Jumat, 27 Februari 2015

Keajaiban Hitam


“Sam, cepat sebarkan warna hitammu pada langit. Kau harus cepat sebelum gadis itu berangkat.” Perintah Ruth gadis yang mengenakan pakaian serba coklat itu pada Sam, gadis yang memakai pakaian hitam, senada dengan rambut, mata dan sayapnya yang indah.

Ini adalah negeri Elvios dimana semua peri memiliki tugas untuk memberikan warna pada apapun yang ada di dunia ini. Bunga, pohon, daun, bahkan langit. Namun Sam sangatlah menyesali mengapa ia dilahirkan dengan warna hitam. Hitam selalu buruk. Seperti halnya sore ini. Gadis itu harus menaburkan warnanya di langit untuk membuat hujan dan Ashley, gadis yang akan keluar rumah untuk bertemu kekasihnya yang hendak berangkat ke Jerman terpaksa harus membatalkan rencananya.

“Sialan kau peri hitam! Semua ini gara-gara kau aku tak bisa bertemu Ryan!”  Ashley mengumpat kesal pada langit yang telah menghitam disusul dengan badai dan hujan yang amat sangat deras.

***

“Ada apa denganmu, Sam?” Lelaki yang didominasi warna hijau itu mendekati Sam yang sedang  duduk murung di ranting pohon. Sam menggeleng. Kemudian lelaki itu terbang dan duduk di samping Sam. “Kau mau cerita?” Ia mencoba membujuk.

“Apa yang kau lakukan disini?” Sam mengalihkan pembicaraan.

“Tentu saja aku melakukan tugasku. Aku harus memberi warna pada daun-daun itu, supaya mereka terlihat segar.”

“Aku iri padamu.” Gerutu Sam pelan.

“Kenapa?”

“Warnamu cerah dan menenangkan, tugasmu memberikan kehidupan. Dan para petani sangat memujamu. Tidak sepertiku, yang hanya memberikan kesialan bagi orang-orang.” Ujar Sam sambil mengusap air matanya.

“Sam, jangan begitu. Kita punya tugas masing-masing sesuai warna kita. Dan lagi tidak semuanya hitam itu sial. Masih ada warna hitam yang lain yang begitu disukai oleh manusia.”

“Lalu apa menurutmu hitam yang disukai manusia?” Lelaki itu terdiam. Membuat Sam mendengus. “Sudah ku bilang warna hitam hanya menyusahkan manusia. Kau hanya menghiburku Cody, tapi itu sama sekali tak berhasil.” Sam mengepakkan sayapnya meninggalkan lelaki bernama Cody, sang peri hijau.

“Hei Sam, lihat karyaku hari ini.” Skye sang peri merah memperlihatkan hamparan bunga berwarna merah yang begitu indah. Membuat Sam semakin bersedih. Sam hanya tersenyum kemudian meninggalkan Skye.

***

Seperti biasanya, Sam memiliki tugas untuk menaburkan hitam pada langit sore. Gadis itu nampak murung. Ditatapnya perempuan tua yang tengah terburu-buru mencari tempat untuk berlindung. Tapi Sam masih melakukan tugasnya. Kemudian wanita itu setengah berlari untuk menyeberang. Sebuah motor melaju dengan kencang karena guyuran hujan semakin lebat. Kemudian motor itu menabrak wanita itu hingga jatuh tersungkur dan terguling-guling. Sedangkan pengendara motor kabur begitu saja.

Sam melihat Skye menenteng keranjang merahnya, menaburkan warna merah pada tubuh wanita itu. Teriakan orang-orang yang mencoba menyadarkan wanita yang kini berlumuran darah membuat Sam semakin merasa bersalah.

“Hidupnya memang hanya sampai disini Sam.” Skye menepuk pundak Sam yang masih tercengang menyaksikan kejadian itu. Air mata mengalir dari kedua matanya. Rasa bersalah kembali menyelimutinya. Andai saja dia bukan peri hitam, ia pasti tak akan membuat banyak orang meninggal karena ulahnya.

