Senin, 04 April 2016

Orange Sunset (Tiga belas)



MEREKA datang sedikit terlambat. Rangga dan Silvia. Itu semua karena Silvia berdandan terlalu lama tadi. Tetapi ia tidak terlalu mempermasalahkan hal seperti itu. Ia hanya merasa gusar karena Jihan berangkat lebih dahulu bersama Julian. Perlu diulang? Jihan pergi berdua Julian. Berdua.

Aula yang menjadi tempat berlangsungnya acara reuni itu adalah aula yang sama di mana upacara kelulusannya dahulu dilaksanakan. Rangga melewatkan bagian pembukaan acara. Semua orang berkumpul di samping meja bundar bertaplak mengilap yang menyajikan berbagai macam makanan.

Beberapa teman lama Rangga langsung menyambutnya dan mengajaknya bergabung dalam kelompok. Mereka menatap heran bercampur takjub ketika melihat gadis yang mendampingi Rangga sore ini. Beberapa dari teman-teman berebut mencoba mencari perhatian Silvia. Sementara Rangga sendiri merasa terbantu dengan suasana itu. Ia jadi memiliki waktu untuk melepaskan pandangan ke seluruh ruangan.

Tetapi... nihil. Tidak sedikit pun ia melihat sosok Jihan mau pun Julian di aula itu. Mungkin ia harus mulai berkeliling.

Tepat saat itulah, salah seorang teman Rangga muncul di sampingnya. Menghentikan langkah kakinya. “Hei, kau benar-benar beruntung, Rangga. Bagaimana caranya kau bisa mendapatkan pacar secantik itu?”

“Siapa?” Rangga berusaha mengumpulkan fokusnya yang terpecah sebelum menanggapi temannya. “Oh, maksudmu Silvia? Dia bukan pacarku.”

“Benarkah?” Mata temannya berkilat antusias. Dengan pandangan yang seolah terkunci pada sosok Silvia. “Jadi, itu berarti aku boleh mendekatinya? Dan kau tidak akan cemburu?”

Rangga mengangguk, lalu menggidikkan bahu. “Silakan saja.”

“Kau yakin?” Tersirat keraguan yang mendalam di kata-kata temannya.

Rangga menoleh dengan dahi mengernyit. “Tentu saja. Kenapa?”

“Tidak apa-apa.” Temannya menggelengkan kepala, lalu mulai berkata dengan perlahan. Mencoba mengumpulkan ingatan yang mungkin saja memudar. “Hanya saja dulu kau sering berkata bahwa Jihan bukan pacarmu. Tapi kau selalu berusaha menghalangi setiap lelaki yang mencoba mendekati Jihan. Termasuk aku.”

Ah, benar juga! Jihan. Rangga kembali teringat untuk mencari gadis itu, mengabaikan kalimat panjang yang diucapkan temannya.

Merasa diabaikan, temannya mencoba menggeser sedikit topik pembicaraan. “Omong-omong tadi sepertinya aku melihat Jihan datang bersama seorang lelaki. Aku cukup terkejut. Begitu juga dengan yang lainnya. Semua mengira Jihan akan datang bersamamu

“Ke mana mereka pergi? Jihan dan lelaki itu maksudku,” potong Rangga yang langsung mengedarkan pandangannya kembali. Mencari.

Temannya itu setengah hati menggerakkan dagu ke arah kerumunan di dekat panggung. Ia sedikit tersinggung karena Rangga memotong kata-katanya. Padahal ini pertemuan pertama mereka setelah sekian lama.

“Terima kasih,” ujar Rangga sambil menepuk ringan bahu temannya. Lalu langkahnya mulai bergerak menuju tempat yang ditunjuk temannya. Tidak sedikit pun ia merasa sempat untuk menanggapi sapaan singkat teman-teman yang lain.

Tetapi Rangga langsung dirundung perasaan kecewa. Ia sama sekali tidak melihat kehadiran Jihan di sana. Gadis itu tidak ada di mana pun. Tidak di dekat meja makanan ala Italia. Tidak di samping panggung. Tidak juga di tengah kerumunan. Hanya terlihat Julian yang sedang mengobrol seru dengan tiga orang gadis di dekat pintu keluar.

