Rabu, 23 Maret 2016

Red Lie - Chapter 16


Pepohonan berjajar rapi di sepanjang jalan, begitu rindang memayungi jalan setapak yang dilalui Trisia. Langkah kecilnya yang berirama, berasal dari ketukan sepatu hak tinggi berwarna abu-abu yang dikenakannya. Mendung bergelayut manja, seolah dalam hitungan detik ia akan melepas bebannya yang terasa begitu berat.

Trisia mempercepat langkahnya berharap titik-titik air tidak akan menetes sebelum ia sampai di tempat tujuannya. Tapi tidak, rupanya Tuhan tak menghendaki untuk menunggu langkah Trisia sampai pada tujuannya.

“Ah… sial!” Teriak Trisia sambil berlari kecil dan berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya agar tak terjatuh. Ia menutupi kepalanya dengan tas kecil yang sejak tadi berada di tangannya. Baru beberapa langkah, kemudian Trisia berhenti dan berjongkok untuk melepaskan pengait sepatunya. Ia melepaskan sepatunya agar ia dapat berlari dengan lebih cepat.

Hujan yang semula mengguyurnya mendadak berhenti. Dalam hati gadis itu bersyukur, kemudian menatap langit yang seolah mempermainkannya. Trisia mengerutkan dahinya, sebuah payung berwarna merah tua ada di atasnya. Trisia segera berdiri dan menatap seseorang yang tengah berusaha memayunginya.

“Harry…” Wajah yang tak asing bagi Trisia. Wajah itu membuat Trisia kesal, tak peduli hujan mengguyurnya, Trisia berlari untuk menjauh dari lelaki itu.

“Trisia, tunggu.” Harry menyusul di belakang Trisia, berusaha menyamakan langkah dengan gadis itu. Tanpa menghiraukan lelaki yang terus bergumam di samping Trisia, gadis itu semakin mempercepat langkahnya.

“Trisia,” akhirnya lelaki itu berhasil membuat Trisia berhenti. “Aku ingin bicara denganmu.”

“Rasanya tak ada yang perlu kita bicarakan.” Ujar Trisia tak acuh.

“Ada.” Suara Harry tegas dan dalam. “Aku ingin meminta maaf padamu.” Nada suara itu semakin menurun. “Sejak kalian tiba dari Belanda, Leo sama sekali enggan berbicara padaku.”

“Wow… bukankah itu kabar gembira, Pak Harry yang terhormat?” Sindir Trisia seraya melangkah meninggalkan Harry tanpa mendengar jawaban lelaki itu.

“Tris…” Kalimat Harry terpotong.

“Apa bagusnya kau bicara pada anak haram sepertiku?” Senyum sinis tersungging dari bibir merah Trisia. “Sudahlah, aku masih ada urusan penting, permisi.”

Senyum di bibir Trisia tersungging, lega setelah keberanian untuk melawan lelaki itu akhirnya muncul. Mungkin menjalin hubungan dengan adik lelaki itu yang membuat keberaniannya muncul. Senyumnya semakin lebar, langkahnya semakin cepat, gadis itu memilih untuk berteduh di sebuah pinggiran toko yang tak jauh di hadapannya.

Hujan turun semakin deras sesaat setelah ia menginjakkan kakinya pada sebuah ubin putih yang mulai basah. Ia memeluk tasnya yang mungil di depan dadanya, bersandar pada dinding kusam yang ditempeli poster-poster lawas. Teringat kejadian beberapa hari yang lalu ketika ia bertemu ibunya, seluruh pertanyaan yang memenuhi kepalanya terjawab sudah. Pikirannya kembali pada saat-saat dimana percakapan penting yang hampir membuatnya gila itu terjadi.

“Ini tak boleh terjadi.” Ujar sang ibu menentang.

“Kenapa?”

“Karena...” Kalimat Calista terhenti, seolah tengah memikirkan sesuatu. “Aku tak tahu harus mulai dari mana…” Calista menghela nafas besar. Suasana kembali hening.

“Ibu, apakah aku dan Leo memang bersaudara?” Tanya Trisia langsung. Mata Calista terbelalak, kemudian mengerutkan dahinya.

“Darimana kau bisa berpikiran seperti itu?”

“Aku menemukan sebuah fotomu…” Gumam Leo lemah. “…dan ayah.”

“Itu tidak benar. Ayahmu adalah sahabat lamaku. Dialah yang selalu membantuku dalam kondisi terburukku sekalipun. Mungkin ibumu tidak tahu tentang hal ini. Aku melarang ayahmu memberitahu keberadaanku karena ibumu adalah orang yang sangat pencemburu.”

