Selasa, 08 September 2015

Red Lie - Chapter 15


Sayup-sayup terdengar suara kicauan burung yang bertengger pada pagar balkon kamar. Trisia memicingkan matanya, mencoba menyesuaikan pengelihatannya dengan cahaya matahari yang menerobos sela-sela tirai tebal berwarna hijau yang menutup kaca besar yang terletak tak jauh dari ranjang. Trisia menguap, merentangkan kedua tangannya untuk merenggangkan tulang-tulangnya, seluruh tubuhnya terasa sangat pegal.

“Aduh…” Suara parau seorang lelaki membuat mata Trisia terbelalak lebar dan segera menarik tangannya kembali. Leo. Ia benar-benar lupa bahwa lelaki itu berada di sampingnya sejak semalam. Trisia memiringkan tubuhnya, menahan kepala dengan sikunya yang bertumpu pada bantal. Ia memandang lekat-lekat lelaki di sampingnya yang masih teertidur pulas. Bulu matanya begitu lentik membuat Trisia memainkan jari telunjuknya pada bulu mata Leo.

“Hentikan. Apa yang kau lakukan?” Gumam Leo dengan matanya yang masih terpejam.

Trisia mendekatkan wajahnya dan mengecup pipi Leo, “Selamat pagi, pak Leo.” Goda Trisia, membuat Leo tersenyum dan menarik Trisia dalam pelukannya.

“Apa kau pikir kita sedang berada di kantor, bu Trisia?” Leo mengeratkan pelukannya. “Selamat pagi juga sayang.”

“Ah, sudahlah. Ayo bangun. Kita sedang di Belanda sekarang.”

“Lalu?”

“Tentu saja aku ingin jalan-jalan, Leo. Ini Belanda, tempat ibuku di besarkan.” Nada suara Trisia merendah. “Sudahlah, aku mau mandi. Kau harus bangun sebelum aku keluar dari kamar mandi.
***

Pagi ini begitu berbeda. Tak ada rasa bahagia yang melebihi perasaan bahagianya pagi ini—menatap gadis yang dicintaina saat ia terbangun. Senymnya tak berhenti berkembang ketika arah matanya terus mengikuti gadis yang sedang bersenandung riang hinga ia menghilang dibalik pintu kamar mandi. Entah mengapa perasaannya begitu baik namun ketakutan segera menyelimuti hatinya. Apa yang harus ia lakukan ketika kenyataan tak berpihak pada kisah cinta mereka?

Suara ponsel yang begitu nyaring membuyarkan lamunan Leo. Getarannya yang begitu kuat membuat ponsel di atas nakas itu hampir terjatuh dan membuat Leo harus bangun untuk menyelamatkan ponsel tersebut. Harry? Rasa ingin tahu Leo membuatnya penasaran. Sejenak Leo melirik pintu kamar mandi kemudian membuka isi pesan tersebut.

Bagaimana bulan madumu nona manis?  Apa menurutmu adikku juga semanis aku? Jangan lupa siapa dirimu. Kau dan keluargamu adalah biang keladi atas hancurnya keluargaku! Aku tak akan tinggal diam dan aku akan membuat hidupmu sengsara, jauh lebih dari ini!

Leo mendesah. Ia tak mungkin membiarkan Trisia membaca pesan itu, sehingga Leo memilih untuk menghapus pesan tersebut.

“Leo, aku sudah hampir selesai. Cepat bangun.” Teriak Trisia dari dalam kamar mandi.

“Iya sayang, aku sudah bangun.”
***

“Wow… aku benar-benar menginjakkan kakiku di Belanda.” Kata Trisia setelah menghirup udara sejuk Belanda. “Leo, berapa kali kau ke Belanda sebelumnya?”

“Aku ke Belanda?” Leo mengulangi pertanyaan Trisia. “Tak banyak, mungkin hanya tujuh atau delapan kali.

“Wow… fantastis.” Trisia bergumam dengan semangat. “Kau sungguh beruntung.”

“Begitulah. Pertama kali aku ke Belanda bersama ayah dan kakakku. Beberapa bulan setelah ibu meninggal.”

“Lalu?”

“Selebihnya masalah bisnis dan jalan-jalan bersama temanku.” Senyum khas Leo menghiasi wajahnya yang tampak segar pagi ini.

