PENAMPILAN Silvia malam ini benar-benar mengagumkan. Ia
mengenakan gaun lila yang dipilihnya atas saran Jihan. Rambutnya digelung
tinggi memperlihatkan dengan jelas polesan make-up
natural di wajahnya. Hanya saja tidak ada senyum manis yang menyempurnakan
paras cantik gadis itu melainkan kerutan resah di antara kedua alisnya.
Saat ini Silvia tengah berdiri menunggu di depan pintu
masuk sebuah restoran bintang lima. Beberapa pasang mata menatap kagum ke arah
gadis itu. Walaupun Silvia sendiri tidak menyadari hal itu. Ia terlalu sibuk
memerhatikan gerbang masuk restoran dan ponsel dalam genggamannya secara
bergantian.
Sudah satu jam berlalu sejak ia datang ke restoran ini
bersama kedua orang tuanya, diikuti kedua orang tua Rangga. Tetapi hingga detik
ini, Rangga malah belum sedikit pun menunjukkan batang hidungnya. Sedangkan
ponsel lelaki itu sama sekali tidak bisa dihubungi.
“Di mana kau?” desah Silvia nyaris putus asa.
Seharusnya malam ini menjadi malam yang indah bagi mereka
berdua. Di mana orang tua mereka akan meminta untuk segera meresmikan hubungan
mereka dalam ikatan pertunangan. Dengan begitu, sikap tarik-ulur yang selama
ini ditunjukkan Rangga tentu ikut berakhir.
Silvia melirik jam tangannya lalu menghela napas panjang
yang seolah menghimpit dadanya. Sepertinya lebih baik ia menunggu di dalam
bersama orang tuanya ketimbang harus menghadapi angin malam yang sejak tadi
membelai kulitnya.
Baru saja Silvia hendak beranjak ke dalam restoran. Saat
ia melihat sebuah sedan putih yang dikenalnya memasuki pelataran parkir
restoran. Seulas senyum terukir di bibirnya ketika sosok yang ditunggunya melangkah
turun dari mobil tersebut.
Silvia hampir lupa bernapas ketika Rangga berjalan ke
arahnya. Lelaki itu mengenakan setelan jas abu-abu yang pas di tubuhnya. Tetapi
entah mengapa wajah lelaki itu tampak gusar tanpa rona bahagia. Seolah-olah ada
duri di dalam pantofel lelaki itu yang menusuk telapak kakinya.
Bergegas, Silvia melangkah mendekat. Ia memutuskan untuk
menyambut Rangga lebih cepat demi menghapus perasaan apa pun yang menodai
ekspresi lelaki itu.
“Rangga.” Silvia menyapa diiringi senyuman hangat.
Sesaat lelaki itu tampak terkejut. Tetapi sedetik
berikutnya Rangga tersenyum kepada Silvia walaupun terkesan sedikit terpaksa.
Ia kemudian mengambil posisi di samping Silvia yang kembali berbalik arah ke
dalam restoran.
“Kau terlihat lelah,” ucap Silvia. Ada perasaan empati
dalam nada bicara gadis itu.
“Ya. Ada beberapa masalah di studio.”
“Apa semua baik-baik saja?” tanya Silvia dengan raut
khawatir.
“Tentu saja,” jawab Rangga singkat. “Semua sudah datang?”
“Ya.” Silvia sedikit merapatkan bahunya ke arah Rangga. “Orang
tua kita sudah menunggu di dalam.”
Silvia mengamitkan lengannya pada lipatan siku Rangga. Kemudian
berdua mereka beriringan memasuki restoran yang disinari cahaya keemasan.
***
Langit sudah berubah gelap, menyisakan cahaya bulan yang
keemasan. Jihan memaksakan diri untuk bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah
gontai dalam kamarnya yang gelap gulita. Tangannya meraba dinding mencari-cari
tombol sakelar yang terletak sejajar dengan kepalanya.
Begitu lampu menyala, Jihan refleks menutup matanya.
