Selamat hari Kartini untuk semua wanita Indonesia.
Selamat membaca. Semoga suka~ \(^o^
Selamat membaca. Semoga suka~ \(^o^
“JIHAN... Jihan?”
Jihan tersentak dan mengangkat wajahnya. Pandangannya
langsung berserobok dengan sepasang mata Silvia yang dilumuri perasaan
khawatir.
“Apa?”
“Astaga, kau masih saja suka melamun?” tuduh Silvia
sambil tersenyum masam. “Jangan katakan kau masih memikirkan Rangga?”
“Tidak,” sanggah Jihan penuh dusta. Ia lalu bangkit dan
menghadap cermin. Berpura-pura merapikan gaunnya, demi menghindari tuduhan
Silvia. Sudah lebih dari setahun berlalu
sejak kepergian Rangga. Ia tidak menyangka Silvia kembali menyebut nama lelaki
yang baru saja dipikirkannya. “Aku hanya... takut.”
Kening Silvia mengernyit dalam. “Apa yang kau takutkan?”
“Aku... takut pernikahan ini akan membuatku
kehilanganmu.”
Di luar dugaan, Silvia malah terbahak seolah Jihan baru
saja melucu. Mata Jihan langsung melebar protes.
“M-maaf, maaf,” ujar Silvia susah payah di tengah
gelakaknya. “Itu tidak akan terjadi.”
“Benarkah?” tanya Jihan sangsi.
Alih-alih menjawab pertanyaan Jihan, Silvia malah
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kotak berukuran kecil yang
dibungkus kertas kado berwarna jingga. Seutas pita berwarna senada melingkari
kotak itu.
“Apa ini?” tanya Jihan saat kotak itu berpindah ke
tangannya.
“Hadiah,” jawab Silvia ringan. “Tapi kau tidak boleh
membukanya sekarang.”
“Kenapa?” Jihan membolak-balik kotak itu, mencoba menerka
apa yang ada di dalamnya.
“Sebenarnya aku ingin memberikannya setelah acara
selesai. Tapi begitu melihatmu murung di hari bahagia ini, maka aku memilih
untuk memberikannya sekarang,” ujar Silvia lantas tersenyum simpul. “Semoga kau
suka.”
“Terima kasih,” sahut Jihan lantas memeluk erat
sahabatnya.
Silvia membalas pelukan Jihan. “Kita sama-sama tidak tahu
seperti apa kehidupan setelah pernikahan. Aku juga belum pernah menikah sebelumnya.
Tapi ayo berjanji untuk tidak saling merasa kehilangan. Kita bersahabat
selamanya, kan?”
“Ya,” janji Jihan. “Kita bersahabat selamanya.”
Lama mereka dalam posisi seperti itu, seolah ini adalah hari
terakhir bagi dunia. Hingga sebuah ketukan di pintu menginterupsi pelukan
mereka. Seorang penata rias masuk dan meminta sang pengantin perempuan untuk
bersiap.
***
Para tamu undangan hibuk melintasi ruangan acara.
Beberapa dari mereka mengobrol seru dengan kolega atau teman dari keluarga mempelai.
Tidak hentinya membahas betapa cantik sang pengantin perempuan, betapa mewahnya
dekorasi ruangan pesta, atau pun betapa lezatnya makanan yang terhidang di
sekitar mereka.
Mata Jihan memerhatikan Silvia yang tampak ramah kepada
semua orang. Senyum lebar tidak henti-hentinya menghias wajah gadis itu. Tanpa
sadar, senyuman itu menular pada Jihan. Ia ikut bahagia saat melihat sahabatnya
itu bahagia. Walaupun ia memilih untuk tidak berbaur dengan aliran manusia di
ruang pesta.
Jihan memilih untuk menyendiri di sudut ruangan yang
jarang dilalui orang. Punggungnya menempel pada dinding di belakangnya. Satu
tangannya menggenggam kotak hadiah dari Silvia. Tangan yang lain memegang segelas
orange juice dengan warna jingga yang
segar.
Minuman kesukaan lelaki itu.