Lalu, di mana Jihan?

Kening Rangga mengernyit, berusaha menggali ingatannya dalam-dalam. Hingga tiba-tiba saja kerutan di keningnya berpindah menjadi seringai di bibirnya. Sekarang ia tahu ke mana harus mencari.
***

Kebanyakan orang menyukai datang ke acara reuni. Di mana mereka bisa membanggakan kesuksesan di masa sekarang atau sekadar bernostalgia dengan menceritakan masa lalu yang terkadang menghadirkan tawa.

Berbeda dengan Jihan. Ia tidak terlalu menyukai acara seperti itu. jadi ia memilih untuk menyingkir dari ingar bingar di aula. Seperti dahulu. Di hari ia lulus dari sekolah ini.

Jihan pergi mengendap-endap keluar dari kerumunan teman-temannya yang tampak ganas. Satu persatu dari mereka seolah berniat meremukkan tulang-tulangnya dengan apa yang mereka sebut pelukan. Beruntung, Julian dengan sigap langsung mengalihkan perhatian para gadis itu. Sehingga ia bisa melarikan diri. Dalam hati Jihan sangat bersyukur datang bersama Julian. Gadis mana yang bisa menolak senyuman Julian yang sehangat matahari?

Perlahan Jihan membuka pintu kelas yang tidak terkunci. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara berderit. Ia berjalan menyusuri ruangan yang mulai disinari cahaya jingga. Ujung-ujung jemarinya meraba dinding, meja, dan kursi. Meresapi setiap kenangan yang membanjiri benaknya. Hingga akhirnya ia tiba di samping jendela yang menghadap ke gerbang sekolah.

Jendela itu membingkai pemandangan yang sangat melekat diingatannya. Tidak banyak yang berubah. Begitu juga dengan perasaannya.

Cahaya matahari berpendar menjadi warna jingga yang semakin pekat. Senja akan mempertunjukkan kembali keindahannya hari ini. Keindahan warna yang serupa warna gaun yang dikenakan Jihan.

Gaun itu adalah milik Silvia. Gaun yang membuat Jihan jatuh cinta seketika saat pertama kali melihat fotonya yang ditunjukkan sahabatnya tempo hari. Dan entah mengapa, Silvia memberikan gaun itu untuk dikenakan Jihan hari ini. Jujur saja, ia terus menerus merasa bersalah setiap kali menerima kebaikan hati Silvia.

Ah, siapa orang yang tega menyakiti perasaan Silvia. Gadis secantik dan sebaik Silvia tidak pantas mendapat perlakuan seperti itu. Jihan yakin ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika Silvia sampai terluka.

Terlebih jika ia yang menjadi penyebabnya.
***

Dugaan Rangga tepat.

Gadis itu ada di sini. Berdiri menghadap jendela besar di ruang kelas yang dahulu menjadi tempat mereka menghabiskan banyak waktu selama masa sekolah. Cahaya matahari yang semakin condong ke arah barat, menghujani gadis itu hingga sosoknya terlihat mengabur. Hingga gadis itu tampak menyatu dengan warna jingga yang mengelilinginya.

Seulas senyum terukir di bibir Rangga tanpa bisa dicegah. Bahkan hanya dengan melihat gadis itu seperti ini, bisa membuat perasaannya jadi lebih baik. Tetapi ia jadi bertanya-tanya. Apa benar ia akan terus bahagia hanya dengan menatap Jihan dari kejauhan? Tanpa keinginan untuk saling memiliki.

“Jihan.”

Rangga menyebutkan nama itu ke udara. Suaranya langsung menyentuh telinga gadis itu dengan lembut. Jantung Rangga seolah berhenti berdegup saat gadis itu membalikkan tubuhnya perlahan ke hadapannya.

Ekspresi gadis itu terkesiap luar biasa. Tidak ada senyuman lebar atau pun raut heran seperti lima tahun yang lalu. Tetapi Rangga tidak peduli. Baginya, Jihan adalah Jihan. Dan ia ingin selalu mencintai Jihan apa adanya.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Jihan dengan mata yang bergerak gusar, mencoba mencuri pandang ke balik tubuh Rangga.