Keningnya mengernyit menerima cahaya yang mendadak menyinari ruangan yang
tadinya gelap. Ia menyeret langkahnya menuju wastafel dan membasuh wajahnya di
sana.
Jihan mematikan keran lalu mengangkat kepalanya. Kemudian
ia menumpukan telapak tangannya di tepi wastafel, memerhatikan pantulan bayangannya
yang masygul. Wajahnya pucat, matanya redup, dan rambutnya kusut masai. Bahkan
ia masih mengenakan pakaian tidurnya kemarin malam.
Sejak terbangun pagi ini, Jihan memang seolah kehilangan
semangatnya. Mengingat ini adalah hari Sabtu. Hari di mana hubungan Rangga dan
Silvia akan menuju tahap yang lebih serius. Yang berarti ia harus lebih sadar
diri untuk tidak mengharapkan apa pun dari perasaannya kepada lelaki itu. Ia
juga harus meyakinkan diri bahwa ciuman tempo hari tidak lebih dari sekadar ketidaksengajaan.
Jihan kembali menunduk dan membasuh wajahnya
berkali-kali. Seolah ia ingin mencuci bersih hatinya dari semua perasaan apa
pun yang berhubungan dengan Rangga. Setelah merasa cukup, ia menyentak handuk
kecil dari gantungan di depan kamar mandi untuk mengusap sisa air yang menetes
dari ujung rambutnya.
Saat melangkah untuk kembali meringkuk ke atas tempat
tidurnya, Jihan merasakan perutnya bergemuruh. Ah, benar juga. Kapan terakhir
kali ia makan? Kemarin malam? Kemarin siang? Entahlah. Yang jelas, ia yakin
hari ini perutnya belum terisi apa-apa. Ia terlampau sibuk meratapi detik-detik
di mana ia benar-benar akan kehilangan Rangga.
Kehilangan? Huh.
Bukankah sejak awal Rangga memang tidak pernah menjadi miliknya? Jihan
tersenyum sinis kepada dirinya sendiri.
Pada akhirnya, Jihan membatalkan niatnya untuk tidur. Ia
tahu, ia tidak akan bisa tidur dalam keadaan perut yang lapar. Maka, bergegas kakinya
melangkah menuju dapur untuk menemukan apa yang dibutuhkan lambungnya.
Sayangnya, tidak banyak yang bisa ditemukan Jihan di
dapur flatnya. Hanya setangkup roti yang sudah berjamur, sayuran layu, dan tiga
keping biskuit lempem dalam stoples yang tidak tertutup rapat. Ia menatap nanar
pada calon-calon pahlawan yang gugur sebelum menyelamatkannya dari kelaparan.
Detik berikutnya, Jihan sudah merebut jaketnya dari
gantungan baju dibalik pintu. Kemudian dengan langkah-langkah lebar, ia meninggalkan
flatnya. Berburu sesuatu untuk disantap malam ini.
***
Rangga menatap malas ke bawah pada makanan di piringnya
yang hampir tidak tersentuh. Begitu kontras dengan piring-piring lain yang
hampir kosong di atas meja yang sama dengan miliknya. Lunglai, ia menghela
napas berat. Kemudian meletakkan alat makan kembali ke sisi piring dan menyeka
mulut dengan serbet putih dari pangkuannya.
“Ada apa, Rangga? Kau tidak menyukai hidangannya?”
Sikap Rangga barusan langsung menarik perhatian wanita yang
duduk di samping kirinya.
“Tidak, Ma. Aku hanya sedang tidak berselera makan,”
jawab Rangga sambil menoleh singkat pada ibunya.
“Mau kupesankan minuman hangat?” tawar Silvia yang duduk
berseberangan dengan Rangga.
“Tidak. Terima kasih, Silvia,” tolak Rangga halus seraya
menggelengkan kepala. Ia tersenyum tetapi senyuman itu tidak menyentuh matanya.
Detik berikutnya perhatian lelaki itu sudah kembali pada ibunya. “Omong-omong,
hal penting apa yang ingin Mama bicarakan?”
