MEREKA datang sedikit terlambat. Rangga dan Silvia. Itu
semua karena Silvia berdandan terlalu lama tadi. Tetapi ia tidak terlalu
mempermasalahkan hal seperti itu. Ia hanya merasa gusar karena Jihan berangkat
lebih dahulu bersama Julian. Perlu diulang? Jihan pergi berdua Julian. Berdua.
Aula yang menjadi tempat berlangsungnya acara reuni itu
adalah aula yang sama di mana upacara kelulusannya dahulu dilaksanakan. Rangga
melewatkan bagian pembukaan acara. Semua orang berkumpul di samping meja bundar
bertaplak mengilap yang menyajikan berbagai macam makanan.
Beberapa teman lama Rangga langsung menyambutnya dan mengajaknya
bergabung dalam kelompok. Mereka menatap heran bercampur takjub ketika melihat
gadis yang mendampingi Rangga sore ini. Beberapa dari teman-teman berebut
mencoba mencari perhatian Silvia. Sementara Rangga sendiri merasa terbantu
dengan suasana itu. Ia jadi memiliki waktu untuk melepaskan pandangan ke
seluruh ruangan.
Tetapi... nihil. Tidak sedikit pun ia melihat sosok Jihan
mau pun Julian di aula itu. Mungkin ia harus mulai berkeliling.
Tepat saat itulah, salah seorang teman Rangga muncul di
sampingnya. Menghentikan langkah kakinya. “Hei, kau benar-benar beruntung,
Rangga. Bagaimana caranya kau bisa mendapatkan pacar secantik itu?”
“Siapa?” Rangga berusaha mengumpulkan fokusnya yang
terpecah sebelum menanggapi temannya. “Oh, maksudmu Silvia? Dia bukan pacarku.”
“Benarkah?” Mata temannya berkilat antusias. Dengan
pandangan yang seolah terkunci pada sosok Silvia. “Jadi, itu berarti aku boleh
mendekatinya? Dan kau tidak akan cemburu?”
Rangga mengangguk, lalu menggidikkan bahu. “Silakan
saja.”
“Kau yakin?” Tersirat keraguan yang mendalam di kata-kata
temannya.
Rangga menoleh dengan dahi mengernyit. “Tentu saja.
Kenapa?”
“Tidak apa-apa.” Temannya menggelengkan kepala, lalu
mulai berkata dengan perlahan. Mencoba mengumpulkan ingatan yang mungkin saja
memudar. “Hanya saja dulu kau sering berkata bahwa Jihan bukan pacarmu. Tapi
kau selalu berusaha menghalangi setiap lelaki yang mencoba mendekati Jihan.
Termasuk aku.”
Ah, benar juga! Jihan. Rangga kembali teringat untuk
mencari gadis itu, mengabaikan kalimat panjang yang diucapkan temannya.
Merasa diabaikan,
temannya mencoba menggeser sedikit topik pembicaraan. “Omong-omong tadi
sepertinya aku melihat Jihan datang bersama seorang lelaki. Aku cukup terkejut.
Begitu juga dengan yang lainnya. Semua mengira Jihan akan datang bersamamu—“
“Ke mana mereka pergi?
Jihan dan lelaki itu maksudku,” potong Rangga yang langsung mengedarkan
pandangannya kembali. Mencari.
Temannya itu setengah
hati menggerakkan dagu ke arah kerumunan di dekat panggung. Ia sedikit
tersinggung karena Rangga memotong kata-katanya. Padahal ini pertemuan pertama
mereka setelah sekian lama.
“Terima kasih,” ujar
Rangga sambil menepuk ringan bahu temannya. Lalu langkahnya mulai bergerak
menuju tempat yang ditunjuk temannya. Tidak sedikit pun ia merasa sempat untuk
menanggapi sapaan singkat teman-teman yang lain.
Tetapi Rangga langsung
dirundung perasaan kecewa. Ia sama sekali tidak melihat kehadiran Jihan di
sana. Gadis itu tidak ada di mana pun. Tidak di dekat meja makanan ala Italia.
Tidak di samping panggung. Tidak juga di tengah kerumunan. Hanya terlihat Julian
yang sedang mengobrol seru dengan tiga orang gadis di dekat pintu keluar.