“Aku datang sendiri,” jawab Rangga sambil melangkah masuk ke dalam kelas. Ia menggerakkan kepalanya untuk memerhatikan suasana kelas yang mulai samar disinari warna senja. “Aku hanya ingin melihat keadaan kelas yang kita tempati dulu.”

Kening Jihan mengernyit rikuh. Tidak peduli pada kata-kata Rangga. “Di mana Silvia?”

“Ada di aula,” jawab Rangga sekenanya.

“Kenapa kau meninggalkannya sendirian?” Jihan berdecak kesal, lalu mengambil langkah-langkah lebar berniat kembali ke aula.

Tetapi Rangga menentang keras niat Jihan itu. Lelaki itu berdiri di ambang pintu, menghalangi jalannya. Jihan menatap tajam ke arah Rangga yang kini berhadapan dengannya. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang diinginkan lelaki ini. Bukankah Rangga dan Silvia sudah resmi bertunangan? Tinggal menunggu waktu hingga mereka resmi mengikat janji sehidup-semati.

“Jangan pergi,” cegah Rangga sambil menatap lembut ke arah Jihan. “Aku ke sini bukan ingin melihat keadaan kelas. Aku sengaja mencarimu.”

“Kalau begitu, cepat katakan saja apa urusanmu,” sahut Jihan ketus.

“Aku ingin menarik kembali ucapan maafku tempo hari. Aku tidak akan meminta maaf karena sudah menciummu,” ujar Rangga dengan ekspresi serius. Tatapannya lurus pada sepasang manik hitam yang masih memandangnya tajam. “Aku melakukan itu karena aku menginginkannya. Karena aku ingin mencium gadis yang kucintai.”

Jihan mendenguskan tawa sinis. “Jaga bicaramu. Jangan mengumbar kata-kata cinta kepada gadis lain sementara kau menjalin hubungan dengan Silvia.”

Rangga mengangkat alisnya. “Aku tidak menjalin hubungan apa pun dengan Silvia.”

Kepala Jihan miring ke kanan dengan skeptis. “Bukankah kalian pergi makan malam bersama orangtua....”

“Orangtuaku memang sempat mengusulkan pernikahan, tapi aku menolaknya,” sela Rangga yang membuat Jihan ternganga.

Oh, pantas saja. Jihan mengerti sekarang.

Pantas saja Silvia tidak pernah ribut membicarakan acara makan malamnya dengan Rangga. Padahal biasanya sahabatnya itu selalu tampak tidak sabar untuk menceritakan apa pun yang berhubungan dengan Rangga. Saat itu Jihan heran tentu saja. Tetapi ia memilih untuk tidak bertanya. Bagaimanapun, di satu sisi ia juga merasa lega karena tidak perlu mendengar cerita tentang mereka berdua.

Tetapi sekarang perasaan lega itu malah menyerangnya terang-terangan. Perlahan menguap lalu menghadirkan perasaan kurang nyaman di dalam hatinya. Perasaan itu menitik dan menyebar cepat dalam hatinya saat wajah sedih Silvia selama sepekan terakhir berputar kembali dalam benaknya. Betapa gadis itu jadi sering merenung. Juga jadi sering melamun.

Nyaris sama seperti dirinya. Dan Jihan menyesal karena terlambat menyadari itu. Ia terlalu sibuk memikirkan perasaannnya sendiri. Hingga tidak memerhatikan perasaan Silvia yang ada di dekatnya.

“Ada yang ingin kutanyakan.” Suara rendah Rangga mencuri perhatian Jihan dari lamunannya. Ia memberi jeda, menunggu gadis di hadapannya mendengarkan sepenuhnya.

Jihan melipat tangannya di dada, mencoba terlihat defensif. Walaupun sesungguhnya ia ingin memeluk lelaki ini dengan kedua lengannya. Udara di sekelilingnya semakin terasa berat karena Rangga seperti sengaja membuatnya menunggu.

“Tolong jawab dengan jujur.”