Sam mengepakkan sayapnya menuju ke padang rumput di dekat rumahnya dengan air mata yang terus mengalir membasahi wajahnya. Tentu saja setelah menyelesaikan tugasnya untuk menabur hitam pada langit malam.

“Ada apa lagi Sam?” Cody meletakkan keranjang hijaunya dan berdiri dihadapan Sam.

“Aku membunuh orang lagi, Cody.” Sam berhambur memeluk Cody.

“Sam sudahlah, ini bukan salahmu. Itu memang sudah takdir jika orang itu harus meninggal.”

“Tapi ini gara-gara aku. aku memang membawa sial untuk semua orang.”

“Tidak Sam. Ayo ikut denganku. Akan kutunjukkan sesuatu.” Cody menarik tangan Sam menuju suatu tempat.

“Lihatlah langit malam ini begitu indah dengan bintang-bintang yang bersinar terang.” Ujar seorang wanita yang tengah duduk diatas kursi roda pada lelaki disampingnya. Wanita itu masih muda dan cantik, namun sebelah kakinya menghilang dan balutan perban masih ada di kepalanya.

“Kau suka malam?” Tanya lelaki itu.

“Tentu saja. Aku jauh lebih menyukai malam–” Gadis itu menghentikan ucapannya saat sebuah kembang api membumbung tinggi di langit. “–dia membuat kembang api itu terlihat jauh lebih cantik bukan. Aku bersyukur Tuhan menciptakan malam.”

“Kau lihat Sam, hitammu tidak selalu memberikan musibah. Gadis itu justru bersyukur Tuhan menciptakan malam. Semua itu berkat kau.” Cody menepuk bahu Sam, membuat gadis itu melebarkan senyum di wajahnya.

“Semua warna memiliki kekurangan Sam, seperti aku misal, aku memberikan warna hijau untuk ulat dan mereka merusak daun-daun yang seharusnya utuh. Skye memberikan warna merah pada darah untuk orang-orang yang kesakitan dan Ruth bisa menaburkan warna coklatnya pada air bah yang membanjiri kampung. Tuhan menciptakan semua dengan kekurangan dan kelebihan.”

“Kau benar Cody. Terima kasih Cody, kau telah menyadarkanku.”

TAMAT


Kamis, 26 Februari 2015

Waiting for You Part 1



Entah sudah berapa kali mata Winda melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum jam terasa semakin melambat. Lehernya bergerak menoleh ke kanan dan ke kiri hingga kepalanya terasa pusing. Bibirnya mengerucut gelisah. Hidungnya mengembuskan napas berat hingga ia terdengar seperti sedang mendengus. Kakinya bergoyang-goyang tidak sabar.

Winda saat ini sedang duduk di sebuah bangku panjang yang terletak di tengah taman kota. Sesekali ia berdiri dan melongok ke arah pintu masuk taman. Di sebelah bangku taman itu tepat di titik tengah taman kota yang berbentuk melingkar, berdiri kokoh sebuah tiang dengan jam yang ada di puncaknya.

Jangan membayangkan astronomical clock atau clock tower yang ada di kota-kota besar. Jam yang ada di taman ini kondisinya benar-benar menyedihkan. Tiangnya yang walaupun kokoh tapi tampak sudah berkarat. Sementara jamnya sendiri sudah tidak bisa menunjukkan waktu yang tepat. Ketiga jarumnya diam tak bergerak. Terus-terusan menunjukkan pukul sepuluh. Padahal sekarang sudah pukul dua belas siang. Pantas saja sinar matahari terasa makin menyengat. Dan itu berarti Winda sudah menunggu di taman ini selama dua jam lamanya.

Benar! Dua jam!

Winda mengepalkan tinjunya. Ia menghantam perlahan ke arah keningnya. Ini memang bukan yang pertama kalinya. Tapi entah mengapa, Winda tetap saja merasa kecewa saat mendapati Dewa kembali tidak datang tepat waktu. Seharusnya hatinya merasa terbiasa. Tapi mengapa perasaan kecewa itu rasanya semakin berkumpul dan menggores hati Winda tanpa ampun?

