Dua orang itu muncul secara tiba-tiba, terpisah beberapa meter di sebuah jalan sempit yang diterangi oleh cahaya bulan.
“Apa yang kalian inginkan?” tanya lelaki yang tetap
berdiri tanpa gentar. Sekali pun dua orang di hadapannya terang-terangan menunjukkan
niat yang tidak baik.
“Hide-kun, kau
mengenal mereka?”
Suara bisikan dari gadis yang menempel erat di dekat punggungnya,
mengingatkannya bahwa ia tidak sendiri.
Hideaki mengangguk. “Mereka ‘kenalan’-ku semasa SMA.”
“Hisashiburi da ne1,
Hideaki-kun,” sapa salah seorang dari
mereka dengan nada manis yang jelas-jelas palsu. Napas putih mengepul ke udara
yang dingin. “Aku tidak menyangka bisa bertemu kembali denganmu setelah sekian
lama.”
“Katakan saja, apa maumu, Ken?” tanya Hideaki setenang
mungkin. Walaupun sebenarnya organ di dada kirinya berdebar dengan kencang. Tubuhnya
merasa tegang. Bukan karena khawatir dengan keselamatan dirinya, melainkan keselamatan
gadis yang saat ini mencengkeram erat lengannya.
Hideaki menoleh ke arah Mirei melalui bahunya. Mirei
mendongak dan bertatapan langsung dengannya. Ketakutan kentara jelas melumuri
kedua mata gadis itu yang terbelalak. Ditambah cengkeramannya yang semakin erat
di lengan Hideaki. Hingga lelaki itu bisa merasakan bahwa tubuh Mirei gemetar.
“Aku rasa kau pasti tahu apa mauku,” ucap Ken sambil maju
selangkah. Ujung telunjuknya mengusap-usap sebuah bekas luka memanjang di dekat
pelipisnya.
“Astaga.” Hideaki mendengus jengah. “Kukira masalah itu
sudah selesai di antara kita.”
“Mana mungkin selesai begitu saja, huh?” hardik Ken
dengan nada tinggi.
“Jadi kau sengaja datang hanya untuk menuntut
pembalasan?”
Ken menganggukkan kepalanya dengan angkuh. “Aku ingin
memberimu luka serupa,” ucapnya dengan penekanan pada setiap kata.
“Tapi, bukankah tidak adil jika kau menyerangku
bersama-sama teman-temanmu?” ujar Hideaki sambil menatap satu persatu orang
yang ada di hadapannya. Termasuk tiga orang yang berdiri di bawah bayangan
pepohonan di pinggir jalan. “Itu pengecut namanya.”
“Damare!2”
teriak Ken dengan amarah yang terpancing. “Kau sendiri langsung berlari
terbirit-birit tadi ketika bertemu denganku. Oh, oh—apa karena gadis itu?”
Melihat sepasang mata Ken yang menunjuk ke balik punggungnya,
membuat Hideaki semakin menegakkan punggungnya. Tangannya terentang protektif.
Tidak ingin seorang pun memunculkan niat untuk menyakiti gadisnya.
Hideaki mengenal orang-orang yang mengerubungi mereka saat
ini. Orang-orang kasar ini sudah menjadi berandalan sejak mereka masih SMA.
Pernah karena pecah suatu masalah antar sekolah, membuat Hideaki dan Ken
terlibat dalam baku hantam. Saat Hideaki masih sanggup berdiri di ujung
perkelahian mereka, Ken sudah terkapar tidak berdaya. Dan tampaknya Ken masih
menyimpan dendam karena kekalahannya saat itu.
“Jangan ganggu dia, kumohon.”
Tawa Ken langsung meledak ke langit malam begitu
mendengar ucapan Hideaki. “Yare, yare3. Baru kali ini aku mendengar seorang
Hideaki memohon.”
“Aku serius dengan kata-kataku, Ken,” tukas Hideaki
tajam.
“Aku tidak peduli dengan kata-katamu. Karena kau akan
habis malam ini.” Mata sipit Ken menatap sinis ke arah Hideaki.
Mirei menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Tidak
ada orang. Suasana tampak sunyi senyap. Biasanya, jalan ini memang sepi. Tetapi
paling tidak seharusnya ada satu atau dua orang yang terlihat. Sedangkan hari
ini, ketika salju turun dengan lebat, tidak tampak seorang pun di jalan selain
mereka.
Hideaki menyeret langkah mundur dengan Mirei yang masih
menempel padanya. Jejak sepatu boots
mereka tercetak di permukaan salju yang menyelimuti jalanan.