Perlahan, Jihan mendekatkan gelas kaca itu ke bibirnya lalu
menyesap sedikit demi sedikit. Rasa manis dan masam yang khas mengalir di
tenggorokannya, menghadirkan perasaan nostalgia di hatinya. Dan sekejap,
benaknya sudah dipenuhi kenangan akan lelaki itu.
“Jihan.”
Seseorang menyapanya dan langsung mengusik lamunannya.
Saat ia menoleh, seorang lelaki yang dikenalnya tengah mendekat ke arahnya.
Setelan jas berwarna biru gelap, melekat di tubuh lelaki itu. Senyumnya yang
secerah matahari masih saja tidak berubah.
“Hai,” sapa Jihan saat lelaki itu tiba di hadapannya.
“Kau datang dengan siapa?” tanya Julian ingin tahu.
“Sendirian. Seperti biasa.” Jihan memutar bola matanya
sambil tertawa kecil. “Kau sendiri?”
Julian menggeleng. “Aku datang bersama temanku. Mau kuperkenalkan?”
Baru saja Jihan membuka bibirnya untuk menolak, tetapi
Julian sudah terlanjur melambaikan tangan untuk memanggil seseorang di
kejauhan. Percuma lelaki itu bertanya jika tidak membutuhkan jawaban. Karena
sungguh ia sedang tidak ingin berkenalan dengan siapa pun saat ini.
Tetapi begitu melihat siapa yang tadi dipanggil Julian,
jantung Jihan seolah berhenti berdegup. Ia terkejut dan terpana dalam waktu
yang bersamaan. Lelaki itu memiliki garis wajah yang tegas. Tubuhnya tegap
berbalut setelan jas berwarna kelabu. Dan saat lelaki itu tersenyum padanya, ia
merasakan ribuan kupu-kupu mengepak dalam perutnya.
“Hai.”
Jihan mengembuskan napasnya perlahan saat lelaki itu
menyapanya. Ia mengharap bantuan dari
Julian yang entah sejak kapan sudah menghilang. Sementara batinnya
tampak megap-megap kehabisan napas. Oh, mana mungkin ia sanggup menghadapi ini
sendirian.
“Hai,” balas Jihan singkat. Otaknya seperti mati rasa
untuk menemukan kata sapaan lain yang lebih pantas.
“Apa kabarmu?”
Demi Tuhan! Itu lelaki yang sering hadir dalam mimpi
Jihan. Dan kini hadir nyata di hadapannya. Batinnya sudah mampu melompat riang.
Bahkan nyaris mendorongnya untuk menghambur ke dalam pelukan lelaki itu.
Dalam pelukan Rangga!
“Baik.” Jihan berkedip, matanya tersaput rindu. “Kau
sendiri?”
“Sepertinya aku tidak akan menjawab itu di sini,” jawab Rangga
sambil tertawa kecil. “Kau ada waktu? Aku ingin bicara.”
Seperti terhipnotis, Jihan menggangguk dengan patuh. Ia
tidak menolak saat gelas kaca dalam genggamannya sudah digantikan tangan hangat
yang kini menariknya keluar dari ruangan pesta.
Begitu tersadar, Jihan sudah duduk di dalam mobil, di
samping Rangga yang sedang fokus menyetir.
“Kita mau ke mana?” tanya Jihan begitu menyadari bahwa ia
dengan sukarela menjadi korban penculikan.
“Aku ingin mengejar senja denganmu,” jawab Rangga tanpa
mengalihkan perhatiannya dari jalan.
Jihan melemparkan pandangannya ke luar jendela. Langit
tampak menampilkan lengkungan biru muda dan jingga di depan mereka. Rangga
membawa mobilnya melaju kencang dan sesekali berbelok di tikungan. Sekarang
mobil bergerak ke arah selatan tanpa hambatan.
Pemandangan senja berpindah ke sisi kanan mobil. Cahaya
matahari berpendar menjadi pancaran berwarna jingga yang menyala terang. Senja
mengikuti setiap langkah mereka, hingga akhirnya Rangga menghentikan mobil di
bahu jalan yang tidak diaspal.
Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Jihan tanyakan.