“Sungguh beruntung gadis itu.” Seulas senyum masam tersungging di bibir Trisia, kecemburuan melanda hatinya, namun Trisia berusaha untuk memendamnya.

“Gadis yang mana?”

“Yang pergi kemari bersamamu.” Kali ini Trisia tak mampu lagi menahan kecemburuannya. Menyadari hal itu, tawa Leo kian meledak.

“Bicara apa kau ini. Aku kesini bersama Adam. Kau masih mengingatnya?”

“Ah ya, tentu saja aku ingat. Dia laki-laki yang baik.”

“Begitulah. Dia memang orang yang baik. Sudahlah, apa kau akan terus menggenggam itu?” Tanya Leo menunjuk makanan untuk diberikan pada burung-burung yang beterbangan di depan mereka. “Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”

“Tentu saja, aku akan memberikan ini dulu.”

Trisia melemparkan semua makanan burung yang ada di tangannya dan segerombolan burung pun menghampiri makanan tersebut. Bahkan ada yang sampai menabrak kepala Trisia, membuatnya berjerit kaget diikuti tawa lepas yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun sebelumnya.

Leo merasa begitu bahagia melihat raut wajah gadis itu yang tampak riang, bahkan tawanya yang begitu lepas membuatnya semakin terkagum-kagum pada gadis yang dicintainya itu. Namun kekhawatiran itu tetap saja muncul. Kekhawatiran akan kenyataan yang mungkin saja akan menghancurkan hatinya.

“Ah… maaf pak, aku tak sengaja.” Kata Leo dalam bahasa Inggris  ketika tak sengaja menabrak seseorang di belakangnya ketika ia berbalik.

“Tidak masalah.” Ujar seseorang itu dengan ramah. “Kau berasal dari mana?” Tanya seorang pria tinggi besar dengan rambutnya yang sebagian besar telah memutih.

“Aku dari Indonesia pak.” Percakapan mereka pun berlanjut dengan bahasa Inggris yang cukup fasih dari keduanya.

“Gadis itu pacarmu?”

Leo mengikuti pandangan mata pria itu. “Ya. Dia adalah gadis yang luar biasa.”

“Aku bisa melihatnya. Dia sangat cantik, nak,  jagalah dia baik-baik.” Pria tersebut menepuk pundak Leo sambil tertawa. Kemudian melangkah perlahan meninggalkan Leo.

“Siapa dia?” Tanya Trisia yang telah berdiri di hadapan Leo dan sempat melihat mereka berdua bercakap-cakap.

“Entahlah. Tadi aku tak sengaja menabraknya, kemudian kami berbicara sebentar.”

“Baiklah. Kau bilang ingin mengajakku ke suatu tempat?”

“Tentu saja. Kita akan berkeliling Belanda hingga malam. Apa kau siap nona?” Leo menengadahkan tangannya di hadapan Trisia.

“Tentu aku siap selama bersamamu, tuan.”
***

Tengah malam di tengah lelapnya tidur Trisia, ia merasakan ranjang yang bergerak-gerak sejak beberapa saat yang lalu. Trisia yang tadinya membelakangi Leo pun memutar tubuhnya menghadap lelaki yang tertidur di sampingnya. Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya ketika Trisia menguap. Kemudian tangannya menyentuh dahi Trisia dan mengusap puncak rambut gadis itu. Leo terlihat gelisah.

“Trisia,” Tangan kanan Leo memainkan rambut Trisia yang tergerai menutupi wajah gadisnya. “Apa kau yakin akan melanjutkan semua ini?”

“Apa maksudmu, Leo?”

“Tentang ibumu.” Suara Leo terdengar ragu.

“Tentu saja. Kita harus menemuinya.”

“Tapi..” dia menggigit bibirnya, “apa yang membuatmu yakin untuk tetap melakukannya?”

“Lalu apa yang membuatmu takut untuk melakukannya?” Trisia balik bertanya. Rasa tak nyaman terlihat jelas pada wajah lelaki di hadapannya.

“Aku hanya khawatir akan mendapat kenyataan bahwa…”

“Kita adalah saudara kandung?”

Mereka terdiam, perasaan yang sama pun dirasakan pula oleh Trisia. Namun bagaimanapun juga ia harus mengetahui kenyataan itu meski berujung menyakitkan sekalipun. Sebelum semuanya semakin jauh.

