Dirimu duduk memeluk lutut di pinggiran geladak. Musim gugur akan segera pergi. Artinya, ini sudah hampir satu tahun dan tampaknya kau sama sekali belum merelakannya. Tak ada yang bisa kulakukan untukmu kecuali membiarkanmu menghabiskan waktu, memandangi matahari senja yang beringsut, bergerak perlahan, tenggelam dalam luasnya lautan yang berkilau.
“Sebaiknya
kau masuk, nak, udaranya semakin dingin.” Kata seorang wanita renta yang
melingkarkan sebuah selimut tipis pada tubuhku yang terasa dingin. Aku bahkan
tak peduli. Bagiku tak ada yang membuatku lebih baik selain melihatmu. Melihatmu
yang masih saja menenggelamkan pikiranmu tentang gadis itu. Gadis yang kau
sangka adalah malaikatmu.
“Aku
akan masuk setelah ini, nek. Terima kasih.” Aku tersenyum. Senyum terpaksa yang
bahkan tak bisa menyentuh mataku. Aku sangat menghargai wanita renta ini. Dia
sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Dia yang merawatku sejak aku kecil. Aku
bahkan sama sekali tidak tahu bagaimana sosok orang tuaku.
“Baiklah.
Aku akan menunggumu di dalam.” Ujar nenek yang kemudian meninggalkanku.
Pandanganku
kembali terpaku padamu. Mungkin saja sedikit terbesit penyesalan dalam hatiku
ketika merasakan perubahan sikapmu. Tapi kau harus tahu, aku tak akan sanggup
melihat siapun menyakitimu. Aku mengeratkan selimut di sekeliling tubuhku,
membiarkan rasa hangat perlahan menyentuh kulitku.
Beberapa
menit selanjutnya, aku melihatmu berdiri, membuat kapal kecil itu terombang-ambing.
Kau berbalik lalu melangkah menuju dermaga. Aku beringsut, melempar selimutku
sembarangan, kemudian berlari menghampirimu, menghalau rasa dingin yang kian
menusuk kulitku hanya sekedar untuk mendengar kembali suaramu.
“Kau
baik-baik saja?” Aku mencoba mengeraskan suaraku yang bersaing dengan deburan
ombak dan angin. Namun kau hanya melewatiku. Tanpa sekalipun kau coba untuk
melirikku yang ada di hadapanmu. Tidakkah kau mengerti bagaimana perasaanku?
Sungguh dingin dan tajam.
Dirimu
bagai sebilah pisau yang mampu mengoyak hatiku bahkan tanpa sebuah kata. Aku
mengembuskan napasku, memejamkan mata dan mencoba meredam emosiku. Aku
berbalik, berlari-lari kecil di belakangmu.
“Tunggu.”
Bahkan sentuhan tangan kecilku pada jemarimu pun tak membuatmu menghentikan
langkah untuk berbalik padaku. “Aku ingin bicara denganmu, Phy.”
Kau
berhenti, dan aku tahu apa yang membuatmu berubah pikiran untukku. Aku tahu tak
seorangpun yang akan kau izinkan memanggilmu seperti itu kecuali dia, kekasihmu.
Maafkan, tapi aku sudah kehabisan cara. Aku tak ingin kau mengacuhkanku lagi.
“Jangan
pernah kau memanggilku seperti itu!”
Aku tahu. Aku hanya ingin mencuri perhatianmu. Ini sudah
nyaris satu tahun dan sedikitpun kau enggan membuang waktumu untuk
memedulikanku.
“Dia menyakitimu.” Teriakku
yang mencoba menahan gumpalan air mata yang siap meluncur dari kedua mataku.
“Kau
yang menyakitinya!” Sekali lagi, kalimat itu terasa jauh lebih dingin dari
udara dingin musim gugur malam ini. Terlebih ketika kau berjalan meninggalkanku
tanpa menoleh lagi padaku. Aku memeluk diriku, menatap nanar bayanganmu yang
semakin menjauh, yang semakin tak terjangkau untukku.
***
“Kau tak punya hak
mengaturku, Vero!” Kalimat itu terus terngiang di telingaku.
