Akhirnya, selamat datang
di chapter terakhir Orange Sunset! \(^o^
ANGIN berembus lembut, menerpa pohon kelapa yang berderet
di sepanjang pantai. Suara gemersuk beradu dengan suara deburan ombak yang
memanjakan telinga. Pasir pantai tampak berkilauan terkena sinar matahari di
langit yang biru cerah.
Dua pasang sejoli duduk berjajar di tepi pantai. Para
gadis duduk berdampingan, diapit lelaki yang ada di sisi kanan dan kiri mereka.
Tidak ada yang berbicara. Semuanya sibuk menikmati pemandangan yang jarang
mereka temui sehari-hari. Apalagi selain mereka berempat, tidak ada lagi orang
di sana. Seolah ini adalah pantai pribadi milik mereka.
Seperti yang dikatakan Silvia kepada Rangga, hubungan
mereka akan kembali seperti semula. Rangga akan kembali ke sisinya, dan
persahabatannya dengan Jihan tetap utuh seolah kejadian di hari reuni itu tidak
pernah terjadi. Lalu bagaimana dengan Julian? Ia tidak terlalu peduli dengan
koki tampan yang satu itu. Yang dipikirkannya hanya satu: Rangga akan belajar
mencintainya. Itu sudah cukup. Tidak perlu lagi ia memikirkan lelaki lain.
Sudah satu minggu ini Silvia tidak hadir di kantor. Itu
membuat Jihan menjadi pusat perhatian di antara rekan kerjanya. Banyak dari
mereka menanyakan perihal absennya Silvia. Jihan tidak memiliki jawaban lain
selain mengatakan bahwa ia juga tidak tahu. Beruntung, kepala divisi mereka
tidak menanyakan hal tersebut sama sekali. Walaupun Jihan merasa sedikit heran.
Lama tidak bertemu Silvia yang biasa dilihatnya setiap
hari, menumpuk perasaan rindu di hati Jihan. Tadi ketika mereka akhirnya
bertemu, hal pertama yang ingin dilakukannya adalah memeluk Silvia dan
berterima kasih karena gadis itu bersedia memaafkannya. Tetapi Jihan tahu diri,
mengingat Silvia yang terus mengabaikan pesan dan panggilan darinya. Maka, ia
menahan keinginan tersebut dan hanya menyapa Silvia dengan senyum. Silvia
memang balas tersenyum dan membalas sapaannya dengan ramah. Tetapi ia tidak
tahu bagaimana perasaan gadis itu sesungguhnya. Luka seperti apa yang
disembunyikan di balik senyuman itu.
Walaupun mereka semua duduk berdampingan seperti
sekarang, tetapi Jihan sadar bahwa semuanya tidak baik-baik saja. Rangga memang
tersenyum, Silvia juga tertawa, tetapi tidak sedikit pun dari semua ekspresi
itu yang menyentuh mata mereka. Semua seperti sandiwara yang menyisakan
perasaan canggung di udara. Kecuali Julian tentu saja. Seperti biasa, lelaki
itu masih mampu menebarkan senyumnya yang sehangat matahari.
“Jihan, kau tidak bosan duduk terus seperti ini?” tanya
Julian dengan wajah cemberut.
“Eh?” Jihan menoleh dengan kening mengernyit. Masih
bingung karena lamunannya yang mendadak buyar.
“Kau tidak ingin berjalan-jalan?” Julian mempertegas
maksudnya.
Jihan tidak langsung menjawab. Entah mengapa sejak tadi
ia menangkap aura mengintimidasi dari Silvia yang duduk di sampingnya. Itu
membuatnya tidak berani memutuskan apa pun tanpa persetujuan dari Silvia.
“Tidak apa-apa. Pergi saja.”
Kepala Jihan langsung bergerak menghadap Silvia saat
mendengar gadis itu membantunya menjawab.
“Aku dan Rangga juga berniat untuk jalan-jalan berdua,”
tambah Silvia dengan senyum palsunya. Gadis itu menoleh pada Rangga yang duduk
di sisi kirinya. “Benar, kan?”
Rangga mengangguk. Senyum tipis yang kurang tulus
menghias wajah lelaki itu. Ia menunjuk kamera yang sejak tadi menggantung di
lehernya. “Aku kemari juga ingin berburu senja.”
“Baiklah kalau begitu.” Julian bangkit dari duduknya,
menepuk-nepuk celana selututnya yang bertaburan pasir pantai. “Ayo, Jihan.”