Seperti misalnya, mengapa Rangga hanya membalas surelnya dengan foto-foto senja
yang dipotretnya. Bukannya membalas dengan kata-kata. Tetapi begitu melihat
lelaki itu yang langsung serius di balik lensanya, Jihan mengurungkan niatnya.
Untuk saat ini, Jihan memilih bersandar pada bagian depan
mobil, menikmati pemandangan di hadapannya. Pemandangan yang sudah lama tidak
dilihatnya: Rangga yang tengah membidik sapuan warna jingga di angkasa dengan
kameranya.
“Kau tahu, aku juga ingin menikah dalam waktu dekat,” ucap
Rangga sambil lalu begitu ia ikut bersandar di samping Jihan. Bahkan kepalanya
masih tertunduk melihat hasil-hasil jepretan kameranya, benar-benar tidak peduli
pada gadis yang pasi menatapnya.
Jihan menatap Rangga tidak percaya. Bibirnya seolah
kehabisan kata-kata. Jadi, ini maksudnya? Lelaki ini membawanya pergi hanya
untuk ini? Demi memberitahukan rencana pernikahannya?
Oh, yang benar saja!
Jihan ingin berteriak atau menangis. Ia tahu Rangga pasti
akan dengan mudah melupakannya. Tetapi... entah mengapa dengan bodohnya ia
tidak mempersiapkan diri. Hingga berakhir patah hati. Dan sekarang tidak ada
lagi yang bisa dilakukannya selain sekuat tenaga menyembunyikan perasaan yang
sesungguhnya.
“Hem... kapan
itu?” tanya Jihan sambil menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. Jemarinya
sibuk memainkan ujung jahitan gaunnya.
“Entahlah,” jawab Rangga lantas menggidikkan bahu. “Aku
perlu bertanya dulu kepada calon pengantinku.”
Bibir Jihan terkunci rapat. Ia merasa tidak perlu
memberikan tanggapan apa pun. Semua sudah jelas. Setelah ini, ia harus
benar-benar melupakan Rangga. Tidak ada gunanya menunggu lebih lama lagi.
Mereka berdua bertahan lama dalam keheningan. Hanya bunyi
mesin kendaraan yang lewat menemani mereka, menikmati cahaya matahari yang
semakin lama semakin memudar ditelan senja.
“Tadi kulihat, kau memegang kotak seperti ini,” ucap
Rangga memecah keheningan di antara mereka. Tangannya merogoh saku dan
memperlihatkan sebuah kotak. Kotak yang sama seperti yang diberikan Silvia
untuk Jihan.
Selama beberapa detik, Jihan terkesiap. Tetapi kemudian
ia mengeluarkan kotak miliknya dari dalam tas.
“Kau sudah membukanya?”
Jihan menggelengkan kepala. “Silvia melarangku.”
“Kau ingin membukanya sekarang?”
“Tentu saja. Sejak tadi aku sudah penasaran.”
“Sejak tadi? Aku sudah menahannya dari kemarin. Silvia
menyuruhku membukanya bersamamu,” timpal Rangga sambil menarik pita jingga yang
mengikat kotak dalam genggamannya.
“Kemarin? Sebenarnya, sejak kapan kau pulang?”
“Sekitar seminggu yang lalu,” jawab Rangga sambil
mengingat-ingat. “Aku ingin segera menghubungimu tapi Julian dan Silvia
mencegahku. Mereka berkata ingin memberimu kejutan.”
Kejutan, huh? Memang benar Jihan sangat terkejut dengan
kedatangan Rangga yang tiba-tiba. Dan mengungkapkan rencana pernikahannya
begitu saja. Seolah tidak pernah ada perasaan istimewa di antara mereka berdua.
Atau hanya Jihan yang menganggap perasaan mereka
istimewa?
“Apa ini?” gumam Rangga kebingungan begitu kotak miliknya
terbuka.
Jihan tersentak dan ikut melihat ke dalam kotak dalam
genggamannya. Kedua alisnya terangkat, tidak menyangka pada apa yang tergeletak
di sana.
“Lho? Ini, kan?” Hati-hati, Jihan memindahkan benda itu ke telapak
tangannya. “Ini cangkang kerang yang dulu kutemukan di pantai dan kuberikan
untuk Silvia.”
