Kamis, 19 November 2015

Orange Sunset (Dua belas)


PENAMPILAN Silvia malam ini benar-benar mengagumkan. Ia mengenakan gaun lila yang dipilihnya atas saran Jihan. Rambutnya digelung tinggi memperlihatkan dengan jelas polesan make-up natural di wajahnya. Hanya saja tidak ada senyum manis yang menyempurnakan paras cantik gadis itu melainkan kerutan resah di antara kedua alisnya.

Saat ini Silvia tengah berdiri menunggu di depan pintu masuk sebuah restoran bintang lima. Beberapa pasang mata menatap kagum ke arah gadis itu. Walaupun Silvia sendiri tidak menyadari hal itu. Ia terlalu sibuk memerhatikan gerbang masuk restoran dan ponsel dalam genggamannya secara bergantian.

Sudah satu jam berlalu sejak ia datang ke restoran ini bersama kedua orang tuanya, diikuti kedua orang tua Rangga. Tetapi hingga detik ini, Rangga malah belum sedikit pun menunjukkan batang hidungnya. Sedangkan ponsel lelaki itu sama sekali tidak bisa dihubungi.

“Di mana kau?” desah Silvia nyaris putus asa.

Seharusnya malam ini menjadi malam yang indah bagi mereka berdua. Di mana orang tua mereka akan meminta untuk segera meresmikan hubungan mereka dalam ikatan pertunangan. Dengan begitu, sikap tarik-ulur yang selama ini ditunjukkan Rangga tentu ikut berakhir.

Silvia melirik jam tangannya lalu menghela napas panjang yang seolah menghimpit dadanya. Sepertinya lebih baik ia menunggu di dalam bersama orang tuanya ketimbang harus menghadapi angin malam yang sejak tadi membelai kulitnya.

Baru saja Silvia hendak beranjak ke dalam restoran. Saat ia melihat sebuah sedan putih yang dikenalnya memasuki pelataran parkir restoran. Seulas senyum terukir di bibirnya ketika sosok yang ditunggunya melangkah turun dari mobil tersebut.

Silvia hampir lupa bernapas ketika Rangga berjalan ke arahnya. Lelaki itu mengenakan setelan jas abu-abu yang pas di tubuhnya. Tetapi entah mengapa wajah lelaki itu tampak gusar tanpa rona bahagia. Seolah-olah ada duri di dalam pantofel lelaki itu yang menusuk telapak kakinya.

Bergegas, Silvia melangkah mendekat. Ia memutuskan untuk menyambut Rangga lebih cepat demi menghapus perasaan apa pun yang menodai ekspresi lelaki itu.

“Rangga.” Silvia menyapa diiringi senyuman hangat.

Sesaat lelaki itu tampak terkejut. Tetapi sedetik berikutnya Rangga tersenyum kepada Silvia walaupun terkesan sedikit terpaksa. Ia kemudian mengambil posisi di samping Silvia yang kembali berbalik arah ke dalam restoran.

“Kau terlihat lelah,” ucap Silvia. Ada perasaan empati dalam nada bicara gadis itu.

“Ya. Ada beberapa masalah di studio.”

“Apa semua baik-baik saja?” tanya Silvia dengan raut khawatir.

“Tentu saja,” jawab Rangga singkat. “Semua sudah datang?”

“Ya.” Silvia sedikit merapatkan bahunya ke arah Rangga. “Orang tua kita sudah menunggu di dalam.”

Silvia mengamitkan lengannya pada lipatan siku Rangga. Kemudian berdua mereka beriringan memasuki restoran yang disinari cahaya keemasan.
***

Langit sudah berubah gelap, menyisakan cahaya bulan yang keemasan. Jihan memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah gontai dalam kamarnya yang gelap gulita. Tangannya meraba dinding mencari-cari tombol sakelar yang terletak sejajar dengan kepalanya.

Begitu lampu menyala, Jihan refleks menutup matanya. Keningnya mengernyit menerima cahaya yang mendadak menyinari ruangan yang tadinya gelap. Ia menyeret langkahnya menuju wastafel dan membasuh wajahnya di sana.

Jihan mematikan keran lalu mengangkat kepalanya. Kemudian ia menumpukan telapak tangannya di tepi wastafel, memerhatikan pantulan bayangannya yang masygul. Wajahnya pucat, matanya redup, dan rambutnya kusut masai. Bahkan ia masih mengenakan pakaian tidurnya kemarin malam.

Sejak terbangun pagi ini, Jihan memang seolah kehilangan semangatnya. Mengingat ini adalah hari Sabtu. Hari di mana hubungan Rangga dan Silvia akan menuju tahap yang lebih serius. Yang berarti ia harus lebih sadar diri untuk tidak mengharapkan apa pun dari perasaannya kepada lelaki itu. Ia juga harus meyakinkan diri bahwa ciuman tempo hari tidak lebih dari sekadar ketidaksengajaan.

Jihan kembali menunduk dan membasuh wajahnya berkali-kali. Seolah ia ingin mencuci bersih hatinya dari semua perasaan apa pun yang berhubungan dengan Rangga. Setelah merasa cukup, ia menyentak handuk kecil dari gantungan di depan kamar mandi untuk mengusap sisa air yang menetes dari ujung rambutnya.

Saat melangkah untuk kembali meringkuk ke atas tempat tidurnya, Jihan merasakan perutnya bergemuruh. Ah, benar juga. Kapan terakhir kali ia makan? Kemarin malam? Kemarin siang? Entahlah. Yang jelas, ia yakin hari ini perutnya belum terisi apa-apa. Ia terlampau sibuk meratapi detik-detik di mana ia benar-benar akan kehilangan Rangga.

Kehilangan? Huh. Bukankah sejak awal Rangga memang tidak pernah menjadi miliknya? Jihan tersenyum sinis kepada dirinya sendiri.

Pada akhirnya, Jihan membatalkan niatnya untuk tidur. Ia tahu, ia tidak akan bisa tidur dalam keadaan perut yang lapar. Maka, bergegas kakinya melangkah menuju dapur untuk menemukan apa yang dibutuhkan lambungnya.

Sayangnya, tidak banyak yang bisa ditemukan Jihan di dapur flatnya. Hanya setangkup roti yang sudah berjamur, sayuran layu, dan tiga keping biskuit lempem dalam stoples yang tidak tertutup rapat. Ia menatap nanar pada calon-calon pahlawan yang gugur sebelum menyelamatkannya dari kelaparan.

Detik berikutnya, Jihan sudah merebut jaketnya dari gantungan baju dibalik pintu. Kemudian dengan langkah-langkah lebar, ia meninggalkan flatnya. Berburu sesuatu untuk disantap malam ini.
***

Rangga menatap malas ke bawah pada makanan di piringnya yang hampir tidak tersentuh. Begitu kontras dengan piring-piring lain yang hampir kosong di atas meja yang sama dengan miliknya. Lunglai, ia menghela napas berat. Kemudian meletakkan alat makan kembali ke sisi piring dan menyeka mulut dengan serbet putih dari pangkuannya.

“Ada apa, Rangga? Kau tidak menyukai hidangannya?”

Sikap Rangga barusan langsung menarik perhatian wanita yang duduk di samping kirinya.

“Tidak, Ma. Aku hanya sedang tidak berselera makan,” jawab Rangga sambil menoleh singkat pada ibunya.

“Mau kupesankan minuman hangat?” tawar Silvia yang duduk berseberangan dengan Rangga.

“Tidak. Terima kasih, Silvia,” tolak Rangga halus seraya menggelengkan kepala. Ia tersenyum tetapi senyuman itu tidak menyentuh matanya. Detik berikutnya perhatian lelaki itu sudah kembali pada ibunya. “Omong-omong, hal penting apa yang ingin Mama bicarakan?”