Sebenarnya, Rangga tahu ke mana arah pembicaraan malam
ini. Itulah mengapa ia ingin cepat memulai pembicaraan tentang hal itu dan
cepat juga menyelesaikannya. Tadi ia datang terlambat karena bimbang untuk
datang atau tidak malam ini. Hingga pada akhirnya, ia memutuskan untuk datang demi
tidak mengecewakan kedua orang tuanya. Dan ia sendiri mempersiapkan hatinya
untuk malam ini. Pembicaraan tentang hubungan yang sedikit pun tidak ingin
dilakukannya.
“Begini, Rangga.... “ Ibunya memulai pembicaraan penting
yang dimaksud Rangga. Sebelum melanjutkan, wanita itu melirik singkat ke arah
suami dan calon besannya untuk meminta persetujuan. “Mama perhatikan, kau dan
Silvia semakin hari semakin dekat. Jadi, apa tidak sebaiknya kalian meresmikan
hubungan kalian ke jenjang yang lebih serius?”
Kening Rangga berkerut meminta penjelasan lebih. “Maksud
Mama?”
“Ya... maksud Mama... bagaimana kalau kalian mulai
membicarakan pernikahan?”
Semua orang yang duduk mengelilingi meja kayu jati
tersebut sontak tersenyum menyambut kata-kata itu. Semua orang. Kecuali Rangga.
“Pernikahan?” Rangga membeo kata terakhir yang diucapkan
ibunya. “Dulu Mama bilang, ini semua hanya perkenalan antara aku dengan anak
perempuan sahabat Mama. Perkenalan, Ma. Bukan pernikahan.”
“Memang benar dulu Mama berkata seperti itu. Tapi setelah
waktu berlalu, sepertinya kalian berdua bisa menjadi pasangan yang cocok,”
lanjut ibunya lalu menoleh dan tersenyum ke arah Silvia.
“Aku tidak bisa.” Rangga menundukkan kepala lantas
menggeleng perlahan. “Aku tidak siap untuk itu, Ma....”
“Kenapa?” Ibunya mengurai senyum masam, tampak terkejut
dengan tanggapan anak lelakinya. “Atau kalian bisa memulai dulu dengan sebuah
pertunangan. Bagaimana?”
Rangga tetap menggelengkan kepalanya. “Lebih baik aku
pulang sekarang. Terima kasih atas hidangannya,” ucapnya berpamitan lantas
bangkit dari tempat duduk dan meninggalkan meja begitu saja. Tidak sedikit pun
ia menoleh maupun menghiraukan suara yang memanggil namanya.
***
Setibanya di supermarket, Jihan bergegas menuju rak-rak
yang menyediakan makanan instan. Ia menenteng keranjang belanja sambil
menyusuri deretan mi instan yang berjejalan di rak.
Saat itulah tiba-tiba saja Jihan mendengar seseorang
memanggil namanya. Ia langsung menoleh ke kiri—ke arah
yang menurut pendengarannya menjadi sumber suara. Tetapi tidak seorang pun yang
terlihat cocok untuk dicurigai. Hingga akhirnya ia merasakan keranjangnya
disinggung seseorang dari sebelah kanan dan membuatnya menoleh begitu saja.
Keranjang belanja yang menyenggol keranjang milik Jihan
tampak penuh. Tiga botol minyak zaitun, tujuh butir bawang bombai, dan lima
kantung terigu memenuhi keranjang tersebut. Tampak kontras dengan keranjang
miliknya yang masih kosong.
Kemudian ketika mengangkat wajahnya, Jihan langsung
mendapati sosok yang dikenalnya. Lelaki pemilik senyum sehangat matahari pagi.
“Ternyata benar itu kau, Jihan. Sempat aku kira tadi aku
salah melihat peri cantik tersasar masuk ke supermarket.”
Lagi-lagi bualan tentang peri cantik versinya. Tetapi mau
tidak mau, kata-kata tersebut mampu mengukir senyuman di wajah Jihan yang sejak
tadi muram. Julian benar-benar pintar mencerahkan suasana.