Waktu terus berlalu. Dalam setiap detik pergerakan jarum jam terasa menyakitkan. Semakin lama semakin menumpuk perasaan kecewa yang memenuhi dada. Winda merasa tidak tahan dengan ini semua! Berbagi cerita dengan teman perempuannya kemarin malam benar-benar sudah membuka matanya.

Untuk yang ke sekian kalinya, Winda melirik kesal ke arah jam tangannya. Batinnya sibuk memutuskan hukuman yang pantas bagi kekasihnya yang tidak tepat waktu itu. Jika dalam lima menit Dewa tidak juga muncul di hadapannya... maka... Winda akan mengakhiri hubungan mereka hari ini juga!

Bukankah itu hukuman yang pantas bagi Dewa?

Winda merasa, perpisahan mereka tidak akan berakibat buruk bagi siapapun. Dewa tidak perlu lagi membuat janji yang kemudian akan dilanggarnya sendiri. Dan Winda juga tidak perlu membuang waktu untuk menunggu Dewa yang tidak bisa tepat waktu. Sekalipun Dewa sendiri yang selalu menentukan waktu janjian mereka. Sepertinya perpisahan akan terasa adil bagi pihak manapun.

Tiga menit sudah berlalu.

Helaan napas berat mengembus tajam dari hidung Winda. Dua menit terasa lebih lama kali ini. Ia berusaha menikmati detik-detik menjelang perpisahannya dengan Dewa. Benaknya berputar mencari kata-kata yang tepat untuk memutuskan hubungan mereka tanpa banyak perdebatan. Teman-teman Winda juga menyarankan hal yang sama kepadanya kemarin malam.

Winda bangkit dari duduknya. Ia berdiri berhadapan dengan jam rusak itu. Matanya memandang saksama ke arah jarum jam yang tidak lagi berdetak. Ingatannya melayang ke masa lalu.

Pertemuan pertama Winda dan Dewa, terjadi di taman ini. Tepat di tempat Winda berdiri saat ini. Begitu juga hari pernyataan cinta Dewa kepada Winda. Kemudian kencan pertama mereka. Dan... kencan-kencan selanjutnya yang selalu dihabiskan Winda untuk menunggu Dewa datang terlambat. Sepertinya tidak ada salahnya jika Winda mengakhiri hubungan mereka di tempat ini juga. Ia berharap, semoga itu akan menambah nilai sejarah bagi tempat ini.

“Winda!”

Winda mendengar suara yang dikenalnya dari kejauhan. Langkah berderap semakin mendekat ke arahnya. Tanpa perlu menolehkan kepalanya, Winda tahu persis siapa yang memanggilnya.

Mata Winda langsung melirik jam tangan warna tosca-nya. Lelaki beruntung, batinnya. Waktu baru berlalu satu menit lebih sedikit. Belum melebihi batas waktu yang ditentukan Winda.

“Winda, maaf aku terlambat lagi hari ini.” Suara Dewa sedikit terputus-putus karena napasnya yang tersengal.

Tentu saja, bodoh. Winda mengumpat dalam hati. Sementara matanya tidak bergerak sedikitpun dari jam yang menjulang di hadapannya. Kepalanya mendongak seolah tidak peduli pada kehadiran Dewa.

“Winda?” Dewa memanggil nama gadisnya dengan suara lirih. Gurat kebingungan tergambar jelas di nada suaranya. Napasnya belum teratur. Ia berlari secepat mungkin menuju ke taman. Tidak sabar untuk segera bertemu dengan Winda. Tapi kini, gadis itu mengabaikannya seperti debu yang menempel pada aspal yang kelabu.

Dengan enggan, Winda menggerakkan kepalanya. Ia menoleh ke arah calon mantan kekasihnya. Lelaki itu tampan seperti biasanya atau setidaknya di mata Winda. Rambutnya yang bergelombang menjuntai lembut di keningnya, nyaris menyentuh alisnya yang tegas. Sepasang mata yang selalu menatap penuh kelembutan. Juga rahang yang

Winda mengerjap satu kali. Lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ini bukan saatnya untuk terpesona!

“Menurutmu jam berapa sekarang,” kata Winda ketus.