Sebenarnya, Rangga tahu ke mana arah pembicaraan malam ini. Itulah mengapa ia ingin cepat memulai pembicaraan tentang hal itu dan cepat juga menyelesaikannya. Tadi ia datang terlambat karena bimbang untuk datang atau tidak malam ini. Hingga pada akhirnya, ia memutuskan untuk datang demi tidak mengecewakan kedua orang tuanya. Dan ia sendiri mempersiapkan hatinya untuk malam ini. Pembicaraan tentang hubungan yang sedikit pun tidak ingin dilakukannya.

“Begini, Rangga.... “ Ibunya memulai pembicaraan penting yang dimaksud Rangga. Sebelum melanjutkan, wanita itu melirik singkat ke arah suami dan calon besannya untuk meminta persetujuan. “Mama perhatikan, kau dan Silvia semakin hari semakin dekat. Jadi, apa tidak sebaiknya kalian meresmikan hubungan kalian ke jenjang yang lebih serius?”

Kening Rangga berkerut meminta penjelasan lebih. “Maksud Mama?”

“Ya... maksud Mama... bagaimana kalau kalian mulai membicarakan pernikahan?”

Semua orang yang duduk mengelilingi meja kayu jati tersebut sontak tersenyum menyambut kata-kata itu. Semua orang. Kecuali Rangga.

“Pernikahan?” Rangga membeo kata terakhir yang diucapkan ibunya. “Dulu Mama bilang, ini semua hanya perkenalan antara aku dengan anak perempuan sahabat Mama. Perkenalan, Ma. Bukan pernikahan.”

“Memang benar dulu Mama berkata seperti itu. Tapi setelah waktu berlalu, sepertinya kalian berdua bisa menjadi pasangan yang cocok,” lanjut ibunya lalu menoleh dan tersenyum ke arah Silvia.

“Aku tidak bisa.” Rangga menundukkan kepala lantas menggeleng perlahan. “Aku tidak siap untuk itu, Ma....”

“Kenapa?” Ibunya mengurai senyum masam, tampak terkejut dengan tanggapan anak lelakinya. “Atau kalian bisa memulai dulu dengan sebuah pertunangan. Bagaimana?”

Rangga tetap menggelengkan kepalanya. “Lebih baik aku pulang sekarang. Terima kasih atas hidangannya,” ucapnya berpamitan lantas bangkit dari tempat duduk dan meninggalkan meja begitu saja. Tidak sedikit pun ia menoleh maupun menghiraukan suara yang memanggil namanya.
***

Setibanya di supermarket, Jihan bergegas menuju rak-rak yang menyediakan makanan instan. Ia menenteng keranjang belanja sambil menyusuri deretan mi instan yang berjejalan di rak.

Saat itulah tiba-tiba saja Jihan mendengar seseorang memanggil namanya. Ia langsung menoleh ke kirike arah yang menurut pendengarannya menjadi sumber suara. Tetapi tidak seorang pun yang terlihat cocok untuk dicurigai. Hingga akhirnya ia merasakan keranjangnya disinggung seseorang dari sebelah kanan dan membuatnya menoleh begitu saja.

Keranjang belanja yang menyenggol keranjang milik Jihan tampak penuh. Tiga botol minyak zaitun, tujuh butir bawang bombai, dan lima kantung terigu memenuhi keranjang tersebut. Tampak kontras dengan keranjang miliknya yang masih kosong.

Kemudian ketika mengangkat wajahnya, Jihan langsung mendapati sosok yang dikenalnya. Lelaki pemilik senyum sehangat matahari pagi.

“Ternyata benar itu kau, Jihan. Sempat aku kira tadi aku salah melihat peri cantik tersasar masuk ke supermarket.”

Lagi-lagi bualan tentang peri cantik versinya. Tetapi mau tidak mau, kata-kata tersebut mampu mengukir senyuman di wajah Jihan yang sejak tadi muram. Julian benar-benar pintar mencerahkan suasana.

“Belanja?” tanya lelaki itu dengan seringai jenaka.

Jihan memutar bola matanya. “Menurutmu? Apa aku terlihat seperti sedang mengikuti turnamen sepak bola di sini?”

“Jangan marah. Aku hanya bercanda.” Julian tergelak melihat ekspresi kesal Jihan. Kemudian ia melirik ke arah rak di hadapan Jihan sambil mengangkat alis. “Kau berencana menyantap mi instan untuk makan malam?”

“Y-ya.” Lantas? Memang itu yang akan dilakukan Jihan.

“Makanan seperti ini tidak baik untuk kesehatanmu, kau tahu?” Julian berdecak kesal. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Detik berikutnya lelaki itu sudah menatap tajam ke arah Jihan, seperti seorang ayah yang tengah memarahi putrinya. “Aku tidak akan membiarkanmu menyantap makanan itu. Setidaknya untuk malam ini.”

“Lalu? Aku harus makan apa?” tanya Jihan bingung.

“Kita makan malam saja di apartemenku.” Tersirat perasaan bangga dalam kata-kata Julian. “Aku yang akan memasak.”

Jihan tergugu ragu mendengar kata-kata Julian. Seharusnya ini menjadi tawaran menggiurkan. Kapan lagi ia bisa merasakan masakan koki restoran bintang lima secara ekslusif? Tetapi tunggu... bukankah apartemen Julian juga berarti apartemen Rangga?

“Dia pergi makan malam dengan orang tuanya. Tidak ada di apartemen. Jika itu yang kau khawatirkan.” Julian membaca dengan tepat apa yang dipikirkan Jihan melalui raut wajah gadis itu yang berubah-ubah. “Biasanya setelah itu dia akan menginap di rumah orang tuanya.”

Jihan tersenyum mendengar Julian menceritakan seseorang tanpa menyebutkan nama. Gadis itu lantas menganggukkan kepala menyetujui undangan makan malam yang mendadak ini.
***

Aroma telur yang bersentuhan dengan mentega menguar di udara. Jihan duduk di ruang makan apartemen Julian sambil menahan diri agar air liurnya tidak menetes. Ia melipat rapi tangannya di atas meja makan dari kayu damar berwarna hitam mengilat seperti anak kecil yang patuh.

“Maaf membuat Anda menunggu, Nona.” Tidak lama kemudian Julian datang dengan gaya pramusaji yang elegan. Ia meletakkan dua piring saji ke atas meja makan, lalu menarik kursi di sisi meja yang berbeda dengan Jihan dan mengenyakkan dirinya setengah berhadapan dengan gadis itu. Mereka duduk mengapit sudut meja.

“Ayo, angkat sendokmu, Gadis Muda,” ujar Julian seraya tersenyum geli. Seolah-olah memahami rasa lapar Jihan. Perut gadis itu pasti sudah meraung-raung untuk segera diisi.

“Bolehkah?” tanya Jihan sekali lagi. Hanya memastikan bahwa ia tidak sedang terlihat seperti serigala yang belum memangsa apa pun dalam tiga bulan terakhir. Sementara tanpa disadarinya, jemarinya sudah mencengkeram sendok di sisi kanan piringnya.

“Tentu saja.”

Jihan mengalihkan pandangannya pada untaian fettucini di dasar piring, bermahkotakan omelette yang masih mengepulkan uap hangat. Ia menggigit bibir sebelum menghujamkan sendoknya. Lelehan keju, sayur cacah, dan daging cincang berebut keluar dari selimut telur itu bersamaan dengan aroma lezat yang semakin menggoda rasa lapar Jihan. Hingga ia merasa takut perutnya bertindak bodoh dengan mengeluarkan bunyi yang akan mempermalukannya.

“Hati-hati panas.” Julian memperingatkan saat sendok Jihan hampir bersarang ke dalam mulut.

Jihan mengangguk, lalu menunggu beberapa detik sebelum akhirnya potongan omelette itu menyentuh lidahnya. Tanpa sadar ia memejamkan mata, mengecap semua kelezatan yang memenuhi rongga mulutnya.

Ketika pada akhirnya Jihan membuka mata, ia mendapati Julian sedang memerhatikannya sambil tersenyum simpul. Pandangan mereka berserobok selama beberapa detik, membuat wajah Jihan berubah merah seketika. Entah karena perasaan malunya atau karena kehangatan senyuman Julian.