Jihan mengangguk dan ikut berdiri. Ia melambaikan tangan
berpamitan kepada Rangga dan Silvia, sebelum akhirnya menyejajarkan langkahnya
di samping Julian. Silvia membalasnya dengan mengangguk dan tersenyum.
Sementara Rangga menatapnya dengan sedih, membuat hatinya terasa perih. Seolah
itu adalah pertemuan mereka yang terakhir kalinya.
***
“Jadi, begini saja akhirnya?” tanya Julian tanpa pendahuluan
apa pun.
Jihan mengangkat wajahnya lalu memandang Julian yang
duduk di hadapannya dengan dengan alis terangkat. Saat ini mereka sedang duduk
di sebuah kedai di tepi pantai yang menyediakan kelapa muda.
“Apa maksudnya?”
“Kau dan Rangga.” Julian mengaduk-aduk kelapa mudanya
menggunakan sedotan. “Aku kira kalian berdua akan berakhir dengan sebuah happy ending.”
Jihan menelan ludah. Ia kembali menunduk dan menyeruput
kelapa mudanya, baru kemudian menjawab. Susah payah, ia menyunggingkan senyum.
“Happy ending itu berlaku untuk kisah
Rangga dan Silvia.”
Ini pertama kalinya Julian membahas tentang hubungannya
dengan Rangga dan Silvia. Sejak lelaki itu menarik Jihan pergi di acara reuni
itu, tidak pernah sekali pun Julian membahas tentang apa yang terjadi. Seolah lelaki
itu sudah mengetahui segalanya tanpa perlu bertanya. Atau memang sama sekali
merasa tidak tertarik.
“Apa menurutmu mereka benar-benar bahagia?”
Mungkin tidak. “Mereka
pasti bahagia.” Jihan tersenyum masam. “Mungkin awalnya sulit. Setelah apa yang
mereka alami karena aku. Tapi pasti mereka akan bahagia... nanti.”
“Lalu, apa kau sendiri bahagia?”
Kali ini, Jihan tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan
pandangan ke arah pantai yang tampak lebih tenang dari sebelumnya. Dengan
sengaja menghindari sepasang mata Julian.
“Ya. Aku bahagia,” jawab Jihan dengan suara bergetar.
“Jangan sok tegar begitu. Menangis saja jika memang
perlu.”
Alis Jihan langsung bertautan mendengar kata-kata Julian.
Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Tetapi sekuat tenaga ia menggigit bibirnya,
mencegah agar air matanya tidak mengalir.
Sebelumnya Jihan sudah pernah kehilangan Rangga. Dan
sekarang ia tidak ingin kehilangan Silvia juga dengan alasan yang sama. Bagi
Jihan saat ini, persahabatan jauh lebih penting daripada hubungan percintaan
dengan siapa pun di dunia.
***
Senja sudah nyaris menelan semua cahaya ketika Jihan dan
Julian kembali ke tempat mobil yang membawa mereka terparkir. Dari kejauhan,
Jihan bisa melihat Rangga dan Silvia sedang bercengkerama. Punggung pasangan
itu bersandar santai pada pintu belakang mobil. Kepala mereka menengadah pada
langit. Gemintang mulai menunjukkan kilaunya di atas langit yang menghitam.
Rangga langsung menoleh begitu menyadari kedatangan Jihan
dan Julian. Ia mengatakan sesuatu kepada Silvia, lalu beranjak masuk ke kursi
pengemudi. Silvia hendak mengikuti lelaki itu memasuki mobil, tetapi suara
Jihan menahan gerakannya untuk membuka pintu.
“Silvia, ini untukmu.” Jihan mengulurkan tangannya yang
tergenggam.
Silvia membuka lebar telapak tangannya di bawah genggaman
Jihan. Sesuatu menyentuh kulit telapak tangan Silvia begitu Jihan membuka genggamannya. Kening Silvia
mengernyit samar mencoba menerka.
Begitu tangan Jihan tidak lagi menutupi pandangannya,
Silvia terkesiap hebat. Matanya terbelalak dengan ekspresi yang mengeras.
“Cantik, kan?” tanya Jihan sambil tersenyum. Belum
menyadari perubahan raut wajah Silvia yang tersembunyi di bawah cahaya temaram.
“Tadi aku menemukannya di tepi pantai. Dan aku langsung teringat padamu.”
