seperti sedang melihat pengantinku di masa depan.’
Sontak Jihan mengangkat
wajahnya, memperlihatkan ujung bibirnya yang berkedut. Ia tidak bisa lagi
menahan tawanya. ‘Apa kau sedang demam?’ Telapak tangan Jihan terulur untuk menyentuh
kening sahabatnya itu.
Tetapi secara impulsif Rangga
menghindar dari sentuhan itu. Ekspresi lelaki itu menyiratkan penolakan.
Tangannya mencengkram pergelangan tangan Jihan, hingga membuat gadis itu tersentak
dan berhenti tertawa.
‘Apa yang sebenarnya
terjadi padamu, Rangga? Kita baru saja lulus SMA dan kau sudah membicarakan
tentang pengantin. Tidakkah itu aneh?’
‘Tidak. Itu sama sekali
tidak aneh,’ sanggah Rangga cepat.
Kening Jihan berkedut
tidak suka. ‘Lalu kenapa kau mengatakan hal yang membingungkan seperti itu? Ini
sama sekali bukan seperti dirimu, Rangga.’
‘Itu karena... aku mencintaimu,
Jihan. Lebih dari seorang sahabat.’
Jihan tergugu. Matanya
terbelalak tidak percaya pada apa yang ditangkap telinganya. Apakah kata-kata
yang diucapkan Rangga bisa ia percaya begitu saja?
‘Apa?’ tanya Jihan. Bukan
karena ia tuli. Tetapi karena ia merasa kurang memahami maksud perkataan
sahabatnya itu.
Rangga maju satu langkah
mendekati Jihan, memandang serius ke arah Jihan. ‘Aku mencintaimu, Jihan.’
Jihan hanya mampu terpaku
di sana dengan mulut menganga seperti orang bodoh. Ia kebingungan dan tidak
tahu harus berkata apa. Tenggorokannya tercekat dengan ribuan pertanyaan
menggantung di sana.
Sesungguhnya, Jihan juga
menyimpan perasaan yang sama. Tetapi setengah mati ia menekan perasaan itu agar
tidak merusak persahabatan yang sudah mereka jalin selama ini. Apalagi selama
ini Rangga tidak pernah menunjukkan perasaan lebih kepadanya. Rasanya sulit memercayai
kata-kata lelaki itu.
‘Jadi, apakah kau
membalas perasaanku?’
Benarkah ini sebuah
pernyataan cinta? Jihan menimbang di dalam hati. Tetapi sedetik kemudian, ia
melihat batinnya menggelengkan kepala. Pasti
Rangga sedang berbuat usil seperti biasanya.
Pemikiran itu menetes
dalam benak Jihan dan membuatnya merasa geli. Gadis itu tiba-tiba terbahak.
Sedikit pun ia tidak bisa meredam tawanya.
‘Jangan bercanda, Rangga!
Aku tahu kau pasti sedang berusaha berbuat usil. Benar?’ tuduh Jihan sambil
tertawa.
Mata Rangga mengerjap
jengkel. Nada bicaranya datar dan menusuk. ‘Aku serius.’
Jihan menatap wajah Rangga
lekat-lekat, mencari keseriusan di sana. ‘Oh, ayolah, Rangga. Sampai kapan kau
akan terus berpura-pura seperti ini?’
Rangga terdiam sejenak.
‘Baiklah, jika itu
keinginanmu.’ Secara tiba-tiba ekspresi Rangga berubah muram. Nada bicaranya
terdengar ketus sekaligus kecewa. ‘Lupakan saja kata-kataku tadi.’
Oh— apakah Jihan sudah salah menduga? Kali ini, Jihan yang terdiam. Hatinya
mencelus melihat perubahan warna wajah lelaki dihadapannya. Kenapa sinar matanya tampak begitu terluka?
‘Aku sudah mengerti
perasaanmu sekarang.’ Rangga berjalan menjauhi Jihan lalu berhenti di belakang
pintu. Ia melirik perlahan melalui bahunya. ‘Kalau begitu, selamat tinggal...
Jihan.’
Apa? Tunggu— ini benar-benar salah. Bukan seperti ini yang diinginkan Jihan. Mungkinkah
tanggapannya sudah membuat Rangga berpikir bahwa ia menolaknya? Ini merupakan
kesalahpahaman yang buruk.
Jihan merasa benar-benar
bodoh kali ini.
Sebenarnya, Jihan ingin
mengatakan bahwa ia juga mencintai Rangga. Lebih dari sahabat. Tadi ia hanya
merasa takut Rangga hanya bercanda untuk mempermalukannya. Ia sama sekali tidak
menyangka bahwa itu adalah pernyataan cinta yang sesungguhnya dari lelaki yang
dicintainya.
Mata Jihan menatap nanar
ke arah punggung Rangga yang semakin menjauh. Lelaki itu terus melangkahkan kakinya tanpa sedikit pun menoleh
ke belakang. Jihan terpaku tanpa tahu harus berbuat apa. Apakah ia harus
berteriak dan menghentikan Rangga? Atau haruskah ia mengejar lelaki itu dan
menyatakan cintanya? Ini adalah hari terakhir mereka di sekolah. Tidak akan ada
hari esok untuk bertemu dan bercanda di dalam kelas.
Setelah membulatkan
tekad, Jihan melangkah susah payah mengejar Rangga. Dengan sisa keberaniannya,
ia berteriak sekuat tenaga.
‘Rangga! Tunggu!’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D