Jumat, 29 April 2016

Green Eyed - Chapter 1


Derap langkah kaki yang sangat terburu-buru terdengar jelas di telinga Evan setelah suara pintu yang terbating dengan keras, membuatnya berjingkat hingga menumpahkan sedikit kopi yang baru saja dibuatnya.

Ya Tuhan, kapan kebiasaan adiknya membanting pintu itu akan hilang.

Elena…” Panggil Evan tanpa sedikitpun mendapatkan perhatian dari adiknya yang menaiki tangga ke lantai dua dengan raut yang kacau dan berlari menuju kamarnya. Evan meletakkan cangkir kopi tersebut dan mengikuti adiknya.

“Ele...”

Brak. Terdengar kembali suara pintu yang di banting. Kali ini pintu kamar yang menjadi pelampiasannya.

Seperti biasa, mungkin ia bertengkar dengan pacar sialannya itu, pikir Evan. Siapa yang tidak kenal Jonathan Adam? Lelaki yang menempati jajaran teratas lelaki tampan yang mungkin bisa disejajarkan dengan Adam Levine atau Adam Young, mengingat nama mereka sama-sama memiliki ‘Adam’. Tak diragukan lagi prestasi Jonathan yang luar biasa dalam memikat gadis-gadis yang tak berdosa yang hanya berujung sebagai permainannya saja, dan anehnya gadis-gadis itu masih berebut untuk mencuri perhatiannya.

Elena, apa yang terjadi?” Evan mengetuk pintu bercat putih yang ada di hadapannya. Kemudian Evan menempelkan telinganya di pintu untuk mendengar ocehan adiknya.

Hening.

Biasanya hal pertama yang akan dilakukan adiknya setelah membanting pintu kamar adalah berteriak seperti orang gila kemudian membanting apapun yang dilihatnya. Ya, bakat pemarahnya tak perlu disangsikan lagi menurun dari siapa, ayahnya yang pemarah dipadukan dengan ibunya yang semaunya, menciptakan gadis bertempramen buruk semacam Elena.

“Elena, apa kau baik-baik saja?” Evan membuka pintu perlahan, mengintip adiknya melalui celah pintu yang terbuka. Ia hanya memastikan bahwa semuanya aman atau sesuatu akan terlempar ke arahnya jika ia membuka pintu begitu saja.

Dilihatnya gadis itu meringkuk di ranjangnya, memeluk kedua lututnya. Ada yang tidak beres, batin Evan. Evan melangkah mendekati adik kembarnya yang berbeda delapan menit darinya. Gadis itu menatap jendela di samping ranjangnya, wajahnya pucat dan pandangannya tampak kosong. 

“Hei, kenapa kau ini? Kau sakit?” Evan menyentuh kening adiknya. Dia tidak demam. Evan mengernyitkan dahi, tidak biasanya adiknya bertingkah seperti ini. Kemudian ia menggoyang lengan Elena untuk mendapatkan perhatian adiknya itu.

“Kenapa?” Ia menatap adiknya. Mata gadis itu mulai berkaca-kaca.

“A-aku… aku…” Ujar Elena gugup. Lidahnya kelu, tak mampu mengatakan apapun dari mulutnya. Yang pasti, ia berharap ini hanya mimpi buruk dan akan terbangun keesokan harinya.

Len, jangan membuatku takut.” Untuk beberapa saat Elena terdiam, kemudian bangun dan berhambur ke dalam pelukan Evan.

“Aku…aku... aku membunuh orang, kak. Apa yang harus kulakukan? A-Aku... aku akan dipenjara.” Teriak Elena histeris dan semakin erat memeluk lelaki yang merengkuhnya itu. Pelukan itu adalah pelukan ternyaman bagi Elena, bahkan mengalahkan pelukan ibunya.

Evan menjauhkan tubuhnya dari pelukan adik kembarnya itu dan mencengkeram erat kedua lengannya. “Apa maksudmu?” Suaranya meninggi, panik mendengar pengakuan Elena.

“Sembunyikan aku kak, aku tak ingin dipenjara. Tolong aku.”

“Apa… dia Jonathan?” Tanya Evan ragu menyebut nama kekasih adiknya yang terkenal seorang playboy dan disambut gelengan oleh Elena. Sejenak Evan bersyukur, tapi kelegaannya tak bertahan lama begitu cerita mengalir dari mulut Elena.