Silvia hanya bisa menatap bergantian pada Jihan dan sekeping
cangkang kerang berwarna lembayung yang tergeletak di tangannya.
“Kenapa?” Ekspresi Jihan berubah cemas. Ia baru menyadari
wajah Silvia yang pias seperti baru melihat hantu. “Kau tidak suka, ya?”
Silvia mengangkat wajahnya yang cepat-cepat mengganti
ekspresi. Segelintir senyum berkumpul di bibirnya. “Aku suka, kok. Terima
kasih, ya.”
***
Silvia membenamkan wajahnya ke telapak tangan. Kedua
sikunya bertumpu pada meja di hadapannya. Kertas-kertas yang bertumpuk di atas
meja menuntut perhatian dari Silvia. Tetapi gadis itu sepertinya tidak peduli.
Kepalanya dipenuhi kata-kata Rangga saat ia menemani lelaki itu berburu senja
di pantai tempo hari.
‘Ceritakan tentang dirimu,’ pinta Silvia. ‘Aku ingin
lebih mengenalmu.’
‘Tentang apa?’ tanya Rangga tanpa menjauhkan wajahnya
dari balik kameranya.
‘Apa saja.’ Silvia mencoba memikirkan sebuah pertanyaan. ‘Misalnya
makanan kesukaanmu?’
Rangga bergumam sambil menekan tombol kameranya beberapa
kali. ‘Tidak ada yang spesial. Oh, tapi aku paling suka masakan Julian,’ jawab
Rangga lantas terkekeh. ‘Walaupun dia cerewet setengah mati.”
Silvia ikut tertawa setuju mendengar jawaban Rangga
sebelum kemudian ia melontarkan pertanyaan lain. ‘Bagaimana dengan cinta
pertamamu? Gadis seperti apa dia?’
Saat itu, gerakan tangan Rangga langsung terhenti begitu
saja. Lelaki itu menjauh dari kameranya. Sekilas matanya berserobok dengan
pandangan Silvia yang menatapnya tanpa ekspresi berarti. Kemudian ia menegakkan
tubuhnnya menghadap ke arah langit yang membara jingga.
‘Aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri.’ Rangga memulai
ceritanya. Matanya menerawang jauh ke tempat yang tidak bisa dijangkau Silvia. ‘Di
hari kelulusan kami dari SMA, aku menyatakan perasaanku. Saat itu sedang senja,
sama seperti sekarang.’
Kening Silvia mengernyit. Entah mengapa ia merasa
familier dengan cerita ini. Hingga tanpa sadar, gadis itu menahan napasnya
sambil menunggu Rangga melanjutkan ceritanya.
‘Aku ditolak tentu saja. Dia menganggap pernyataan
cintaku hanya sebuah lelucon. Tidak lebih dari gurauan kami sehari-hari.’
Rangga melantunkan tawa untuk dirinya sendiri. ‘Aku tidak menyalahkannya.
Selama ini aku memang tidak pernah memperlakukan dia sebagai seorang gadis yang
kucintai. Jadi, wajar saja jika dia terkejut.
‘Aku juga terkejut. Tidak menyangka akan mendapat
tanggapan seperti itu. Padahal, kan, menyatakan perasaan itu tidak semudah memasak
mi instan. Aku tersinggung dan meninggalkan dia begitu saja. Lalu, hubungan
kami terputus karena ternyata dia pindah ke luar kota.’ Rangga kembali
mendenguskan tawa hambar di tengah ceritanya. ‘Ah, betapa bodohnya.’
Silvia hanya terdiam. Ia tahu benar siapa gadis yang
diceritakan Rangga. Kepalanya tertunduk. Kedua mata menatap sekumpulan pasir
yang membenamkan kakinya. Andai saja pasir-pasir ini bisa menghisapnya hingga
lenyap dari sini.
‘Silvia?’ Suara Rangga terdengar cemas saat menyadari
keheningan Silvia. ‘Maaf, kalau ceritaku tidak menarik.’
‘Bukan.’ Silvia menggeleng, masih dengan kepala
tertunduk. Tidak berani menatap Rangga. ‘Mataku hanya sedikit pedih terkena
angin pantai.’
“Kau ingin kita kembali ke mobil sekarang?’ tawar Rangga
penuh perhatian.
Silvia mengangguk setuju. Mereka berdua berjalan
beriringan menjauhi tepi pantai.
