Kamis, 19 November 2015

Orange Sunset (Dua belas)


PENAMPILAN Silvia malam ini benar-benar mengagumkan. Ia mengenakan gaun lila yang dipilihnya atas saran Jihan. Rambutnya digelung tinggi memperlihatkan dengan jelas polesan make-up natural di wajahnya. Hanya saja tidak ada senyum manis yang menyempurnakan paras cantik gadis itu melainkan kerutan resah di antara kedua alisnya.

Saat ini Silvia tengah berdiri menunggu di depan pintu masuk sebuah restoran bintang lima. Beberapa pasang mata menatap kagum ke arah gadis itu. Walaupun Silvia sendiri tidak menyadari hal itu. Ia terlalu sibuk memerhatikan gerbang masuk restoran dan ponsel dalam genggamannya secara bergantian.

Sudah satu jam berlalu sejak ia datang ke restoran ini bersama kedua orang tuanya, diikuti kedua orang tua Rangga. Tetapi hingga detik ini, Rangga malah belum sedikit pun menunjukkan batang hidungnya. Sedangkan ponsel lelaki itu sama sekali tidak bisa dihubungi.

“Di mana kau?” desah Silvia nyaris putus asa.

Seharusnya malam ini menjadi malam yang indah bagi mereka berdua. Di mana orang tua mereka akan meminta untuk segera meresmikan hubungan mereka dalam ikatan pertunangan. Dengan begitu, sikap tarik-ulur yang selama ini ditunjukkan Rangga tentu ikut berakhir.

Silvia melirik jam tangannya lalu menghela napas panjang yang seolah menghimpit dadanya. Sepertinya lebih baik ia menunggu di dalam bersama orang tuanya ketimbang harus menghadapi angin malam yang sejak tadi membelai kulitnya.

Baru saja Silvia hendak beranjak ke dalam restoran. Saat ia melihat sebuah sedan putih yang dikenalnya memasuki pelataran parkir restoran. Seulas senyum terukir di bibirnya ketika sosok yang ditunggunya melangkah turun dari mobil tersebut.

Silvia hampir lupa bernapas ketika Rangga berjalan ke arahnya. Lelaki itu mengenakan setelan jas abu-abu yang pas di tubuhnya. Tetapi entah mengapa wajah lelaki itu tampak gusar tanpa rona bahagia. Seolah-olah ada duri di dalam pantofel lelaki itu yang menusuk telapak kakinya.

Bergegas, Silvia melangkah mendekat. Ia memutuskan untuk menyambut Rangga lebih cepat demi menghapus perasaan apa pun yang menodai ekspresi lelaki itu.

“Rangga.” Silvia menyapa diiringi senyuman hangat.

Sesaat lelaki itu tampak terkejut. Tetapi sedetik berikutnya Rangga tersenyum kepada Silvia walaupun terkesan sedikit terpaksa. Ia kemudian mengambil posisi di samping Silvia yang kembali berbalik arah ke dalam restoran.

“Kau terlihat lelah,” ucap Silvia. Ada perasaan empati dalam nada bicara gadis itu.

“Ya. Ada beberapa masalah di studio.”

“Apa semua baik-baik saja?” tanya Silvia dengan raut khawatir.

“Tentu saja,” jawab Rangga singkat. “Semua sudah datang?”

“Ya.” Silvia sedikit merapatkan bahunya ke arah Rangga. “Orang tua kita sudah menunggu di dalam.”

Silvia mengamitkan lengannya pada lipatan siku Rangga. Kemudian berdua mereka beriringan memasuki restoran yang disinari cahaya keemasan.
***

Langit sudah berubah gelap, menyisakan cahaya bulan yang keemasan. Jihan memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah gontai dalam kamarnya yang gelap gulita. Tangannya meraba dinding mencari-cari tombol sakelar yang terletak sejajar dengan kepalanya.