“Belanja?” tanya lelaki itu dengan seringai jenaka.
Jihan memutar bola matanya. “Menurutmu? Apa aku terlihat
seperti sedang mengikuti turnamen sepak bola di sini?”
“Jangan marah. Aku hanya bercanda.” Julian tergelak
melihat ekspresi kesal Jihan. Kemudian ia melirik ke arah rak di hadapan Jihan
sambil mengangkat alis. “Kau berencana menyantap mi instan untuk makan malam?”
“Y-ya.” Lantas? Memang itu yang akan dilakukan Jihan.
“Makanan seperti ini tidak baik untuk kesehatanmu, kau
tahu?” Julian berdecak kesal. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Detik
berikutnya lelaki itu sudah menatap tajam ke arah Jihan, seperti seorang ayah
yang tengah memarahi putrinya. “Aku tidak akan membiarkanmu menyantap makanan
itu. Setidaknya untuk malam ini.”
“Lalu? Aku harus makan apa?” tanya Jihan bingung.
“Kita makan malam saja di apartemenku.” Tersirat perasaan
bangga dalam kata-kata Julian. “Aku yang akan memasak.”
Jihan tergugu ragu mendengar kata-kata Julian. Seharusnya
ini menjadi tawaran menggiurkan. Kapan lagi ia bisa merasakan masakan koki
restoran bintang lima secara ekslusif? Tetapi tunggu... bukankah apartemen
Julian juga berarti apartemen Rangga?
“Dia pergi makan malam dengan orang tuanya. Tidak ada di
apartemen. Jika itu yang kau khawatirkan.” Julian membaca dengan tepat apa yang
dipikirkan Jihan melalui raut wajah gadis itu yang berubah-ubah. “Biasanya
setelah itu dia akan menginap di rumah orang tuanya.”
Jihan tersenyum mendengar Julian menceritakan seseorang
tanpa menyebutkan nama. Gadis itu lantas menganggukkan kepala menyetujui undangan
makan malam yang mendadak ini.
***
Aroma telur yang bersentuhan dengan mentega menguar di
udara. Jihan duduk di ruang makan apartemen Julian sambil menahan diri agar air
liurnya tidak menetes. Ia melipat rapi tangannya di atas meja makan dari kayu
damar berwarna hitam mengilat seperti anak kecil yang patuh.
“Maaf membuat Anda menunggu, Nona.” Tidak lama kemudian
Julian datang dengan gaya pramusaji yang elegan. Ia meletakkan dua piring saji
ke atas meja makan, lalu menarik kursi di sisi meja yang berbeda dengan Jihan
dan mengenyakkan dirinya setengah berhadapan dengan gadis itu. Mereka duduk
mengapit sudut meja.
“Ayo, angkat sendokmu, Gadis Muda,” ujar Julian seraya
tersenyum geli. Seolah-olah memahami rasa lapar Jihan. Perut gadis itu pasti
sudah meraung-raung untuk segera diisi.
“Bolehkah?” tanya Jihan sekali lagi. Hanya memastikan
bahwa ia tidak sedang terlihat seperti serigala yang belum memangsa apa pun
dalam tiga bulan terakhir. Sementara tanpa disadarinya, jemarinya sudah
mencengkeram sendok di sisi kanan piringnya.
“Tentu saja.”
Jihan mengalihkan pandangannya pada untaian fettucini di
dasar piring, bermahkotakan omelette yang masih mengepulkan uap hangat. Ia
menggigit bibir sebelum menghujamkan sendoknya. Lelehan keju, sayur cacah, dan
daging cincang berebut keluar dari selimut telur itu bersamaan dengan aroma
lezat yang semakin menggoda rasa lapar Jihan. Hingga ia merasa takut perutnya
bertindak bodoh dengan mengeluarkan bunyi yang akan mempermalukannya.
“Hati-hati panas.” Julian memperingatkan saat sendok
Jihan hampir bersarang ke dalam mulut.
