Kamis, 28 Mei 2015

Orange Sunset (Prolog)


Selamat siang, semuanya! \(^o^
Hari ini posting pertama Orange Sunset (Prolog) didedikasikan
untuk sumber insprasi setiap hari : Dimas Ermona.
Selamat membaca.


JENDELA kelas dua belas yang berada di lantai dua terbuka lebar. Ini merupakan ruang kelas yang dipenuhi kenangan. Nama dan foto para mantan penghuninya masih terpampang di dinding. Gumpalan tawa dan air mata bergulung jadi satu. Gerbang sekolah terlihat jelas dari sini. Andai saja waktu bisa dihentikan sehingga tidak seorang pun yang akan pergi meninggalkan sekolah ini.

Seorang gadis berdiri di tepi jendela. Kedua sikunya bertumpu pada kosen dan menopang dagunya. Ia mengenakan kebaya berwarna jingga. Tampak senada dengan langit senja di luar sana. Rambutnya disanggul rapi, hasil duduk di salon tadi pagi. Wajahnya disapu riasan sederhana. Semua itu demi upacara kelulusan yang baru saja selesai dihadirinya.

Air mata mulai merebak di mata gadis itu. Tidak terasa waktu bergulir secepat ini. Siapa yang menyangka bahwa setelah ini ia akan menyandang status mahasiswa. Dan itu berarti ia harus bersikap lebih dewasa dari saat ini. Menyadari hal itu, ia menghapus air matanya yang mengalir dan membiarkan sisanya tertahan di tenggorokan seperti duri yang tersangkut.

‘Jihan!’

Seseorang menyerukan nama gadis itu hingga ia menoleh. Ia mendapati seorang lelaki dengan setelan jas hitam berdiri di ambang pintu. Kedua tangannya dilipat ke balik punggungnya. Seolah menyembunyikan sesuatu. Ada sesuatu yang berbeda dari penampilan lelaki itu. Jihan memerhatikan dengan saksama. Mungkinkah...?

‘Hei, ke mana perginya kameramu?’ tanya Jihan heran. Biasanya kamera milik lelaki itu selalu terkalung setia di lehernya.

‘Aku menitipkannya pada orang tuaku,’ jawab lelaki itu sambil tersenyum.

Perlahan lelaki itu berjalan lalu berdiri di hadapan Jihan. Kemudian ia mengulurkan tangannya dari balik punggung, menyodorkan sebuket bunga kepada gadis yang tengadah menatap kepadanya.

‘Jihan, selamat atas kelulusanmu... kelulusan kita.’

Jihan menerima buket bunga itu lalu membenamkan puncak hidungnya ke dalamnya. Sejenak, ia menghirup wangi segar bunga-bunga itu. Seulas senyum mewarnai bibirnya yang merah seperti selai stroberi.


‘Terima kasih, Rangga.’ Jihan menelengkan kepalanya ke satu sisi. Alisnya berkerut rikuh. ‘Tapi, maafkan aku. Aku tidak menyiapkan hadiah apa pun untukmu.’

Rangga hanya tersenyum. Lelaki itu sedikit membungkukkan tubuh jangkungnya lalu mencubit ujung hidung Jihan. ‘Tidak apa-apa, Jihan. Sekarang yang paling penting adalah mempersiapkan itu.’

Jihan menganggukkan kepalanya mantap. Rangga memang sahabat terbaiknya. Banyak kenangan yang sudah mereka ukir bersama selama ini. Mulai dari lomba makan di kantin sekolah, bersaing mendapat nilai fisika terbaik, hingga membolos sekolah bersama.

Dan apa yang akan mereka lakukan setelah ini mungkin akan menjadi kenakalan mereka yang terakhir di sekolah ini. Mereka sudah tidak perlu takut dipanggil ke ruang kepala sekolah lagi. Tidak ada yang bisa menghukum mereka. Mereka bukan lagi siswa sekolah ini. Mulai hari ini mereka bebas.

Tetapi Jihan berharap, kebersamaan mereka akan abadi selamanya.