“Ibuku sudah meninggal…”

“Ya, aku tahu. Ayahmu melampiaskan amarahnya padaku. Dia bilang ingin memutuskan persahabatan kami. Ia juga bersumpah tak akan membiarkan keturunannya memiliki hubungan denganku.”

“Apa karena itu ibu melarang kami?” Tanya Trisia.

“Begitulah. Mengapa kau berpikir bahwa kau dan Leo adalah saudara? Bagaimana mungkin? Bahkan ayahmu tahu tentang hubungan kami, kami selalu pergi bersama saat ingin bertemu.” Calista mengusap pundak Trisia. “Aku hanya menghargai keinginan Haryo.”

“Hei.” Ujar seseorang membuyarkan lamunan Trisia.

Mata Trisia terbelalak melihat lelaki di hadapanya. “Ada apa lagi?”

“Aku tahu kau bukanlah adikku.” Ujar lelaki itu melemah.

“Lalu kenapa kau menghinaku seperti itu jika kau tahu kebenarannya?”

“Hanya saja saat itu aku bimbang. Awalnya aku memang marah padamu. Awalnya aku sama sekali tidak tahu kebenarannya. Lambat laun aku mencoba untuk mengetahui kebenaran yang membuat ibuku bunuh diri dan aku menemukan fakta bahwa kau bukanlah adikku. Dan rasa marah itu berubah menjadi…” Harry menghentikan kalimatnya sejenak sambil menghela napas besarnya. “…ketertarikan.” Lanjutnya mantap.

“Apa maksudmu?” Trisia penasaran.

“Aku tertarik padamu. Tetapi saat aku mulai berusaha memperbaiki buruknya sikapku padamu, aku menemukan fakta lain bahwa Leo mendekatimu.”

Trisia terdiam, menunggu kelanjutan cerita Harry. Ia sama sekali tak menyangka bahwa hal seperti itu akan terjadi dalam hidupnya. Rasa kesalnya untuk Harry masih belum juga surut barang seujung kuku sekalipun. Ia mengingat penghinaan-penghinaan yang pernah ia terima dari lelaki kaya di hadapannya itu. Ia ingin membalas untuk menghina lelaki itu saat ini juga. Namun raut menyesal lelaki itu membuatnya luluh.

“Ya, kau tahu aku mencintai adikmu.” Ujar Trisia pelan sementara derasnya hujan semakin memekakkan telinga.

“Aku meminta maaf padamu, Tris.” Harry meraih pergelangan tangan Trisia, menggenggamnya dengan erat. “Aku juga ingin mengatakannya pada Leo, tetapi ia sama sekali tak memedulikanku.”

Trisia mengangguk, “Aku mengerti, aku akan memberinya pengertian.”
***

Dia adalah gadis yang sama dengan gadis yang lelaki itu temui beberapa waktu yang lalu. Gadis yang didekatinya dengan tujuan yang lain. Namun segalanya berubah saat kesalah pahaman itu terkuak. Penyesalan membanjiri perasaannnya dan kini penyesalan itu akan terus membayanginya. Ia hanya gadis polos yang tak bersalah sedikitpun. Ia gadis yang dimanfaatkan untuk balas dendam atas kesalahan yang sama sekali tak dilakukannya.

Lelaki itu menghela nafas besar, seolah hal itu akan meringankan perasaannya. Tapi tidak. Itu sama sekali tidak membantu. Sementara adiknya masih saja berdiam diri. Ia hanya keluar kamar seperlunya, tanpa menghiraukan kehadiran kakaknya.

“Leo…” Harry membuka pintu kamar adiknya yang sedikit terbuka. Adiknya sama sekali tak mengarahkan pandangannya pada sesosok lelaki gagah yang tengah berdiri dan memegang gagang pintu. Leo masih memandang laptop miliknya sambil mengetik sesuatu.

“Leo, aku ingin bicara padamu.” Harry melangkah, mendekati adiknya yang tengah sibuk pada hal di hadapannya. “Sampai kapan kau akan mendiamkanku? Aku tahu selama ini aku salah.”

“Maaf, aku sedang sibuk. Bisakah kau keluar dari kamarku?” Kata Leo sinis tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya.

