Rabu, 27 April 2016

RabuRabuChallenge - Autumn Years



Dirimu duduk memeluk lutut di pinggiran geladak. Musim gugur akan segera pergi. Artinya, ini sudah hampir satu tahun dan tampaknya kau sama sekali belum merelakannya. Tak ada yang bisa kulakukan untukmu kecuali membiarkanmu menghabiskan waktu, memandangi matahari senja yang beringsut, bergerak perlahan, tenggelam dalam luasnya lautan yang berkilau.

“Sebaiknya kau masuk, nak, udaranya semakin dingin.” Kata seorang wanita renta yang melingkarkan sebuah selimut tipis pada tubuhku yang terasa dingin. Aku bahkan tak peduli. Bagiku tak ada yang membuatku lebih baik selain melihatmu. Melihatmu yang masih saja menenggelamkan pikiranmu tentang gadis itu. Gadis yang kau sangka adalah malaikatmu.

“Aku akan masuk setelah ini, nek. Terima kasih.” Aku tersenyum. Senyum terpaksa yang bahkan tak bisa menyentuh mataku. Aku sangat menghargai wanita renta ini. Dia sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Dia yang merawatku sejak aku kecil. Aku bahkan sama sekali tidak tahu bagaimana sosok orang tuaku.

“Baiklah. Aku akan menunggumu di dalam.” Ujar nenek yang kemudian meninggalkanku.

Pandanganku kembali terpaku padamu. Mungkin saja sedikit terbesit penyesalan dalam hatiku ketika merasakan perubahan sikapmu. Tapi kau harus tahu, aku tak akan sanggup melihat siapun menyakitimu. Aku mengeratkan selimut di sekeliling tubuhku, membiarkan rasa hangat perlahan menyentuh kulitku.

Beberapa menit selanjutnya, aku melihatmu berdiri, membuat kapal kecil itu terombang-ambing. Kau berbalik lalu melangkah menuju dermaga. Aku beringsut, melempar selimutku sembarangan, kemudian berlari menghampirimu, menghalau rasa dingin yang kian menusuk kulitku hanya sekedar untuk mendengar kembali suaramu.

“Kau baik-baik saja?” Aku mencoba mengeraskan suaraku yang bersaing dengan deburan ombak dan angin. Namun kau hanya melewatiku. Tanpa sekalipun kau coba untuk melirikku yang ada di hadapanmu. Tidakkah kau mengerti bagaimana perasaanku?

Sungguh dingin dan tajam.
Dirimu bagai sebilah pisau yang mampu mengoyak hatiku bahkan tanpa sebuah kata. Aku mengembuskan napasku, memejamkan mata dan mencoba meredam emosiku. Aku berbalik, berlari-lari kecil di belakangmu.

“Tunggu.” Bahkan sentuhan tangan kecilku pada jemarimu pun tak membuatmu menghentikan langkah untuk berbalik padaku. “Aku ingin bicara denganmu, Phy.”

Kau berhenti, dan aku tahu apa yang membuatmu berubah pikiran untukku. Aku tahu tak seorangpun yang akan kau izinkan memanggilmu seperti itu kecuali dia, kekasihmu. Maafkan, tapi aku sudah kehabisan cara. Aku tak ingin kau mengacuhkanku lagi.

“Jangan pernah kau memanggilku seperti itu!”

Aku tahu. Aku hanya ingin mencuri perhatianmu. Ini sudah nyaris satu tahun dan sedikitpun kau enggan membuang waktumu untuk memedulikanku.

 “Dia menyakitimu.” Teriakku yang mencoba menahan gumpalan air mata yang siap meluncur dari kedua mataku.

“Kau yang menyakitinya!” Sekali lagi, kalimat itu terasa jauh lebih dingin dari udara dingin musim gugur malam ini. Terlebih ketika kau berjalan meninggalkanku tanpa menoleh lagi padaku. Aku memeluk diriku, menatap nanar bayanganmu yang semakin menjauh, yang semakin tak terjangkau untukku.
***

“Kau tak punya hak mengaturku, Vero!”  Kalimat itu terus terngiang di telingaku. Kalimat yang diucapkan gadis itu sebelum meninggalkan Jesper, lelaki yang kucintai.