Jihan mengangguk, lalu menunggu beberapa detik sebelum
akhirnya potongan omelette itu menyentuh lidahnya. Tanpa sadar ia memejamkan
mata, mengecap semua kelezatan yang memenuhi rongga mulutnya.
Ketika pada akhirnya Jihan membuka mata, ia mendapati
Julian sedang memerhatikannya sambil tersenyum simpul. Pandangan mereka
berserobok selama beberapa detik, membuat wajah Jihan berubah merah seketika.
Entah karena perasaan malunya atau karena kehangatan senyuman Julian.
“Enak?”
Jihan mengangguk-angguk tanpa kata-kata. Wajahnya masih
tersipu. Tetapi tangannya sudah mengantarkan suapan kedua.
“Sebenarnya tadi aku ingin memasak sesuatu yang lebih
spesial. Tapi ketika membayangkan wajahmu yang pucat seperti tidak makan
berhari-hari, aku memilih masakan sederhana yang cepat.”
Jihan ternganga. Apa ia terlihat selapar itu? “Ini... ini
lebih dari sederhana. Ini—“ Jihan mendongak ke arah langit-langit, mencoba
menemukan kata-kata yang tepat. “Ini istimersa.”
Alis Julian terangkat bingung. “Istimersa?”
“Istimewa dan luar biasa,” jawab Jihan lantas tersenyum
lebar menampakkan deretan giginya. Tidak lupa, gadis itu mengecup ujung
telunjuk dan ibu jarinya yang bersentuhan membentuk lingkaran tidak sempurna. Kata-kata
biasa pasti gagal menggambarkan kelezatan masakan lelaki di sampingnya.
Selama beberapa detik Julian melongo. Sebelum akhirnya ia
terkekeh lalu berkata, “kau memiliki perbendaharaan kata yang unik. Apa itu
dari bahasa negara tertentu?”
Jihan menggeleng. “Aku hanya menggabungkan dua kata itu
untuk menggambarkan masakanmu. Spontan saja.”
Bibir Julian membulat tanda mengerti sementara Jihan
tersenyum malu dan bangga sekaligus dalam satu waktu. Kemudian mereka kembali
dalam santapan masing-masing ditemani obrolan singkat mengenai apartemen dan
pekerjaan Julian. Membuat Jihan melupakan sejenak masalah hatinya yang patah.
***
“Masakanmu benar-benar lezat.”
Untuk ke sekian kalinya, Jihan melontarkan pujian untuk
Julian. Lelaki itu tersenyum bangga ke arah Jihan lalu berkata, “terima kasih.”
“Perutku benar-benar dimanjakan,” ujar Jihan tanpa bisa
menyembunyikan perasaan senang. Ia menepuk perutnya perlahan dengan perasaan
puas.
Mereka berdua sudah selesai menyantap makan malam. Jihan
dan Julian. Tetapi tidak seorang pun yang berniat meninggalkan meja makan.
“Rasanya sudah lama aku
tidak makan senikmat ini. Aku tidak pernah menyantap makanan selezat ini
sebelumnya.” Jihan berkata masih dengan nada kagum yang tidak juga mengering.
Beruntung sekali Rangga bisa menikmati masakan seperti ini setiap hari. Andai
saja Rangga yang duduk satu meja dengannya.
Ah, Rangga. Mengapa
lelaki itu harus menyusup ke dalam benaknya sekarang?
Julian mengangguk
setuju. “Ya. Aku juga.”
Kerutan muncul di kening
Jihan. Kepalanya sedikit miring ke kiri. Bingung. “Kau tidak pernah makan
masakanmu sendiri?”
“Oh, jangan ditanya. Aku
sampai bosan,” ujar Julian lantas terkekeh.
“Kalau aku pasti tidak
akan merasa bosan dengan makanan seperti ini,” timpal Jihan penuh nada humor.
“Lagi pula... sebenarnya,
tidak penting kita makan apa. Tapi makan dengan siapa.” Julian menatap lurus ke
arah Jihan. Bibirnya mengukir senyuman penuh makna. “Aku berani bertaruh kau
pasti sempat berharap sedang makan malam bersama Rangga. Benar?”