‘Oh, iya,’ gumam Rangga sambil merogoh saku celana
pendeknya, lalu menyerahkan sesuatu kepada gadis yang berjalan di sampingnya. ‘Ini
untukmu, Silvia. Semoga bisa membuatmu kembali tersenyum.’
Saat itu pipi Silvia langsung tersipu tentu saja. Hadiah
yang diberikan Rangga memang sederhana. Hanya sekeping cangkang kerang berwarna
lembayung. Tetapi ia menatapnya seolah itu adalah mutiara paling indah di
dunia. Ia bahagia karena Rangga memikirkannya.
Silvia menyingkirkan tangan yang menutupi wajahnya.
Membiarkan matanya memandang nanar pada sepasang cangkang kerang berwarna
lembayung yang tergeletak di atas meja kerjanya. Kedua cangkang itu saling
cocok satu sama lain. Begitu pantas disandingkan. Seperti sepasang sayap dewa
cinta.
Oh, mengapa ia bisa bertindak seegois ini? Ia tega
mengorbankan perasaan dua orang yang saling mencintai. Hanya demi dirinya
sendiri yang tidak tahu apa-apa. Tetapi terus menerus merasa sebagai
satu-satunya yang tersakiti.
Sekarang Silvia menyadari benar bahwa sejak awal ia hanya
berperan sebagai cupid bagi Jihan dan
Rangga. Pertemuannya dengan Rangga adalah jalan yang tercipta agar Jihan dan
Rangga bisa kembali bersama.
Silvia terkesiap dari lamunannya saat dering telepon
mengusik pendengarannya.
***
Jihan memandang hampa ke bilik kerja di sampingnya. Kursi
itu masih saja kosong ditinggalkan penghuninya. Komputer yang ada di atas meja
bahkan tampak kesepian. Ia menghela napas berat saat menyadari bahwa Silvia
tidak datang lagi hari ini. Dan itu berarti hubungan mereka memang tidak bisa
kembali seperti sedia kala.
Dan semua itu karena kesalahannya.
Perhatian Jihan kembali ke layar komputer di hadapannya. Ia
harus kembali fokus bekerja. Setelah kehilangan sahabat dan lelaki yang
dicintainya, tentu saja ia tidak ingin kehilangan pekerjaannya juga.
Sangat sulit rasanya mengerjakan sesuatu dengan
pikirannya yang kusut. Ingin rasanya ia mengunjungi rumah Silvia. Tetapi jika
panggilan telepon dan pesan singkatnya saja diabaikan oleh Silvia, ia sangsi
gadis itu mau menerima kehadiran Jihan di rumahnya.
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka dengan kasar.
Jihan dan seluruh rekan kerja yang berada satu ruangan dengannya menoleh secara
bersamaan.
Saat melihat siapa yang membuka pintu, seketika itu Jihan
langsung bangkit dari kursi kerjanya. Matanya mengerjap tidak percaya. Silvia
memasuki ruangan itu dengan langkah-langkah lebar.
“Ayo, ikut aku,” ucap Silvia singkat. Nadanya terdengar
memerintah.
“Eh?” gumam Jihan linglung. Ia menatap bergantian pada
Silvia dan layar komputernya yang menyala.
“Matikan komputermu,” perintah Silvia saat menyadari
kebingungan Jihan. “Kita harus bergegas.”
Jihan menelan ludah. Bagaimana mungkin ia mengikuti
Silvia begitu saja? Bisa-bisa kepala divisinya meledakkan amarah kepada mereka
berdua. Apalagi Silvia muncul tiba-tiba setelah absen dari kantor selama
seminggu.
Tepat saat itulah pintu ruangan keramat itu terbuka.
Kepala divisinya muncul dengan raut wajah kesal yang mendadak langsung menampilkan
senyuman kaku. Pria berdahi lebar itu menganggukkan kepalanya. Jihan tidak
mengerti apa arti anggukkan itu. Tetapi sedetik kemudian ia menurut saja saat
Silvia menarik pergelangan tangannya, membawanya meninggalkan pekerjaan
menumpuk di atas meja.
***
Sedan hitam mewah meluncur pergi meninggalkan area perkantoran.
Jihan dan Silvia duduk di kursi penumpang belakang. Seorang lelaki muda dengan
setelan jas yang rapi, duduk di samping sopir
yang mengendalikan mobil.