Begitu lampu menyala, Jihan refleks menutup matanya. Keningnya mengernyit menerima cahaya yang mendadak menyinari ruangan yang tadinya gelap. Ia menyeret langkahnya menuju wastafel dan membasuh wajahnya di sana.

Jihan mematikan keran lalu mengangkat kepalanya. Kemudian ia menumpukan telapak tangannya di tepi wastafel, memerhatikan pantulan bayangannya yang masygul. Wajahnya pucat, matanya redup, dan rambutnya kusut masai. Bahkan ia masih mengenakan pakaian tidurnya kemarin malam.

Sejak terbangun pagi ini, Jihan memang seolah kehilangan semangatnya. Mengingat ini adalah hari Sabtu. Hari di mana hubungan Rangga dan Silvia akan menuju tahap yang lebih serius. Yang berarti ia harus lebih sadar diri untuk tidak mengharapkan apa pun dari perasaannya kepada lelaki itu. Ia juga harus meyakinkan diri bahwa ciuman tempo hari tidak lebih dari sekadar ketidaksengajaan.

Jihan kembali menunduk dan membasuh wajahnya berkali-kali. Seolah ia ingin mencuci bersih hatinya dari semua perasaan apa pun yang berhubungan dengan Rangga. Setelah merasa cukup, ia menyentak handuk kecil dari gantungan di depan kamar mandi untuk mengusap sisa air yang menetes dari ujung rambutnya.

Saat melangkah untuk kembali meringkuk ke atas tempat tidurnya, Jihan merasakan perutnya bergemuruh. Ah, benar juga. Kapan terakhir kali ia makan? Kemarin malam? Kemarin siang? Entahlah. Yang jelas, ia yakin hari ini perutnya belum terisi apa-apa. Ia terlampau sibuk meratapi detik-detik di mana ia benar-benar akan kehilangan Rangga.

Kehilangan? Huh. Bukankah sejak awal Rangga memang tidak pernah menjadi miliknya? Jihan tersenyum sinis kepada dirinya sendiri.

Pada akhirnya, Jihan membatalkan niatnya untuk tidur. Ia tahu, ia tidak akan bisa tidur dalam keadaan perut yang lapar. Maka, bergegas kakinya melangkah menuju dapur untuk menemukan apa yang dibutuhkan lambungnya.

Sayangnya, tidak banyak yang bisa ditemukan Jihan di dapur flatnya. Hanya setangkup roti yang sudah berjamur, sayuran layu, dan tiga keping biskuit lempem dalam stoples yang tidak tertutup rapat. Ia menatap nanar pada calon-calon pahlawan yang gugur sebelum menyelamatkannya dari kelaparan.

Detik berikutnya, Jihan sudah merebut jaketnya dari gantungan baju dibalik pintu. Kemudian dengan langkah-langkah lebar, ia meninggalkan flatnya. Berburu sesuatu untuk disantap malam ini.
***

Rangga menatap malas ke bawah pada makanan di piringnya yang hampir tidak tersentuh. Begitu kontras dengan piring-piring lain yang hampir kosong di atas meja yang sama dengan miliknya. Lunglai, ia menghela napas berat. Kemudian meletakkan alat makan kembali ke sisi piring dan menyeka mulut dengan serbet putih dari pangkuannya.

“Ada apa, Rangga? Kau tidak menyukai hidangannya?”

Sikap Rangga barusan langsung menarik perhatian wanita yang duduk di samping kirinya.

“Tidak, Ma. Aku hanya sedang tidak berselera makan,” jawab Rangga sambil menoleh singkat pada ibunya.

“Mau kupesankan minuman hangat?” tawar Silvia yang duduk berseberangan dengan Rangga.

“Tidak. Terima kasih, Silvia,” tolak Rangga halus seraya menggelengkan kepala. Ia tersenyum tetapi senyuman itu tidak menyentuh matanya. Detik berikutnya perhatian lelaki itu sudah kembali pada ibunya. “Omong-omong, hal penting apa yang ingin Mama bicarakan?”