Samar-samar mulai terdengar suara gaduh dari bagian dalam gedung sekolah. Tidak lama kemudian, para guru, orang tua, dan siswa mulai terlihat memenuhi halaman sekolah. Mereka semua sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Acara jamuan makan sudah selesai rupanya.

‘Kau siap?’ tanya Rangga sambil memberi aba-aba.

Begitu Jihan menganggukkan kepala, secara bersamaan mereka menumpahkan isi kantung besar dalam genggaman masing-masing. Potongan-potongan kecil kertas warna-warni melayang-layang di udara. Kertas-kertas itu menghiasi langit senja dan menghujani orang-orang yang ada di halaman sekolah.

Sementara kedua pelakunya, cepat-cepat berjongkok dan bersandar pada dinding di bawah jendela. Mereka berdua terkekeh mendengar suara takjub dan heran orang-orang di bawah sana. Syukurlah, persiapan yang mereka lakukan tidak berakhir sia-sia.

‘Kita harus cepat meninggalkan kelas. Sebelum ada guru yang menyadari dari mana asalnya kertas-kertas itu.’

Rangga menggenggam tangan kiri Jihan, menuntun gadis itu keluar dari kelas. Jihan mencengkram bunga pemberian Rangga dengan tangan kanannya. Ia sedikit kesulitan untuk membuat langkah mereka sejajar. Rok panjang dan sepatu hak tinggi yang tidak terbiasa dikenakannya, cukup menghambat langkahnya. Beruntung, Rangga menghentikan langkahnya dan memilih bersembunyi di laboratorium kimia yang berada di dekat tangga.

Entah karena apa, suasana meriah yang sebelumnya mendadak lenyap begitu saja. Jihan dan Rangga malah tenggelam dalam kesunyiaan yang menyesakkan. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Hingga Jihan hanya bisa menunduk rikuh saat menyadari tatapan mata Rangga yang berbeda dari sebelumnya. Begitu intens dan entah mengapa sedikit gugup.

‘Kau... cantik,’ gumam Rangga. Tidak sedikit pun matanya beralih dari wajah Jihan.

‘Apa?’ Jihan mendongak canggung. Ia hanya ingin memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar. Benarkah tadi Rangga menyebutnya... cantik?

‘Aku bilang, kau cantik.’ Dengan enggan Rangga mengulang kalimat yang terasa asing di lidahnya itu.

‘A-apa maksud kata-katamu?’

Rangga memilih untuk tidak langsung menjawab. Lelaki itu malah membiarkan Jihan tersiksa di bawah tatapannya. Ini adalah suasana canggung pertama dalam sejarah persahabatan mereka.

Tidak ada yang bisa dilakukan Jihan selain menundukkan kepala dan menunggu Rangga berbicara. Tetapi kata-kata yang diucapkan lelaki itu benar-benar di luar dugaan Jihan.

‘Aku suka melihatmu seperti ini, Jihan. Ini seperti sedang melihat pengantinku di masa depan.’

Sontak Jihan mengangkat wajahnya, memperlihatkan ujung bibirnya yang berkedut. Ia tidak bisa lagi menahan tawanya. ‘Apa kau sedang demam?’ Telapak tangan Jihan terulur untuk menyentuh kening sahabatnya itu.

Tetapi secara impulsif Rangga menghindar dari sentuhan itu. Ekspresi lelaki itu menyiratkan penolakan. Tangannya mencengkram pergelangan tangan Jihan, hingga membuat gadis itu tersentak dan berhenti tertawa.

‘Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Rangga? Kita baru saja lulus SMA dan kau sudah membicarakan tentang pengantin. Tidakkah itu aneh?’

‘Tidak. Itu sama sekali tidak aneh,’ sanggah Rangga cepat.

Kening Jihan berkedut tidak suka. ‘Lalu kenapa kau mengatakan hal yang membingungkan seperti itu? Ini sama sekali bukan seperti dirimu, Rangga.’

‘Itu karena... aku mencintaimu, Jihan. Lebih dari seorang sahabat.’