Tebakan Julian tepat.
Tetapi Jihan tidak menjawab apa-apa. Ia memilih untuk diam demi mempertahankan
ekspresi sedatar mungkin. Mencegah Julian membaca perasaannya.
“Kalian berdua saling
mencintai. Kenapa harus bersikap seolah perasaan itu tidak ada?” Julian lanjut
bertanya menanggapi sikap bungkam Jihan. “Jangan pikirkan Silvia. Aku yakin dia
gadis yang kuat. Lebih baik pikirkan perasaan kalian masing-masing.”
Jihan tetap memilih
membisu. Tiba-tiba saja gadis itu bangkit dari duduknya sambil mendorong kursi
dengan belakang lututnya. Ia menumpuk piringnya dan piring Julian lalu berkata,
“biar aku membereskan piring kotornya.”
“Kau tidak perlu
melakukan itu,” cegah Julian sambil ikut berdiri. “Maaf jika kata-kataku
menyinggungmu, Jihan. Aku hanya ingin mengatakan—“
Tidak sedikit pun Jihan
memberi kesempatan pada Julian untuk menyelesaikan kalimatnya. Ia melangkah
tergesa menuju dapur yang tadi dimasuki Julian. Tanpa kesulitan, ia menemukan
wastafel mencuci piring tanpa noda di sudut ruangan. Hanya ada beberapa peralatan
masak yang baru saja digunakan tertumpuk rapi di sana.
“Jihan, kumohon
dengarkan aku.”
Julian masih mengekor di
belakang Jihan. Tetapi tidak sedikit pun ia berniat untuk menggubris kata-kata
Julian. Jihan malah berdiri kaku lalu memutar keran. Air mengucur dan
menciptakan bunyi gemericik saat menyentuh dasar wastafel.
Bunyi itu juga yang
akhirnya membuat Julian menyerah untuk memaksakan kata-katanya. Lelaki itu
berdiri menatap sisi kanan Jihan yang mulai sibuk membasuh panci yang tadi
digunakannya untuk memasak. Sebuah ide usil muncul mendadak di kepala Julian. Seringai
kekanakan berkedut di bibirnya.
Dengan tiba-tiba dan
tanpa diduga, Julian menampar perlahan air yang mengalir dari keran hingga
menimbulkan cipratan yang langsung mengenai wajah Jihan. Gadis itu beringsut
mundur, menghindar sia-sia. Kemudian ia menoleh dan melontarkan tatapan kesal
kepada Julian. Cepat-cepat ia membasuh tangannya dari busa sabun, lalu
melemparkan serangan balasan kepada Julian.
Alih-alih menghindar,
Julian malah terkekeh senang. Ia membiarkan cipratan air dari tangan Jihan
mendarat di wajahnya. Memang ini yang diharapkannya. Berangsur-angsur gadis itu
ikut terkekeh bersamanya di tengah perang-ciprat-air yang sengit. Mereka begitu
asyik hingga melupakan piring dan panci kotor yang menatap iri dari sudut
wastafel.
***
Tidak seperti biasanya.
Rangga memilih untuk
pulang ke apartemennya malam ini. Ia pergi begitu saja di tengah makan malam.
Dan ia yakin ibunya akan menceramahinya panjang lebar jika ia ikut pulang ke
rumah. Tetapi mau bagaimana lagi. Ia tidak siap dan tidak akan pernah siap
menikahi Silvia. Bukan gadis itu yang diinginkan hatinya.
Setengah menyeret
langkahnya keluar dari elevator, Rangga menyusuri lorong menuju apartemennya. Ia
merasa lelah untuk banyak hal hari ini. Bahunya terasa berat dan sangat
merindukan tempat tidurnya yang nyaman.
Begitu membuka pintu,
Rangga mendapati apartemennya dalam keadaan terang. Itu berarti Julian masih terjaga. Ketika sedang
meletakkan sepatunya di rak, telinganya menangkap suara tawa yang samar dari
bagian dalam.