Sebenarnya, Rangga tahu ke mana arah pembicaraan malam ini. Itulah mengapa ia ingin cepat memulai pembicaraan tentang hal itu dan cepat juga menyelesaikannya. Tadi ia datang terlambat karena bimbang untuk datang atau tidak malam ini. Hingga pada akhirnya, ia memutuskan untuk datang demi tidak mengecewakan kedua orang tuanya. Dan ia sendiri mempersiapkan hatinya untuk malam ini. Pembicaraan tentang hubungan yang sedikit pun tidak ingin dilakukannya.

“Begini, Rangga.... “ Ibunya memulai pembicaraan penting yang dimaksud Rangga. Sebelum melanjutkan, wanita itu melirik singkat ke arah suami dan calon besannya untuk meminta persetujuan. “Mama perhatikan, kau dan Silvia semakin hari semakin dekat. Jadi, apa tidak sebaiknya kalian meresmikan hubungan kalian ke jenjang yang lebih serius?”

Kening Rangga berkerut meminta penjelasan lebih. “Maksud Mama?”

“Ya... maksud Mama... bagaimana kalau kalian mulai membicarakan pernikahan?”

Semua orang yang duduk mengelilingi meja kayu jati tersebut sontak tersenyum menyambut kata-kata itu. Semua orang. Kecuali Rangga.

“Pernikahan?” Rangga membeo kata terakhir yang diucapkan ibunya. “Dulu Mama bilang, ini semua hanya perkenalan antara aku dengan anak perempuan sahabat Mama. Perkenalan, Ma. Bukan pernikahan.”

“Memang benar dulu Mama berkata seperti itu. Tapi setelah waktu berlalu, sepertinya kalian berdua bisa menjadi pasangan yang cocok,” lanjut ibunya lalu menoleh dan tersenyum ke arah Silvia.

“Aku tidak bisa.” Rangga menundukkan kepala lantas menggeleng perlahan. “Aku tidak siap untuk itu, Ma....”

“Kenapa?” Ibunya mengurai senyum masam, tampak terkejut dengan tanggapan anak lelakinya. “Atau kalian bisa memulai dulu dengan sebuah pertunangan. Bagaimana?”

Rangga tetap menggelengkan kepalanya. “Lebih baik aku pulang sekarang. Terima kasih atas hidangannya,” ucapnya berpamitan lantas bangkit dari tempat duduk dan meninggalkan meja begitu saja. Tidak sedikit pun ia menoleh maupun menghiraukan suara yang memanggil namanya.
***

Setibanya di supermarket, Jihan bergegas menuju rak-rak yang menyediakan makanan instan. Ia menenteng keranjang belanja sambil menyusuri deretan mi instan yang berjejalan di rak.

Saat itulah tiba-tiba saja Jihan mendengar seseorang memanggil namanya. Ia langsung menoleh ke kirike arah yang menurut pendengarannya menjadi sumber suara. Tetapi tidak seorang pun yang terlihat cocok untuk dicurigai. Hingga akhirnya ia merasakan keranjangnya disinggung seseorang dari sebelah kanan dan membuatnya menoleh begitu saja.

Keranjang belanja yang menyenggol keranjang milik Jihan tampak penuh. Tiga botol minyak zaitun, tujuh butir bawang bombai, dan lima kantung terigu memenuhi keranjang tersebut. Tampak kontras dengan keranjang miliknya yang masih kosong.

Kemudian ketika mengangkat wajahnya, Jihan langsung mendapati sosok yang dikenalnya. Lelaki pemilik senyum sehangat matahari pagi.

“Ternyata benar itu kau, Jihan. Sempat aku kira tadi aku salah melihat peri cantik tersasar masuk ke supermarket.”