Ada banyak pertanyaan yang berputar-putar dalam benak
Jihan. Tetapi tidak sedikit pun ia berani bersuara. Ia hanya bisa memerhatikan
penampilan Silvia yang mengenakan setelan blazer dan rok span berwarna kelabu.
Blus putih di balik blazernya, tampak pas dengan kulit Silvia. Rambut Silvia
digelung tinggi seperti biasa. Sedikit kurang rapi karena beberapa helai rambut
tampak lepas dari ikatan.
“Ada meeting
yang harus Anda hadiri setelah ini, Nona Silvia.” Tetapi lelaki muda yang duduk
di depan bersuara, memecah keheningan yang menyesakkan di dalam mobil.
Jihan mengernyit bingung. Apa ia tidak salah dengar?
Mengapa orang ini memanggil Silvia dengan sebutan ‘nona’?
Silvia menghela napasnya dengan kesal. “Sudah kukatakan, batalkan
jadwalku untuk tiga jam ke depan.”
“Tapi, meeting kali
ini....”
“Ck, lakukan
saja,” tukas Silvia tidak terbantahkan.
Lelaki itu mengangguk pasrah dan mulai sibuk berbicara
melalui ponselnya.
“Silvia, apa kau sudah pindah bekerja?” Jihan tidak bisa
menahan diri untuk bertanya.
Silvia menggeleng. “Kita tetap bekerja di gedung yang sama.
Hanya saja aku pindah ke lantai atas.”
“Kau... naik jabatan?” tanya Jihan dengan mata
berkedip-kedip senang sekaligus tidak percaya. Melihat Silvia yang didampingi
asisten pribadi, sepertinya jabatan Silvia saat ini jauh lebih tinggi dari
sebelumnya.
Kepala Silvia mengangguk perlahan. “Sudah saatnya aku menempati
posisi Presiden Direktur seperti yang diminta ayahku.”
Apa katanya tadi? Jihan menatap Silvia yang berekspresi datar. Sementara ia kebingungan
dengan mulut ternganga lebar.
“Ayahku adalah pemilik perusahaan tempat kita bekerja.
Sejak lama aku sudah dipersiapkan untuk menempati posisi itu tapi aku menolak.
Aku ingin melihat langsung cara bekerja para karyawan sebelum aku memimpin
mereka. Ayahku setuju dan aku sengaja menjadikan ini sebagai rahasia.” Silvia
mengembuskan napas panjang. “Tapi itu tidak penting sekarang.”
Jihan membasahi bibirnya yang terasa kering. Jadi, selama
ini ia berteman dengan seorang anak dari pemilik perusahaan? Astaga, itu
berarti seharusnya Silvia memiliki wewenang untuk menendangnya keluar dari
perusahaan kapan pun diinginkan. Tetapi Silvia yang baik tidak melakukan itu.
Sekali pun Jihan sudah menyakitinya.
“Apa kau tahu jika Rangga akan pergi ke luar negeri?”
Belum sempat memahami dengan baik penjelasan singkat
Silvia, sebuah kejutan lain menghantam kening Jihan. Ia hanya mampu
menggelengkan kepala untuk menjawab Silvia.
“Sudah kuduga.” Silvia menghela napas berat. “Tadi Julian
meneleponku. Dia juga meneleponmu tapi sama sekali tidak aktif.”
Cepat-cepat Jihan merogoh tasnya. Begitu mendapatkan
ponselnya, ia mendapati benda itu dalam keadaan off. Jihan merutuki kebodohannya sendiri.
“K-kenapa Rangga pergi?” tanya Jihan setenang mungkin.
Tidak ingin menunjukkan kesedihannya pada Silvia.
“Sepertinya dia ingin menghindariku.” Silvia memperlihatkan
senyum masam yang membuat jantung Jihan seperti ditusuk jarum.
“Kalian bertengkar?”
“Tidak.” Kesedihan langsung merambat cepat melumuri paras
cantik Silvia. “Tapi aku mengakhiri hubungan kami.”
Apa-apaan itu? Urat protes mencuat di kening Jihan. Ia
sudah mengorbankan perasaannya tetapi Rangga dan Silvia malah
menyia-nyiakannya. Bahkan lelaki itu berniat melarikan diri ke luar negeri.
“Saat itu aku sengaja mengajak kalian berlibur ke pantai.
Aku ingin menunjukkan padamu bahwa Rangga memilihku. Bahwa aku sudah menang
darimu.” Silvia memandang Jihan dengan mata berkaca-kaca yang merefleksikan
perasaan berdosa. “Tetapi aku sangat menyesal begitu menyadari siapa lelaki
senjamu itu.”