“Jadi, apa akan kita lakukan besok pagi?” Leo mengangguk ragu menjawab pertanyaan gadisnya. “Semua akan baik-baik saja Leo,” katanya sambil menyelimuti Leo. “Tidurlah.”

Setelah itu mereka tertidur, lalu terjaga dalam waktu yang terasa hanya sepuluh menit bagi mereka berdua saat ponsel Leo berbunyi. Kepala Trisia terasa berdenyut sementara Leo berbicara dengan seseorang di telepon.

“Aku akan segera menemuinya. Terima kasih atas informasimu.” Kata Leo dalam bahasa Inggrisnya yang fasih kemudian memutus sambungan teleponnya.

“Siapa?”

“Mr. James. Dia telah berbicara pada ibumu dan memberitahukan kedatangan kita.”

“Baiklah aku kan mandi, kita berangkat sepuluh menit lagi.”

“Tidak Tris, jangan terburu-buru, kita akan bertemu ibumu satu jam lagi. Bersiap-siaplah.”
***
Uitstekend merupakan sebuah jalan dari pemukiman yang terletak di tepi sebuah kanal raksasa yang ramai dipadati penduduk yang menghabiskan hari libur mereka untuk berjalan-jalan di sisi kanal. Seorang gadis kecil dengan gaun pink yang tengah membawa keranjang bunga menarik pakaian Leo sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa Belanda. Leo dan Trisia saling bertukar pandang dan mengerutkan dahi karena tidah memahami apa yang dikatakan gadis kecil tersebut.

“Maaf, kami tak mengerti bahasamu adik kecil.” Leo berjongkok untuk menyejajarkan tingginya dengan gadis itu. Gadis itu menyipitkan matanya dan menarik bibirnya, tersenyum sopan pada Leo.

“Maaf tuan. Ketika aku melihat nona itu,” arah matanya menunjuk Trisia, “Kupikir salah satu dari kalian akan mengerti bahasa kami.” Ujar gadis itu berbahasa Inggris sebisanya.

“Tidak, kami dari Indonesia.”

“Apakah tuan tidak ingin membeli bungaku untuk pacarmu yang cantik itu?” Gadis itu menyodorkan sebuket tulip merah segar pada Leo.

“Berapa harganya?”

“Harganya dua belas euro, tuan.”

“Baiklah adik kecil, aku akan membelinya.”

“Terima kasih tuan. Tulip merah berarti cinta yang abadi. Semoga kalian bahagia.” Kata gadis itu sambil melambaikan tangan pada Leo dan Trisia.

“Kau dengar Leo, cinta yang abadi. Semuanya pasti baik-baik saja.” Trisia menenangkan Leo yang merasa gugup sejak menerima telepon dari Mr. James tadi pagi. “Seperti kata gadis itu, cinta kita akan abadi.” Tambahnya.

“Begitulah, atau kemungkinan lainnya kita adalah saudara kandung dan cinta kita akan tetap abadi meski kita tak akan bersatu.” Nafas besar mengakhiri kalimat yang begitu menyesakkan dada Leo. Trisia menghentikan langkahnya.

“Kita tidak akan pernah tahu kenyataannya sebelum kita bertemu dengan ibu, Leo.” Trisia merasakan tangan Leo begitu dingin ketika ia menggenggamnya. “Jangan membuatku takut.” Ia menambahkan dengan lembut.

“Maafkan aku. Ayo kita cari tempat ibumu.”

Sebuah toko roti bernama Lekker yang terletak di ujung Uitstekend Street adalah toko roti yang didirikan oleh Calista delapan tahun yang lalu. Wanita itu memiliki dua orang anak hasil hubungannya dengan suami keduanya. Larry dan Carien yang masih berusia sekitar tujuh belas dan lima belas tahun.

Papan penanda berwarna cokelat yang dikelilingi dengan hiasan tali besar dengan tulisan Lekker semakin terlihat jelas di depan mereka berdua. Langkah Trisia semakin terasa berat, begitupun dengan Leo. Dengan jemari yang saling bertautan, mereka saling menguatkan, berharap semua memang akan baik-baik saja.

“Selamat datang.” Kata seorang gadis dengan rambut pirang yang berada di balik meja kasir. Menyadari bahwa tamunya adalah orang asing, gadis itu segera menggunakan bahasa Inggris. “Ada yang bisa kami bantu?”