Evan mengumpat kesal mendengar cerita adiknya. Ia tahu adiknya salah, namun ia juga tak ingin gadis itu berakhir menjadi perawan tua yang membusuk di penjara. Ia mengusap rambutnya frustasi. Sementara adiknya meringkuk di bawah selimutnya tanpa berhenti menangis. Ini lebih buruk dari yang dibayangkannya. Evan meraih ponsel di sakunya, kemudian ia mencari sebuah nama di kontak ponselnya.

“Halo… Iya, aku butuh bantuanmu.”
•••
“Dimana mobilnya?” Tanya seorang lelaki yang mengenakan hoodie berwarna hitam yang langsung masuk bahkan sebelum Evan mempersilakan lelaki itu masuk.

Elena meninggalkan mobilnya di gang belakang Rachel’s Guesthouse setelah mengalami kecelakaan di jalanan dekat Sunshine Mall.”

“Apa adikmu sadar apa yang dia lakukan itu? Ceroboh.”

Nick, jangan mengatainya. Ini adalah saat yang sulit untuknya.”

Pembelaan Evan membuat Nico tertawa, “Aku tahu. Tapi adikmu itu memang benar-benar ceroboh. Sudahlah, aku akan mengurusnya.” Ujar Nick yang kemudian duduk di sofa sambil menggeser layar ponselnya untuk mencari sebuah nama pada kontak telponnya.

“Dan, ada mobil di belakang gang Rachel’s Guesthouse. Ganti plat nomornya sebelum kau membawanya dan tolong urus itu, jangan sampai ada urusan dengan polisi. Lalu coba kau cari tahu tentang korban kecelakaan di jalan raya sekitar Sunshine Mall.” Perintah Nico yang diyakini Evan ditujukan kepada kaki tangannya.

Di saat seperti ini Evan merasa sangat beruntung mengenal Nico. Meski terkadang ia kesal dengan sikapnya yang angkuh dan seenaknya.

Pertama kali Evan mengenalnya adalah tiga tahun yang lalu, ketika ia magang di sebuah perusahaan asing yang dijalankan sementara oleh Nico, anak pemilik perusahaan tersebut. Dalam beberapa hari, telinga Evan akrab dengan perintah konyol lelaki itu. Seharusnya Evan magang di bagian administrasi, tapi karena ia adalah satu-satunya pegawai magang di perusahaan itu, maka Nico menjahilinya dengan menjadikan dia pesuruh di perusahaan.

“Kenapa? Wajahmu seperti hampir saja mau menangis.” Ujar Nico terkekeh ketika menatap wajah Evan yang baru masuk setelah Nico memberinya tugas untuk membelikan jus jeruk dalam waktu lima menit di kantin perusahaan. Tentu saja dengan ancaman ia tak akan memberinya nilai bagus untuk nilai magangnya jika ia terlambat.

“Tidak pak. Saya baik-baik saja.” Jawab Evan nyaris putus asa.

“Wajahmu yang merona itu benar-benar manis. Seandainya kau adalah perempuan, aku akan menjadikanmu istriku. Sayangnya kita sejenis. Dan aku bukan penyuka sejenis.”

Tawa iblis itu benar-benar terngiang-ngiang di telinga Evan. Hingga saat magang berakhir dan nilai magang untuk kampusnya telah keluar, Evan mendatangi ruangan Nico dan mengumpatnya dengan kasar.

“Kau ini kenapa memandangiku seperti itu? Tak perlu berterima kasih padaku, Van. Aku akan mengurus semuanya. Adikmu akan baik-baik saja. Tolong ambilkan air. Astaga… rumahmu panas sekali.”

“Kau masih sama saja tuan besar. Tukang perintah!” Evan mendengus kesal.

“Van, bisakah aku bertemu adikmu itu? Aku perlu menanyainya beberapa pertanyaan.”

“Wawancara? Kurasa lebih baik kau menemuinya besok, dia sedang kacau, Nick.”

“Tidak… Ini masalah besar, Van. Kita tak punya banyak waktu. Bisa saja seseorang telah mencatat nomor plat mobilnya dan melaporkan adikmu ke polisi. Pikirkan itu.”

Evan mematung mendengar alasan masuk akal Nico. Bagaimanapun lelaki yang usianya empat tahun lebih tua darinya itu mungkin lebih tahu apa yang seharusnya dilakukan. Evan melangkah mengetuk pintu kamar Elena. Suara tangis Elena yang nyaris teriak terdengar jauh lebih jelas saat Evan membuka pintunya.