Lagi-lagi bualan tentang peri cantik versinya. Tetapi mau tidak mau, kata-kata tersebut mampu mengukir senyuman di wajah Jihan yang sejak tadi muram. Julian benar-benar pintar mencerahkan suasana.

“Belanja?” tanya lelaki itu dengan seringai jenaka.

Jihan memutar bola matanya. “Menurutmu? Apa aku terlihat seperti sedang mengikuti turnamen sepak bola di sini?”

“Jangan marah. Aku hanya bercanda.” Julian tergelak melihat ekspresi kesal Jihan. Kemudian ia melirik ke arah rak di hadapan Jihan sambil mengangkat alis. “Kau berencana menyantap mi instan untuk makan malam?”

“Y-ya.” Lantas? Memang itu yang akan dilakukan Jihan.

“Makanan seperti ini tidak baik untuk kesehatanmu, kau tahu?” Julian berdecak kesal. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Detik berikutnya lelaki itu sudah menatap tajam ke arah Jihan, seperti seorang ayah yang tengah memarahi putrinya. “Aku tidak akan membiarkanmu menyantap makanan itu. Setidaknya untuk malam ini.”

“Lalu? Aku harus makan apa?” tanya Jihan bingung.

“Kita makan malam saja di apartemenku.” Tersirat perasaan bangga dalam kata-kata Julian. “Aku yang akan memasak.”

Jihan tergugu ragu mendengar kata-kata Julian. Seharusnya ini menjadi tawaran menggiurkan. Kapan lagi ia bisa merasakan masakan koki restoran bintang lima secara ekslusif? Tetapi tunggu... bukankah apartemen Julian juga berarti apartemen Rangga?

“Dia pergi makan malam dengan orang tuanya. Tidak ada di apartemen. Jika itu yang kau khawatirkan.” Julian membaca dengan tepat apa yang dipikirkan Jihan melalui raut wajah gadis itu yang berubah-ubah. “Biasanya setelah itu dia akan menginap di rumah orang tuanya.”

Jihan tersenyum mendengar Julian menceritakan seseorang tanpa menyebutkan nama. Gadis itu lantas menganggukkan kepala menyetujui undangan makan malam yang mendadak ini.
***

Aroma telur yang bersentuhan dengan mentega menguar di udara. Jihan duduk di ruang makan apartemen Julian sambil menahan diri agar air liurnya tidak menetes. Ia melipat rapi tangannya di atas meja makan dari kayu damar berwarna hitam mengilat seperti anak kecil yang patuh.

“Maaf membuat Anda menunggu, Nona.” Tidak lama kemudian Julian datang dengan gaya pramusaji yang elegan. Ia meletakkan dua piring saji ke atas meja makan, lalu menarik kursi di sisi meja yang berbeda dengan Jihan dan mengenyakkan dirinya setengah berhadapan dengan gadis itu. Mereka duduk mengapit sudut meja.

“Ayo, angkat sendokmu, Gadis Muda,” ujar Julian seraya tersenyum geli. Seolah-olah memahami rasa lapar Jihan. Perut gadis itu pasti sudah meraung-raung untuk segera diisi.

“Bolehkah?” tanya Jihan sekali lagi. Hanya memastikan bahwa ia tidak sedang terlihat seperti serigala yang belum memangsa apa pun dalam tiga bulan terakhir. Sementara tanpa disadarinya, jemarinya sudah mencengkeram sendok di sisi kanan piringnya.

“Tentu saja.”

Jihan mengalihkan pandangannya pada untaian fettucini di dasar piring, bermahkotakan omelette yang masih mengepulkan uap hangat. Ia menggigit bibir sebelum menghujamkan sendoknya. Lelehan keju, sayur cacah, dan daging cincang berebut keluar dari selimut telur itu bersamaan dengan aroma lezat yang semakin menggoda rasa lapar Jihan. Hingga ia merasa takut perutnya bertindak bodoh dengan mengeluarkan bunyi yang akan mempermalukannya.