“Enak?”

Jihan mengangguk-angguk tanpa kata-kata. Wajahnya masih tersipu. Tetapi tangannya sudah mengantarkan suapan kedua.

“Sebenarnya tadi aku ingin memasak sesuatu yang lebih spesial. Tapi ketika membayangkan wajahmu yang pucat seperti tidak makan berhari-hari, aku memilih masakan sederhana yang cepat.”

Jihan ternganga. Apa ia terlihat selapar itu? “Ini... ini lebih dari sederhana. Ini“ Jihan mendongak ke arah langit-langit, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Ini istimersa.”

Alis Julian terangkat bingung. “Istimersa?”

“Istimewa dan luar biasa,” jawab Jihan lantas tersenyum lebar menampakkan deretan giginya. Tidak lupa, gadis itu mengecup ujung telunjuk dan ibu jarinya yang bersentuhan membentuk lingkaran tidak sempurna. Kata-kata biasa pasti gagal menggambarkan kelezatan masakan lelaki di sampingnya.

Selama beberapa detik Julian melongo. Sebelum akhirnya ia terkekeh lalu berkata, “kau memiliki perbendaharaan kata yang unik. Apa itu dari bahasa negara tertentu?”

Jihan menggeleng. “Aku hanya menggabungkan dua kata itu untuk menggambarkan masakanmu. Spontan saja.”

Bibir Julian membulat tanda mengerti sementara Jihan tersenyum malu dan bangga sekaligus dalam satu waktu. Kemudian mereka kembali dalam santapan masing-masing ditemani obrolan singkat mengenai apartemen dan pekerjaan Julian. Membuat Jihan melupakan sejenak masalah hatinya yang patah.
***

“Masakanmu benar-benar lezat.”

Untuk ke sekian kalinya, Jihan melontarkan pujian untuk Julian. Lelaki itu tersenyum bangga ke arah Jihan lalu berkata, “terima kasih.”

“Perutku benar-benar dimanjakan,” ujar Jihan tanpa bisa menyembunyikan perasaan senang. Ia menepuk perutnya perlahan dengan perasaan puas.

Mereka berdua sudah selesai menyantap makan malam. Jihan dan Julian. Tetapi tidak seorang pun yang berniat meninggalkan meja makan.

“Rasanya sudah lama aku tidak makan senikmat ini. Aku tidak pernah menyantap makanan selezat ini sebelumnya.” Jihan berkata masih dengan nada kagum yang tidak juga mengering. Beruntung sekali Rangga bisa menikmati masakan seperti ini setiap hari. Andai saja Rangga yang duduk satu meja dengannya.

Ah, Rangga. Mengapa lelaki itu harus menyusup ke dalam benaknya sekarang?

Julian mengangguk setuju. “Ya. Aku juga.”

Kerutan muncul di kening Jihan. Kepalanya sedikit miring ke kiri. Bingung. “Kau tidak pernah makan masakanmu sendiri?”

“Oh, jangan ditanya. Aku sampai bosan,” ujar Julian lantas terkekeh.

“Kalau aku pasti tidak akan merasa bosan dengan makanan seperti ini,” timpal Jihan penuh nada humor.

“Lagi pula... sebenarnya, tidak penting kita makan apa. Tapi makan dengan siapa.” Julian menatap lurus ke arah Jihan. Bibirnya mengukir senyuman penuh makna. “Aku berani bertaruh kau pasti sempat berharap sedang makan malam bersama Rangga. Benar?”

Tebakan Julian tepat. Tetapi Jihan tidak menjawab apa-apa. Ia memilih untuk diam demi mempertahankan ekspresi sedatar mungkin. Mencegah Julian membaca perasaannya.

“Kalian berdua saling mencintai. Kenapa harus bersikap seolah perasaan itu tidak ada?” Julian lanjut bertanya menanggapi sikap bungkam Jihan. “Jangan pikirkan Silvia. Aku yakin dia gadis yang kuat. Lebih baik pikirkan perasaan kalian masing-masing.”

Jihan tetap memilih membisu. Tiba-tiba saja gadis itu bangkit dari duduknya sambil mendorong kursi dengan belakang lututnya. Ia menumpuk piringnya dan piring Julian lalu berkata, “biar aku membereskan piring kotornya.”

“Kau tidak perlu melakukan itu,” cegah Julian sambil ikut berdiri. “Maaf jika kata-kataku menyinggungmu, Jihan. Aku hanya ingin mengatakan

Tidak sedikit pun Jihan memberi kesempatan pada Julian untuk menyelesaikan kalimatnya. Ia melangkah tergesa menuju dapur yang tadi dimasuki Julian. Tanpa kesulitan, ia menemukan wastafel mencuci piring tanpa noda di sudut ruangan. Hanya ada beberapa peralatan masak yang baru saja digunakan tertumpuk rapi di sana.

“Jihan, kumohon dengarkan aku.”

Julian masih mengekor di belakang Jihan. Tetapi tidak sedikit pun ia berniat untuk menggubris kata-kata Julian. Jihan malah berdiri kaku lalu memutar keran. Air mengucur dan menciptakan bunyi gemericik saat menyentuh dasar wastafel.

Bunyi itu juga yang akhirnya membuat Julian menyerah untuk memaksakan kata-katanya. Lelaki itu berdiri menatap sisi kanan Jihan yang mulai sibuk membasuh panci yang tadi digunakannya untuk memasak. Sebuah ide usil muncul mendadak di kepala Julian. Seringai kekanakan berkedut di bibirnya.

Dengan tiba-tiba dan tanpa diduga, Julian menampar perlahan air yang mengalir dari keran hingga menimbulkan cipratan yang langsung mengenai wajah Jihan. Gadis itu beringsut mundur, menghindar sia-sia. Kemudian ia menoleh dan melontarkan tatapan kesal kepada Julian. Cepat-cepat ia membasuh tangannya dari busa sabun, lalu melemparkan serangan balasan kepada Julian.

Alih-alih menghindar, Julian malah terkekeh senang. Ia membiarkan cipratan air dari tangan Jihan mendarat di wajahnya. Memang ini yang diharapkannya. Berangsur-angsur gadis itu ikut terkekeh bersamanya di tengah perang-ciprat-air yang sengit. Mereka begitu asyik hingga melupakan piring dan panci kotor yang menatap iri dari sudut wastafel.
***

Tidak seperti biasanya.

Rangga memilih untuk pulang ke apartemennya malam ini. Ia pergi begitu saja di tengah makan malam. Dan ia yakin ibunya akan menceramahinya panjang lebar jika ia ikut pulang ke rumah. Tetapi mau bagaimana lagi. Ia tidak siap dan tidak akan pernah siap menikahi Silvia. Bukan gadis itu yang diinginkan hatinya.

Setengah menyeret langkahnya keluar dari elevator, Rangga menyusuri lorong menuju apartemennya. Ia merasa lelah untuk banyak hal hari ini. Bahunya terasa berat dan sangat merindukan tempat tidurnya yang nyaman.

Begitu membuka pintu, Rangga mendapati apartemennya dalam keadaan terang. Itu berarti  Julian masih terjaga. Ketika sedang meletakkan sepatunya di rak, telinganya menangkap suara tawa yang samar dari bagian dalam.

Siapa itu? Julian? Tetapi siapa yang bersamanya? Bukankah itu suara seorang gadis?

Rangga melepaskan jas dan menyampirkannya pada sandaran sofa di ruang tamu. Sambil melepas kancing paling atas kemejanya, ia melangkah ke arah sumber suara yang entah mengapa begitu mengusik perasaannya.

Begitu kaki Rangga memasuki dapur, rahangnya mengetat tanpa bisa dicegah. Keningnya berkerut gusar. Seketika perasaan marah menjalari hatinya.

Rangga tidak peduli pada Julian yang tengah tertawa cekikan itu. Ia justru mengernyit marah pada gadis yang sedang tertawa bersama koki sialan itu. Mereka tampak begitu bahagia hingga tidak menyadari kedatangan Rangga.