Len, ada yang ingin bertemu denganmu.”

“Aku tak ingin bertemu dengan siapapun, kak.”

Evan menatap Nico dengan tatapan kau-lihat-itu? namun Nico tampaknya tak terpengaruh dengan hal itu. Nico melangkah untuk mendekati Elena.

“Hai adik kecil, bagaimana kabarmu? Ayo bangunlah aku perlu bertanya sesuatu mengenai kecelakaan itu.”

“Kak!” Teriak Elena di balik selimutnya.

Elena, dia akan membantumu. Bangunlah, aku janji dia tak akan banyak bertanya.” Rayu kakaknya. Ya, itu juga demi kebaikan gadis itu.

“Kata siapa? Aku justru ingin menanyakan banyak hal pada adik kecilmu itu, Van.” Goda Nico ditengah suasana yang terasa kaku tersebut.

Nick…”

“Apa yang ingin kau tanyakan?” Tanya Elena ketus di balik selimutnya.

“Ayolah adik kecil, jangan jual mahal. Bangunlah, kecuali kau ingin mencoba merasakan sel penjara.”

Nick, jaga ucapanmu!” Evan sedikit membentak.

“Wow, kau menakutiku Evan.” Ujar Nico dengan nada yang dibuat-buat. “Cukup. Bangun adik kecil.”

“Iya iya, aku bangun! Kau benar-benar membuatku kepalaku pusing!”

Nico tak berhenti memandangi gadis di hadapannya begitu gadis itu menampakkan wajahnya. Rambut hitamnya tergerai berantakan, wajahnya memerah karena tak berhenti menangis sejak beberapa waktu yang lalu. Mata sembapnya membuat gadis itu hanya mampu membuka matanya beberapa mili. Dan lewat mata Nico, gadis itu tampak… seksi.

“Kau ingin tanya apa?” Elena mengerucutkan bibirnya kesal.

Nico masih tak berhenti memandanginya, bibir merah Elena tanpa polesan lipstik yang mengerucut kesal tampak menggemaskan. Ini baru pertama kalinya Nico bertemu dengan Elena namun ia tak menyangka bahwa gadis itu begitu mirip dengan dengan Evan, namun tentu saja gadis itu jauh lebih cantik dari Evan.

Nick…” Panggil Evan mencoba menyadarkan Nico yang tak berkedip memandangi adiknya. Di saat yang sama, Elena melempar bantal pada wajah Nico sekenanya untuk membuyarkan apapun yang ada dalam pikiran lelaki itu.

“Ada apa? Apa yang ingin kau tanyakan padaku?” Elena mengulangi pertanyaannya.

“Ah aku hanya ingin menanyakan kronologi kejadian itu. Apa kau yakin kaulah penyebabnya? Bukan sebuah kecelakaan tunggal? Jika kau bisa bicara jujur, aku berjanji akan membantumu.”

Gadis itu terdiam. Air mata kembali menggenang di matanya. Elena beringsut dari ranjangnya lalu mendekat dan berdiri di hadapan Nico. Gadis itu menggenggam kedua lengan Nico, menatap mata Nico dengan tajam dan penuh tekad.

“Siapapun kau, kau harus membantuku. Aku tak ingin masuk penjara. Sembunyikan aku.” Ujar Elena tegas dan memaksa.

Nico mengerutkan dahinya, terkejut dengan tingkah Elena yang bertolak belakang dengan kakaknya. “Kenapa aku harus menyembunyikanmu?”

“Karena. Kau. Harus!” Elena menegaskan setiap kata yang diucapkan tanpa mengalihkan pandangan pada lelaki di hadapannya. Tetapi sesaat kemudian ekspresi garangnya berubah, air mata kembali menggenangi matanya.

“Orang itu mengalami kecelakaan karena aku membelokkan mobilku secara tiba-tiba. Ini salahku. Mungkinkah orang itu meninggal? Apa yang harus kulakukan? Aku tidak mau dipenjara. Bagaimana jika polisi membawaku lalu mereka menyiksaku di sana?” Elena mengucapkannya dalam satu tarikan nafas. Ia mengacak rambutnya frustasi dan setengah berteriak.