“Hati-hati panas.” Julian memperingatkan saat sendok Jihan hampir bersarang ke dalam mulut.

Jihan mengangguk, lalu menunggu beberapa detik sebelum akhirnya potongan omelette itu menyentuh lidahnya. Tanpa sadar ia memejamkan mata, mengecap semua kelezatan yang memenuhi rongga mulutnya.

Ketika pada akhirnya Jihan membuka mata, ia mendapati Julian sedang memerhatikannya sambil tersenyum simpul. Pandangan mereka berserobok selama beberapa detik, membuat wajah Jihan berubah merah seketika. Entah karena perasaan malunya atau karena kehangatan senyuman Julian.

“Enak?”

Jihan mengangguk-angguk tanpa kata-kata. Wajahnya masih tersipu. Tetapi tangannya sudah mengantarkan suapan kedua.

“Sebenarnya tadi aku ingin memasak sesuatu yang lebih spesial. Tapi ketika membayangkan wajahmu yang pucat seperti tidak makan berhari-hari, aku memilih masakan sederhana yang cepat.”

Jihan ternganga. Apa ia terlihat selapar itu? “Ini... ini lebih dari sederhana. Ini“ Jihan mendongak ke arah langit-langit, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Ini istimersa.”

Alis Julian terangkat bingung. “Istimersa?”

“Istimewa dan luar biasa,” jawab Jihan lantas tersenyum lebar menampakkan deretan giginya. Tidak lupa, gadis itu mengecup ujung telunjuk dan ibu jarinya yang bersentuhan membentuk lingkaran tidak sempurna. Kata-kata biasa pasti gagal menggambarkan kelezatan masakan lelaki di sampingnya.

Selama beberapa detik Julian melongo. Sebelum akhirnya ia terkekeh lalu berkata, “kau memiliki perbendaharaan kata yang unik. Apa itu dari bahasa negara tertentu?”

Jihan menggeleng. “Aku hanya menggabungkan dua kata itu untuk menggambarkan masakanmu. Spontan saja.”

Bibir Julian membulat tanda mengerti sementara Jihan tersenyum malu dan bangga sekaligus dalam satu waktu. Kemudian mereka kembali dalam santapan masing-masing ditemani obrolan singkat mengenai apartemen dan pekerjaan Julian. Membuat Jihan melupakan sejenak masalah hatinya yang patah.
***

“Masakanmu benar-benar lezat.”

Untuk ke sekian kalinya, Jihan melontarkan pujian untuk Julian. Lelaki itu tersenyum bangga ke arah Jihan lalu berkata, “terima kasih.”

“Perutku benar-benar dimanjakan,” ujar Jihan tanpa bisa menyembunyikan perasaan senang. Ia menepuk perutnya perlahan dengan perasaan puas.

Mereka berdua sudah selesai menyantap makan malam. Jihan dan Julian. Tetapi tidak seorang pun yang berniat meninggalkan meja makan.

“Rasanya sudah lama aku tidak makan senikmat ini. Aku tidak pernah menyantap makanan selezat ini sebelumnya.” Jihan berkata masih dengan nada kagum yang tidak juga mengering. Beruntung sekali Rangga bisa menikmati masakan seperti ini setiap hari. Andai saja Rangga yang duduk satu meja dengannya.

Ah, Rangga. Mengapa lelaki itu harus menyusup ke dalam benaknya sekarang?

Julian mengangguk setuju. “Ya. Aku juga.”

Kerutan muncul di kening Jihan. Kepalanya sedikit miring ke kiri. Bingung. “Kau tidak pernah makan masakanmu sendiri?”

“Oh, jangan ditanya. Aku sampai bosan,” ujar Julian lantas terkekeh.

“Kalau aku pasti tidak akan merasa bosan dengan makanan seperti ini,” timpal Jihan penuh nada humor.