“Jihan?” tegur Rangga sedikit membentak.

Tawa kedua sejoli itu sontak menggantung di udara. Serentak mereka menoleh ke arah Rangga yang berdiri di ambang pintu dapur.

“Hei, Rangga.” Julian bergerak cepat menyapa sahabatnya itu, lalu merangkulkan lengannya di bahu Jihan yang menegang.

Takut-takut Jihan melirik ke atas pada Julian yang mengurai senyum ceria seperti tidak ada sesuatu yang berbeda. Dan saat itulah Jihan menyadari. Ini pertama kalinya lelaki itu menyentuhnya selama mereka bersama dalam beberapa jam terakhir.

“Bagaimana makan malammu? Kebetulan aku dan Jihan juga baru saja selesai makan malam,” lanjut Julian seolah tidak peduli pada raut marah di wajah Rangga. Bahkan ia dengan sengaja menempelkan pipinya ke puncak kepala Jihan, membuat lelaki di hadapan mereka seperti nyaris meledak.

Wajah Rangga mengeras. Ia melangkahkan kakinya mendekat lalu mengulurkan tangan dan menyentak Jihan dari dekapan Julian. “Ayo. Aku akan mengantarmu pulang,” ucapnya dingin.

Jihan hanya memekik tertahan saat merasakan tubuhnya terguncang tiba-tiba. Ia menatap punggung Rangga yang sedang menariknya paksa keluar dari dapur. Entah mengapa rasanya ia ingin menangis mendapati kemarahan Rangga yang semakin menyakitinya. Sekuat tenaga, Jihan menarik paksa tangannya agar terbebas dari cengkeraman Rangga.

Terkejut, Rangga menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Di sana ia mendapati seorang gadis ketakutan menatap muak kepadanya. Dan dalam sekejap tatapan itu sudah menggores hatinya. Melukainya begitu dalam. Hingga tanpa sadar ia meringis menahan pedih di dalam dadanya.

Julian sadar Rangga sedang tersalut amarah. Dan ia tidak bisa membiarkan Jihan menjadi pelampisan akan kemarahan sahabatnya itu. Maka, ia langsung mengambil posisi berdiri di depan Jihan, seolah melindungi gadis itu. Senyum tenang masih menghiasi bibirnya.

“Kau tidak berhak memperlakukan Jihan seperti itu, Rangga.”

Pembelaan Julian kepada Jihan, semakin menyulut bara kemarahan di balik kata-kata dingin Rangga. “Apa pedulimu?”

Julian memilih tidak menjawab pertanyaan Rangga. “Aku yang mengundangnya datang. Maka, aku juga yang akan mengantarnya pulang.”

Urat cemburu mencuat di kening Rangga begitu melihat Jihan yang berjalan mengikuti Julian meninggalkan dapur. Tetapi ia mencoba untuk merapatkan gigi, menahan napasnya yang memburu. Sedikit perasaan bersalah membuat lelaki itu mengurungkan niat untuk menarik kembali Jihan ke sisinya.

Akhirnya, dengan suara tertahan dan nada yang dingin ia berujar, “kalau begitu, aku ikut.”

Julian menghentikan langkahnya tiba-tiba, membuat Jihan hampir menabrak punggungnya. Ia menoleh dan menyunggingkan senyum penuh teka-teki kepada Rangga. Tanpa kata-kata, lelaki itu menghilang cepat ke ruang tamu. Dan begitu kembali, ia melemparkan kunci mobilnya kepada Rangga.

“Baiklah. Kau yang menyetir.”

Sigap, Rangga menangkap kunci mobil itu dengan pandangan bingung. Tetapi Julian membiarkan sahabatnya itu memahami sendiri maksud tersebut.
***

Benar saja. Rangga akhirnya memahami sendiri maksud Julian dan lemparan kuncinya itu. Koki sialan itu menjadikan ia sebagai sopir dadakan malam ini.

Masih merasa marah, Rangga mencengkeram kuat setir mobilnya hingga menimbulkan jejak melengkung seperti deretan bulan sabit di permukaan kulit yang melapisinya. Sementara kakinya menginjak gas dalam-dalam, seolah lupa ada pedal rem di sebelahnya.

“Bisa tidak kau mengemudi lebih santai?” protes Julian dari kursi penumpang di belakang. Lelaki itu duduk di samping Jihan. Membiarkan Rangga duduk sendirian di depan. Mengendarai mobil dengan perasaan membara.

Rangga tidak mengacuhkan peringatan Julian. Ia malah melirik melalui kaca spion di tengah mobil. Dari sana ia bisa melihat Jihan yang duduk dengan resah. Wajahnya terlihat pucat. Perlahan, Rangga menurunkan kecepatan mobil yang dikendarainya. Ia tidak ingin membuat gadis itu ketakutan.

Tidak sampai lima menit kemudian, mobil sedan hitam milik Julian berhenti di depan bangunan flat Jihan. Terdengar helaan napas lega yang hampir bersamaan. Jihan dan Julian merasa lega untuk alasan keselamatan. Sementara Rangga merasa lega ketika menyadari bahwa Julian tidak akan duduk di sebelah Jihan lebih lama lagi.

“Ini benar-benar perjalanan yang singkat. Seperti menaiki wahana roller coaster saja.” Julian berujar sambil tersenyum di hadapan Jihan. Tetapi tentu saja kalimat itu tertuju bukan untuk gadis itu, melainkan pengemudi ugal-ugalan di depan sana. “Padahal ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu. Jadi, bagaimana kalau aku mengantarmu ke dalam?”

“Jangan!”

Penolakan bernada tinggi itu bukan berasal dari bibir Jihan. Sama seperti Julian, gadis itu ikut merasa bingung dengan suara Rangga yang menyela pemikirannya. Tentu saja Jihan akan menolak. Kombinasi antara flat dan lelaki asing berputar-putar dalam benaknya. Menghadirkan sepotong kenangan masam.

“Biar aku saja yang mengantar Jihan.” Dingin, Rangga menambahkan kalimat setelah ia menggantikan Jihan untuk menolak Julian.

Emm... menurutku itu tidak perlu.” Jihan akhirnya berucap setelah sekian lama bungkam. “Aku... aku bisa sendiri.”

“Baiklah kalau begitu,” ujar Julian cepat-cepat menyetujui penolakan Jihan sebelum seseorang kembali memaksakan kehendaknya. “Pastikan dirimu baik-baik saja.”

Jihan mengangguk. “Terima kasih untuk makan malamnya. Dan... emm... terima kasih sudah mengantarku.”

“Apa saja untukmu, Jihan.” Julian menebarkan senyuman pangeran yang biasa hadir di mimpi indah para gadis. “Aku bahkan sudah tidak sabar untuk mendampingimu ke acara reuni.”



Bersambung ke Orange Sunset (Tiga belas)

Selasa, 08 September 2015

Red Lie - Chapter 15


Sayup-sayup terdengar suara kicauan burung yang bertengger pada pagar balkon kamar. Trisia memicingkan matanya, mencoba menyesuaikan pengelihatannya dengan cahaya matahari yang menerobos sela-sela tirai tebal berwarna hijau yang menutup kaca besar yang terletak tak jauh dari ranjang. Trisia menguap, merentangkan kedua tangannya untuk merenggangkan tulang-tulangnya, seluruh tubuhnya terasa sangat pegal.

“Aduh…” Suara parau seorang lelaki membuat mata Trisia terbelalak lebar dan segera menarik tangannya kembali. Leo. Ia benar-benar lupa bahwa lelaki itu berada di sampingnya sejak semalam. Trisia memiringkan tubuhnya, menahan kepala dengan sikunya yang bertumpu pada bantal. Ia memandang lekat-lekat lelaki di sampingnya yang masih teertidur pulas. Bulu matanya begitu lentik membuat Trisia memainkan jari telunjuknya pada bulu mata Leo.

“Hentikan. Apa yang kau lakukan?” Gumam Leo dengan matanya yang masih terpejam.