Jihan tergugu. Matanya terbelalak tidak percaya pada apa yang ditangkap telinganya. Apakah kata-kata yang diucapkan Rangga bisa ia percaya begitu saja?

‘Apa?’ tanya Jihan. Bukan karena ia tuli. Tetapi karena ia merasa kurang memahami maksud perkataan sahabatnya itu.

Rangga maju satu langkah mendekati Jihan, memandang serius ke arah Jihan. ‘Aku mencintaimu, Jihan.’

Jihan hanya mampu terpaku di sana dengan mulut menganga seperti orang bodoh. Ia kebingungan dan tidak tahu harus berkata apa. Tenggorokannya tercekat dengan ribuan pertanyaan menggantung di sana.

Sesungguhnya, Jihan juga menyimpan perasaan yang sama. Tetapi setengah mati ia menekan perasaan itu agar tidak merusak persahabatan yang sudah mereka jalin selama ini. Apalagi selama ini Rangga tidak pernah menunjukkan perasaan lebih kepadanya. Rasanya sulit memercayai kata-kata lelaki itu.

‘Jadi, apakah kau membalas perasaanku?’

Benarkah ini sebuah pernyataan cinta? Jihan menimbang di dalam hati. Tetapi sedetik kemudian, ia melihat batinnya menggelengkan kepala. Pasti Rangga sedang berbuat usil seperti biasanya.

Pemikiran itu menetes dalam benak Jihan dan membuatnya merasa geli. Gadis itu tiba-tiba terbahak. Sedikit pun ia tidak bisa meredam tawanya.

‘Jangan bercanda, Rangga! Aku tahu kau pasti sedang berusaha berbuat usil. Benar?’ tuduh Jihan sambil tertawa.

Mata Rangga mengerjap jengkel. Nada bicaranya datar dan menusuk. ‘Aku serius.’

Jihan menatap wajah Rangga lekat-lekat, mencari keseriusan di sana. ‘Oh, ayolah, Rangga. Sampai kapan kau akan terus berpura-pura seperti ini?’

Rangga terdiam sejenak.

‘Baiklah, jika itu keinginanmu.’ Secara tiba-tiba ekspresi Rangga berubah muram. Nada bicaranya terdengar ketus sekaligus kecewa. ‘Lupakan saja kata-kataku tadi.’

Oh apakah Jihan sudah salah menduga? Kali ini, Jihan yang terdiam. Hatinya mencelus melihat perubahan warna wajah lelaki dihadapannya. Kenapa sinar matanya tampak begitu terluka?

‘Aku sudah mengerti perasaanmu sekarang.’ Rangga berjalan menjauhi Jihan lalu berhenti di belakang pintu. Ia melirik perlahan melalui bahunya. ‘Kalau begitu, selamat tinggal... Jihan.’

Apa? Tunggu ini benar-benar salah. Bukan seperti ini yang diinginkan Jihan. Mungkinkah tanggapannya sudah membuat Rangga berpikir bahwa ia menolaknya? Ini merupakan kesalahpahaman yang buruk.

Jihan merasa benar-benar bodoh kali ini.

Sebenarnya, Jihan ingin mengatakan bahwa ia juga mencintai Rangga. Lebih dari sahabat. Tadi ia hanya merasa takut Rangga hanya bercanda untuk mempermalukannya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa itu adalah pernyataan cinta yang sesungguhnya dari lelaki yang dicintainya.

Mata Jihan menatap nanar ke arah punggung Rangga yang semakin menjauh. Lelaki itu terus melangkahkan kakinya tanpa sedikit pun menoleh ke belakang. Jihan terpaku tanpa tahu harus berbuat apa. Apakah ia harus berteriak dan menghentikan Rangga? Atau haruskah ia mengejar lelaki itu dan menyatakan cintanya? Ini adalah hari terakhir mereka di sekolah. Tidak akan ada hari esok untuk bertemu dan bercanda di dalam kelas.

Setelah membulatkan tekad, Jihan melangkah susah payah mengejar Rangga. Dengan sisa keberaniannya, ia berteriak sekuat tenaga.

‘Rangga! Tunggu!’


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D