Siapa itu? Julian?
Tetapi siapa yang bersamanya? Bukankah itu suara seorang gadis?
Rangga melepaskan jas
dan menyampirkannya pada sandaran sofa di ruang tamu. Sambil melepas kancing
paling atas kemejanya, ia melangkah ke arah sumber suara yang entah mengapa
begitu mengusik perasaannya.
Begitu kaki Rangga
memasuki dapur, rahangnya mengetat tanpa bisa dicegah. Keningnya berkerut
gusar. Seketika perasaan marah menjalari hatinya.
Rangga tidak peduli pada
Julian yang tengah tertawa cekikan itu. Ia justru mengernyit marah pada gadis
yang sedang tertawa bersama koki sialan itu. Mereka tampak begitu bahagia
hingga tidak menyadari kedatangan Rangga.
“Jihan?” tegur Rangga
sedikit membentak.
Tawa kedua sejoli itu
sontak menggantung di udara. Serentak mereka menoleh ke arah Rangga yang
berdiri di ambang pintu dapur.
“Hei, Rangga.” Julian bergerak
cepat menyapa sahabatnya itu, lalu merangkulkan lengannya di bahu Jihan yang
menegang.
Takut-takut Jihan
melirik ke atas pada Julian yang mengurai senyum ceria seperti tidak ada
sesuatu yang berbeda. Dan saat itulah Jihan menyadari. Ini pertama kalinya
lelaki itu menyentuhnya selama mereka bersama dalam beberapa jam terakhir.
“Bagaimana makan
malammu? Kebetulan aku dan Jihan juga baru saja selesai makan malam,” lanjut
Julian seolah tidak peduli pada raut marah di wajah Rangga. Bahkan ia dengan
sengaja menempelkan pipinya ke puncak kepala Jihan, membuat lelaki di hadapan
mereka seperti nyaris meledak.
Wajah Rangga mengeras. Ia
melangkahkan kakinya mendekat lalu mengulurkan tangan dan menyentak Jihan dari
dekapan Julian. “Ayo. Aku akan mengantarmu pulang,” ucapnya dingin.
Jihan hanya memekik
tertahan saat merasakan tubuhnya terguncang tiba-tiba. Ia menatap punggung
Rangga yang sedang menariknya paksa keluar dari dapur. Entah mengapa rasanya ia
ingin menangis mendapati kemarahan Rangga yang semakin menyakitinya. Sekuat
tenaga, Jihan menarik paksa tangannya agar terbebas dari cengkeraman Rangga.
Terkejut, Rangga menghentikan
langkahnya dan menoleh ke belakang. Di sana ia mendapati seorang gadis
ketakutan menatap muak kepadanya. Dan dalam sekejap tatapan itu sudah menggores
hatinya. Melukainya begitu dalam. Hingga tanpa sadar ia meringis menahan pedih
di dalam dadanya.
Julian sadar Rangga
sedang tersalut amarah. Dan ia tidak bisa membiarkan Jihan menjadi pelampisan
akan kemarahan sahabatnya itu. Maka, ia langsung mengambil posisi berdiri di
depan Jihan, seolah melindungi gadis itu. Senyum tenang masih menghiasi
bibirnya.
“Kau tidak berhak
memperlakukan Jihan seperti itu, Rangga.”
Pembelaan Julian kepada
Jihan, semakin menyulut bara kemarahan di balik kata-kata dingin Rangga. “Apa
pedulimu?”
Julian memilih tidak menjawab
pertanyaan Rangga. “Aku yang mengundangnya datang. Maka, aku juga yang akan
mengantarnya pulang.”
Urat cemburu mencuat di
kening Rangga begitu melihat Jihan yang berjalan mengikuti Julian meninggalkan
dapur. Tetapi ia mencoba untuk merapatkan gigi, menahan napasnya yang memburu.
Sedikit perasaan bersalah membuat lelaki itu mengurungkan niat untuk menarik
kembali Jihan ke sisinya.