Trisia mendekatkan wajahnya dan mengecup pipi Leo, “Selamat pagi, pak Leo.” Goda Trisia, membuat Leo tersenyum dan menarik Trisia dalam pelukannya.

“Apa kau pikir kita sedang berada di kantor, bu Trisia?” Leo mengeratkan pelukannya. “Selamat pagi juga sayang.”

“Ah, sudahlah. Ayo bangun. Kita sedang di Belanda sekarang.”

“Lalu?”

“Tentu saja aku ingin jalan-jalan, Leo. Ini Belanda, tempat ibuku di besarkan.” Nada suara Trisia merendah. “Sudahlah, aku mau mandi. Kau harus bangun sebelum aku keluar dari kamar mandi.
***

Pagi ini begitu berbeda. Tak ada rasa bahagia yang melebihi perasaan bahagianya pagi ini—menatap gadis yang dicintaina saat ia terbangun. Senymnya tak berhenti berkembang ketika arah matanya terus mengikuti gadis yang sedang bersenandung riang hinga ia menghilang dibalik pintu kamar mandi. Entah mengapa perasaannya begitu baik namun ketakutan segera menyelimuti hatinya. Apa yang harus ia lakukan ketika kenyataan tak berpihak pada kisah cinta mereka?

Suara ponsel yang begitu nyaring membuyarkan lamunan Leo. Getarannya yang begitu kuat membuat ponsel di atas nakas itu hampir terjatuh dan membuat Leo harus bangun untuk menyelamatkan ponsel tersebut. Harry? Rasa ingin tahu Leo membuatnya penasaran. Sejenak Leo melirik pintu kamar mandi kemudian membuka isi pesan tersebut.

Bagaimana bulan madumu nona manis?  Apa menurutmu adikku juga semanis aku? Jangan lupa siapa dirimu. Kau dan keluargamu adalah biang keladi atas hancurnya keluargaku! Aku tak akan tinggal diam dan aku akan membuat hidupmu sengsara, jauh lebih dari ini!

Leo mendesah. Ia tak mungkin membiarkan Trisia membaca pesan itu, sehingga Leo memilih untuk menghapus pesan tersebut.

“Leo, aku sudah hampir selesai. Cepat bangun.” Teriak Trisia dari dalam kamar mandi.

“Iya sayang, aku sudah bangun.”
***

“Wow… aku benar-benar menginjakkan kakiku di Belanda.” Kata Trisia setelah menghirup udara sejuk Belanda. “Leo, berapa kali kau ke Belanda sebelumnya?”

“Aku ke Belanda?” Leo mengulangi pertanyaan Trisia. “Tak banyak, mungkin hanya tujuh atau delapan kali.

“Wow… fantastis.” Trisia bergumam dengan semangat. “Kau sungguh beruntung.”

“Begitulah. Pertama kali aku ke Belanda bersama ayah dan kakakku. Beberapa bulan setelah ibu meninggal.”

“Lalu?”

“Selebihnya masalah bisnis dan jalan-jalan bersama temanku.” Senyum khas Leo menghiasi wajahnya yang tampak segar pagi ini.

“Sungguh beruntung gadis itu.” Seulas senyum masam tersungging di bibir Trisia, kecemburuan melanda hatinya, namun Trisia berusaha untuk memendamnya.

“Gadis yang mana?”

“Yang pergi kemari bersamamu.” Kali ini Trisia tak mampu lagi menahan kecemburuannya. Menyadari hal itu, tawa Leo kian meledak.

“Bicara apa kau ini. Aku kesini bersama Adam. Kau masih mengingatnya?”

“Ah ya, tentu saja aku ingat. Dia laki-laki yang baik.”

“Begitulah. Dia memang orang yang baik. Sudahlah, apa kau akan terus menggenggam itu?” Tanya Leo menunjuk makanan untuk diberikan pada burung-burung yang beterbangan di depan mereka. “Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”

“Tentu saja, aku akan memberikan ini dulu.”

Trisia melemparkan semua makanan burung yang ada di tangannya dan segerombolan burung pun menghampiri makanan tersebut. Bahkan ada yang sampai menabrak kepala Trisia, membuatnya berjerit kaget diikuti tawa lepas yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun sebelumnya.

Leo merasa begitu bahagia melihat raut wajah gadis itu yang tampak riang, bahkan tawanya yang begitu lepas membuatnya semakin terkagum-kagum pada gadis yang dicintainya itu. Namun kekhawatiran itu tetap saja muncul. Kekhawatiran akan kenyataan yang mungkin saja akan menghancurkan hatinya.

“Ah… maaf pak, aku tak sengaja.” Kata Leo dalam bahasa Inggris  ketika tak sengaja menabrak seseorang di belakangnya ketika ia berbalik.

“Tidak masalah.” Ujar seseorang itu dengan ramah. “Kau berasal dari mana?” Tanya seorang pria tinggi besar dengan rambutnya yang sebagian besar telah memutih.

“Aku dari Indonesia pak.” Percakapan mereka pun berlanjut dengan bahasa Inggris yang cukup fasih dari keduanya.

“Gadis itu pacarmu?”

Leo mengikuti pandangan mata pria itu. “Ya. Dia adalah gadis yang luar biasa.”

“Aku bisa melihatnya. Dia sangat cantik, nak,  jagalah dia baik-baik.” Pria tersebut menepuk pundak Leo sambil tertawa. Kemudian melangkah perlahan meninggalkan Leo.

“Siapa dia?” Tanya Trisia yang telah berdiri di hadapan Leo dan sempat melihat mereka berdua bercakap-cakap.

“Entahlah. Tadi aku tak sengaja menabraknya, kemudian kami berbicara sebentar.”

“Baiklah. Kau bilang ingin mengajakku ke suatu tempat?”

“Tentu saja. Kita akan berkeliling Belanda hingga malam. Apa kau siap nona?” Leo menengadahkan tangannya di hadapan Trisia.

“Tentu aku siap selama bersamamu, tuan.”
***

Tengah malam di tengah lelapnya tidur Trisia, ia merasakan ranjang yang bergerak-gerak sejak beberapa saat yang lalu. Trisia yang tadinya membelakangi Leo pun memutar tubuhnya menghadap lelaki yang tertidur di sampingnya. Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya ketika Trisia menguap. Kemudian tangannya menyentuh dahi Trisia dan mengusap puncak rambut gadis itu. Leo terlihat gelisah.

“Trisia,” Tangan kanan Leo memainkan rambut Trisia yang tergerai menutupi wajah gadisnya. “Apa kau yakin akan melanjutkan semua ini?”

“Apa maksudmu, Leo?”

“Tentang ibumu.” Suara Leo terdengar ragu.

“Tentu saja. Kita harus menemuinya.”

“Tapi..” dia menggigit bibirnya, “apa yang membuatmu yakin untuk tetap melakukannya?”

“Lalu apa yang membuatmu takut untuk melakukannya?” Trisia balik bertanya. Rasa tak nyaman terlihat jelas pada wajah lelaki di hadapannya.

“Aku hanya khawatir akan mendapat kenyataan bahwa…”

“Kita adalah saudara kandung?”

Mereka terdiam, perasaan yang sama pun dirasakan pula oleh Trisia. Namun bagaimanapun juga ia harus mengetahui kenyataan itu meski berujung menyakitkan sekalipun. Sebelum semuanya semakin jauh.

“Jadi, apa akan kita lakukan besok pagi?” Leo mengangguk ragu menjawab pertanyaan gadisnya. “Semua akan baik-baik saja Leo,” katanya sambil menyelimuti Leo. “Tidurlah.”

Setelah itu mereka tertidur, lalu terjaga dalam waktu yang terasa hanya sepuluh menit bagi mereka berdua saat ponsel Leo berbunyi. Kepala Trisia terasa berdenyut sementara Leo berbicara dengan seseorang di telepon.

“Aku akan segera menemuinya. Terima kasih atas informasimu.” Kata Leo dalam bahasa Inggrisnya yang fasih kemudian memutus sambungan teleponnya.