Lalu, di mana Jihan?
Kening Rangga
mengernyit, berusaha menggali ingatannya dalam-dalam. Hingga tiba-tiba saja
kerutan di keningnya berpindah menjadi seringai di bibirnya. Sekarang ia tahu
ke mana harus mencari.
***
Kebanyakan orang
menyukai datang ke acara reuni. Di mana mereka bisa membanggakan kesuksesan di
masa sekarang atau sekadar bernostalgia dengan menceritakan masa lalu yang
terkadang menghadirkan tawa.
Berbeda dengan Jihan. Ia
tidak terlalu menyukai acara seperti itu. jadi ia memilih untuk menyingkir dari
ingar bingar di aula. Seperti dahulu. Di hari ia lulus dari sekolah ini.
Jihan pergi
mengendap-endap keluar dari kerumunan teman-temannya yang tampak ganas. Satu
persatu dari mereka seolah berniat meremukkan tulang-tulangnya dengan apa yang
mereka sebut pelukan. Beruntung, Julian dengan sigap langsung mengalihkan
perhatian para gadis itu. Sehingga ia bisa melarikan diri. Dalam hati Jihan
sangat bersyukur datang bersama Julian. Gadis mana yang bisa menolak senyuman
Julian yang sehangat matahari?
Perlahan Jihan membuka
pintu kelas yang tidak terkunci. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara
berderit. Ia berjalan menyusuri ruangan yang mulai disinari cahaya jingga. Ujung-ujung
jemarinya meraba dinding, meja, dan kursi. Meresapi setiap kenangan yang
membanjiri benaknya. Hingga akhirnya ia tiba di samping jendela yang menghadap
ke gerbang sekolah.
Jendela itu membingkai
pemandangan yang sangat melekat diingatannya. Tidak banyak yang berubah. Begitu
juga dengan perasaannya.
Cahaya matahari
berpendar menjadi warna jingga yang semakin pekat. Senja akan mempertunjukkan
kembali keindahannya hari ini. Keindahan warna yang serupa warna gaun yang
dikenakan Jihan.
Gaun itu adalah milik
Silvia. Gaun yang membuat Jihan jatuh cinta seketika saat pertama kali melihat
fotonya yang ditunjukkan sahabatnya tempo hari. Dan entah mengapa, Silvia
memberikan gaun itu untuk dikenakan Jihan hari ini. Jujur saja, ia terus
menerus merasa bersalah setiap kali menerima kebaikan hati Silvia.
Ah, siapa orang yang
tega menyakiti perasaan Silvia. Gadis secantik dan sebaik Silvia tidak pantas
mendapat perlakuan seperti itu. Jihan yakin ia tidak akan memaafkan dirinya
sendiri jika Silvia sampai terluka.
Terlebih jika ia yang
menjadi penyebabnya.
***
Dugaan Rangga tepat.
Gadis itu ada di sini.
Berdiri menghadap jendela besar di ruang kelas yang dahulu menjadi tempat
mereka menghabiskan banyak waktu selama masa sekolah. Cahaya matahari yang
semakin condong ke arah barat, menghujani gadis itu hingga sosoknya terlihat mengabur.
Hingga gadis itu tampak menyatu dengan warna jingga yang mengelilinginya.
Seulas senyum terukir di
bibir Rangga tanpa bisa dicegah. Bahkan hanya dengan melihat gadis itu seperti
ini, bisa membuat perasaannya jadi lebih baik. Tetapi ia jadi bertanya-tanya.
Apa benar ia akan terus bahagia hanya dengan menatap Jihan dari kejauhan? Tanpa
keinginan untuk saling memiliki.
“Jihan.”
Rangga menyebutkan nama
itu ke udara. Suaranya langsung menyentuh telinga gadis itu dengan lembut.
Jantung Rangga seolah berhenti berdegup saat gadis itu membalikkan tubuhnya
perlahan ke hadapannya.
Ekspresi gadis itu
terkesiap luar biasa. Tidak ada senyuman lebar atau pun raut heran seperti lima
tahun yang lalu. Tetapi Rangga tidak peduli. Baginya, Jihan adalah Jihan. Dan
ia ingin selalu mencintai Jihan apa adanya.