Akhirnya, Rangga bersuara. Tetapi diikuti keheningan yang membuat Jihan menahan napas. Seolah ia harus menunggu bertahun-tahun untuk mendengar lelaki itu melanjutkan kata-katanya.

Rangga memandang langsung pada kedua mata Jihan yang tampak menghindarinya. Ia mencari celah di sana, mencoba menemukan kejujuran yang bersembunyi di bawah bayang-bayang resah.

“Apa kau mencintaiku?” tanya Rangga akhirnya. “Sama seperti aku mencintaimu?”

Jihan mengembuskan napas yang sejak tadi ditahannya. Matanya terbelalak, sepasang matanya bergerak-gerak resah mencari pengalih perhatian. Ia benar-benar tidak ingin mendengar pertanyaan itu meluncur dari bibir Rangga.

“Kenapa kau menanyakan hal seperti itu? Bagaimana dengan Silvia?”

 “Jangan menyebut nama Silvia. Jawab saja pertanyaanku.”

Kening Jihan mengernyit hingga kedua alisnya bertemu. “Kenapa kau bersikap seolah tidak memiliki perasaan? Kau tahu, kan, dia mencintaimu!”

“Berhenti memaksakan kehendakmu! Aku sudah berusaha untuk mencintai Silvia seperti yang kau inginkan. Tapi aku tidak bisa. Kau tidak mengerti bagaimana perasaanku.” Rangga menghirup napasnya dalam-dalam. “Hanya kau, Jihan. Hanya kau yang kucintai.”

Tiba-tiba Jihan didesak keinginan kuat untuk membungkam mulut Rangga. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Bagaimanapun caranya ia harus menahan telapak tangannya agar tidak melayang tepat ke pipi lelaki itu.

“A-apa maksudnya... itu semua?”

Mereka berdua menoleh serentak. Jihan dan Rangga. Saat tiba-tiba saja terdengar suara lirih yang mengalun lembut di belakang punggung Rangga. Suara yang sarat akan luka.

Keheningan canggung menguasai udara. Raut wajah mereka bertiga pias seketika. Selama beberapa lama, tidak ada yang bersuara. Sama-sama sibuk dengan pikiran yang berkecamuk di benak masing-masing.

“Rangga... mencintai Jihan? Kenapa?”

Hanya sebaris kata itu yang akhirnya memecah keheningan. Diucapkan dengan datar, tanpa ekspresi tertentu yang menyiratkan warna perasaan. Sepasang mata gadis itu menatap kosong pada dua orang di hadapannya. Kali ini, entah sampai kapan keheningan akan merajalela.

Tanpa kata-kata, Jihan berjalan menghampiri Silvia. Bahunya bersinggungan keras dengan Rangga yang masih terpaku di ambang pintu. Tetapi ia tidak peduli. Hanya perasaan Silvia yang dipikirkannya saat ini. Gadis itu tidak pantas terluka.

Jihan mengulurkan pelukannya kepada Silvia. Seperti yang diperkirakannya, Silvia menolak tentu saja. Gadis itu menepis kasar, menolak mentah-mentah. Tetapi Jihan tidak mengalah. Sekali pun Silvia menepis dan mencoba melepaskan diri. Ia berkeras tetap memeluk sahabatnya.

Jika ia memang masih pantas disebut sahabat.

Silvia akhirnya berhenti meronta. Gadis itu tampak lebih tenang sekaligus terguncang. Air mata merembes di pipinya, mengalir turun membasahi bahu Jihan. Tepat saat itulah Jihan tahu ia sungguh tidak pantas lagi disebut sahabat.

“Maaf,” bisik Jihan. Silvia boleh saja merasa muak. Tetapi hanya itu yang bisa diucapkannya sekarang. Hingga tanpa sadar air mata juga sudah membasahi kedua pipinya. “Maaf ya, Silvia.”

Suara tawa renyah Silvia terngiang di telinga Jihan. Juga kata-kata gadis itu saat mereka berpelukan di rumah sakit saat itu. “Kita akan bersahabat selamanya, ya.”

“Astaga, Jihan. Di sini kau rupanya.”