“Siapa?”

“Mr. James. Dia telah berbicara pada ibumu dan memberitahukan kedatangan kita.”

“Baiklah aku kan mandi, kita berangkat sepuluh menit lagi.”

“Tidak Tris, jangan terburu-buru, kita akan bertemu ibumu satu jam lagi. Bersiap-siaplah.”
***
Uitstekend merupakan sebuah jalan dari pemukiman yang terletak di tepi sebuah kanal raksasa yang ramai dipadati penduduk yang menghabiskan hari libur mereka untuk berjalan-jalan di sisi kanal. Seorang gadis kecil dengan gaun pink yang tengah membawa keranjang bunga menarik pakaian Leo sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa Belanda. Leo dan Trisia saling bertukar pandang dan mengerutkan dahi karena tidah memahami apa yang dikatakan gadis kecil tersebut.

“Maaf, kami tak mengerti bahasamu adik kecil.” Leo berjongkok untuk menyejajarkan tingginya dengan gadis itu. Gadis itu menyipitkan matanya dan menarik bibirnya, tersenyum sopan pada Leo.

“Maaf tuan. Ketika aku melihat nona itu,” arah matanya menunjuk Trisia, “Kupikir salah satu dari kalian akan mengerti bahasa kami.” Ujar gadis itu berbahasa Inggris sebisanya.

“Tidak, kami dari Indonesia.”

“Apakah tuan tidak ingin membeli bungaku untuk pacarmu yang cantik itu?” Gadis itu menyodorkan sebuket tulip merah segar pada Leo.

“Berapa harganya?”

“Harganya dua belas euro, tuan.”

“Baiklah adik kecil, aku akan membelinya.”

“Terima kasih tuan. Tulip merah berarti cinta yang abadi. Semoga kalian bahagia.” Kata gadis itu sambil melambaikan tangan pada Leo dan Trisia.

“Kau dengar Leo, cinta yang abadi. Semuanya pasti baik-baik saja.” Trisia menenangkan Leo yang merasa gugup sejak menerima telepon dari Mr. James tadi pagi. “Seperti kata gadis itu, cinta kita akan abadi.” Tambahnya.

“Begitulah, atau kemungkinan lainnya kita adalah saudara kandung dan cinta kita akan tetap abadi meski kita tak akan bersatu.” Nafas besar mengakhiri kalimat yang begitu menyesakkan dada Leo. Trisia menghentikan langkahnya.

“Kita tidak akan pernah tahu kenyataannya sebelum kita bertemu dengan ibu, Leo.” Trisia merasakan tangan Leo begitu dingin ketika ia menggenggamnya. “Jangan membuatku takut.” Ia menambahkan dengan lembut.

“Maafkan aku. Ayo kita cari tempat ibumu.”

Sebuah toko roti bernama Lekker yang terletak di ujung Uitstekend Street adalah toko roti yang didirikan oleh Calista delapan tahun yang lalu. Wanita itu memiliki dua orang anak hasil hubungannya dengan suami keduanya. Larry dan Carien yang masih berusia sekitar tujuh belas dan lima belas tahun.

Papan penanda berwarna cokelat yang dikelilingi dengan hiasan tali besar dengan tulisan Lekker semakin terlihat jelas di depan mereka berdua. Langkah Trisia semakin terasa berat, begitupun dengan Leo. Dengan jemari yang saling bertautan, mereka saling menguatkan, berharap semua memang akan baik-baik saja.

“Selamat datang.” Kata seorang gadis dengan rambut pirang yang berada di balik meja kasir. Menyadari bahwa tamunya adalah orang asing, gadis itu segera menggunakan bahasa Inggris. “Ada yang bisa kami bantu?”

“Tentu, kami mencari nyonya Calista.”

“Ada perlu apa dengan ibuku?” Tanya gadis itu ramah. Raut wajahnya berubah saat menatap Trisia. “Aku akan memanggilnya untuk kalian. Tunggu sebentar.” Kata gadis itu cepat tanpa mendengar jawaban mereka.

Seorang pramusaji berpotongan pendek mengantarkan dua cangkir teh dan dua potong kue ke meja Leo dan Trisia. Kemudian ia mengatakan sebuah kalimat yang sama sekali tak bisa dipahami oleh mereka berdua. Akhirnya mereka hanya mampu membalas kalimat pramusaji tersebut dengan sebuah senyuman.

“Ada apa kalian mencariku?” Tanya seorang wanita yang berdiri di belakang Trisia.

Wanita itu masih cantik. Sama sekali tidak berubah dengan wajahnya pada foto yang terakhir dilihat oleh Leo bersama ayahnya. Trisia segera berbalik untuk menatap pemilik suara itu. Tangannya segera menutupi mulutnya yang ternganga lebar.

“Apa ada yang bisa saya bantu?” Tanya wanita itu sekali lagi ketika tidak mendapatkan jawaban dari kedua tamunya.

“Saya Leo Ferdian, dari Indonesia.” Leo memperkenalkan diri. “Dan ini Trisia. Trisia Arissandy.”

“Trisia? Trisia Arissandi?” Tanya wanita itu begitu mendengar nama Trisia. Keterkejutan pun tak mampu ia sembunyikan dari raut wajahnya. Mata hijaunya berkaca-kaca dan segera ia memeluk gadis di hadapannya yang tak mampu meneteskan air mata barang setetes.

“Trisia anakku. Trisia anakku.” Kata wanita itu dengan bahasa Indonesia yang fasih. “Maafkan aku, nak.” Tangis wanita itu meledak, membuat para pelanggan memusatkan perhatian mereka pada pemilik toko dan gadis asing yang ada di pelukan Calista.

Setelah Calista tenang, ia mengajak Leo dan Trisia menuju rumah Calista yang terletak di lantai dua toko roti tersebut. Gadis yang berada di balik meja kasir masih memandangi mereka dengan heran dan bertanya-tanya mengapa ibunya bersikap berlebihan ketika melihat gadis itu. Ia pun segera menekan beberapa angka untuk menyambungkan pada ayahnya.
***

“Ini sudah sangat lama, nak.” Kata Calista yang wajahnya masih memerah sehabis menangis.

“Begitulah bu.” Meski Calista adalah ibunya, Trisia masih merasa canggung saat berbicara dengan wanita itu.

“Kau sudah besar sekarang. Kau tumbuh menjadi gadis yang cantik.”

“Ya ibu, tentu saja dengan hidup yang cukup sulit setelah kau meninggalkanku dan kakakku membuangku.” Rasa marah masih menggelayut di hati Trisia. Bagaimana tidak, ia seolah menjadi gadis yang tak diinginkan, bahkan oleh keluarganya sendiri.

“Rosa membuangmu? Keterlaluan sekali.”

“Apa bedanya denganmu, ibu?” Kalimat yang mampu menutup mulut Calista sekaligus menjadi tamparan keras untuknya.

“Ya, kau benar. Maafkan aku, nak. Berapa sekarang usiamu?”

“Lihatlah bahkan usia anakmu pun kau tak bisa mengingatnya bukan. Aku menginjak usia ke dua puluh dua tahun.”

“Aku memang salah, tolong maafkan aku, Trisia.” Calista memainkan jarinya untuk menghilangkan perasaan gugupnya. “Ah, Kenapa kau tak memperkenalkan Leo padaku? Apa lelaki tampan ini pacarmu, sayang?” Calista berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Ya, bu. Dia adalah pacarku.”

“Sudah kuduga. Kalian begitu serasi.”

“Dia adalah anak dari Haryo Ferdian. Apa ibu mengingat lelaki itu?”

Keterkejutan sekali lagi hinggap di wajah wanita itu. Rupanya nama lelaki itu cukup berkesan di hati Calista. “Tidak. Ini tidak boleh terjadi, nak.”

“Kenapa ibu?” Rasa panik pun mulai menghampiri Leo dan Trisia.