Gadis itu tampak benar-benar kacau. Dalam hati, Nico ingin mendekapnya untuk memberi kekuatan pada gadis itu, namun Evan telah melemparkan tatapan jangan-sentuh-adikku untuk Nico di belakang Elena. Nico hanya membalas Evan dengan menyunggingkan senyuman jahil untuk lelaki itu.

“Tenanglah adik kecil, aku akan membantumu. Kupastikan kau tak akan tersentuh masalah apapun. Kau aman bersamaku.” Tak peduli dengan peringatan Evan, Nico mendekap tubuh gadis di hadapannya dan hal itu membuat tangisan Elena semakin keras.

Evan bergerak maju, menarik adiknya dari dekapan Nico.

“Sudahlah, hentikan tangisanmu adik kecil. Hatiku sungguh tersayat mendengar suara tangismu. Semua akan baik-baik saja. Aku berjanji.”

Pastikan itu. Jika kau tidak memenuhi janjimu untuk menyelamatkanku, aku akan membuat perhitungan denganmu.”

•••
Elena POV
Hati dan pikiranku sungguh campur aduk. Semuanya terjadi begitu cepat. Kesialan datang bertubi-tubi hari ini. Jonathan yang mengkhianatiku, polisi yang hendak menilangku, hingga kecelakaan nahas yang terjadi di depanku. Apa yang harus kulakukan? Jantungku rasanya berdetak terlalu kencang hingga seolah hendak keluar melewati tenggorokanku, perutku mulas, pikiranku kacau, hatiku kalut.

Tak ada lagi yang bisa kuandalkan kecuali Evan. Aku tak mungkin bercerita pada ayah yang sibuk berkeliling dunia. Apalagi ibu yang telah memiliki keluarga baru. Harapanku hanya ada pada Evan dan lelaki yang dia panggil siapa? Rick? Lick? Nick? Ah ya, Nick, mungkin begitu jika aku tak salah mendengarnya.

Sesaat aku sempat mengamati lelaki itu, Wajahnya tampan dengan pakaian kasualnya. Aku memang sedang dalam masalah yang cukup rumit yang mengganggu hati dan pikiranku, namun tidak dengan mataku. Mataku masih normal, mampu memutuskan bahwa Nick adalah lelaki yang tampan, meski mulutnya sangat menjengkelkan. 

Tidak. Ini bukan waktunya aku terpesona dengan lelaki itu. Aku harus memikirkan cara agar aku bisa keluar dari masalah ini. Jonathan bukan lagi menjadi prioritas utamaku. Satu-satunya yang kuharapkan saat ini adalah tak ada tuntutan yang akan mengirimku ke dalam sel penjara dan membusuk hingga menjadi perawan tua.

Pemikiran itu membuatku semakin kacau. Aku berteriak sekencang-kencangnya, dan tanpa sengaja mataku berserobok dengan sebuah foto. Jonathan Adam. Lelaki dalam foto itu tersenyum seolah mengolokku, membuat darahku mendidih. Kuraih foto itu dan kulempar hingga menjadi puing-puing yang berantakan.

Aku akan membalasmu!
•••
Nico POV
“Sudah kubilang jangan menyentuhnya bukan.” Evan melipat tangan di dadanya sambil menatapku geram. Sosok kakak yang posesif tampaknya.

“Adikmu cantik.”

“Aku tahu. Tapi tidak, Nick. Aku memang berhutang budi karena kau membantu adikku.  Tapi aku tak ingin kau menyentuhnya.

“Ayolah kak Evan, berikan aku kesempatan untuk membahagiakan adik kecilmu yang manis itu.” Aku sengaja memanggilnya ‘kak’ demi mendapatkan izin darinya. Kakak beradik itu sungguh menggemaskan.

“Tidak, dia baru saja tertimpa musibah yang cukup berat. Belum lagi mantan pacarnya yang itu tertangkap basah telah mengkhianatinya. Kau harus memahami situasi itu, tuan besar.”

“Aku tak akan pernah menyakitinya, Van.”

“Lalu bagaimana dengan Melina, Ariana, Bianka, Lolita, Diana, Stevy...” Evan mencoba mengabsen gadis-gadis yang pernah bersamaku.