Harry terdiam. Ia memahami kemarahan Leo. Ingatannya memutar kembali pada beberapa kejadian masa lalu tepat ketika ia menghina Trisia di hadapan semua orang. Harry memutar langkahnya, keluar dari kamar itu dan menutup kembali pintu di belakangnya. Harry kembali melangkah menuju kamarnya. Kemudian pintu berdebam dengan keras di belakang Harry, menerbangkan debu-debu halus disekitarnya.

Ia melonggarkan dasinya, kemudian menjatuhkan diri pada ranjang berukuran besar miliknya. Tangannya memijit pelan pangkal hidungnya, sementara pandangannya menatap lurus pada langi-langit kamarnya yang berwarna putih. Matanya menerawang jauh kejadian beberapa waktu lalu, saat Harry mulai menyadari bahwa perasaannya pada Trisia telah berubah. Setiap malam ia hanya berpikir bagaimana bisa ia jatuh cinta pada anak dari seorang wanita yang telah menghancurkan keluarganya, hingga ia memutuskan untuk mencari tahu kebenarannya.

“Kebenarannya, wanita itu hanyalah sahabat ayahmu.”

Kalimat itu terngiang-ngiang di telinga Harry, di satu sisi hal itu membuatnya sangat merasa bersalah, namun di sisi lain ia lega, karena perasaannya pada Trisia bukanlah semacam cinta terlarang. Namun seketika hatinya hancur mengetahui kenyataan lain bahwa gadis pujaannya itu ternyata telah menjalin hubungan dengan adiknya sendiri. Kemarahannya justru semakin menjadi. Alih-alih cemburu, ia justru semakin menyakiti hati gadis itu.

Kali ini tak akan ada kesempatan kedua untuknya. Dan itu pantas. Ia pantas menerimanya setelah segala kesalahan yang telah ia lakukan pada gadis itu. Setelah menghela napas besar yang membuatnya sesak, sebuah keputusan akan segera diambilnya. Tak ada pilihan lain selain merelakannya. Ia harus menebus kesalahannya dengan membahagiakan adik yang disayanginya bersama gadis yang dicintainya.
***

Kini ia tahu segalanya. Kebenaran yang di satu sisi membuatnya teramat bahagia, namun di sisi lain begitu membuatnya marah. Ya, ia teramat marah pada kakak yang disayanginya. Lelaki itu telah menghina gadis yang dicintainya. Bahkan sangat ia ingat kekerasan yang dilakukan kakaknya pada Trisia. Leo menutup laptopnya yang sedari tadi ditatapnya dengan pandangan kosong. Ponsel di sampingnya berbunyi, sebuah pesan dari Trisia sedikit mengurangi amarahnya.

Sayang, bisakah kau tidak lagi menghukum kakakmu? Dia terlihat sangat frustasi.

Tidak! Batin Leo. Trisia sama sekali tak membantu meredakan amarahnya. Pesan dari gadisnya justru seolah menyiram bensin pada api yang menyala. Dengan geram, Leo melempar ponselnya hingga membentur dinding.

Leo memacu langkahnya untuk segera keluar dari rumahnya. Sudah beberapa hari ini ia benar-benar butuh pelepasan untuk kemarahannya.

“Leo, tunggu.” Harry menahan tangan Leo agar adiknya mau mendengarkannya. Hening, tak ada jawaban dari Leo. Bahkan lelaki itu enggan menoleh ke belakang untuk sekedar menatap wajah kakaknya.

“Leo, aku ingin bicara denganmu.”

“Katakan dengan cepat.” Ujar Leo ketus.

“Aku ingin minta maaf padamu. Aku memang bersalah padamu dan pada… Trisia. Ini hanya kesalah pahaman. Kau tak akan tahu bagaimana rasanya melihat ibu yang bersimbah darah di hadapanmu. Ketakutan itu sungguh tak bisa kuhilangkan hingga detik ini. Kemudian aku ingin membalas segalanya, dan Trisia…”

“Ya. Dan Trisialah korban kesalah pahamanmu. Apa kau tak tahu betapa menderitanya dia? Dengan perlakuanmu, dengan kata-katamu. Dan kau hampir menghancurkan kami karena keegoisanmu.”

“Maaf, aku…” Belum sempat Harry menyelesaikan kata-katanya, Leo menyentak tangannya hingga terlepas dari genggaman Harry. Ia sungguh tak tahan lagi. Ia harus segera pergi atau kepalanya akan benar-benar meledak.
***

Tidak ada balasan dari kekasihnya. Trisia membolak balik ponselnya dengan cemas. Ini sudah hampir tiga jam, bahkan telpon Trisia pun tak tersambung, tidak seperti biasanya. Apa yang terjadi? Batin Trisia. Beberapa kali ia ingin menghubungi Harry, namun keinginaan itu ia pendam.