“Karena…”

BERSAMBUNG…

Kamis, 20 Agustus 2015

Orange Sunset (Sebelas)


“KAU ingin apa untuk makan malam?”

Rangga mengangkat wajah dari laptop di hadapannya, mengernyit pada kehadiran Julian yang menurutnya tiba-tiba itu. Sedetik kemudian ia melirik pada tiga digit angka 1:37 di sudut kanan bawah layarnya. Ia berkata, “Sebenarnya, sekarang sudah dini hari. Untuk apa makan malam?”

“Tapi aku yakin kau belum menyantap apa pun sejak pulang dari studio sore tadi,” tukas Julian.

Dalam hati Rangga mengakui kebenaran tuduhan Julian. Tadi begitu tiba di apartemen, ia memang langsung duduk sibuk pada laptopnya. Beberapa hal yang biasanya bisa diselesaikannya tepat waktu semakin sering tertunda. Hingga ia harus membawa pulang pekerjaannya dan mengorbankan jam istirahatnya.

“Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Rangga berujar sambil lalu, berharap Julian berhenti merecoki kegiatannya.

Tetapi bukan Julian namanya jika kehendaknya mudah goyah. “Orang-orang bekerja demi bisa makan. Tapi banyak orang justru melupakan makan karena sibuk bekerja,” sahut Julian dengan nada menyindir.

Rangga memilih untuk bungkam pura-pura tidak mendengar. Mendapati tanggapan seperti itu, Julian melanjutkan kalimatnya. “Kemudian mereka akan jatuh sakit. Dan akhirnya, uang yang mereka kejar dengan bekerja itu akan berakhir di brankas rumah sakit.”

Mau tidak mau, Rangga kembali memusatkan perhatiannya kepada Julian. Sahabatnya itu hanya balas menatap tajam tanpa berkata-kata lagi. Hingga akhirnya, Rangga menghela napas tanda menyerah.

Julian menyembunyikan senyum kemenangannya dengan baik, lalu bertanya, “Bruschetta atau Lasagna?”
***

Perut yang lapar akan membuat perasaan menjadi gusar. Sebaliknya, perut yang kenyang akan membuat perasaan menjadi lebih tenang. Julian memercayai benar kenyataan itu. Maka, inilah saat yang tepat untuk ia menanyakan hal penting kepada Rangga.

“Jadi, bagaimana? Apakah kau sudah memutuskan?”

Rangga mengusap mulutnya menggunakan tisu, membersihkan jejak makan malamnya barusan, sambil sedikit mengulur waktu. Selama beberapa detik itu ia coba menelaah maksud Julian tanpa hasil. Hingga pada akhirnya ia menatap lelaki di hadapannya dengan bingung. “Memutuskan apa?”

“Silvia atau Jihan?”

Setitik binar kesedihan berkelebat di mata Rangga, tetapi dengan cepat hilang begitu saja menyisakan ekspresi kosong. Lelaki itu memilih bungkam sambil berharap Julian menarik kembali pertanyaannya. Sementara Julian sendiri justru tidak sedikit pun melepaskan tatapannya dari Rangga sampai ia mendapatkan jawaban yang diinginkannya.

“Sejauh pengamatanku, hubunganmu dan Silvia baik-baik saja selama ini. Sebelum kehadiran Jihan, maksudku.” Julian bersuara memecah keheningan di ruang makan apartemen mereka. “Lalu Jihan datang dan membuatmu selalu terlihat resah seolah dunia akan kiamat esok hari. Sebenarnya, ada apa di antara kalian berdua?”

“Bukan apa-apa,” jawab Rangga lebih seperti gumaman.

Julian mendengus kesal. “Aku yakin ‘bukan apa-apa’ yang kau maksud berarti kau tertarik kepada Jihan. Atau bahkan kau menyimpan perasaan yang lebih.”

Rangga memalingkan wajah, menghindari tatapan menuduh Julian. Tidak seharusnya ia mengakui perasaannya terhadap Jihan secara terang-terangan. Apalagi setelah insiden ciuman yang mungkin saja membuat gadis itu kini membencinya.

“Asal kau tahu saja, aku juga tertarik kepada gadis itu. Kepada Jihan.”

Sekejap, kilatan cemburu langsung menjalari sepasang mata Rangga. “Jauhi dia, Julian. Kumohon.”

“Kau sudah bersama Silvia. Siapa tahu kau lupa.”

“Sudah kubilang, Silvia bukan pacarku.”

“Lalu apa? Tunanganmu?” Julian tersenyum sinis. “Jangan bergurau, Rangga. Statusmu saat ini tidak bisa menjanjikan apa-apa kepada Jihan. Berbeda denganku, aku lelaki bebas. Aku bisa mendekati gadis mana pun, termasuk Jihan, tanpa halangan apa pun.”

“Aku yang akan menghalangimu.”

Julian mengangkat satu alisnya. “Kau mempersilakanku untuk mendekati Silvia tapi melarangku mendekati Jihan. Seharusnya itu sudah jelas. Kau pasti lebih mencintai Jihan, kenapa bingung?”

Ya “Tapi....” Tentu saja Rangga mencintai Jihan. Hanya saja ini tidak sesederhana itu.

“Apa kau mencintai Silvia?” tanya Julian ketika tidak mendapat tanggapan berarti dari Rangga.

Sahabatnya itu tidak bersuara. Tetapi kepalanya menggeleng dengan tegas.

“Itu berarti kau mencintai Jihan?”

Kali ini Rangga kembali terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya.

“Perasaanmu sudah jelas. Apa yang membuatmu ragu?”

Tidak ada hal lain yang membuat Rangga ragu selain dirinya sendiri. Masihkah ia memiliki kesempatan untuk bersama dengan Jihan?

“Apa kau takut menyia-nyiakan kesempatan untuk dekat dengan gadis secantik Silvia?” tuduh  Julian tanpa basa-basi. “Gadis itu jatuh cinta padamu, kau tahu? Tanda-tanda yang dia tunjukkan padamu sudah lebih dari cukup.”

Rangga terdiam. Cukup lama. Ucapan Julian membuatnya merenung.

“Oh. Ayolah. Aku tidak pernah mengenalmu yang sepengecut ini,” kata Julian dengan nada tidak sabar.

“Justru karena aku tahu Silvia mencintaiku, aku tidak mungkin meninggalkan dia begitu saja. Itu akan menyakitinya.” Rangga meremas rambutnya frustrasi. “Jihan dan Silvia bersahabat baik, ingat?”

“Akan lebih menyakitkan jika dia terlambat mengetahui bahwa selama ini ia mendekati lelaki yang sama sekali tidak mencintainya.” Julian bangkit sambil mengangkut piring kosongnya. “Belum lagi jika lelaki itu menjalin cinta diam-diam dengan sahabat baiknya,” tandasnya dan berlalu ke arah dapur.

Rangga tertegun. Ia menatap kepergian Julian dengan perasaan bimbang. Kata-kata Julian ada benarnya juga. Mulai sekarang, ia harus bersikap tegas pada perasaannya sendiri. Mungkin ia bisa membicarakan semua ini saat makan malam bersama orang tuanya akhir pekan ini.
***

Ini benar-benar pilihan yang sulit.

Silvia bingung. Kening gadis itu berkerut penuh pertimbangan. Ibu jarinya bergerak monoton ke kiri dan ke kanan pada layar ponsel, menampilkan tiga foto terus menerus secara bergantian. Ia mengabaikan pekerjaan yang terpampang pada layar komputernya. Baginya, ini jauh lebih penting sekarang.

Diam-diam Silvia mencuri waktu. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi senyaman mungkin. Lalu mulai memerhatikan foto-foto itu dengan saksama.

Tujuh menit berlalu, tetapi Silvia belum juga bisa menentukan pilihannya. Foto-foto gaun dari sebuah online shop itu berputar-putar dalam benaknya. Ia memundurkan kursinya sedikit, mencoba mengintip bilik kerja di sampingnya. Rekan kerjanya itu ternyata masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Silvia tertawa kecil. Dasar ratu melamun yang pekerja keras.