“Apa yang kau lakukan di
sini?” tanya Jihan dengan mata yang bergerak gusar, mencoba mencuri pandang ke
balik tubuh Rangga.
“Aku datang sendiri,”
jawab Rangga sambil melangkah masuk ke dalam kelas. Ia menggerakkan kepalanya
untuk memerhatikan suasana kelas yang mulai samar disinari warna senja. “Aku
hanya ingin melihat keadaan kelas yang kita tempati dulu.”
Kening Jihan mengernyit
rikuh. Tidak peduli pada kata-kata Rangga. “Di mana Silvia?”
“Ada di aula,” jawab
Rangga sekenanya.
“Kenapa kau
meninggalkannya sendirian?” Jihan berdecak kesal, lalu mengambil
langkah-langkah lebar berniat kembali ke aula.
Tetapi Rangga menentang
keras niat Jihan itu. Lelaki itu berdiri di ambang pintu, menghalangi jalannya.
Jihan menatap tajam ke arah Rangga yang kini berhadapan dengannya. Ia
benar-benar tidak mengerti apa yang diinginkan lelaki ini. Bukankah Rangga dan
Silvia sudah resmi bertunangan? Tinggal menunggu waktu hingga mereka resmi
mengikat janji sehidup-semati.
“Jangan pergi,” cegah
Rangga sambil menatap lembut ke arah Jihan. “Aku ke sini bukan ingin melihat
keadaan kelas. Aku sengaja mencarimu.”
“Kalau begitu, cepat
katakan saja apa urusanmu,” sahut Jihan ketus.
“Aku ingin menarik
kembali ucapan maafku tempo hari. Aku tidak akan meminta maaf karena sudah
menciummu,” ujar Rangga dengan ekspresi serius. Tatapannya lurus pada sepasang
manik hitam yang masih memandangnya tajam. “Aku melakukan itu karena aku
menginginkannya. Karena aku ingin mencium gadis yang kucintai.”
Jihan mendenguskan tawa
sinis. “Jaga bicaramu. Jangan mengumbar kata-kata cinta kepada gadis lain
sementara kau menjalin hubungan dengan Silvia.”
Rangga mengangkat
alisnya. “Aku tidak menjalin hubungan apa pun dengan Silvia.”
Kepala Jihan miring ke
kanan dengan skeptis. “Bukankah kalian pergi makan malam bersama orangtua....”
“Orangtuaku memang
sempat mengusulkan pernikahan, tapi aku menolaknya,” sela Rangga yang membuat
Jihan ternganga.
Oh, pantas saja. Jihan
mengerti sekarang.
Pantas saja Silvia tidak
pernah ribut membicarakan acara makan malamnya dengan Rangga. Padahal biasanya
sahabatnya itu selalu tampak tidak sabar untuk menceritakan apa pun yang
berhubungan dengan Rangga. Saat itu Jihan heran tentu saja. Tetapi ia memilih untuk
tidak bertanya. Bagaimanapun, di satu sisi ia juga merasa lega karena tidak
perlu mendengar cerita tentang mereka berdua.
Tetapi sekarang perasaan
lega itu malah menyerangnya terang-terangan. Perlahan menguap lalu menghadirkan
perasaan kurang nyaman di dalam hatinya. Perasaan itu menitik dan menyebar
cepat dalam hatinya saat wajah sedih Silvia selama sepekan terakhir berputar
kembali dalam benaknya. Betapa gadis itu jadi sering merenung. Juga jadi sering
melamun.
Nyaris sama seperti
dirinya. Dan Jihan menyesal karena terlambat menyadari itu. Ia terlalu sibuk
memikirkan perasaannnya sendiri. Hingga tidak memerhatikan perasaan Silvia yang
ada di dekatnya.
“Ada yang ingin
kutanyakan.” Suara rendah Rangga mencuri perhatian Jihan dari lamunannya. Ia memberi
jeda, menunggu gadis di hadapannya mendengarkan sepenuhnya.
Jihan melipat tangannya
di dada, mencoba terlihat defensif. Walaupun sesungguhnya ia ingin memeluk
lelaki ini dengan kedua lengannya. Udara di sekelilingnya semakin terasa berat
karena Rangga seperti sengaja membuatnya menunggu.
“Tolong jawab dengan
jujur.”