Ini sudah hampir malam, tak juga ada kabar dari Leo hingga membuatnya benar-benar cemas. Akhirnya ia memutuskan untuk segera menghubungi Harry. Tepat sebelum ia menelpon Harry, sebuah panggilan dari Harry terpampang di layar ponselnya.

“Harry… Apa kau…”

“Tris, Leo kecelakaan…” Harry memotong kalimat Trisia. Trisia menutup mulutnya yang terbuka dengan sebelah tangannya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Jantungnya seolah hendak keluar melalui tenggorokannya. Ia ingin bertanya ada dimana Leo sekarang, namun suaranya mendadak hilang.

“Dia ada di rumah sakit, dia… kritis.” Kata terakhir diucapkan Harry dengan nada lemah. Ponsel Trisia lolos dari tangannya, Trisia segera berjingkat pergi tanpa mengganti pakaian rumah yang dikenakannya. Pikirannya benar-benar kacau. Sudah beberapa hari ini Leo menjadi pemarah. Namun siapa sangka akhirnya akan menjadi seperti ini.
***
Ia melihat gadis itu berlarian dengan rambutnya tergerai berantakan. Celana pendek dengan kaos yang sedikit longgar membungkus tubuh rampingnya dan sandal rumah pink berbentuk babi masih melekat di kakinya. Ia pergi tanpa mengganti pakaiannya.

“Harry, di mana Leo?” Tanya Trisia disela napasnya yang terengah. Air matanya tak berhenti mengalir.

“Dia… di ruang ICU, dokter sedang memeriksanya.” Ujar Harry dengan suaranya yang bergetar. Air matanya tak lagi mampu dipendam oleh lelaki itu hingga lolos membasahi wajahnya. Namun buru-buru ia mengelapnya kemudian bergegas menarik Trisia menuju ruang di mana Leo berada.

Mereka sampai tepat setelah dokter keluar dari ruangan tersebut.

“Bagaimana dengan Leo?” Tanya Harry pada dokter yang rambutnya sudah mulai beruban.

“Kritis, kami tak bisa menjamin apapun.”

“Apa yang kau katakan? Sembuhkan adikku atau aku akan menghabisimu, sialan!” Ancam Harry emosi sambil menggenggam krah baju dokter tersebut.

“Harry sudahlah.” Trisia mencoba menenangkannya. “Bisakah kami menjenguknya?”

“Hanya satu orang dan hanya lima menit.”

Trisia memandang Harry untuk meminta persetujuan, Harry melangkah menjauh dari pintu sebagai kode agar Trisia masuk.

Air mata Trisia tak mampu terbendung lagi saat menatap wajah kekasihnya yang nyaris tak mampu dikenali. Alat bantu pernapasan masih terpasang pada tubuh lelaki itu. Ia meraih tangan Leo yang terasa dingin. Trisia mendekat dan mencium kening Leo dan air matanya menetes membasahi kelopak mata lelaki itu. Seketika monitor di samping Trisia menunjukkan flat line yang membuat kepala Trisia seolah dijatuhi godam.

“Dokter tolong…” Teriak Trisia yang kemudian disusul oleh dokter dan beberapa perawat termasuk Harry.

“Selamatkan dia.” Pinta Trisia panik, kemudian suster memintanya keluar. Harry memeluk Trisia dengan erat, mencoba menenangkan gadis yang tengah histeris tersebut.

“Bagaimana ini Harry? Aku tak ingin berpisah dengan Leo.”

“Leo pasti selamat Tris, kita harus tetap berdoa.”

Tak lama kemudian, dokter keluar dengan wajah kecewa yang seketika membuat jantung Trisia seolah berhenti berdetak untuk sejenak. Dokter menggeleng membuat Trisia seketika limbung.
***

“Leo…” Ujar Trisia sambil membuka matanya. Sesaat kemudian Trisia menangis histeris menyadari kenyataan bahwa Leo telah pergi. Harry segera masuk ke dalam ruangan tempat Trisia terbaring.

“Trisia, sudah Tris…” Harry memeluk gadis itu kembali menenangkannya. Hatinya terasa sakit karena kepergian adiknya dan melihat betapa hancurnya hati Trisia, gadis yang dicintainya. Ia tak tahu lagi apa yang harus di lakukan. Tak ada lagi pilihan untuk Trisia dan Harry kecuali merelakan segalanya. Dan memulai kehidupan mereka masing-masing.