“Cukup, semua itu masa lalu, Van. Aku sudah tak berhubungan lagi dengan mereka. Aku…” Belum sempat aku menyelesaikan penjelasanku, ponselku yang ada atas meja berdering. Nama dan foto Ariana terpampang pada layar yang berkedip di atas meja. Aku yakin Evan melihatnya karena letaknya lebih dekat dengan Evan dan aku tahu dia akan mengomeliku seperti ibu-ibu posesif yang melindungi anak gadisnya.

“Ini tidak seperti yang kau lihat.” Aku mencoba untuk membela diri. Sial! Kenapa Ariana harus menelponku di saat seperti ini!

“Angkat saja.”

“Tidak. Aku serius menginginkan adikmu dan aku bersumpah tak akan mengecewakannya.” Aku menghentikan pembelaanku, mencoba menebak-nebak apa yang akan dikatakan Evan. Tetapi di luar dugaan, ia sama sekali tak menghiraukanku. “Oke, aku akan pulang sekarang. Besok akan kuberi tahu perkembangan mengenai kasus ini.”

Aku melangkah keluar, kemudian memasuki mobilku. Ponselku kembali berteriak-teriak mencari perhatianku. Kuembuskan napas berat melalui mulutku. Sudah kuputuskan, aku akan meninggalkan mereka semua dan mendapatkan Elena secepatnya.

Bersambung...

Rabu, 27 April 2016

RabuRabuChallenge - Autumn Years



Dirimu duduk memeluk lutut di pinggiran geladak. Musim gugur akan segera pergi. Artinya, ini sudah hampir satu tahun dan tampaknya kau sama sekali belum merelakannya. Tak ada yang bisa kulakukan untukmu kecuali membiarkanmu menghabiskan waktu, memandangi matahari senja yang beringsut, bergerak perlahan, tenggelam dalam luasnya lautan yang berkilau.

“Sebaiknya kau masuk, nak, udaranya semakin dingin.” Kata seorang wanita renta yang melingkarkan sebuah selimut tipis pada tubuhku yang terasa dingin. Aku bahkan tak peduli. Bagiku tak ada yang membuatku lebih baik selain melihatmu. Melihatmu yang masih saja menenggelamkan pikiranmu tentang gadis itu. Gadis yang kau sangka adalah malaikatmu.

“Aku akan masuk setelah ini, nek. Terima kasih.” Aku tersenyum. Senyum terpaksa yang bahkan tak bisa menyentuh mataku. Aku sangat menghargai wanita renta ini. Dia sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Dia yang merawatku sejak aku kecil. Aku bahkan sama sekali tidak tahu bagaimana sosok orang tuaku.

“Baiklah. Aku akan menunggumu di dalam.” Ujar nenek yang kemudian meninggalkanku.

Pandanganku kembali terpaku padamu. Mungkin saja sedikit terbesit penyesalan dalam hatiku ketika merasakan perubahan sikapmu. Tapi kau harus tahu, aku tak akan sanggup melihat siapun menyakitimu. Aku mengeratkan selimut di sekeliling tubuhku, membiarkan rasa hangat perlahan menyentuh kulitku.

Beberapa menit selanjutnya, aku melihatmu berdiri, membuat kapal kecil itu terombang-ambing. Kau berbalik lalu melangkah menuju dermaga. Aku beringsut, melempar selimutku sembarangan, kemudian berlari menghampirimu, menghalau rasa dingin yang kian menusuk kulitku hanya sekedar untuk mendengar kembali suaramu.

“Kau baik-baik saja?” Aku mencoba mengeraskan suaraku yang bersaing dengan deburan ombak dan angin. Namun kau hanya melewatiku. Tanpa sekalipun kau coba untuk melirikku yang ada di hadapanmu. Tidakkah kau mengerti bagaimana perasaanku?

Sungguh dingin dan tajam.
Dirimu bagai sebilah pisau yang mampu mengoyak hatiku bahkan tanpa sebuah kata. Aku mengembuskan napasku, memejamkan mata dan mencoba meredam emosiku. Aku berbalik, berlari-lari kecil di belakangmu.

“Tunggu.” Bahkan sentuhan tangan kecilku pada jemarimu pun tak membuatmu menghentikan langkah untuk berbalik padaku. “Aku ingin bicara denganmu, Phy.”

Kau berhenti, dan aku tahu apa yang membuatmu berubah pikiran untukku. Aku tahu tak seorangpun yang akan kau izinkan memanggilmu seperti itu kecuali dia, kekasihmu. Maafkan, tapi aku sudah kehabisan cara. Aku tak ingin kau mengacuhkanku lagi.