“Lagi pula... sebenarnya, tidak penting kita makan apa. Tapi makan dengan siapa.” Julian menatap lurus ke arah Jihan. Bibirnya mengukir senyuman penuh makna. “Aku berani bertaruh kau pasti sempat berharap sedang makan malam bersama Rangga. Benar?”

Tebakan Julian tepat. Tetapi Jihan tidak menjawab apa-apa. Ia memilih untuk diam demi mempertahankan ekspresi sedatar mungkin. Mencegah Julian membaca perasaannya.

“Kalian berdua saling mencintai. Kenapa harus bersikap seolah perasaan itu tidak ada?” Julian lanjut bertanya menanggapi sikap bungkam Jihan. “Jangan pikirkan Silvia. Aku yakin dia gadis yang kuat. Lebih baik pikirkan perasaan kalian masing-masing.”

Jihan tetap memilih membisu. Tiba-tiba saja gadis itu bangkit dari duduknya sambil mendorong kursi dengan belakang lututnya. Ia menumpuk piringnya dan piring Julian lalu berkata, “biar aku membereskan piring kotornya.”

“Kau tidak perlu melakukan itu,” cegah Julian sambil ikut berdiri. “Maaf jika kata-kataku menyinggungmu, Jihan. Aku hanya ingin mengatakan

Tidak sedikit pun Jihan memberi kesempatan pada Julian untuk menyelesaikan kalimatnya. Ia melangkah tergesa menuju dapur yang tadi dimasuki Julian. Tanpa kesulitan, ia menemukan wastafel mencuci piring tanpa noda di sudut ruangan. Hanya ada beberapa peralatan masak yang baru saja digunakan tertumpuk rapi di sana.

“Jihan, kumohon dengarkan aku.”

Julian masih mengekor di belakang Jihan. Tetapi tidak sedikit pun ia berniat untuk menggubris kata-kata Julian. Jihan malah berdiri kaku lalu memutar keran. Air mengucur dan menciptakan bunyi gemericik saat menyentuh dasar wastafel.

Bunyi itu juga yang akhirnya membuat Julian menyerah untuk memaksakan kata-katanya. Lelaki itu berdiri menatap sisi kanan Jihan yang mulai sibuk membasuh panci yang tadi digunakannya untuk memasak. Sebuah ide usil muncul mendadak di kepala Julian. Seringai kekanakan berkedut di bibirnya.

Dengan tiba-tiba dan tanpa diduga, Julian menampar perlahan air yang mengalir dari keran hingga menimbulkan cipratan yang langsung mengenai wajah Jihan. Gadis itu beringsut mundur, menghindar sia-sia. Kemudian ia menoleh dan melontarkan tatapan kesal kepada Julian. Cepat-cepat ia membasuh tangannya dari busa sabun, lalu melemparkan serangan balasan kepada Julian.

Alih-alih menghindar, Julian malah terkekeh senang. Ia membiarkan cipratan air dari tangan Jihan mendarat di wajahnya. Memang ini yang diharapkannya. Berangsur-angsur gadis itu ikut terkekeh bersamanya di tengah perang-ciprat-air yang sengit. Mereka begitu asyik hingga melupakan piring dan panci kotor yang menatap iri dari sudut wastafel.
***

Tidak seperti biasanya.

Rangga memilih untuk pulang ke apartemennya malam ini. Ia pergi begitu saja di tengah makan malam. Dan ia yakin ibunya akan menceramahinya panjang lebar jika ia ikut pulang ke rumah. Tetapi mau bagaimana lagi. Ia tidak siap dan tidak akan pernah siap menikahi Silvia. Bukan gadis itu yang diinginkan hatinya.

Setengah menyeret langkahnya keluar dari elevator, Rangga menyusuri lorong menuju apartemennya. Ia merasa lelah untuk banyak hal hari ini. Bahunya terasa berat dan sangat merindukan tempat tidurnya yang nyaman.