Wajah Jihan pias seketika. Cepat atau lambat Silvia pasti
akan mengetahuinya.
“M-maaf.”
“Seharusnya aku yang meminta maaf.” Kening Silvia
berkerut sedih. Cepat-cepat ia memeluk Jihan untuk menutupi air matanya yang
menetes. “Aku minta maaf karena sudah membuat kalian menderita karena
keegoisanku.”
Jihan membalas pelukan Silvia dengan erat. Air mata juga
perlahan merembes di pipi gadis itu. “Aku memang tidak bisa menjadi sahabat
yang baik untukmu.”
“Kau sahabat terbaikku,” balas Silvia dengan suara bergetar
yang tertahan. “Aku tidak ingin persahabatan kita putus.”
“Aku juga.”
“Kita sudah sampai di bandara internasional, Non.”
Mendengar suara sopirnya yang seperti tidak mengerti
suasana, Silvia langsung melepas pelukannya. Ia dan Jihan langsung bertukar
tawa di sela-sela isakan. Entah karena perasaan lega atau sekadar menertawakan make-up mereka yang luntur karena air
mata. Membuat dua orang yang duduk di depan saling memandang kebingungan.
“Kejarlah Rangga,” kata Silvia sambil menyerahkan
selembar kertas kepada Jihan. “Cegah dia agar tidak jadi berangkat.”
Jihan memandang lekat-lekat kertas dalam genggamannya.
Tertulis nama penerbangan dan jam keberangkatan pesawat yang akan ditumpangi
Rangga. Ia yakin informasi ini didapat Silvia dari Julian.
“Maaf sudah membuat kalian berdua menderita karena aku.
Sudah cukup kalian berpisah selama ini,” ucap Silvia lantas memberikan pelukan
terakhir kepada Jihan sebelum melepas sahabatnya turun dari mobil.
***
Kepala Jihan bergerak lebih cepat untuk mencari. Matanya
lebih tajam daripada elang yang siap memangsa tikus yang bersembunyi di bawah
tanah. Ia berusaha menemukan sosok Rangga di tengah suasana bandara yang hibuk.
Tepat saat itulah, sosok yang dicari Jihan menjelma nyata.
Lelaki itu baru saja turun dari taksi di depan bandara. Sebuah carrier yang tampak penuh menempel di
punggungnya. Sementara tangan lelaki itu menenteng koper kecil berwarna hitam
seperti parka yang dikenakannya.
Jihan tidak percaya Rangga benar-benar akan pergi
meninggalkannya. Maka ia memacu cepat langkahnya. Tidak peduli pada hak sepatu
kerjanya yang meraung protes. Ia hanya ingin segera berada di hadapan lelaki
itu, berharap kehadirannya akan membuat Rangga mengurungkan niatnya.
Tetapi begitu Jihan berdiri di hadapan Rangga, tidak
sepatah kata pun meluncur dari bibirnya. Begitu juga dengan lelaki itu yang
menatapnya dengan mata terbelalak. Mereka terdiam cukup lama hingga Jihan
berharap waktu berhenti saat ini.
“Apa-apaan wajahmu itu?” Rangga berkomentar tiba-tiba.
Seulas tawa kecil melompat dari bibirnya. “Bukan hanya pemilihan warna kutekmu
yang lucu. Caramu memakai make-up
juga tidak biasa.”
Jihan tidak peduli. Benar-benar tidak peduli. Entah
bagaimana rupanya saat ini. Seburuk apa pun penampilannya sekarang. Ia hanya perlu melangkahkan kakinya perlahan
semakin dekat dengan Rangga.
“Apa benar kau akan pergi?” tanya Jihan begitu ia hanya
berjarak setengah meter dari tempat Rangga berdiri.
Tolong katakan tidak. Jihan masih berharap di dalam hati.
“Iya,” jawab Rangga ringan sambil tersenyum. “Aku
berencana akan mengirimimu surel begitu tiba di tempat tujuanku.”
Hati Jihan mencelus begitu mendengar jawaban Rangga. Apa
hanya ia yang merasa sedih di sini?
“Apa ini karena... aku?”
Rangga menggelengkan kepalanya. “Ini bukan karena
siapa-siapa. Aku pergi karena aku memang ingin pergi. Kau tahu, kan, sejak dulu
aku selalu ingin memotret senja di seluruh dunia.”