“Jangan pernah kau memanggilku seperti itu!”

Aku tahu. Aku hanya ingin mencuri perhatianmu. Ini sudah nyaris satu tahun dan sedikitpun kau enggan membuang waktumu untuk memedulikanku.

 “Dia menyakitimu.” Teriakku yang mencoba menahan gumpalan air mata yang siap meluncur dari kedua mataku.

“Kau yang menyakitinya!” Sekali lagi, kalimat itu terasa jauh lebih dingin dari udara dingin musim gugur malam ini. Terlebih ketika kau berjalan meninggalkanku tanpa menoleh lagi padaku. Aku memeluk diriku, menatap nanar bayanganmu yang semakin menjauh, yang semakin tak terjangkau untukku.
***

“Kau tak punya hak mengaturku, Vero!”  Kalimat itu terus terngiang di telingaku. Kalimat yang diucapkan gadis itu sebelum meninggalkan Jesper, lelaki yang kucintai.

Aku memandangi beberapa foto yang terpajang di dinding kamarku. Jesper. Sejak kecil aku menyukainya. Bahkan di dindingku terpajang empat belas foto, mulai dari Jesper yang masih berusia sepuluh tahun hingga saat ini. Namun aku menyadari, bahwa aku memang tak akan bisa memilikinya meski kekasihnya telah meninggalkannya.

Memikirkannya membuat hatiku semakin sakit. Kesendirianku membuatku merasakan kesakitan yang lebih dalam, aku memeluk sebuah boneka koala yang pernah Jesper berikan padaku lima tahun yang lalu, saat ulang tahunku ke lima belas tahun. Menenggelamkan wajahku pada tubuh boneka itu.

Aku mendengar pintuku diketuk beberapa kali. Aku tak ingin siapapun menggangguku. Aku menenggelamkan tubuhku dalam selimut. Kudengar suara lemah nenekku membangunkanku untuk sarapan. Namun aku bergeming. Bahkan aku sudah tak tertarik untuk mengisi perutku.

“Vero, kumohon.” Pinta nenekku dengan suara lembutnya. Wanita itu tahu kelemahanku, dan tentu saja aku tak akan mampu mengecewakannya. Cukup sekali aku mengecewakannya dan aku bersumpah aku akan berbuat baik pada wanita itu.

Setelah melahap sedikit makanan itu, aku melangkah menuju balkon rumah. Mataku kembali menangkap bayangan lelaki itu. Lagi, ia duduk memeluk lututnya di tepi geladak, menatap lautan yang berkilauan memantulkan cahaya matahari. Aku mendesah, kali ini aku akan membuatnya diam dan mendengarkan penjelasanku.

Aku berjalan gontai menuju dermaga, melangkahkan kakiku menuju kapal kecil yang bergoyang-goyang mengikuti irama lautan. Aku melangkah tanpa membuat suara, kemudian duduk di sampingnya.

“Jesper, diam dan dengarkan penjelasanku.” Ujarku tegas. Ia tak melihatku—mungkin tak mendengarku, matanya masih menerawang jauh ke ujung langit yang bersatu dengan lautan. Aku menggigit bibirku, mencoba mengumpulkan kepercayaan diriku kembali.

“Jes,” aku kembali menyebut namanya, berharap dapat mencuri perhatian lelaki itu. Namun ia terdiam, membuat kepercayaan diriku menguap. “Aku tahu kau membenciku, tapi…”

“Kau mengerikan, Vero.” Nada dingin lelaki itu membekukan lidahku. Apa itu yang selama ini dia pikirkan tentangku?

“Aku mengerikan?” Aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang ia bicarakan sekarang.

“Ya,  kau gadis yang mengerikan. Kau bukan lagi Vero yang ku kenal.”

Aku tertegun mendengar ucapannya. Sesuatu di dadaku terasa sangat nyeri mendengar lelaki yang kucintai mengatakan itu padaku. Dia membenciku tanpa alasan. Apa semua ini karena Mady meninggalkannya?

“Kenapa?”

“Kau yang kenapa? Kau menyakiti Mady, Vero.”

“Aku hanya melindungimu Jes, dia menyakitimu, dia berselingkuh darimu.” Suaraku meninggi mendengar lelaki itu masih membela gadisnya—ralat, mantan gadisnya.