Aku memandangi beberapa foto yang terpajang di dinding kamarku. Jesper. Sejak kecil aku menyukainya. Bahkan di dindingku terpajang empat belas foto, mulai dari Jesper yang masih berusia sepuluh tahun hingga saat ini. Namun aku menyadari, bahwa aku memang tak akan bisa memilikinya meski kekasihnya telah meninggalkannya.

Memikirkannya membuat hatiku semakin sakit. Kesendirianku membuatku merasakan kesakitan yang lebih dalam, aku memeluk sebuah boneka koala yang pernah Jesper berikan padaku lima tahun yang lalu, saat ulang tahunku ke lima belas tahun. Menenggelamkan wajahku pada tubuh boneka itu.

Aku mendengar pintuku diketuk beberapa kali. Aku tak ingin siapapun menggangguku. Aku menenggelamkan tubuhku dalam selimut. Kudengar suara lemah nenekku membangunkanku untuk sarapan. Namun aku bergeming. Bahkan aku sudah tak tertarik untuk mengisi perutku.

“Vero, kumohon.” Pinta nenekku dengan suara lembutnya. Wanita itu tahu kelemahanku, dan tentu saja aku tak akan mampu mengecewakannya. Cukup sekali aku mengecewakannya dan aku bersumpah aku akan berbuat baik pada wanita itu.

Setelah melahap sedikit makanan itu, aku melangkah menuju balkon rumah. Mataku kembali menangkap bayangan lelaki itu. Lagi, ia duduk memeluk lututnya di tepi geladak, menatap lautan yang berkilauan memantulkan cahaya matahari. Aku mendesah, kali ini aku akan membuatnya diam dan mendengarkan penjelasanku.

Aku berjalan gontai menuju dermaga, melangkahkan kakiku menuju kapal kecil yang bergoyang-goyang mengikuti irama lautan. Aku melangkah tanpa membuat suara, kemudian duduk di sampingnya.

“Jesper, diam dan dengarkan penjelasanku.” Ujarku tegas. Ia tak melihatku—mungkin tak mendengarku, matanya masih menerawang jauh ke ujung langit yang bersatu dengan lautan. Aku menggigit bibirku, mencoba mengumpulkan kepercayaan diriku kembali.

“Jes,” aku kembali menyebut namanya, berharap dapat mencuri perhatian lelaki itu. Namun ia terdiam, membuat kepercayaan diriku menguap. “Aku tahu kau membenciku, tapi…”

“Kau mengerikan, Vero.” Nada dingin lelaki itu membekukan lidahku. Apa itu yang selama ini dia pikirkan tentangku?

“Aku mengerikan?” Aku sama sekali tak mengerti apa yang sedang ia bicarakan sekarang.

“Ya,  kau gadis yang mengerikan. Kau bukan lagi Vero yang ku kenal.”

Aku tertegun mendengar ucapannya. Sesuatu di dadaku terasa sangat nyeri mendengar lelaki yang kucintai mengatakan itu padaku. Dia membenciku tanpa alasan. Apa semua ini karena Mady meninggalkannya?

“Kenapa?”

“Kau yang kenapa? Kau menyakiti Mady, Vero.”

“Aku hanya melindungimu Jes, dia menyakitimu, dia berselingkuh darimu.” Suaraku meninggi mendengar lelaki itu masih membela gadisnya—ralat, mantan gadisnya.

“Aku tahu. Tapi kau membunuhnya, Vero. Demi Tuhan, aku sama sekali tak menyangka kau bisa melakukan hal semengerikan itu. Dia kakakmu. Kakak kandungmu!”

Aku tertawa getir mendengarnya. Dia memang kakak kandungku, tapi gadis psikopat itu sama sekali tak bersikap layaknya seorang kakak. Ia pandai menciptakan kebohongan yang sempurna, dia senang melihatku tersiksa atas tindakannya menyakitiku. Dan lihat? Orang lain justru memandangku sebagai orang yang mengerikan.