Begitu membuka pintu, Rangga mendapati apartemennya dalam keadaan terang. Itu berarti  Julian masih terjaga. Ketika sedang meletakkan sepatunya di rak, telinganya menangkap suara tawa yang samar dari bagian dalam.

Siapa itu? Julian? Tetapi siapa yang bersamanya? Bukankah itu suara seorang gadis?

Rangga melepaskan jas dan menyampirkannya pada sandaran sofa di ruang tamu. Sambil melepas kancing paling atas kemejanya, ia melangkah ke arah sumber suara yang entah mengapa begitu mengusik perasaannya.

Begitu kaki Rangga memasuki dapur, rahangnya mengetat tanpa bisa dicegah. Keningnya berkerut gusar. Seketika perasaan marah menjalari hatinya.

Rangga tidak peduli pada Julian yang tengah tertawa cekikan itu. Ia justru mengernyit marah pada gadis yang sedang tertawa bersama koki sialan itu. Mereka tampak begitu bahagia hingga tidak menyadari kedatangan Rangga.

“Jihan?” tegur Rangga sedikit membentak.

Tawa kedua sejoli itu sontak menggantung di udara. Serentak mereka menoleh ke arah Rangga yang berdiri di ambang pintu dapur.

“Hei, Rangga.” Julian bergerak cepat menyapa sahabatnya itu, lalu merangkulkan lengannya di bahu Jihan yang menegang.

Takut-takut Jihan melirik ke atas pada Julian yang mengurai senyum ceria seperti tidak ada sesuatu yang berbeda. Dan saat itulah Jihan menyadari. Ini pertama kalinya lelaki itu menyentuhnya selama mereka bersama dalam beberapa jam terakhir.

“Bagaimana makan malammu? Kebetulan aku dan Jihan juga baru saja selesai makan malam,” lanjut Julian seolah tidak peduli pada raut marah di wajah Rangga. Bahkan ia dengan sengaja menempelkan pipinya ke puncak kepala Jihan, membuat lelaki di hadapan mereka seperti nyaris meledak.

Wajah Rangga mengeras. Ia melangkahkan kakinya mendekat lalu mengulurkan tangan dan menyentak Jihan dari dekapan Julian. “Ayo. Aku akan mengantarmu pulang,” ucapnya dingin.

Jihan hanya memekik tertahan saat merasakan tubuhnya terguncang tiba-tiba. Ia menatap punggung Rangga yang sedang menariknya paksa keluar dari dapur. Entah mengapa rasanya ia ingin menangis mendapati kemarahan Rangga yang semakin menyakitinya. Sekuat tenaga, Jihan menarik paksa tangannya agar terbebas dari cengkeraman Rangga.

Terkejut, Rangga menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Di sana ia mendapati seorang gadis ketakutan menatap muak kepadanya. Dan dalam sekejap tatapan itu sudah menggores hatinya. Melukainya begitu dalam. Hingga tanpa sadar ia meringis menahan pedih di dalam dadanya.

Julian sadar Rangga sedang tersalut amarah. Dan ia tidak bisa membiarkan Jihan menjadi pelampisan akan kemarahan sahabatnya itu. Maka, ia langsung mengambil posisi berdiri di depan Jihan, seolah melindungi gadis itu. Senyum tenang masih menghiasi bibirnya.

“Kau tidak berhak memperlakukan Jihan seperti itu, Rangga.”

Pembelaan Julian kepada Jihan, semakin menyulut bara kemarahan di balik kata-kata dingin Rangga. “Apa pedulimu?”

Julian memilih tidak menjawab pertanyaan Rangga. “Aku yang mengundangnya datang. Maka, aku juga yang akan mengantarnya pulang.”

Urat cemburu mencuat di kening Rangga begitu melihat Jihan yang berjalan mengikuti Julian meninggalkan dapur. Tetapi ia mencoba untuk merapatkan gigi, menahan napasnya yang memburu. Sedikit perasaan bersalah membuat lelaki itu mengurungkan niat untuk menarik kembali Jihan ke sisinya.