Mata Dewa membelalak karena terkejut. Ia tahu benar itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan. Dan nada bicara yang keras dan tajam seperti itu... tidak seperti Winda yang biasanya.

Winda yakin, Dewa pasti terkejut dengan sikapnya yang berubah kali ini. Biasanya, Winda akan menyambut Dewa dengan senyum ceria walaupun terbesit rasa kecewa. Ia tidak ingin membuat kekasihnya merasa bersalah karena sudah membuatnya menunggu lebih dari satu jam. Tapi seperti kata teman-temannya kemarin malam, Winda tidak boleh terus-terusan bersikap lembek seperti itu.

Mata Winda menatap Dewa dengan garang. Kemarahan itu hampir saja walaupun akhirnya tidak sampai memenuhi wajahnya. Rasanya sudah lama sekali wajah Winda tidak pernah membara oleh kemarahan seperti apapun. Sekali lagi, ia harus sedikit menunjukkan taringnya seperti saran teman-temannya tadi malam.

Winda harus menunjukkan kepada Dewa. Tidak ada seorangpun yang berhak menginjak harga dirinya. Sekalipun itu lelaki yang dicintainya dengan tulus.

“M-maaf,” gumam Dewa kemudian. Ia masih merasa bingung dengan sikap Winda yang mendadak berubah dingin seperti ini.

Sebenarnya, Dewa tahu saat seperti ini akan tiba. Tapi ia ternyata belum siap saat hal itu terjadi. Tidak ada perlindungan bagi kapalnya untuk menghadapi badai. Dan itu berarti ia sedang dalam masalah besar.

Maaf? Winda mendengus. Kata-kata itu lagi yang meluncur bibir Dewa. Benar-benar memuakkan!

“Tidak bisakah kau menghargai waktuku, Dewa?” Winda menatap Dewa dengan kening yang berkerut. Nada bicaranya terdengar sarkartis.  “Satu detik saja?”

Dewa hanya membisu. Ia sadar benar bahwa ia salah. Benar-benar salah. Keterlambatannya ternyata sudah memupuk kekecewaan yang berlipat di hati Winda. Perasaan kecewa yang seperti bom waktu dan siap meledak kapan saja. Atau mungkin akan meledak hanya dalam hitungan beberapa detik lagi.

Setiap kali Dewa memiliki janji kencan dengan Winda, ia selalu berusaha untuk datang tepat waktu. Tapi ternyata tidak semudah itu. Ada alasan cukup kuat yang melatar belakangi keterlambatannya. Dan Dewa yakin, Winda pasti akan mengerti dan memaafkannya jika mengetahui alasan itu. Tapi Dewa tidak bisa mengatakannya kepada Winda setidaknya hingga tiba saat yang tepat.

“Winda... aku mohon maafkan aku. Lain kali aku akan berusaha untuk tidak datang terlambat.”

Tapi Winda sepertinya tidak mendengarkan. Ia menarik napas panjang dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Tampaknya gadis itu benar-benar marah hingga tangannya gemetar.

“Kau tahu, ini bukan pertama kalinya kau membuatku menunggu selama hampir tiga jam lamanya,” kata Winda setengah menggeram.

Dewa hanya menganggukkan kepalanya.

Winda ikut diam. Ia menunggu. Siapa tahu Dewa akan mengatakan sesuatu untuk menenangkannya. Tapi ternyata tidak. Lelaki itu tetap membisu seperti patung yang menghiasi taman.  Sikap yang seperti itu membuat Winda merasa semakin kesal.

“Kalau kau tahu akan datang terlambat dua jam dari waktu kita janjian, kenapa kau tidak memintaku datang di waktu-waktu kau bisa datang tepat waktu?”

“Aku selalu berusaha untuk datang tepat waktu, Winda. Tapi akhir-akhir ini selalu saja ada yang menghambatku“ Suara Dewa perlahan mengecil lalu hilang begitu saja. Ia tidak mengatakan apapun untuk melanjutkan kata-katanya yang terpotong.

“Apa yang menghambatmu?” tanya Winda penasaran. Alisnya berkerut dan menegang saat mencoba mencari kemungkinan yang ada.