“Benarkah?” Mata Rangga melebar heran. “Aku juga memberinya
benda serupa.”
“Wah!” seru Jihan takjub. Cangkang kerang berwarna
lembayung itu terpajang di telapak tangan mereka yang terbuka berdampingan.
“Kenapa bisa?”
“Mungkin karena kita ditakdirkan bersama,” gumam Rangga
cepat lantas menutupinya dengan tawa.
Jihan ikut tergelak dengan kening yang mengernyit,
mencoba memahami apa yang baru saja diucapkan Rangga dalam tawanya.
Lambat laun, derai tawa mereka mereda dan hening kembali
mengambil alih suasana. Mereka kembali sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara
langit di atas sana semakin menghitam, pertanda hari akan berganti malam.
“Jadi, kapan?”
“Eh?” Jihan menoleh dengan ekspresi tidak mengerti.
“Apanya?”
“Pernikahan kita.”
“Pernikahan...
kita?” ulang Jihan seperti orang bodoh. Mulutnya menganga kebingungan dan tidak tahu harus berkata apa. Tenggorokannya tercekat
dengan ribuan pertanyaan menggantung di sana.
“Oh, ayolah. Jangan menatapku seperti itu,” protes Rangga
sambil memalingkan wajahnya. “Terakhir kali kau menatapku seperti itu, kau
menganggap perasaanku sebagai lelucon dan menertawakannya.”
Buru-buru Jihan memperbaiki ekspresinya. Kini hanya
keningnya yang berkerut menunjukkan perasaan bingung. “Hei, hei. Apa kau sedang
melamarku?”
“Ya.” Rangga menoleh dan menggangguk mantap. “Apa kau
tidak mau menikah denganku?”
Batin Jihan tersenyum lebar di dalam sana. Tetapi ia
malah mengerucutkan bibirnya penuh pertimbangan. Sepenuh hati ia berharap suara
jantungnya yang menari riang tidak menggema di udara.
“Hem... aku
rasa, ada yang kurang.” Jihan memicingkan matanya seolah sedang berpikir keras.
“Kau tidak menyatakan cinta padaku.”
Mata Rangga melebar sebal. “Apa selama ini belum cukup?
Aku menjaga cintaku untukmu... dan juga foto-foto senja itu....”
“Tunggu—foto senja apa?”
Alis Rangga terangkat menunjukkan ekspresi marah. “Kau tidak
pernah membuka surelku?”
Jihan menggeleng. Matanya dilumuri perasaan bersalah. “Kau
tidak pernah menjawab pertanyaanku dan hanya mengirimkan foto. Kukira kau hanya
menjadikanku sebagai penyimpanan foto-fotomu.”
“Aku menyatakan cintaku di setiap foto itu—oh, baiklah,
lupakan saja.” Rangga mengembuskan napas berat yang perasaan gemas. “Dengarkan
ini, aku hanya akan mengatakannya satu kali.”
Jihan langsung menganggukkan kepala. Cepat-cepat ia
menegakkan punggungnya dan menajamkan pendengarannya. Seperti murid patuh yang
bersiap menerima pelajaran di kelas.
Rangga maju satu langkah
mendekati Jihan, memandang serius ke arah gadis itu. “Aku jatuh cinta padamu,
Jihan.”
Detik itu juga, jantung Jihan seperti berhenti berdetak.
Sebuah anak panah yang memelesat dari
busur dewa cinta, menancap tepat di sana. Cangkang kerang berwarna lembayung,
menatap bahagia dari balik genggaman tangan. Ia tidak menyangka bisa mendengar
pernyataan cinta itu sekali lagi.
Seulas senyum mulai muncul malu-malu di bibir Jihan.
Sayangnya, Rangga langsung membungkuk dan mencuri senyum itu dengan bibirnya
sendiri. Seperti senja yang mencuri siang dan mengubahnya menjadi malam.
Bibir mereka yang bersentuhan, menjadi pertanda hilangnya
hari yang sendu untuk menyambut hari yang dihiasi rindu.
ORANGE SUNSET - TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D