Kamis, 21 April 2016

Orange Sunset (Epilog)

Selamat hari Kartini untuk semua wanita Indonesia.
Selamat membaca. Semoga suka~ \(^o^


“JIHAN... Jihan?”

Jihan tersentak dan mengangkat wajahnya. Pandangannya langsung berserobok dengan sepasang mata Silvia yang dilumuri perasaan khawatir.

“Apa?”

“Astaga, kau masih saja suka melamun?” tuduh Silvia sambil tersenyum masam. “Jangan katakan kau masih memikirkan Rangga?”

“Tidak,” sanggah Jihan penuh dusta. Ia lalu bangkit dan menghadap cermin. Berpura-pura merapikan gaunnya, demi menghindari tuduhan Silvia. Sudah lebih dari setahun berlalu sejak kepergian Rangga. Ia tidak menyangka Silvia kembali menyebut nama lelaki yang baru saja dipikirkannya. “Aku hanya... takut.”

Kening Silvia mengernyit dalam. “Apa yang kau takutkan?”

“Aku... takut pernikahan ini akan membuatku kehilanganmu.”

Di luar dugaan, Silvia malah terbahak seolah Jihan baru saja melucu. Mata Jihan langsung melebar protes.

“M-maaf, maaf,” ujar Silvia susah payah di tengah gelakaknya. “Itu tidak akan terjadi.”

“Benarkah?” tanya Jihan sangsi.

Alih-alih menjawab pertanyaan Jihan, Silvia malah mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kotak berukuran kecil yang dibungkus kertas kado berwarna jingga. Seutas pita berwarna senada melingkari kotak itu.

“Apa ini?” tanya Jihan saat kotak itu berpindah ke tangannya.

“Hadiah,” jawab Silvia ringan. “Tapi kau tidak boleh membukanya sekarang.”

“Kenapa?” Jihan membolak-balik kotak itu, mencoba menerka apa yang ada di dalamnya.

“Sebenarnya aku ingin memberikannya setelah acara selesai. Tapi begitu melihatmu murung di hari bahagia ini, maka aku memilih untuk memberikannya sekarang,” ujar Silvia lantas tersenyum simpul. “Semoga kau suka.”

“Terima kasih,” sahut Jihan lantas memeluk erat sahabatnya.

Silvia membalas pelukan Jihan. “Kita sama-sama tidak tahu seperti apa kehidupan setelah pernikahan. Aku juga belum pernah menikah sebelumnya. Tapi ayo berjanji untuk tidak saling merasa kehilangan. Kita bersahabat selamanya, kan?”

“Ya,” janji Jihan. “Kita bersahabat selamanya.”

Lama mereka dalam posisi seperti itu, seolah ini adalah hari terakhir bagi dunia. Hingga sebuah ketukan di pintu menginterupsi pelukan mereka. Seorang penata rias masuk dan meminta sang pengantin perempuan untuk bersiap.
***

Para tamu undangan hibuk melintasi ruangan acara. Beberapa dari mereka mengobrol seru dengan kolega atau teman dari keluarga mempelai. Tidak hentinya membahas betapa cantik sang pengantin perempuan, betapa mewahnya dekorasi ruangan pesta, atau pun betapa lezatnya makanan yang terhidang di sekitar mereka.

Mata Jihan memerhatikan Silvia yang tampak ramah kepada semua orang. Senyum lebar tidak henti-hentinya menghias wajah gadis itu. Tanpa sadar, senyuman itu menular pada Jihan. Ia ikut bahagia saat melihat sahabatnya itu bahagia. Walaupun ia memilih untuk tidak berbaur dengan aliran manusia di ruang pesta.

Jihan memilih untuk menyendiri di sudut ruangan yang jarang dilalui orang. Punggungnya menempel pada dinding di belakangnya. Satu tangannya menggenggam kotak hadiah dari Silvia. Tangan yang lain memegang segelas orange juice dengan warna jingga yang segar.

Minuman kesukaan lelaki itu.