Silvia melirik jam di tangannya. Sepertinya ia sudah tidak tahan untuk menunggu hingga jam makan siang tiba. Ia membutuhkan diskusi dengan Jihan. Sekarang.

“Jihan,” panggil Silvia perlahan. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh bahu sahabatnya itu.

“Ya?” Jihan menanggapi sambil menolehkan kepalanya ke arah Silvia. Matanya masih tetap fokus ke arah layar sebelum akhirnya ia benar-benar memberikan perhatiannya kepada Silvia. “Ada apa?”

“Bantu aku memilih.” Silvia menyodorkan ponselnya kepada Jihan. “Mana menurutmu yang paling bagus?”

Jihan mengerjap beberapa kali sebelum menerima ponsel Silvia. Ia perlu waktu mempersiapkan matanya untuk menghadapi layar yang lain. Begitu menatap layar ponsel Silvia, Jihan terpana. Ia melihat gaun berwarna jingga yang menurutnya sangat cantik. Bagian atas gaun itu berbahan brokat sementara roknya yang memanjang hingga atas lutut, tampak mengembang hasil dari tumpukan kain tule. Sekilas Jihan mengalihkan pandangannya ke arah Silvia yang tersenyum lebar, mencoba membayangkan gadis itu mengenakan gaun ini. Kemudian ia melanjutkan pada foto yang lainnya.

Foto selanjutnya menampilkan gaun halter berwarna lila yang elegan. Bagian roknya memanjang berpotongan A. Sehelai pita berwarna hitam menghiasi bagian pinggangnya. Dan foto lainnya menunjukkan gaun terusan panjang berwarna salem. Gaun berbahan sifon itu memiliki garis leher sabrina yang melebar lurus ke bahu.

Bibir Jihan mengerucut sementara benaknya menimbang-nimbang sambil matanya sesekali melirik ke arah Silvia yang menatapnya penuh harap. Sebenarnya, gaun yang mana saja akan pantas jika dikenakan Silvia. Gadis itu memiliki tubuh ideal yang disukai semua perancang busana wanita. Tetapi mana mungkin ia memberi jawaban seperti itu, kan?

“Menurutku, yang ini saja,” ujar Jihan sambil menunjukkan foto gaun halter itu kepada Silvia.

Silvia mengangguk-angguk setuju. Akhirnya ia bisa memutuskan gaun mana yang akan dikenakannya. “Kenapa?”

“Karena menurutku gaun itu memiliki potongan paling pas untukmu.”

“Memang gaun yang lain tidak pas untukku?”

“Bukan begitu.” Jihan menggeleng. “Gaun yang berwarna salem terlalu sederhana untukmu. Sedangkan yang jingga... entahlah. Menurutku, tidak seperti dirimu saja.”

Silvia menyetujui kata—kata Jihan. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia memilih gaun itu. Padahal gaun dengan model seperti itu sama sekali bukan seleranya.

“Memang akan ada acara penting apa?” tanya Jihan sambil memutar sedikit kursi kerjanya menghadap kepada Silvia.

Silvia tidak langsung menjawab. Gadis itu malah menatap penuh selidik ke arah Jihan. Matanya disipitkan sementara alisnya berkerut tidak yakin. Bukankah ia sudah menceritakan hal ini kepada Jihan?

“A-apa?” tanya Jihan sedikit terbata. Ia yang merasa rikuh ditatap seperti itu, sedikit menarik diri perlahan dari tatapan Silvia. Lantas cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Entah mengapa, ia merasa takut pada sesuatu yang mungkin ditemukan Silvia dari sinar matanya.

“Kau lupa atau

Ah, benar juga. Pertanyaan Silvia menggantung di udara ketika menyadari satu hal. Ia pasti menceritakan hal ini kepada Jihan ketika gadis itu tengah melamun. Tetapi hati Silvia terlalu bahagia untuk merasa kecewa atau pun kesal. Lagi pula, ini bukan pertama kalinya Jihan melamun seperti itu. Jadi, tidak ada salahnya kalau ia menceritakan hal itu sekali lagi.

“Aku dan Rangga akan pergi makan malam bersama orang tua kami,” ujar Silvia dengan senyuman lebar. “Semoga saja orang tuaku berhasil membujuk orang tua Rangga untuk segera meresmikan hubungan kami. Kau tahu, kan? Maksudku pernikahan.”

Sekejap, dada Jihan terasa sesak. Ia merasa kesulitan bernapas ketika mendengar berita ini. Makan malam bersama orang tua mereka. Membahas rencana pernikahan mereka. Rangga dan Silvia.

“Oh. K-kapan?” tanya Jihan sambil menghela napas perlahan, membunyikan perasaan.

“Akhir pekan ini,” sahut Silvia masih tampak bahagia. “Sabtu malam.”

Ah, secepat inikah ia harus kehilangan Rangga? Sabtu malam ini hubungan Rangga dan Silvia

“Eh? Sabtu malam, katamu?” tanya Jihan sedikit takjub untuk alasan yang berbeda. “Bukankah itu berarti... besok?”

Silvia mengangguk.

“Dan kau baru akan membeli gaun itu hari ini?”

“Sebenarnya... aku sudah membeli tiga gaun itu sejak dua minggu yang lalu,” aku Silvia malu-malu. “Tapi aku tetap tidak bisa memilih. Semuanya terlihat cantik sama seperti di foto. Dan aku tidak mungkin mengenakan tiga gaun secara bersamaan, kan?”

Jihan tertawa geli mendengar cara Silvia berpikir. Padahal seharusnya gadis itu tidak perlu bingung memilih. Semua pakaian pasti kan pantas dikenakan gadis secantik Silvia.

“Jadi, terima kasih banyak sudah membantuku untuk memutuskan,” sambung Silvia. “Semoga Rangga suka dengan pilihanmu.”

Jihan tersenyum getir. Ya. Semoga saja lelaki itu menyukainya.
***

Andai saja senja kala itu tidak mengukir kenangan pahit melalui dirinya.

Rangga menghela napas panjang. Ia menjauhkan wajahnya dari balik lensa kamera.  Sesungguhnya Rangga bukanlah tipikal lelaki melankolis. Tetapi entah mengapa kejadian akhir-akhir ini membuat perasaannya gusar. Bahkan mengacaukan pekerjaannya di studio.

Seharian ini Rangga merasa kesal setengah mati pada apa saja yang dilihatnya. Tumpukan foto, meja kerjanya, lampu studionya, semua benda yang ada di bangunan itu membuatnya muak. Ingin rasanya ia membanting semua benda itu hingga hancur lebur. Sebelum semua itu terjadi, ia memutuskan untuk mengambil gambar di luar studionya dan melimpahkan segala urusan kepada Reza.

Sayangnya, hal tersebut tidak juga membuat perasaannya menjadi lebih baik.

Sekali lagi, Rangga mencoba membidik deretan bangunan tua di hadapannya. Terdengar bunyi klik secara berturut-turut. Ia kembali menurunkan kameranya, melihat hasil potretannya. Tetapi tidak satu pun yang sesuai dengan apa yang diinginkannya.


Detik berikutnya, lelaki itu malah mengarahkan kameranya ke arah jalan ber-paving yang dipijaknya. Di sana ia melihat matahari mencetak jelas bayangannya yang memanjang. Setelah mengambil foto bayangannya, Rangga berbalik dan mendapati pemandangan langit yang selalu membuatnya merindu.

Senja yang sebentar lagi akan menelan habis cahaya. Pemandangan inilah yang ingin dilihatnya di seluruh dunia. Rangga rela menghabiskan seluruh hidupnya demi mengabadikan keindahan alam yang satu ini.

Bersama seulas senyuman di bibir, Rangga kembali mengintip melalui balik lensanya. Ia menangkap semua sisa jejak cahaya yang kemudian hilang menjelma malam.

Ah. Andai saja dahulu ia tidak merusak senja yang satu itu. Mungkin saja saat ini ia masih bisa berada di dekat Jihan.