Akhirnya, dengan suara tertahan dan nada yang dingin ia berujar, “kalau begitu, aku ikut.”

Julian menghentikan langkahnya tiba-tiba, membuat Jihan hampir menabrak punggungnya. Ia menoleh dan menyunggingkan senyum penuh teka-teki kepada Rangga. Tanpa kata-kata, lelaki itu menghilang cepat ke ruang tamu. Dan begitu kembali, ia melemparkan kunci mobilnya kepada Rangga.

“Baiklah. Kau yang menyetir.”

Sigap, Rangga menangkap kunci mobil itu dengan pandangan bingung. Tetapi Julian membiarkan sahabatnya itu memahami sendiri maksud tersebut.
***

Benar saja. Rangga akhirnya memahami sendiri maksud Julian dan lemparan kuncinya itu. Koki sialan itu menjadikan ia sebagai sopir dadakan malam ini.

Masih merasa marah, Rangga mencengkeram kuat setir mobilnya hingga menimbulkan jejak melengkung seperti deretan bulan sabit di permukaan kulit yang melapisinya. Sementara kakinya menginjak gas dalam-dalam, seolah lupa ada pedal rem di sebelahnya.

“Bisa tidak kau mengemudi lebih santai?” protes Julian dari kursi penumpang di belakang. Lelaki itu duduk di samping Jihan. Membiarkan Rangga duduk sendirian di depan. Mengendarai mobil dengan perasaan membara.

Rangga tidak mengacuhkan peringatan Julian. Ia malah melirik melalui kaca spion di tengah mobil. Dari sana ia bisa melihat Jihan yang duduk dengan resah. Wajahnya terlihat pucat. Perlahan, Rangga menurunkan kecepatan mobil yang dikendarainya. Ia tidak ingin membuat gadis itu ketakutan.

Tidak sampai lima menit kemudian, mobil sedan hitam milik Julian berhenti di depan bangunan flat Jihan. Terdengar helaan napas lega yang hampir bersamaan. Jihan dan Julian merasa lega untuk alasan keselamatan. Sementara Rangga merasa lega ketika menyadari bahwa Julian tidak akan duduk di sebelah Jihan lebih lama lagi.

“Ini benar-benar perjalanan yang singkat. Seperti menaiki wahana roller coaster saja.” Julian berujar sambil tersenyum di hadapan Jihan. Tetapi tentu saja kalimat itu tertuju bukan untuk gadis itu, melainkan pengemudi ugal-ugalan di depan sana. “Padahal ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu. Jadi, bagaimana kalau aku mengantarmu ke dalam?”

“Jangan!”

Penolakan bernada tinggi itu bukan berasal dari bibir Jihan. Sama seperti Julian, gadis itu ikut merasa bingung dengan suara Rangga yang menyela pemikirannya. Tentu saja Jihan akan menolak. Kombinasi antara flat dan lelaki asing berputar-putar dalam benaknya. Menghadirkan sepotong kenangan masam.

“Biar aku saja yang mengantar Jihan.” Dingin, Rangga menambahkan kalimat setelah ia menggantikan Jihan untuk menolak Julian.

Emm... menurutku itu tidak perlu.” Jihan akhirnya berucap setelah sekian lama bungkam. “Aku... aku bisa sendiri.”

“Baiklah kalau begitu,” ujar Julian cepat-cepat menyetujui penolakan Jihan sebelum seseorang kembali memaksakan kehendaknya. “Pastikan dirimu baik-baik saja.”

Jihan mengangguk. “Terima kasih untuk makan malamnya. Dan... emm... terima kasih sudah mengantarku.”

“Apa saja untukmu, Jihan.” Julian menebarkan senyuman pangeran yang biasa hadir di mimpi indah para gadis. “Aku bahkan sudah tidak sabar untuk mendampingimu ke acara reuni.”



Bersambung ke Orange Sunset (Tiga belas)