“Tentu, kami mencari nyonya Calista.”

“Ada perlu apa dengan ibuku?” Tanya gadis itu ramah. Raut wajahnya berubah saat menatap Trisia. “Aku akan memanggilnya untuk kalian. Tunggu sebentar.” Kata gadis itu cepat tanpa mendengar jawaban mereka.

Seorang pramusaji berpotongan pendek mengantarkan dua cangkir teh dan dua potong kue ke meja Leo dan Trisia. Kemudian ia mengatakan sebuah kalimat yang sama sekali tak bisa dipahami oleh mereka berdua. Akhirnya mereka hanya mampu membalas kalimat pramusaji tersebut dengan sebuah senyuman.

“Ada apa kalian mencariku?” Tanya seorang wanita yang berdiri di belakang Trisia.

Wanita itu masih cantik. Sama sekali tidak berubah dengan wajahnya pada foto yang terakhir dilihat oleh Leo bersama ayahnya. Trisia segera berbalik untuk menatap pemilik suara itu. Tangannya segera menutupi mulutnya yang ternganga lebar.

“Apa ada yang bisa saya bantu?” Tanya wanita itu sekali lagi ketika tidak mendapatkan jawaban dari kedua tamunya.

“Saya Leo Ferdian, dari Indonesia.” Leo memperkenalkan diri. “Dan ini Trisia. Trisia Arissandy.”

“Trisia? Trisia Arissandi?” Tanya wanita itu begitu mendengar nama Trisia. Keterkejutan pun tak mampu ia sembunyikan dari raut wajahnya. Mata hijaunya berkaca-kaca dan segera ia memeluk gadis di hadapannya yang tak mampu meneteskan air mata barang setetes.

“Trisia anakku. Trisia anakku.” Kata wanita itu dengan bahasa Indonesia yang fasih. “Maafkan aku, nak.” Tangis wanita itu meledak, membuat para pelanggan memusatkan perhatian mereka pada pemilik toko dan gadis asing yang ada di pelukan Calista.

Setelah Calista tenang, ia mengajak Leo dan Trisia menuju rumah Calista yang terletak di lantai dua toko roti tersebut. Gadis yang berada di balik meja kasir masih memandangi mereka dengan heran dan bertanya-tanya mengapa ibunya bersikap berlebihan ketika melihat gadis itu. Ia pun segera menekan beberapa angka untuk menyambungkan pada ayahnya.
***

“Ini sudah sangat lama, nak.” Kata Calista yang wajahnya masih memerah sehabis menangis.

“Begitulah bu.” Meski Calista adalah ibunya, Trisia masih merasa canggung saat berbicara dengan wanita itu.

“Kau sudah besar sekarang. Kau tumbuh menjadi gadis yang cantik.”

“Ya ibu, tentu saja dengan hidup yang cukup sulit setelah kau meninggalkanku dan kakakku membuangku.” Rasa marah masih menggelayut di hati Trisia. Bagaimana tidak, ia seolah menjadi gadis yang tak diinginkan, bahkan oleh keluarganya sendiri.

“Rosa membuangmu? Keterlaluan sekali.”

“Apa bedanya denganmu, ibu?” Kalimat yang mampu menutup mulut Calista sekaligus menjadi tamparan keras untuknya.

“Ya, kau benar. Maafkan aku, nak. Berapa sekarang usiamu?”

“Lihatlah bahkan usia anakmu pun kau tak bisa mengingatnya bukan. Aku menginjak usia ke dua puluh dua tahun.”

“Aku memang salah, tolong maafkan aku, Trisia.” Calista memainkan jarinya untuk menghilangkan perasaan gugupnya. “Ah, Kenapa kau tak memperkenalkan Leo padaku? Apa lelaki tampan ini pacarmu, sayang?” Calista berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Ya, bu. Dia adalah pacarku.”

“Sudah kuduga. Kalian begitu serasi.”

“Dia adalah anak dari Haryo Ferdian. Apa ibu mengingat lelaki itu?”

Keterkejutan sekali lagi hinggap di wajah wanita itu. Rupanya nama lelaki itu cukup berkesan di hati Calista. “Tidak. Ini tidak boleh terjadi, nak.”

“Kenapa ibu?” Rasa panik pun mulai menghampiri Leo dan Trisia.

“Karena…”

BERSAMBUNG…