Tanpa merasa bersalah, Julian datang dan menyapa Jihan begitu saja. Seolah lelaki itu tidak peduli dengan ketegangan atmosfer yang melingkupi tiga orang di hadapannya. Bahkan ia tidak menunjukkan ekspresi tertentu saat melihat air mata menghiasi wajah kedua gadis yang tengah berpelukan. Lelaki itu malah mengamit tangan Jihan, menariknya dari Silvia.

“Ayo kita pergi,” ajak Julian. Seperti bajingan yang tidak bisa membaca suasana. “Aku sudah sangat lapar. Sementara makanan di sini benar-benar hambar.”

Jihan tidak ingin pergi. Ia masih ingin menemani Silvia, memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Tetapi benaknya terlalu kosong untuk bisa memutuskan apa yang harus dilakukannya. Maka, yang terjadi hanyalah kakinya tergopoh-gopoh mengikuti ke mana Julian menariknya.

“Kami pulang dulu, ya,” pamit Julian dengan nada ceria dan lambaian tangan. Ia melakukan itu tanpa membalikkan tubuhnya. Atau pun menghentikan langkahnya barang sedetik.

Meninggalkan pasangan lain yang terdiam seperti patung. Bahkan saling memandang pun mereka tidak sanggup. Hanya terdengar bunyi jam dinding yang berderak tertawa mengejek.
***

Cahaya matahari sore mengintip malu-malu. Tirai putih yang terpasang di jendela kamar itu, bergerak mengombak ditiup angin yang berembus perlahan. Silvia duduk seorang diri di sisi dalam jendela. Pandangan gadis itu hampa. Tidak ada lagi air mata seperti hari-hari sebelumnya. Perasaanya terlampau kacau untuk bisa kembali menangis.

Sama sekali Silvia tidak menyangka. Tidak pernah sedikit pun ia membayangkan akan mengalami hal seperti ini. Ia pikir hal menyakitkan semacam ini hanya akan terjadi di kisah fiksi. Tetapi ternyata seperti inilah rasanya dikhianati.

Silvia bisa menerima jika Rangga tidak mencintainya. Ia mungkin masih bisa melepas lelaki itu dengan senyuman jika memang ada gadis lain yang dicintai Rangga. Tetapi mengapa gadis itu harus Jihan? Apalagi saat itu Rangga dengan begitu gamblang menyatakan bahwa ia tidak mencintai Silvia melainkan Jihan. Hanya Jihan.

Demi Tuhan, Jihan itu sahabat baiknya. Bahkan mungkin Silvia sudah menyayangi Jihan layaknya saudara perempuan. Mereka sering menghabiskan banyak waktu bersama. Tetapi tidak pernah sekali pun Silvia mendengar masalah ini dari Jihan.

Warna senja semakin pekat. Biasanya, di jam seperti ini Silvia pasti baru saja keluar dari gedung kantornya. Ia sengaja tidak masuk kantor hari ini. Ada perasaan enggan untuk bertemu dengan Jihan. Apalagi gadis itu tidak berhenti menelepon dan mengirimkan puluhan pesan seolah tidak pernah bosan. Ia tidak bisa membayangkan betapa canggungnya saat mereka bertemu nanti. Tetapi siapa peduli? Ia tidak membutuhkan orang seperti itu ada di dekatnya.

Ponsel yang entah tergeletak di bagian mana dari kamar itu kembali berbunyi nyaring. Sebuah panggilan masuk. Tanpa perlu merepotkan diri untuk mencari ponselnya, Silvia tahu siapa yang menelepon hanya dari bunyi deringnya. Ringtone itu khusus dipilihnya untuk panggilan masuk dari Jihan. Tetapi ia menulikan telinganya seperti sebelumnya.

Bukan bunyi itu yang diharapkan Silvia saat ini. Ia ingin mendengar ponselnya menderingkan ringtone yang menandakan panggilan masuk dari Rangga. Tetapi mengapa justru Jihan yang terus menerus menghubunginya? Padahal ia membutuhkan Rangga. Ia ingin mendengar penjelasan dari Rangga. Sejak acara reuni di hari Sabtu itu, lelaki itu memilih diam seribu bahasa. Rangga hanya mengantarnya pulang, lalu pergi dan tidak pernah muncul lagi.