Melihat gelagat mangsanya yang seperti hendak melarikan
diri, seketika membuat Ken naik pitam. “Serang,” gumamnya sambil menggertakkan
gigi karena amarah.
Hanya karena satu kata itu, semua mendadak kacau. Semua
orang kecuali Ken langsung berlari mengejar Hideaki dan Mirei tengah berlari
mencoba menyelamatkan diri. Nahas, salah satu dari orang-orang kasar itu
berhasil menangkap lengan Hideaki.
Sebuah pukulan mendarat telak di pelipis Hideaki, membuat
kepalanya seperti meledakkan sayap kunang-kunang. Ia memaksakan diri untuk langsung
bangkit ketika menyadari genggaman tangannya yang terlepas dari Mirei. Kakinya
berpacu cepat ke arah Mirei yang gemetar ketakutan dikepung tiga lelaki
berwajah seram.
Tanpa pikir panjang lagi, Hideaki langsung menerjang Mirei
hingga jatuh tersungkur ke atas tanah berselimut salju. Beruntung, jaket
tebalnya cukup melindunginya dari benturan hebat. Gadis itu memekik keras,
entah karena terkejut atau kesakitan. Tubuh gadis itu melesak ke dalam timbunan
salju. Sementara Hideaki berada di atasnya, menahan beban tubuh dengan kedua tangan
dan lututnya.
Seseorang melayangkan tendangannya ke punggung Hideaki.
Tetapi lelaki itu bergeming, mempertahankan posisinya. Begitu juga saat pukulan
bertubi-tubi mendarat di sekujur tubuhnya. Uap putih meluncur keluar dari
mulutnya setiap kali ia mengerang menahan sakit. Tanpa sedikit pun membiarkan
pertahanannya goyah.
Hideaki merasa kecewa pada dirinya sendiri. Bukan seperti
ini White Christmas yang
direncanakannya. Ia ingin menjadikan hari ini spesial. Bukannya malah membawa
gadis itu dalam masalah.
Tetapi
bukan saatnya menyesal sekarang. Yang harus dilakukannya sekarang adalah memastikan keselamatan gadis ini. Bagaimanapun, Mirei tidak ada hubungan sama sekali dengan semua ini. Ia tidak mungkin membiarkan Mirei terluka seujung kuku pun. Tadi saja ia merasa jantungnya berhenti berdegup saat sekumpulan
berandalan itu mengepung Mirei.
Astaga—kalau saja sesuatu yang buruk sampai terjadi pada
Mirei, ia... apa yang akan terjadi padanya?
Mirei memekik ngeri saat melihat darah segar menetes dari
bibir dan pipi Hideaki. Menciptakan corak lingkaran-lingkaran di atas putihnya
salju. Sesaat dunia menjadi hening. Pendengarannya tidak bisa menangkap suara
lain selain isakannya sendiri. Sementara air mata semakin mengalir deras di
wajahnya yang gemetar.
Waktu terasa bergerak lambat hingga akhirnya ia mendengar
suara teriakan yang bernada memerintah. Diikuti cahaya-cahaya menyilaukan yang
muncul mendadak. Dan bersamaan dengan itu, tubuh Hideaki berhenti berguncang.
Bantuan sudah
datang! Mirei
bernapas lega dengan dadanya yang terasa sesak. Itu pasti polisi atau siapa pun
yang dihubungi Hideaki saat mereka kabur
melarikan diri tadi.
Mirei mengulurkan tangannya. Penuh kehati-hatian ia
menyentuh pipi Hideaki yang berlumuran darah. Segaris senyum tersungging di
bibir Hideaki yang bengkak. Susah payah, lelaki itu mencoba bicara dengan
sekujur tubuhnya yang menegang. Akhirnya, hanya sebuah bisikan yang mampu
dihasilkan bibirnya sebelum semuanya berubah gelap.
“M-mirei... aishite...
imasu....”
***
Ini bukan pertama kalinya bagi Mirei melihat Hideaki terluka.
Saat itu, Mirei baru saja pulang dari bimbingan belajar. Masih
mengenakan seragam SMA-nya, ia berjalan melewati taman. Matanya menangkap sosok
seorang lelaki yang duduk bersandar di salah satu pohon. Lelaki itu mengenakan gakuran4 yang tampak
berantakan, sementara asap nikotin berembus dari bibirnya yang bengkak.
Entah setan apa yang merasukinya saat itu, hingga membuat
Mirei malah melangkah mendekat alih-alih menjauh dari berandalan seperti itu.
‘Hei, kau terluka,’ ucap Mirei saat itu. Begitu ia tiba
di hadapan lelaki itu.
Tetapi lelaki itu hanya melirik padanya acuh tidak acuh.