“Silahkan kau bela perempuan gila itu. Dia menyakitimu, dia menyakitiku. Dan kau terus membelanya di hadapanku. Aku muak mendengarnya, Jesper. Seharusnya kucincang perempuan itu dan aku akan menjadikannya makanan ikan di laut ini.” Teriakku marah. Dadaku berdegup kencang. Sejak kematian Mady, aku tak pernah meluapkan emosiku seperti ini, dan hal ini membuatku sedikit lega.

“Lihat, kau sangat mengerikan, Vero. Kenapa bukan kau saja yang menjadi makanan ikan? Aku benci perempuan keji sepertimu!”

Kalimat itu bagai sebilah pisau yang menghunus tepat di jantungku. Itukah yang ia inginkan? Aku tersenyum kecut menatap lelaki yang memandangku dengan tatapan tajamnya. Aku melangkah mundur, hingga tubuhku menyentuh pagar besi pembatas kapal. Kemudian tanpa sepatah katapun aku melompat, meninggalkan semua kenanganku, meninggalkan cintaku, meninggalkan kehidupanku.
***
“Vero!” Sayup-sayup kudengar suara meneriakkan namaku. Aku terbatuk kemudian menyemburkan air yang membuat tenggorokanku terasa sakit.

“Vero, apa kau dengar aku?” Seseorang di hadapanku mencengkeram kedua lenganku. Aku mengernyit, mencoba memulihkan pandanganku yang terlihat kabur.

“Mady?”

“Vero, ya Tuhan. Ini aku Vero. Apa kau baik-baik saja?” Tanyanya. Mungkin telingaku tuli mengira bahwa pemilik suara maskulin itu adalah Mady. Mady bagaikan mimpi buruk yang membuatku ketakutan sepanjang hidupku. Hidup? Apa aku masih hidup sekarang?

“Vero, kau baik-baik saja?” Ia bertanya sekali lagi. Aku mengangguk pelan, kemudian ia merengkuhku ke dalam pelukannya.

“Maafkan aku, Vero. Harusnya aku tak mengatakan hal itu padamu.”

Jesper meminta maaf padaku?

 “Jesper,” Aku menyebut namanya dengan nada sepelan mungkin. Aku tidak yakin dia adalah Jesper, mengingat setahun belakangan ini dia bahkan sama sekali enggan berbicara maupun sekedar melihatku. Bahkan, itu adalah satu-satunya kalimat terpanjang yang ia ucapkan padaku setelah kepergian Mady.

“Maafkan aku, Vero. Jangan lakukan hal bodoh itu lagi. Aku tak mau kehilanganmu, Vero.”

Rengkuhan lelaki itu semakin erat, membuatku sadar bahwa ini bukanlah mimpi. Aku membalas pelukannya, mendekapnya dengan erat. Aku merindukan tubuh ini, aku merindukan Jesper.

“Jes, dengarkan aku.” Aku menelan ludahku yang terasa bagai duri. Tenggorokanku masih terasa sakit. Jesper mengangguk dalam diam.

“Saat itu juga musim gugur, malam hari ketika aku melihat Mady bersama lelaki lain. Mereka berciuman di tepi dermaga dan aku yakin lelaki itu bukan kau.” Aku diam sejenak, mengamati raut wajah Jesper yang tak dapat kuprediksi. Kemudian aku melanjutkan ceritaku, “setelah lelaki itu pergi, aku menghampiri Mady, aku bertanya padanya tentang lelaki itu…”

“Kau tak punya hak untuk mengaturku, Vero!” bentak Mady sambil melempar cermin kecil yang baru saja ia gunakan untuk berkaca saat memperbaiki lipstiknya. Cermin itu melesat, meninggalkan goresan di wajahku.

“Aku punya! Aku mencintai Jesper, dan kau baru saja mengecewakannya! Apa kau tak memikirkan perasaannya, Mady?”

“Kau masih mencintai kekasihku? Bukankah berkali-kali kuperingatkan padamu, princess, Phy hanya milikku.”

“Kau tidak mencintainya, Mad.”