Dewa mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Terang-terangan ia tidak ingin menjawab pertanyaan Winda. Bibirnya menolak untuk berbicara.

“Baiklah. Biarkan aku yang menebak,” kata Winda sambil menimbang-nimbang tebakan yang paling tepat. Ia melanjutkan dengan nada sinis. “Kau hanya perlu mengangguk atau menggelengkan kepala. Karena sepertinya hanya itu yang bisa kau lakukan.”

Winda memulai dengan tebakan pertamanya.

“Ada gadis lain yang kau cintai?” tanya Winda sambil memicingkan mata. “Kau berselingkuh? Benar?”

“Tentu saja tidak benar!” sergah Dewa. “Jangan pernah sekalipun kau berpikir seper

Sebelum Dewa menyelesaikan kalimatnya, Winda mengangkat telapak tangannya seperti ingin menghentikan mobil di tengah jalan. “Aku hanya memintamu untuk menggeleng atau mengangguk. Ingat?”

Dewa terkesiap. Ini... gadis ini benar-benar berbeda dengan Winda yang ia kenal. Sepertinya selama ini ia sudah merakit bom untuk membunuh dirinya sendiri. Tiba-tiba Dewa bergidik ngeri. Ia merasa takut saat membayangkan kata-kata perpisahan meluncur dari bibir Winda.

“Kau sudah tidak mencintaiku?” Mata Winda tidak berkedip sedetikpun. Ia berusaha mencari kejujuran di mata Dewa. Dengan harapan, tiba-tiba saja memiliki kemampuan untuk membaca pikiran lelaki itu. “Kau sengaja membuatku kesal hingga aku mencapai batas sabarku. Kau ingin aku yang memutuskan hubungan kita sehingga kau tidak perlu merasa bersalah kepadaku?”

Mata Dewa terbelalak tidak percaya. Seburuk itukah dirinya di mata Winda? Hampir saja bibirnya melontarkan penjelasan yang tentu akan membuat Winda menyesali rasa curiganya itu. Tapi sedetik kemudian, Dewa menggelengkan kepalanya dengan lemah.

Sekilas, Dewa melihat Winda tersenyum separuh yang tampak muram. Dewa menelan ludah saat menyadari bahwa ia sudah menyakiti Winda sedalam itu. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

“Lalu apa kau... seorang super hero yang sedang sibuk membasmi kejahatan? Dan merahasiakan identitas dari orang-orang terdekat?”

Teori macam apa itu? Dewa menggelengkan kepalanya dengan dahi yang mengernyit.

Winda terdiam cukup lama. Sementara Dewa menunggu pertanyaan interogasi selanjutnya. Tapi Winda sudah kehabisan teori sekarang. Hanya tiga kemungkinan itu yang dilontarkan teman-temannya kemarin malam. Sebenarnya hanya dua tentu saja. Kemungkinan yang ketiga muncul secara spontan saat ia teringat pada sebuah film superhero yang ditontonnya belum lama ini.

“Jadi, apakah kau akan menceritakan alasanmu kepadaku sekarang?” Winda sengaja memberi penekanan pada kata sekarang. Ia tidak ingin menunggu lebih lama lagi.

Sekali lagi, Dewa menggelengkan kepalanya. Tanpa ia menyadari bahwa itu menjadi bahan bakar yang membuat darah di kepala Winda mendidih. Gadis itu benar-benar merasa geram sekarang.

“Kalau begitu, katakan saja jika kau menginginkan hubungan ini berakhir!”

Selasa, 24 Februari 2015

Bareland


Wanita itu bilang ini adalah Bareland, sebuah kota yang tak terlalu besar, terletak di daratan Minnesota. Kota gersang yang dihuni masyarakat individualis yang tak akan peduli meski kau telanjang dan berkeliaran seperti orang gila di antara mereka. Tak akan kau temukan pelayan toko dengan senyum ramah yang akan mengantarmu mendapatkan apa yang kau butuhkan, tak akan ada yang menggubrismu ketika kau tersesat dan menanyakan jalan, bahkan tak seorangpun akan membantu ketika kau tergeletak sekarat di tengah jalan.