Akhirnya, Rangga
bersuara. Tetapi diikuti keheningan yang membuat Jihan menahan napas. Seolah ia
harus menunggu bertahun-tahun untuk mendengar lelaki itu melanjutkan
kata-katanya.
Rangga memandang
langsung pada kedua mata Jihan yang tampak menghindarinya. Ia mencari celah di
sana, mencoba menemukan kejujuran yang bersembunyi di bawah bayang-bayang
resah.
“Apa kau mencintaiku?”
tanya Rangga akhirnya. “Sama seperti aku mencintaimu?”
Jihan mengembuskan napas
yang sejak tadi ditahannya. Matanya terbelalak, sepasang matanya bergerak-gerak
resah mencari pengalih perhatian. Ia benar-benar tidak ingin mendengar
pertanyaan itu meluncur dari bibir Rangga.
“Kenapa kau menanyakan
hal seperti itu? Bagaimana dengan Silvia?”
“Jangan menyebut nama Silvia. Jawab saja
pertanyaanku.”
Kening Jihan mengernyit
hingga kedua alisnya bertemu. “Kenapa kau bersikap seolah tidak memiliki
perasaan? Kau tahu, kan, dia mencintaimu!”
“Berhenti memaksakan kehendakmu!
Aku sudah berusaha untuk mencintai Silvia seperti yang kau inginkan. Tapi aku tidak
bisa. Kau tidak mengerti bagaimana perasaanku.” Rangga menghirup napasnya dalam-dalam.
“Hanya kau, Jihan. Hanya kau yang kucintai.”
Tiba-tiba Jihan didesak keinginan
kuat untuk membungkam mulut Rangga. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Bagaimanapun caranya ia harus menahan telapak tangannya agar tidak melayang
tepat ke pipi lelaki itu.
“A-apa maksudnya... itu
semua?”
Mereka berdua menoleh
serentak. Jihan dan Rangga. Saat tiba-tiba saja terdengar suara lirih yang
mengalun lembut di belakang punggung Rangga. Suara yang sarat akan luka.
Keheningan canggung
menguasai udara. Raut wajah mereka bertiga pias seketika. Selama beberapa lama,
tidak ada yang bersuara. Sama-sama sibuk dengan pikiran yang berkecamuk di
benak masing-masing.
“Rangga... mencintai
Jihan? Kenapa?”
Hanya sebaris kata itu
yang akhirnya memecah keheningan. Diucapkan dengan datar, tanpa ekspresi
tertentu yang menyiratkan warna perasaan. Sepasang mata gadis itu menatap
kosong pada dua orang di hadapannya. Kali ini, entah sampai kapan keheningan
akan merajalela.
Tanpa kata-kata, Jihan
berjalan menghampiri Silvia. Bahunya bersinggungan keras dengan Rangga yang
masih terpaku di ambang pintu. Tetapi ia tidak peduli. Hanya perasaan Silvia
yang dipikirkannya saat ini. Gadis itu tidak pantas terluka.
Jihan mengulurkan
pelukannya kepada Silvia. Seperti yang diperkirakannya, Silvia menolak tentu
saja. Gadis itu menepis kasar, menolak mentah-mentah. Tetapi Jihan tidak
mengalah. Sekali pun Silvia menepis dan mencoba melepaskan diri. Ia berkeras
tetap memeluk sahabatnya.
Jika ia memang masih
pantas disebut sahabat.
Silvia akhirnya berhenti
meronta. Gadis itu tampak lebih tenang sekaligus terguncang. Air mata merembes
di pipinya, mengalir turun membasahi bahu Jihan. Tepat saat itulah Jihan tahu
ia sungguh tidak pantas lagi disebut sahabat.
“Maaf,” bisik Jihan.
Silvia boleh saja merasa muak. Tetapi hanya itu yang bisa diucapkannya
sekarang. Hingga tanpa sadar air mata juga sudah membasahi kedua pipinya. “Maaf
ya, Silvia.”
Suara tawa renyah Silvia
terngiang di telinga Jihan. Juga kata-kata gadis itu saat mereka berpelukan di
rumah sakit saat itu. “Kita akan bersahabat selamanya, ya.”
“Astaga, Jihan. Di sini
kau rupanya.”