Kalimat yang diucapkan gadis itu sebelum meninggalkan Jesper, lelaki yang
kucintai.
Aku
memandangi beberapa foto yang terpajang di dinding kamarku. Jesper. Sejak kecil aku menyukainya.
Bahkan di dindingku terpajang empat belas foto, mulai dari Jesper yang masih
berusia sepuluh tahun hingga saat ini. Namun aku menyadari, bahwa aku memang
tak akan bisa memilikinya meski kekasihnya telah meninggalkannya.
Memikirkannya
membuat hatiku semakin sakit. Kesendirianku membuatku merasakan kesakitan yang
lebih dalam, aku memeluk sebuah boneka koala yang pernah Jesper berikan padaku lima
tahun yang lalu, saat ulang tahunku ke lima belas tahun. Menenggelamkan wajahku
pada tubuh boneka itu.
Aku
mendengar pintuku diketuk beberapa kali. Aku tak ingin siapapun menggangguku.
Aku menenggelamkan tubuhku dalam selimut. Kudengar suara lemah nenekku
membangunkanku untuk sarapan. Namun aku bergeming. Bahkan aku sudah tak
tertarik untuk mengisi perutku.
“Vero,
kumohon.” Pinta nenekku dengan suara lembutnya. Wanita itu tahu kelemahanku,
dan tentu saja aku tak akan mampu mengecewakannya. Cukup sekali aku
mengecewakannya dan aku bersumpah aku akan berbuat baik pada wanita itu.
Setelah
melahap sedikit makanan itu, aku melangkah menuju balkon rumah. Mataku kembali
menangkap bayangan lelaki itu. Lagi, ia duduk memeluk lututnya di tepi geladak,
menatap lautan yang berkilauan memantulkan cahaya matahari. Aku mendesah, kali
ini aku akan membuatnya diam dan mendengarkan penjelasanku.
Aku
berjalan gontai menuju dermaga, melangkahkan kakiku menuju kapal kecil yang
bergoyang-goyang mengikuti irama lautan. Aku melangkah tanpa membuat suara,
kemudian duduk di sampingnya.
“Jesper,
diam dan dengarkan penjelasanku.” Ujarku tegas. Ia tak melihatku—mungkin tak
mendengarku, matanya masih menerawang jauh ke ujung langit yang bersatu dengan
lautan. Aku menggigit bibirku, mencoba mengumpulkan kepercayaan diriku kembali.
“Jes,”
aku kembali menyebut namanya, berharap dapat mencuri perhatian lelaki itu.
Namun ia terdiam, membuat kepercayaan diriku menguap. “Aku tahu kau membenciku,
tapi…”
“Kau
mengerikan, Vero.” Nada dingin lelaki itu membekukan lidahku. Apa itu yang selama
ini dia pikirkan tentangku?
“Aku
mengerikan?” Aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang ia bicarakan
sekarang.
“Ya, kau gadis yang mengerikan. Kau bukan lagi Vero
yang ku kenal.”
Aku
tertegun mendengar ucapannya. Sesuatu di dadaku terasa sangat nyeri mendengar
lelaki yang kucintai mengatakan itu padaku. Dia membenciku tanpa alasan. Apa semua
ini karena Mady meninggalkannya?
“Kenapa?”
“Kau
yang kenapa? Kau menyakiti Mady, Vero.”
“Aku
hanya melindungimu Jes, dia menyakitimu, dia berselingkuh darimu.” Suaraku
meninggi mendengar lelaki itu masih membela gadisnya—ralat, mantan gadisnya.
“Aku
tahu. Tapi kau membunuhnya, Vero. Demi Tuhan, aku sama sekali tak menyangka kau
bisa melakukan hal semengerikan itu. Dia kakakmu. Kakak kandungmu!”
Aku
tertawa getir mendengarnya. Dia memang kakak kandungku, tapi gadis psikopat itu
sama sekali tak bersikap layaknya seorang kakak. Ia pandai menciptakan
kebohongan yang sempurna, dia senang melihatku tersiksa atas tindakannya
menyakitiku. Dan lihat? Orang lain justru memandangku sebagai orang yang
mengerikan.