Perlahan, Jihan mendekatkan gelas kaca itu ke bibirnya lalu menyesap sedikit demi sedikit. Rasa manis dan masam yang khas mengalir di tenggorokannya, menghadirkan perasaan nostalgia di hatinya. Dan sekejap, benaknya sudah dipenuhi kenangan akan lelaki itu.

“Jihan.”

Seseorang menyapanya dan langsung mengusik lamunannya. Saat ia menoleh, seorang lelaki yang dikenalnya tengah mendekat ke arahnya. Setelan jas berwarna biru gelap, melekat di tubuh lelaki itu. Senyumnya yang secerah matahari masih saja tidak berubah.

“Hai,” sapa Jihan saat lelaki itu tiba di hadapannya.

“Kau datang dengan siapa?” tanya Julian ingin tahu.

“Sendirian. Seperti biasa.” Jihan memutar bola matanya sambil tertawa kecil. “Kau sendiri?”

Julian menggeleng. “Aku datang bersama temanku. Mau kuperkenalkan?”

Baru saja Jihan membuka bibirnya untuk menolak, tetapi Julian sudah terlanjur melambaikan tangan untuk memanggil seseorang di kejauhan. Percuma lelaki itu bertanya jika tidak membutuhkan jawaban. Karena sungguh ia sedang tidak ingin berkenalan dengan siapa pun saat ini.

Tetapi begitu melihat siapa yang tadi dipanggil Julian, jantung Jihan seolah berhenti berdegup. Ia terkejut dan terpana dalam waktu yang bersamaan. Lelaki itu memiliki garis wajah yang tegas. Tubuhnya tegap berbalut setelan jas berwarna kelabu. Dan saat lelaki itu tersenyum padanya, ia merasakan ribuan kupu-kupu mengepak dalam perutnya.

“Hai.”

Jihan mengembuskan napasnya perlahan saat lelaki itu menyapanya. Ia mengharap bantuan dari  Julian yang entah sejak kapan sudah menghilang. Sementara batinnya tampak megap-megap kehabisan napas. Oh, mana mungkin ia sanggup menghadapi ini sendirian.

“Hai,” balas Jihan singkat. Otaknya seperti mati rasa untuk menemukan kata sapaan lain yang lebih pantas.

“Apa kabarmu?”

Demi Tuhan! Itu lelaki yang sering hadir dalam mimpi Jihan. Dan kini hadir nyata di hadapannya. Batinnya sudah mampu melompat riang. Bahkan nyaris mendorongnya untuk menghambur ke dalam pelukan lelaki itu.

Dalam pelukan Rangga!

“Baik.” Jihan berkedip, matanya tersaput rindu. “Kau sendiri?”

“Sepertinya aku tidak akan menjawab itu di sini,” jawab Rangga sambil tertawa kecil. “Kau ada waktu? Aku ingin bicara.”

Seperti terhipnotis, Jihan menggangguk dengan patuh. Ia tidak menolak saat gelas kaca dalam genggamannya sudah digantikan tangan hangat yang kini menariknya keluar dari ruangan pesta.

Begitu tersadar, Jihan sudah duduk di dalam mobil, di samping Rangga yang sedang fokus menyetir.

“Kita mau ke mana?” tanya Jihan begitu menyadari bahwa ia dengan sukarela menjadi korban penculikan.

“Aku ingin mengejar senja denganmu,” jawab Rangga tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalan.

Jihan melemparkan pandangannya ke luar jendela. Langit tampak menampilkan lengkungan biru muda dan jingga di depan mereka. Rangga membawa mobilnya melaju kencang dan sesekali berbelok di tikungan. Sekarang mobil bergerak ke arah selatan tanpa hambatan.

Pemandangan senja berpindah ke sisi kanan mobil. Cahaya matahari berpendar menjadi pancaran berwarna jingga yang menyala terang. Senja mengikuti setiap langkah mereka, hingga akhirnya Rangga menghentikan mobil di bahu jalan yang tidak diaspal.

Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Jihan tanyakan. Seperti misalnya, mengapa Rangga hanya membalas surelnya dengan foto-foto senja yang dipotretnya. Bukannya membalas dengan kata-kata. Tetapi begitu melihat lelaki itu yang langsung serius di balik lensanya, Jihan mengurungkan niatnya.

Untuk saat ini, Jihan memilih bersandar pada bagian depan mobil, menikmati pemandangan di hadapannya. Pemandangan yang sudah lama tidak dilihatnya: Rangga yang tengah membidik sapuan warna jingga di angkasa dengan kameranya.

“Kau tahu, aku juga ingin menikah dalam waktu dekat,” ucap Rangga sambil lalu begitu ia ikut bersandar di samping Jihan. Bahkan kepalanya masih tertunduk melihat hasil-hasil jepretan kameranya, benar-benar tidak peduli pada gadis yang pasi menatapnya.

Jihan menatap Rangga tidak percaya. Bibirnya seolah kehabisan kata-kata. Jadi, ini maksudnya? Lelaki ini membawanya pergi hanya untuk ini? Demi memberitahukan rencana pernikahannya?

Oh, yang benar saja!

Jihan ingin berteriak atau menangis. Ia tahu Rangga pasti akan dengan mudah melupakannya. Tetapi... entah mengapa dengan bodohnya ia tidak mempersiapkan diri. Hingga berakhir patah hati. Dan sekarang tidak ada lagi yang bisa dilakukannya selain sekuat tenaga menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya.

Hem... kapan itu?” tanya Jihan sambil menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. Jemarinya sibuk memainkan ujung jahitan gaunnya.

“Entahlah,” jawab Rangga lantas menggidikkan bahu. “Aku perlu bertanya dulu kepada calon pengantinku.”

Bibir Jihan terkunci rapat. Ia merasa tidak perlu memberikan tanggapan apa pun. Semua sudah jelas. Setelah ini, ia harus benar-benar melupakan Rangga. Tidak ada gunanya menunggu lebih lama lagi.

Mereka berdua bertahan lama dalam keheningan. Hanya bunyi mesin kendaraan yang lewat menemani mereka, menikmati cahaya matahari yang semakin lama semakin memudar ditelan senja.

“Tadi kulihat, kau memegang kotak seperti ini,” ucap Rangga memecah keheningan di antara mereka. Tangannya merogoh saku dan memperlihatkan sebuah kotak. Kotak yang sama seperti yang diberikan Silvia untuk Jihan.

Selama beberapa detik, Jihan terkesiap. Tetapi kemudian ia mengeluarkan kotak miliknya dari dalam tas.

“Kau sudah membukanya?”

Jihan menggelengkan kepala. “Silvia melarangku.”

“Kau ingin membukanya sekarang?”

“Tentu saja. Sejak tadi aku sudah penasaran.”

“Sejak tadi? Aku sudah menahannya dari kemarin. Silvia menyuruhku membukanya bersamamu,” timpal Rangga sambil menarik pita jingga yang mengikat kotak dalam genggamannya.

“Kemarin? Sebenarnya, sejak kapan kau pulang?”

“Sekitar seminggu yang lalu,” jawab Rangga sambil mengingat-ingat. “Aku ingin segera menghubungimu tapi Julian dan Silvia mencegahku. Mereka berkata ingin memberimu kejutan.”

Kejutan, huh? Memang benar Jihan sangat terkejut dengan kedatangan Rangga yang tiba-tiba. Dan mengungkapkan rencana pernikahannya begitu saja. Seolah tidak pernah ada perasaan istimewa di antara mereka berdua.

Atau hanya Jihan yang menganggap perasaan mereka istimewa?

“Apa ini?” gumam Rangga kebingungan begitu kotak miliknya terbuka.

Jihan tersentak dan ikut melihat ke dalam kotak dalam genggamannya. Kedua alisnya terangkat, tidak menyangka pada apa yang tergeletak di sana.

“Lho? Ini, kan?” Hati-hati,  Jihan memindahkan benda itu ke telapak tangannya. “Ini cangkang kerang yang dulu kutemukan di pantai dan kuberikan untuk Silvia.”