Akhirnya, dengan suara
tertahan dan nada yang dingin ia berujar, “kalau begitu, aku ikut.”
Julian menghentikan
langkahnya tiba-tiba, membuat Jihan hampir menabrak punggungnya. Ia menoleh dan
menyunggingkan senyum penuh teka-teki kepada Rangga. Tanpa kata-kata, lelaki
itu menghilang cepat ke ruang tamu. Dan begitu kembali, ia melemparkan kunci
mobilnya kepada Rangga.
“Baiklah. Kau yang
menyetir.”
Sigap, Rangga menangkap
kunci mobil itu dengan pandangan bingung. Tetapi Julian membiarkan sahabatnya
itu memahami sendiri maksud tersebut.
***
Benar saja. Rangga
akhirnya memahami sendiri maksud Julian dan lemparan kuncinya itu. Koki sialan
itu menjadikan ia sebagai sopir dadakan malam ini.
Masih merasa marah,
Rangga mencengkeram kuat setir mobilnya hingga menimbulkan jejak melengkung
seperti deretan bulan sabit di permukaan kulit yang melapisinya. Sementara
kakinya menginjak gas dalam-dalam, seolah lupa ada pedal rem di sebelahnya.
“Bisa tidak kau
mengemudi lebih santai?” protes Julian dari kursi penumpang di belakang. Lelaki
itu duduk di samping Jihan. Membiarkan Rangga duduk sendirian di depan.
Mengendarai mobil dengan perasaan membara.
Rangga tidak mengacuhkan
peringatan Julian. Ia malah melirik melalui kaca spion di tengah mobil. Dari
sana ia bisa melihat Jihan yang duduk dengan resah. Wajahnya terlihat pucat.
Perlahan, Rangga menurunkan kecepatan mobil yang dikendarainya. Ia tidak ingin
membuat gadis itu ketakutan.
Tidak sampai lima menit
kemudian, mobil sedan hitam milik Julian berhenti di depan bangunan flat Jihan.
Terdengar helaan napas lega yang hampir bersamaan. Jihan dan Julian merasa lega
untuk alasan keselamatan. Sementara Rangga merasa lega ketika menyadari bahwa
Julian tidak akan duduk di sebelah Jihan lebih lama lagi.
“Ini benar-benar
perjalanan yang singkat. Seperti menaiki wahana roller coaster saja.” Julian berujar sambil tersenyum di hadapan
Jihan. Tetapi tentu saja kalimat itu tertuju bukan untuk gadis itu, melainkan
pengemudi ugal-ugalan di depan sana. “Padahal ada banyak hal yang ingin
kubicarakan denganmu. Jadi, bagaimana kalau aku mengantarmu ke dalam?”
“Jangan!”
Penolakan bernada tinggi
itu bukan berasal dari bibir Jihan. Sama seperti Julian, gadis itu ikut merasa
bingung dengan suara Rangga yang menyela pemikirannya. Tentu saja Jihan akan
menolak. Kombinasi antara flat dan lelaki asing berputar-putar dalam benaknya.
Menghadirkan sepotong kenangan masam.
“Biar aku saja yang
mengantar Jihan.” Dingin, Rangga menambahkan kalimat setelah ia menggantikan
Jihan untuk menolak Julian.
“Emm... menurutku itu tidak perlu.” Jihan akhirnya berucap setelah
sekian lama bungkam. “Aku... aku bisa sendiri.”
“Baiklah kalau begitu,”
ujar Julian cepat-cepat menyetujui penolakan Jihan sebelum seseorang kembali
memaksakan kehendaknya. “Pastikan dirimu baik-baik saja.”
Jihan mengangguk.
“Terima kasih untuk makan malamnya. Dan... emm...
terima kasih sudah mengantarku.”
“Apa saja untukmu, Jihan.”
Julian menebarkan senyuman pangeran yang biasa hadir di mimpi indah para gadis.
“Aku bahkan sudah tidak sabar untuk mendampingimu ke acara reuni.”
Bersambung ke Orange
Sunset (Tiga belas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D