“K-kalau begitu, ajak aku,” ucap Jihan perlahan. Setengah
mati menekan perasaan malunya. “Aku juga ingin melihat senja bersamamu.”
“Kau sedang panik dan tidak bisa berpikir jernih, Jihan.”
Rangga tertawa kecil. “Aku ragu kau tidak akan menyesalinya nanti.”
Jantung Jihan seperti tertusuk ribuan pedang saat
mendengar penolakan itu. Padahal Rangga pernah berkata bahwa hanya Jihan yang
dicintainya. Padahal akhirnya mereka bisa benar-benar bersama. Padahal mereka
tidak perlu lagi menyembunyikan perasaan. Tetapi ini yang hadir di hadapan
Jihan?
Rangga akan pergi jauh meninggalkannya.
Kepala Jihan tertunduk dalam. Gumpalan air mata di
pelupuk matanya tidak kuasa menahan beban. Berkali-kali ia mengigit bibirnya
untuk meredam perasaannya. Tetapi semakin ia mencoba, semakin sulit dirinya
untuk bertahan. Hingga akhirnya isakan demi isakan melompat bebas ke udara.
Hanya dengan melihat bahu Jihan yang bergetar, Rangga
tahu gadis itu menangis. Ingin rasanya ia membatalkan keberangkatannya dan
tinggal di sini, menghapus air mata gadis itu. Tetapi ia tidak mungkin
melakukan hal itu. Maka, ia merentangkan tangannya dan menarik Jihan ke dalam
dekapannya. Tidak peduli pada tatapan mata orang-orang yang memerhatikan
mereka. Hanya itu yang bisa dilakukannya saat ini.
Dengan penuh kelembutan, Rangga mengusap punggung Jihan.
Pipinya menempel di puncak kepala gadis itu. Ia tidak mengatakan apa pun. Hanya
menunggu dengan sabar hingga gadis dalam dekapannya merasa tenang.
“Semoga di lain waktu kita akan dipertemukan dalam
keadaan yang lebih baik,” bisik Rangga di rambut Jihan.
Perlahan, Rangga membebaskan Jihan dari pelukannya. Ia
melakukannya dengan sangat hati-hati. Seolah Jihan adalah benda rapuh yang akan
hancur hanya dengan embusan napas.
“Aku pergi dulu, ya,” pamit Rangga sambil menenteng
kembali tasnya dari lantai bandara.
Aku mohon jangan pergi. Sekuat tenaga Jihan ingin meneriakkan kalimat itu. Tetapi bibirnya seolah
bisu, menolak untuk bersuara. Ia hanya bisa terus berharap dalam hati dan
membiarkan Rangga melemparkan senyum perpisahan. Kemudian lelaki itu melangkah
cepat menjauhi Jihan, meninggalkan gadis itu dengan perasaan yang berantakan.
Begitu punggung Rangga menghilang di pintu keberangkatan,
tangis Jihan kembali pecah.
***
Tidak sedetik pun Rangga menoleh. Sekuat tenaga lelaki
itu mengendalikan dirinya untuk tidak membalikkan tubuhnya. Ia tahu bahwa jika
ia kembali melihat Jihan, tidak akan ada kesempatan baginya untuk pergi.
Hatinya akan memilih untuk menetap di sisi gadis itu.
Rangga sangat yakin dengan keputusannya kali ini. Hanya
ini yang bisa dilakukannya sekarang. Ia sudah mengecewakan kedua orang tuanya,
juga Silvia dan kedua orang tua gadis itu. Dan yang terburuk ia sudah menyakiti
perasaan Jihan. Ia terlalu memaksakan kehendaknya pada gadis yang dicintainya.
Pergi adalah satu-satunya pilihan yang dimiliki Rangga.
Sekali pun ia harus mengakui bahwa apa yang dikatakan Julian tentangnya itu
benar. Ia memang tidak lebih dari seorang bajingan yang pengecut.
Rangga menarik napasnya dengan susah payah. Dalam hati,
ia berharap Jihan akan selalu bahagia. Dan semoga mereka bisa bertemu kembali
suatu hari nanti. Tetapi sekarang mereka memang sebaiknya saling melepaskan
diri ke arah yang berbeda.
Entah berapa jauh jarak senja yang kini memisahkan
mereka.
Selanjutnya di Orange Sunset (Epilog)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D