“Aku tahu. Tapi kau membunuhnya, Vero. Demi Tuhan, aku sama sekali tak menyangka kau bisa melakukan hal semengerikan itu. Dia kakakmu. Kakak kandungmu!”

Aku tertawa getir mendengarnya. Dia memang kakak kandungku, tapi gadis psikopat itu sama sekali tak bersikap layaknya seorang kakak. Ia pandai menciptakan kebohongan yang sempurna, dia senang melihatku tersiksa atas tindakannya menyakitiku. Dan lihat? Orang lain justru memandangku sebagai orang yang mengerikan.

“Silahkan kau bela perempuan gila itu. Dia menyakitimu, dia menyakitiku. Dan kau terus membelanya di hadapanku. Aku muak mendengarnya, Jesper. Seharusnya kucincang perempuan itu dan aku akan menjadikannya makanan ikan di laut ini.” Teriakku marah. Dadaku berdegup kencang. Sejak kematian Mady, aku tak pernah meluapkan emosiku seperti ini, dan hal ini membuatku sedikit lega.

“Lihat, kau sangat mengerikan, Vero. Kenapa bukan kau saja yang menjadi makanan ikan? Aku benci perempuan keji sepertimu!”

Kalimat itu bagai sebilah pisau yang menghunus tepat di jantungku. Itukah yang ia inginkan? Aku tersenyum kecut menatap lelaki yang memandangku dengan tatapan tajamnya. Aku melangkah mundur, hingga tubuhku menyentuh pagar besi pembatas kapal. Kemudian tanpa sepatah katapun aku melompat, meninggalkan semua kenanganku, meninggalkan cintaku, meninggalkan kehidupanku.
***
“Vero!” Sayup-sayup kudengar suara meneriakkan namaku. Aku terbatuk kemudian menyemburkan air yang membuat tenggorokanku terasa sakit.

“Vero, apa kau dengar aku?” Seseorang di hadapanku mencengkeram kedua lenganku. Aku mengernyit, mencoba memulihkan pandanganku yang terlihat kabur.

“Mady?”

“Vero, ya Tuhan. Ini aku Vero. Apa kau baik-baik saja?” Tanyanya. Mungkin telingaku tuli mengira bahwa pemilik suara maskulin itu adalah Mady. Mady bagaikan mimpi buruk yang membuatku ketakutan sepanjang hidupku. Hidup? Apa aku masih hidup sekarang?

“Vero, kau baik-baik saja?” Ia bertanya sekali lagi. Aku mengangguk pelan, kemudian ia merengkuhku ke dalam pelukannya.

“Maafkan aku, Vero. Harusnya aku tak mengatakan hal itu padamu.”

Jesper meminta maaf padaku?

 “Jesper,” Aku menyebut namanya dengan nada sepelan mungkin. Aku tidak yakin dia adalah Jesper, mengingat setahun belakangan ini dia bahkan sama sekali enggan berbicara maupun sekedar melihatku. Bahkan, itu adalah satu-satunya kalimat terpanjang yang ia ucapkan padaku setelah kepergian Mady.

“Maafkan aku, Vero. Jangan lakukan hal bodoh itu lagi. Aku tak mau kehilanganmu, Vero.”

Rengkuhan lelaki itu semakin erat, membuatku sadar bahwa ini bukanlah mimpi. Aku membalas pelukannya, mendekapnya dengan erat. Aku merindukan tubuh ini, aku merindukan Jesper.

“Jes, dengarkan aku.” Aku menelan ludahku yang terasa bagai duri. Tenggorokanku masih terasa sakit. Jesper mengangguk dalam diam.

“Saat itu juga musim gugur, malam hari ketika aku melihat Mady bersama lelaki lain. Mereka berciuman di tepi dermaga dan aku yakin lelaki itu bukan kau.” Aku diam sejenak, mengamati raut wajah Jesper yang tak dapat kuprediksi. Kemudian aku melanjutkan ceritaku, “setelah lelaki itu pergi, aku menghampiri Mady, aku bertanya padanya tentang lelaki itu…”

“Kau tak punya hak untuk mengaturku, Vero!” bentak Mady sambil melempar cermin kecil yang baru saja ia gunakan untuk berkaca saat memperbaiki lipstiknya. Cermin itu melesat, meninggalkan goresan di wajahku.