Dan malah kembali menghisap batang rokok yang dijepit dengan dua jarinya.
‘Lebih baik kau usap dulu darahmu.’ Mirei mengulurkan sapu
tangan yang selalu dibawanya ke mana-mana.
Lelaki itu melirik ngeri ke arah sapu tangan merah muda
yang dipenuhi gambar bunga. ‘Ini hanya luka kecil. Aku tidak butuh itu.’
‘Kalau begitu, tutupi lukamu dengan ini,’ ucap Mirei
sambil menyodorkan serenteng plester penutup luka.
‘Ck. Aku
baik-baik saja. Tidak butuh apa pun darimu,’ tukas lelaki itu dingin.
‘Hontou ni
daijoubu?5’ tanya Mirei penuh kekhawatiran. Sama sekali tidak tersinggung
atas sikap ketus yang diterimanya.
Lelaki itu hanya mengangguk kecil, mempertahankan
sikapnya yang sekeras batu.
‘Baiklah.’ Mirei berkata sambil tersenyum. Ia memasukkan
kembali sapu tangan dan plester luka yang menuai penolakan itu ke dalam tas. ‘Kalau
begitu, aku pulang dulu.’
Diam-diam, lelaki itu memerhatikan Mirei yang berbalik
memunggunginya. Gadis itu menjauh selangkah demi selangkah. Meninggalkan ia
dengan segala kekerasan kepalanya.
‘Tunggu!’ Lelaki itu berseru.
Mirei menghentikan langkahnya, lalu berbalik kembali.
‘Setidaknya, beritahukan namamu.’
‘Namaku Mirei. Yamashita Mirei.’ Sudut-sudut Mirei
berkedut hendak melukiskan senyuman. ‘Namamu?’
Lelaki itu terdiam sejenak, kembali mengisap tembakaunya.
‘Hideaki,’ ucapnya setengah bergumam.
Itulah bagaimana mereka bertemu pertama kali dua tahun
yang lalu.
***
Mirei menumpukan kedua sikunya di tepian tempat tidur. Keningnya
menempel pada seluruh jemarinya terjalin kuat, memohon doa sepenuh hati. Sementara
beragam kenangan berkelebat dalam benak Mirei. Sama sekali tidak menyangka ia
harus kembali melihat lelaki ini
terluka.
Tiba-tiba sebuah erangan pelan menyentaknya dari lamunan.
Sontak Mirei mengangkat kepalanya dan mendapati Hideaki yang tengah mengernyit,
seperti menahan sakit. Ia menahan napasnya, saat melihat kelopak mata lelaki bergerak-gerak
hendak membuka.
“Hide-kun?”
bisik Mirei mencoba membantu Hideaki mengembalikan kesadarannya.
Hideaki menggerakkan kepalanya ke arah suara yang
memanggilnya. Ia bisa melihat wajah Mirei melalui pandangannya yang masih
kabur. “Mirei?” bisiknya dengan suara serak.
“Syukurlah. Kau akhirnya sadar,” ucap Mirei penuh
kelegaan. Tetapi nada bicaranya langsung berubah panik saat melihat Hideaki
memaksakan diri hendak bangkit. “Hei, hei. Tunggu dulu. Pelan-pelan saja.”
Mulut Hideaki melepaskan erangan penyesalan karena sudah bergerak
tanpa berpikir. Ia kembali memejamkan kelopak matanya yang terasa berat.
Sementara sentuhan surgawi di bahunya, membuat perasaannya jauh lebih tenang.
“Apa kau terluka?”
Mirei menggeleng. Air mata masih membayang di pelupuk
mata, membuatnya kesulitan untuk bicara lancar. “Aku baik-baik saja.”
“Syukurlah.” Suara Hideaki bersalut perasaan lega luar
biasa. Tetapi perasaan itu tidak bertahan lama. “Para bajingan itu....”
“Polisi
sudah mengurus orang-orang itu,” sambung Mirei dengan nada bicara yang serius. “Pamanmu
yang mengurus semuanya. Ia memintamu untuk memerhatikan kondisimu. Karena
begitu sehat, kau harus memberikan
pernyataan kepada polisi.”
Hideaki hanya terdiam dengan mata terpejam. Hingga Mirei
mengira lelaki itu sudah kembali tertidur.
“Maaf,” gumam Hideaki dengan suara parau.
Kening Mirei mengernyit bingung. Bibir gadis itu
mengerucut, menunggu lelaki yang terbaring babak belur itu menyatakan alasannya
meminta maaf.