Tanpa merasa bersalah,
Julian datang dan menyapa Jihan begitu saja. Seolah lelaki itu tidak peduli
dengan ketegangan atmosfer yang melingkupi tiga orang di hadapannya. Bahkan ia
tidak menunjukkan ekspresi tertentu saat melihat air mata menghiasi wajah kedua
gadis yang tengah berpelukan. Lelaki itu malah mengamit tangan Jihan,
menariknya dari Silvia.
“Ayo kita pergi,” ajak
Julian. Seperti bajingan yang tidak bisa membaca suasana. “Aku sudah sangat
lapar. Sementara makanan di sini benar-benar hambar.”
Jihan tidak ingin pergi.
Ia masih ingin menemani Silvia, memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.
Tetapi benaknya terlalu kosong untuk bisa memutuskan apa yang harus
dilakukannya. Maka, yang terjadi hanyalah kakinya tergopoh-gopoh mengikuti ke
mana Julian menariknya.
“Kami pulang dulu, ya,”
pamit Julian dengan nada ceria dan lambaian tangan. Ia melakukan itu tanpa
membalikkan tubuhnya. Atau pun menghentikan langkahnya barang sedetik.
Meninggalkan pasangan
lain yang terdiam seperti patung. Bahkan saling memandang pun mereka tidak
sanggup. Hanya terdengar bunyi jam dinding yang berderak tertawa mengejek.
***
Cahaya matahari sore
mengintip malu-malu. Tirai putih yang terpasang di jendela kamar itu, bergerak
mengombak ditiup angin yang berembus perlahan. Silvia duduk seorang diri di
sisi dalam jendela. Pandangan gadis itu hampa. Tidak ada lagi air mata seperti
hari-hari sebelumnya. Perasaanya terlampau kacau untuk bisa kembali menangis.
Sama sekali Silvia tidak
menyangka. Tidak pernah sedikit pun ia membayangkan akan mengalami hal seperti
ini. Ia pikir hal menyakitkan semacam ini hanya akan terjadi di kisah fiksi.
Tetapi ternyata seperti inilah rasanya dikhianati.
Silvia bisa menerima
jika Rangga tidak mencintainya. Ia mungkin masih bisa melepas lelaki itu dengan
senyuman jika memang ada gadis lain yang dicintai Rangga. Tetapi mengapa gadis
itu harus Jihan? Apalagi saat itu Rangga dengan begitu gamblang menyatakan
bahwa ia tidak mencintai Silvia melainkan Jihan. Hanya Jihan.
Demi Tuhan, Jihan itu
sahabat baiknya. Bahkan mungkin Silvia sudah menyayangi Jihan layaknya saudara
perempuan. Mereka sering menghabiskan banyak waktu bersama. Tetapi tidak pernah
sekali pun Silvia mendengar masalah ini dari Jihan.
Warna senja semakin
pekat. Biasanya, di jam seperti ini Silvia pasti baru saja keluar dari gedung
kantornya. Ia sengaja tidak masuk kantor hari ini. Ada perasaan enggan untuk
bertemu dengan Jihan. Apalagi gadis itu tidak berhenti menelepon dan
mengirimkan puluhan pesan seolah tidak pernah bosan. Ia tidak bisa membayangkan
betapa canggungnya saat mereka bertemu nanti. Tetapi siapa peduli? Ia tidak
membutuhkan orang seperti itu ada di dekatnya.
Ponsel yang entah
tergeletak di bagian mana dari kamar itu kembali berbunyi nyaring. Sebuah
panggilan masuk. Tanpa perlu merepotkan diri untuk mencari ponselnya, Silvia
tahu siapa yang menelepon hanya dari bunyi deringnya. Ringtone itu khusus dipilihnya untuk panggilan masuk dari Jihan.
Tetapi ia menulikan telinganya seperti sebelumnya.
Bukan bunyi itu yang
diharapkan Silvia saat ini. Ia ingin mendengar ponselnya menderingkan ringtone yang menandakan panggilan masuk
dari Rangga. Tetapi mengapa justru Jihan yang terus menerus menghubunginya?