“Silahkan
kau bela perempuan gila itu. Dia menyakitimu, dia menyakitiku. Dan kau terus
membelanya di hadapanku. Aku muak mendengarnya, Jesper. Seharusnya kucincang
perempuan itu dan aku akan menjadikannya makanan ikan di laut ini.” Teriakku
marah. Dadaku berdegup kencang. Sejak kematian Mady, aku tak pernah meluapkan
emosiku seperti ini, dan hal ini membuatku sedikit lega.
“Lihat,
kau sangat mengerikan, Vero. Kenapa bukan kau saja yang menjadi makanan ikan?
Aku benci perempuan keji sepertimu!”
Kalimat
itu bagai sebilah pisau yang menghunus tepat di jantungku. Itukah yang ia
inginkan? Aku tersenyum kecut menatap lelaki yang memandangku dengan tatapan
tajamnya. Aku melangkah mundur, hingga tubuhku menyentuh pagar besi pembatas
kapal. Kemudian tanpa sepatah katapun aku melompat, meninggalkan semua
kenanganku, meninggalkan cintaku, meninggalkan kehidupanku.
***
“Vero!”
Sayup-sayup kudengar suara meneriakkan namaku. Aku terbatuk kemudian
menyemburkan air yang membuat tenggorokanku terasa sakit.
“Vero,
apa kau dengar aku?” Seseorang di hadapanku mencengkeram kedua lenganku. Aku
mengernyit, mencoba memulihkan pandanganku yang terlihat kabur.
“Mady?”
“Vero,
ya Tuhan. Ini aku Vero. Apa kau baik-baik saja?” Tanyanya. Mungkin telingaku
tuli mengira bahwa pemilik suara maskulin itu adalah Mady. Mady bagaikan mimpi
buruk yang membuatku ketakutan sepanjang hidupku. Hidup? Apa aku masih hidup
sekarang?
“Vero,
kau baik-baik saja?” Ia bertanya sekali lagi. Aku mengangguk pelan, kemudian ia
merengkuhku ke dalam pelukannya.
“Maafkan
aku, Vero. Harusnya aku tak mengatakan hal itu padamu.”
Jesper meminta maaf padaku?
“Jesper,” Aku menyebut namanya dengan nada
sepelan mungkin. Aku tidak yakin dia adalah Jesper, mengingat setahun
belakangan ini dia bahkan sama sekali enggan berbicara maupun sekedar melihatku.
Bahkan, itu adalah satu-satunya kalimat terpanjang yang ia ucapkan padaku
setelah kepergian Mady.
“Maafkan
aku, Vero. Jangan lakukan hal bodoh itu lagi. Aku tak mau kehilanganmu, Vero.”
Rengkuhan
lelaki itu semakin erat, membuatku sadar bahwa ini bukanlah mimpi. Aku membalas
pelukannya, mendekapnya dengan erat. Aku merindukan tubuh ini, aku merindukan Jesper.
“Jes,
dengarkan aku.” Aku menelan ludahku yang terasa bagai duri. Tenggorokanku masih
terasa sakit. Jesper mengangguk dalam diam.
“Saat
itu juga musim gugur, malam hari ketika aku melihat Mady bersama lelaki lain.
Mereka berciuman di tepi dermaga dan aku yakin lelaki itu bukan kau.” Aku diam
sejenak, mengamati raut wajah Jesper yang tak dapat kuprediksi. Kemudian aku
melanjutkan ceritaku, “setelah lelaki itu pergi, aku menghampiri Mady, aku
bertanya padanya tentang lelaki itu…”
“Kau tak punya hak untuk mengaturku, Vero!”
bentak Mady sambil melempar cermin kecil yang baru saja ia gunakan untuk
berkaca saat memperbaiki lipstiknya. Cermin itu melesat, meninggalkan goresan
di wajahku.
“Aku punya! Aku mencintai Jesper, dan kau baru
saja mengecewakannya! Apa kau tak memikirkan perasaannya, Mady?”
“Kau masih mencintai kekasihku? Bukankah
berkali-kali kuperingatkan padamu, princess, Phy hanya milikku.”
“Kau tidak mencintainya, Mad.”