Ketika pintu kamarnya diketuk, Silvia tetap bergeming.

“Nona Silvia, ada yang ingin menemui Anda.”

Hening. Silvia tidak peduli. Sedikit pun ia tidak bergerak dari tempatnya duduk.

“Nona Silvia?”

Sampai akhirnya, suara yang dikenalnya menembus daun pintu dan menyapa telinganya.

“Silvia, ini aku. Tolong buka pintunya.”
***

Entah mengapa, Silvia sedikit menyesal beberapa saat setelah membukakan pintu. Orang itu melangkah masuk dengan seulas senyum masam di wajahnya. Silvia mencoba membalas senyum itu dengan susah payah. Tetapi tiba-tiba saja ia merasa jengah.

Sekarang mereka sudah duduk berhadapan. Silvia dan Rangga. Tetapi tidak satu pun kata yang terlontar dari bibir lelaki itu. Begitu juga dengan Silvia. Ia hanya mampu menatap sedih pada Rangga yang menundukkan kepala. Setumpuk perasaan bersalah membebani tengkuk lelaki itu.

Sementara Silvia sibuk dengan beragam pertanyaan yang menggema di benaknya. Apa benar selama ini Rangga tidak pernah mencintainya? Apa sebenarnya yang sudah mereka lakukan di belakangnya? Apa mereka berdua memang saling mencintai? Atau ini semua hanya cinta sepihak yang menghadirkan kesalahpahaman? Silvia menggelengkan kepalanya, berusaha membuang semua pertanyaan itu.

“Apa... kau baik-baik saja?” tanya Rangga sambil mengangkat kepalanya, memberanikan diri menatap Silvia.

Mana mungkin baik-baik saja. “Aku baik-baik saja.”

“Maaf karena membuatmu mengalami hal seperti ini,” lanjut Rangga penuh sesal. “Aku memang pengecut karena tidak mengatakannya lebih awal. Karena aku takut itu akan merusak hubunganmu dan Jihan. Seperti sekarang.”

Silvia hanya diam. Seolah suara Rangga hanyalah angin sore yang mengembus tirai kamarnya.

“Jihan sudah menolakku.” Tatapan lelaki itu penuh permohonan. “Tolong jangan menghukumnya seperti ini. Dia benar-benar menyayangimu.”

Silvia mengembuskan napasnya yang terasa berat, lalu melemparkan pandangannya ke luar jendela. Ia memang mengharapkan kejujuran. Tetapi begitu mendengar Rangga berkata langsung tanpa basa-basi, ternyata membuat dadanya terasa nyeri.

“Aku akan lakukan apa saja. Jika berada di sisimu dan mencintaimu bisa membuat hubungan kalian kembali seperti dulu, aku akan melakukannya.”

Silvia tersenyum pahit. Rangga datang bukan untuk dirinya. Lelaki itu ada di sini demi gadis yang dicintainya. Dan itu bukan Silvia.

“Jika kau ingin membenci, benci saja aku. Tapi jangan membenci Jihan.”

Cukup.

“Baiklah.” Silvia menyela sambil tersenyum. Ia sudah tidak tahan mendengar pembelaan dari Rangga untuk Jihan. “Bagaimana kalau kita menentukan kencan kita selanjutnya?”

Setengah hati, Rangga menganggukkan kepalanya.

“Kita bisa pergi berlibur ke pantai,” ucap Silvia seceria mungkin. “Ajak juga Jihan dan Julian.”

Punggung Rangga menegak. Rahangnya mengeras. Keningnya mengernyit protes.

Sebelum Rangga mengucapkan kata-kata protes, Silvia cepat-cepat menambahkan. “Aku tidak bisa menemui Jihan di tempat membosankan seperti kantor. Bukankah kau ingin hubungan kita kembali baik seperti sebelumnya? Kau ada di sisiku dan Jihan tetap menjadi sahabatku.”

Sekali lagi, Rangga hanya menganggukkan kepalanya dengan patuh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D