“Untuk apa aku mencintainya? Dia hanya lelaki dungu dan aku masih membutuhkannya, princess. Jangan kau coba-coba mengambilnya dariku!”

Aku bisa melihat Mady memainkan pisau lipatnya. Sepatu hak tingginya beradu dengan jalanan dermaga, menambah kesan mengerikan dalam dinginnya musim gugur di malam hari. Mady terus melangkah maju, sementara aku mundur perlahan. Aku yakin gadis itu mulai berubah menjadi gadis gila yang siap menyakitiku seperti yang sudah-sudah. Aku segera berbalik, memilih untuk menyelamatkan diriku, namun tepat saat aku melangkah, Mady menggoreskan pisaunya di sepanjang punggungku hingga aku jatuh terjerembap, membuat luka di wajahku semakin terasa pedih.

Tidak sampai di situ, Mady menginjak punggungku dengan sepatunya, luka di punggungku semakin terasa nyata. Aku menggigit bibirku, mencoba menahan sakit dan mencari celah untuk menggulingkan Mady. Lalu kesempatan itu datang, membuatku bangkit dan menendang tulang kering Mady hingga ia terjatuh.

“Kau mengerikan Mady!”

“Kenapa, sayang? Kau takut? Atau kau ingin merasakan dinginnya benda ini di tubuhmu lagi, princess?” Mady tersenyum sambil menggesekkan pisaunya di ujung dermaga. “Jangan takut, ini tidak akan sakit. Dan setelah urusanku selesai, aku akan mengirim Phy untuk menyusulmu nanti.” Suara Mady sangat mengerikan, tawanya menggelegar, membuatku merinding. Jesper? Tidak akan kubiarkan siapapun menyakiti lelaki itu. Aku menendang wajah Mady hingga gadis itu tersungkur. Kemudian aku meraih pisaunya dan menikam gadis itu tepat di jantungnya.

Kenyataan seolah menamparku. Aku membunuh kakakku sendiri. Aku mengedarkan pandanganku di sekeliling tempatku berdiri. Berharap tak seorangpun akan melihatku. Kemudian aku menyeret tubuh Mady dan membuangnya ke lautan.

“Lalu aku meraih ember di sekitar perahu pukat yang terdekat denganku dan aku menyiram bekas darah Mady. Lalu aku lari.”

“Aku melihatmu menikamnya, lalu menceburkannya ke laut.” Ujar Jesper dengan suara serak. “Sejak itu aku merasa dirimu berubah. Kau menjadi gadis yang mengerikan. Mengingatnya membuatku ingin muntah.”

“Aku memang mengerikan.” Aku tertawa getir kemudian melepaskan genggaman tangan Jesper. Namun Jesper kembali meraih tanganku.

“Tetapi sejak dulu, tak pernah sedetikpun aku berhenti mencintaimu.”
***

Kau mencintaiku?

Sampai detik ini pengakuanmu masih menjadi pertanyaan besar dalam hatiku untukmu, Jesper. Aku selalu ingin tahu mengapa kau mencintaiku, namun kau memilih bersama Mady dan menghancurkan hatiku. Menghancurkan persahabatan kita. Tapi aku memilih diam. Aku memilih menikmati kebahagiaan ini, meski pada akhirnya kebahagiaan itu semu.

“Mady mengancam akan menyakitimu jika aku tak bersamanya. Aku tahu gadis itu sudah gila, namun kau menciptakan kegilaan yang membuatku mual.”

Aku tersenyum mengingat kenyataan kau menyakitiku demi menyelamatkanku. Mendengarnya sendiri dari mulutmu membuat perasaanku jauh lebih tenang. Aku melangkah terburu-buru menuju dermaga, hatiku memaksa untuk segera bertemu denganmu.


Aku menyelipkan anak rambut yang menghalangi pandanganku di belakang telingaku. Aku melihat dirimu duduk memeluk lutut di pinggiran geladak, memandang lautan luas yang berkilauan, sama seperti dirimu yang terlihat berkilauan di mataku. Namun kali ini kau menoleh padaku, kau tersenyum hangat padaku.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D