“Untuk apa aku mencintainya? Dia hanya lelaki
dungu dan aku masih membutuhkannya, princess. Jangan kau coba-coba mengambilnya
dariku!”
Aku bisa melihat Mady memainkan pisau lipatnya.
Sepatu hak tingginya beradu dengan jalanan dermaga, menambah kesan mengerikan
dalam dinginnya musim gugur di malam hari. Mady terus melangkah maju, sementara
aku mundur perlahan. Aku yakin gadis itu mulai berubah menjadi gadis gila yang siap
menyakitiku seperti yang sudah-sudah. Aku segera berbalik, memilih untuk
menyelamatkan diriku, namun tepat saat aku melangkah, Mady menggoreskan
pisaunya di sepanjang punggungku hingga aku jatuh terjerembap, membuat luka di
wajahku semakin terasa pedih.
Tidak sampai di situ, Mady menginjak punggungku
dengan sepatunya, luka di punggungku semakin terasa nyata. Aku menggigit
bibirku, mencoba menahan sakit dan mencari celah untuk menggulingkan Mady. Lalu
kesempatan itu datang, membuatku bangkit dan menendang tulang kering Mady
hingga ia terjatuh.
“Kau mengerikan Mady!”
“Kenapa, sayang? Kau takut? Atau kau ingin
merasakan dinginnya benda ini di tubuhmu lagi, princess?” Mady tersenyum sambil
menggesekkan pisaunya di ujung dermaga. “Jangan takut, ini tidak akan sakit. Dan
setelah urusanku selesai, aku akan mengirim Phy untuk menyusulmu nanti.” Suara
Mady sangat mengerikan, tawanya menggelegar, membuatku merinding. Jesper? Tidak
akan kubiarkan siapapun menyakiti lelaki itu. Aku menendang wajah Mady hingga
gadis itu tersungkur. Kemudian aku meraih pisaunya dan menikam gadis itu tepat
di jantungnya.
Kenyataan seolah menamparku. Aku membunuh
kakakku sendiri. Aku mengedarkan pandanganku di sekeliling tempatku berdiri.
Berharap tak seorangpun akan melihatku. Kemudian aku menyeret tubuh Mady dan
membuangnya ke lautan.
“Lalu
aku meraih ember di sekitar perahu pukat yang terdekat denganku dan aku
menyiram bekas darah Mady. Lalu aku lari.”
“Aku
melihatmu menikamnya, lalu menceburkannya ke laut.” Ujar Jesper dengan suara
serak. “Sejak itu aku merasa dirimu berubah. Kau menjadi gadis yang mengerikan.
Mengingatnya membuatku ingin muntah.”
“Aku
memang mengerikan.” Aku tertawa getir kemudian melepaskan genggaman tangan Jesper.
Namun Jesper kembali meraih tanganku.
“Tetapi
sejak dulu, tak pernah sedetikpun aku berhenti mencintaimu.”
***
Kau mencintaiku?
Sampai
detik ini pengakuanmu masih menjadi pertanyaan besar dalam hatiku untukmu, Jesper.
Aku selalu ingin tahu mengapa kau mencintaiku, namun kau memilih bersama Mady
dan menghancurkan hatiku. Menghancurkan persahabatan kita. Tapi aku memilih
diam. Aku memilih menikmati kebahagiaan ini, meski pada akhirnya kebahagiaan
itu semu.
“Mady mengancam akan menyakitimu jika aku tak
bersamanya. Aku tahu gadis itu sudah gila, namun kau menciptakan kegilaan yang
membuatku mual.”
Aku
tersenyum mengingat kenyataan kau menyakitiku demi menyelamatkanku. Mendengarnya
sendiri dari mulutmu membuat perasaanku jauh lebih tenang. Aku melangkah
terburu-buru menuju dermaga, hatiku memaksa untuk segera bertemu denganmu.
Aku
menyelipkan anak rambut yang menghalangi pandanganku di belakang telingaku. Aku
melihat dirimu duduk memeluk lutut di pinggiran geladak, memandang lautan luas
yang berkilauan, sama seperti dirimu yang terlihat berkilauan di mataku. Namun
kali ini kau menoleh padaku, kau tersenyum hangat padaku.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D