“Maaf karena membuatmu ketakutan,” lanjut Hideaki lantas
membuka mata dan menatap langsung pada sepasang mata Mirei yang berkaca-kaca. “Maaf
karena memberikan natal yang buruk untukmu. Maaf karena belum bisa mengabulkan
hadiah yang kauminta. Maaf karena—”
“Hadiah?” sela Mirei dengan wajah penuh tanda tanya. “Hadiah
apa yang kaumaksud?”
Hideaki menggidikkan bahu tidak mengerti. “Kau sendiri
belum mengatakannya apa yang kauing—“ Kata-katanya diputus suara batuk yang
melompat liar dari tenggorakannya yang kering.
Cepat-cepat Mirei membantu Hideaki untuk duduk. Lalu ia
menyodorkan segelas air yang tadi diletakkan perawat di atas nakas. “Jangan
terlalu banyak bicara dulu.”
Setelah tenggorakannya mendapat cairan yang cukup, Hideaki
kembali berkata-kata. “Suatu hadiah yang bukan benda apa pun di dunia ini.
Memang apa itu?”
“Oh, itu.” Ingatan Mirei langsung terkumpul mengenai
hadiah yang diinginkannya. “Tidak masalah. Kau sudah memberikannya.”
Bagaimana mungkin? Kening Hideaki mengernyit dalam,
mencoba mengingat-ingat kapan ia memberikan hadiah itu. Tetapi nihil. Tidak ada
petunjuk sedikit pun yang tersisa. Apa mungkin ia sudah memberikannya saat
sedang tidak sadarkan diri?
“Kapan aku memberikannya?”
“Hem.” Mirei
mengulum senyum penuh arti yang tampak mencurigakan bagi Hideaki. “Beberapa
saat sebelum kau pingsan.”
Hideaki ingat saat itu sekujur tubuhnya terasa sakit. Kelopak
matanya berat. Kepalanya seperti berputar-putar. Tetapi ia sama sekali tidak
bisa mengingat apa yang sudah dilakukannya untuk gadis itu dalam keadaan
sekarat.
“Memang apa yang sudah kulakukan?”
“Kau mau makan apel?” tanya Mirei sambil memilih buah
dari keranjang yang terletak di atas nakas. Kentara sekali gadis itu ingin
mengalihkan pembicaraan.
“Jawab pertanyaanku, Mirei.”
“Atau kau lebih suka jeruk?”
“Berhenti mengabaikanku,” tukas Hideaki tajam. Menandakan
bahwa ia sedang tidak ingin bercanda.
Mirei menghela napas panjang. Ia meletakkan kembali
buah-buah dari genggamannya ke keranjang. “Baiklah. Aku akan mengatakannya. Tapi
dengan satu syarat.”
“Apa itu?”
“Kau harus melakukannya lagi untukku,” tantang Mirei
sambil melipat tangannya di depan dada.
“Tidak masalah,” sahut Hideaki cepat. Terlalu cepat
karena dikuasai rasa penasaran.
“Benarkah?” tanya Mirei nyaris bersorak. “Kau berjanji?”
Hideaki mengangguk mantap penuh percaya diri.
“Aku memintamu untuk mengatakan bahwa kau mencintaku.”
Apa? Mata Hideaki terbelalak lebar. Tetapi
kemudian ia meringis saat merasakan luka di pelipisnya yang terasa perih.
Itu tidak mungkin terjadi, kan? Ia sama sekali bukanlah
tipe lelaki yang suka mengumbar kata-kata cinta. Sekali pun kepada gadis yang
sungguh-sungguh dicintainya. Baginya, cinta harus ditunjukkan dengan tindakan. Bukan
sekadar kemahiran merangkai kata buaian.
“Omong-omong, aku menunggumu. Janjimu,” gumam Mirei tanpa
menatap langsung kepada Hideaki. Tetapi jelas-jelas sindirian itu tertuju untuk
satu orang.
Sial benar. Hideaki mengumpat dalam hati. Tetapi bagaimana
lagi? Siapa yang bisa menolak permintaan seorang gadis seperti Mirei? Apalagi
saat melihat gadis itu menyembunyikan
senyum di balik syal tebal yang nyaris menutupi setengah wajahnya.
Dengan wajah terbakar malu, Hideaki susah payah
menggerakkan bibirnya untuk berucap. “Mirei Yamashita, aishiteimasu6.”
TAMAT
1Hisashiburi da ne: Sudah lama tidak bertemu.
2Damare!: Diamlah!
3Yare-yare: Ya, ampun.
4Gakuran: Seragam sekolah khusus laki-laki.
5Hontou ni
daijoubu?: Kau
sungguh tidak apa-apa?
6Aishiteimasu: Aku mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D