“Aku punya! Aku mencintai Jesper, dan kau baru saja mengecewakannya! Apa kau tak memikirkan perasaannya, Mady?”

“Kau masih mencintai kekasihku? Bukankah berkali-kali kuperingatkan padamu, princess, Phy hanya milikku.”

“Kau tidak mencintainya, Mad.”

“Untuk apa aku mencintainya? Dia hanya lelaki dungu dan aku masih membutuhkannya, princess. Jangan kau coba-coba mengambilnya dariku!”

Aku bisa melihat Mady memainkan pisau lipatnya. Sepatu hak tingginya beradu dengan jalanan dermaga, menambah kesan mengerikan dalam dinginnya musim gugur di malam hari. Mady terus melangkah maju, sementara aku mundur perlahan. Aku yakin gadis itu mulai berubah menjadi gadis gila yang siap menyakitiku seperti yang sudah-sudah. Aku segera berbalik, memilih untuk menyelamatkan diriku, namun tepat saat aku melangkah, Mady menggoreskan pisaunya di sepanjang punggungku hingga aku jatuh terjerembap, membuat luka di wajahku semakin terasa pedih.

Tidak sampai di situ, Mady menginjak punggungku dengan sepatunya, luka di punggungku semakin terasa nyata. Aku menggigit bibirku, mencoba menahan sakit dan mencari celah untuk menggulingkan Mady. Lalu kesempatan itu datang, membuatku bangkit dan menendang tulang kering Mady hingga ia terjatuh.

“Kau mengerikan Mady!”

“Kenapa, sayang? Kau takut? Atau kau ingin merasakan dinginnya benda ini di tubuhmu lagi, princess?” Mady tersenyum sambil menggesekkan pisaunya di ujung dermaga. “Jangan takut, ini tidak akan sakit. Dan setelah urusanku selesai, aku akan mengirim Phy untuk menyusulmu nanti.” Suara Mady sangat mengerikan, tawanya menggelegar, membuatku merinding. Jesper? Tidak akan kubiarkan siapapun menyakiti lelaki itu. Aku menendang wajah Mady hingga gadis itu tersungkur. Kemudian aku meraih pisaunya dan menikam gadis itu tepat di jantungnya.

Kenyataan seolah menamparku. Aku membunuh kakakku sendiri. Aku mengedarkan pandanganku di sekeliling tempatku berdiri. Berharap tak seorangpun akan melihatku. Kemudian aku menyeret tubuh Mady dan membuangnya ke lautan.

“Lalu aku meraih ember di sekitar perahu pukat yang terdekat denganku dan aku menyiram bekas darah Mady. Lalu aku lari.”

“Aku melihatmu menikamnya, lalu menceburkannya ke laut.” Ujar Jesper dengan suara serak. “Sejak itu aku merasa dirimu berubah. Kau menjadi gadis yang mengerikan. Mengingatnya membuatku ingin muntah.”

“Aku memang mengerikan.” Aku tertawa getir kemudian melepaskan genggaman tangan Jesper. Namun Jesper kembali meraih tanganku.

“Tetapi sejak dulu, tak pernah sedetikpun aku berhenti mencintaimu.”
***

Kau mencintaiku?

Sampai detik ini pengakuanmu masih menjadi pertanyaan besar dalam hatiku untukmu, Jesper. Aku selalu ingin tahu mengapa kau mencintaiku, namun kau memilih bersama Mady dan menghancurkan hatiku. Menghancurkan persahabatan kita. Tapi aku memilih diam. Aku memilih menikmati kebahagiaan ini, meski pada akhirnya kebahagiaan itu semu.

“Mady mengancam akan menyakitimu jika aku tak bersamanya. Aku tahu gadis itu sudah gila, namun kau menciptakan kegilaan yang membuatku mual.”

Aku tersenyum mengingat kenyataan kau menyakitiku demi menyelamatkanku. Mendengarnya sendiri dari mulutmu membuat perasaanku jauh lebih tenang. Aku melangkah terburu-buru menuju dermaga, hatiku memaksa untuk segera bertemu denganmu.


Aku menyelipkan anak rambut yang menghalangi pandanganku di belakang telingaku. Aku melihat dirimu duduk memeluk lutut di pinggiran geladak, memandang lautan luas yang berkilauan, sama seperti dirimu yang terlihat berkilauan di mataku. Namun kali ini kau menoleh padaku, kau tersenyum hangat padaku.

TAMAT