“Benarkah?” Mata Rangga melebar heran. “Aku juga memberinya benda serupa.”

“Wah!” seru Jihan takjub. Cangkang kerang berwarna lembayung itu terpajang di telapak tangan mereka yang terbuka berdampingan. “Kenapa bisa?”

“Mungkin karena kita ditakdirkan bersama,” gumam Rangga cepat lantas menutupinya dengan tawa.

Jihan ikut tergelak dengan kening yang mengernyit, mencoba memahami apa yang baru saja diucapkan Rangga dalam tawanya.

Lambat laun, derai tawa mereka mereda dan hening kembali mengambil alih suasana. Mereka kembali sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara langit di atas sana semakin menghitam, pertanda hari akan berganti malam.

“Jadi, kapan?”

“Eh?” Jihan menoleh dengan ekspresi tidak mengerti. “Apanya?”

“Pernikahan kita.”

“Pernikahan... kita?” ulang Jihan seperti orang bodoh. Mulutnya menganga kebingungan dan tidak tahu harus berkata apa. Tenggorokannya tercekat dengan ribuan pertanyaan menggantung di sana.

“Oh, ayolah. Jangan menatapku seperti itu,” protes Rangga sambil memalingkan wajahnya. “Terakhir kali kau menatapku seperti itu, kau menganggap perasaanku sebagai lelucon dan menertawakannya.”

Buru-buru Jihan memperbaiki ekspresinya. Kini hanya keningnya yang berkerut menunjukkan perasaan bingung. “Hei, hei. Apa kau sedang melamarku?”

“Ya.” Rangga menoleh dan menggangguk mantap. “Apa kau tidak mau menikah denganku?”

Batin Jihan tersenyum lebar di dalam sana. Tetapi ia malah mengerucutkan bibirnya penuh pertimbangan. Sepenuh hati ia berharap suara jantungnya yang menari riang tidak menggema di udara.

Hem... aku rasa, ada yang kurang.” Jihan memicingkan matanya seolah sedang berpikir keras. “Kau tidak menyatakan cinta padaku.”

Mata Rangga melebar sebal. “Apa selama ini belum cukup? Aku menjaga cintaku untukmu... dan juga foto-foto senja itu....”

“Tunggufoto senja apa?”

Alis Rangga terangkat menunjukkan ekspresi marah. “Kau tidak pernah membuka surelku?”

Jihan menggeleng. Matanya dilumuri perasaan bersalah. “Kau tidak pernah menjawab pertanyaanku dan hanya mengirimkan foto. Kukira kau hanya menjadikanku sebagai penyimpanan foto-fotomu.”

“Aku menyatakan cintaku di setiap foto ituoh, baiklah, lupakan saja.” Rangga mengembuskan napas berat yang perasaan gemas. “Dengarkan ini, aku hanya akan mengatakannya satu kali.”

Jihan langsung menganggukkan kepala. Cepat-cepat ia menegakkan punggungnya dan menajamkan pendengarannya. Seperti murid patuh yang bersiap menerima pelajaran di kelas.

Rangga maju satu langkah mendekati Jihan, memandang serius ke arah gadis itu. “Aku jatuh cinta padamu, Jihan.”

Detik itu juga, jantung Jihan seperti berhenti berdetak. Sebuah anak panah yang memelesat  dari busur dewa cinta, menancap tepat di sana. Cangkang kerang berwarna lembayung, menatap bahagia dari balik genggaman tangan. Ia tidak menyangka bisa mendengar pernyataan cinta itu sekali lagi.

Seulas senyum mulai muncul malu-malu di bibir Jihan. Sayangnya, Rangga langsung membungkuk dan mencuri senyum itu dengan bibirnya sendiri. Seperti senja yang mencuri siang dan mengubahnya menjadi malam.



Bibir mereka yang bersentuhan, menjadi pertanda hilangnya hari yang sendu untuk menyambut hari yang dihiasi rindu.


ORANGE SUNSET - TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D