Padahal ia membutuhkan Rangga. Ia ingin mendengar penjelasan dari Rangga. Sejak
acara reuni di hari Sabtu itu, lelaki itu memilih diam seribu bahasa. Rangga
hanya mengantarnya pulang, lalu pergi dan tidak pernah muncul lagi.
Ketika pintu kamarnya
diketuk, Silvia tetap bergeming.
“Nona Silvia, ada yang
ingin menemui Anda.”
Hening. Silvia tidak
peduli. Sedikit pun ia tidak bergerak dari tempatnya duduk.
“Nona Silvia?”
Sampai akhirnya, suara
yang dikenalnya menembus daun pintu dan menyapa telinganya.
“Silvia, ini aku. Tolong
buka pintunya.”
***
Entah mengapa, Silvia
sedikit menyesal beberapa saat setelah membukakan pintu. Orang itu melangkah
masuk dengan seulas senyum masam di wajahnya. Silvia mencoba membalas senyum
itu dengan susah payah. Tetapi tiba-tiba saja ia merasa jengah.
Sekarang mereka sudah
duduk berhadapan. Silvia dan Rangga. Tetapi tidak satu pun kata yang terlontar
dari bibir lelaki itu. Begitu juga dengan Silvia. Ia hanya mampu menatap sedih
pada Rangga yang menundukkan kepala. Setumpuk perasaan bersalah membebani
tengkuk lelaki itu.
Sementara Silvia sibuk
dengan beragam pertanyaan yang menggema di benaknya. Apa benar selama ini
Rangga tidak pernah mencintainya? Apa sebenarnya yang sudah mereka lakukan di
belakangnya? Apa mereka berdua memang saling mencintai? Atau ini semua hanya
cinta sepihak yang menghadirkan kesalahpahaman? Silvia menggelengkan kepalanya,
berusaha membuang semua pertanyaan itu.
“Apa... kau baik-baik
saja?” tanya Rangga sambil mengangkat kepalanya, memberanikan diri menatap
Silvia.
Mana mungkin baik-baik saja. “Aku baik-baik saja.”
“Maaf karena membuatmu
mengalami hal seperti ini,” lanjut Rangga penuh sesal. “Aku memang pengecut
karena tidak mengatakannya lebih awal. Karena aku takut itu akan merusak
hubunganmu dan Jihan. Seperti sekarang.”
Silvia hanya diam.
Seolah suara Rangga hanyalah angin sore yang mengembus tirai kamarnya.
“Jihan sudah menolakku.”
Tatapan lelaki itu penuh permohonan. “Tolong jangan menghukumnya seperti ini.
Dia benar-benar menyayangimu.”
Silvia mengembuskan
napasnya yang terasa berat, lalu melemparkan pandangannya ke luar jendela. Ia
memang mengharapkan kejujuran. Tetapi begitu mendengar Rangga berkata langsung
tanpa basa-basi, ternyata membuat dadanya terasa nyeri.
“Aku akan lakukan apa
saja. Jika berada di sisimu dan mencintaimu bisa membuat hubungan kalian
kembali seperti dulu, aku akan melakukannya.”
Silvia tersenyum pahit.
Rangga datang bukan untuk dirinya. Lelaki itu ada di sini demi gadis yang
dicintainya. Dan itu bukan Silvia.
“Jika kau ingin
membenci, benci saja aku. Tapi jangan membenci Jihan.”
Cukup.
“Baiklah.” Silvia
menyela sambil tersenyum. Ia sudah tidak tahan mendengar pembelaan dari Rangga
untuk Jihan. “Bagaimana kalau kita menentukan kencan kita selanjutnya?”
Setengah hati, Rangga
menganggukkan kepalanya.
“Kita bisa pergi
berlibur ke pantai,” ucap Silvia seceria mungkin. “Ajak juga Jihan dan Julian.”
Punggung Rangga menegak.
Rahangnya mengeras. Keningnya mengernyit protes.
Sebelum Rangga
mengucapkan kata-kata protes, Silvia cepat-cepat menambahkan. “Aku tidak bisa
menemui Jihan di tempat membosankan seperti kantor. Bukankah kau ingin hubungan
kita kembali baik seperti sebelumnya? Kau ada di sisiku dan Jihan tetap menjadi
sahabatku.”
Sekali lagi, Rangga
hanya menganggukkan kepalanya dengan patuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D