Kota dengan segala keegoisan dan mementingkan kekayaan diatas segalanya. Kota dengan bangunan-bangunan mewah yang menjulang dengan pagar-pagar tinggi. Sama sekali bukan tempat yang tepat jika kau hanya memiliki sepetak rumah sederhana di pinggiran kota dan mencoba bergaul dengan borjuis angkuh penghuni kota gersang itu.

Kini aku berdiri menggigil di depan kios yang tertutup rapat. Berteduh dari salju yang terus turun sejak dua jam yang lalu. Aku tersesat. Aku tak pernah tahu ada tempat seperti ini di negaraku. Beruntung, seorang nenek tua –yang tidak ramah sama sekali– bersedia menjelaskan dimana aku berada saat ini. Tentu saja setelah aku memaksanya dan mengmbuntutinya hingga aku tersesat semakin jauh. 

Aku memeluk diriku sendiri merasakan dingin yang semakin menusuk. Aku harus berjalan untuk mengusir dingin. Tapi salju turun dengan lebatnya, membuat jalanan tertutup salju yang cukup tebal. Aku tahu hanya orang gila yang akan berkeliaran di tengah hujan salju seperti ini. Dan sayangnya orang itu adalah aku.

Dengan tekat bulat aku mulai berjalan melawan salju untuk menemukan suatu tempat yang bisa memberikan sedikit kehangatan untukku. Basah, dingin, menggigil, dan aku telah berjalan tiga –atau empat kilometer untuk menemukan sebuah kedai kecil yang letaknya sedikit tersembunyi dengan pencahayaan temaram.

“Kopi satu.” Aku memesan dengan suara gemetar. Tentu saja. Berjam-jam aku berkeliaran pada suhu minus yang akhirnya membuat hidungku berdarah. Aku terus menutup hidungku dengan sarung tangan pink yang telah berubah warna pada beberapa bagian. 

Segelas kopi dalam paper cup coklat yang memiliki semburat merah telah disiapkan di mejaku. Tak ada ucapan silahkan atau ini pesanannya. Benar-benar jauh dari kata ramah. Tapi itu bukanlah prioritas utama. Sekarang yang utama, aku akan menyesap minuman ini, dan membuat tubuhku menjadi hangat.

Kedai temaram yang cukup sepi. Hanya ada beberapa orang –tiga atau empat orang selain aku. Kusesap kopiku sambil memperhatikan gadis dengan rambut pirang tengah menatap lelaki penjual kopi dihadapannya. Matanya terus memperhatikan lelaki berambut kecoklatan yang memang terlalu tampan untuk seorang penjual kopi. 

Lelaki itu tampak tak peduli dan sama sekali tak terganggu.

“Jesse, ayolah.” Gadis itu merengek. Namun lelaki itu tetap diam. Sibuk dengan tangannya yang tengah berkutat dengan sesuatu yang tak dapat kujangkau dengan mataku dari tempatku duduk.

“Apa kau masih akan terus seperti ini? Kau keterlaluan.” Gadis itu merutuk karena lelaki yang ia panggil Jesse sama sekali tak mempedulikannya. 

Aku terus menatap drama kecil di hadapanku dengan seksama. Kemudian gadis itu menoleh dan bertemu mata denganku.

“Apa kau tak punya kerjaan melihatku seperti itu, sialan!” Bentak gadis itu sambil mengacungkan jari tengahnya padaku. 

Wow. Sungguh di luar dugaanku. Apa masyarakat di kota aneh ini tak punya sopan santun? Apa mereka sama sekali tak diajari beramah tamah pada orang lain? Ucapan itu tampaknya cukup membuat tubuhku memanas. Harga diriku sepertinya telah diinjak-injak oleh gadis itu.

“Apa kau tak pernah diajari sopan santun, ha? Pantas saja kau tak digubris lelaki itu.” Ujarku sinis kemudian menyesap kembali minuman yang mulai dingin di hadapanku. Aku beranjak dari tempat dudukku, mendekat ke meja disamping gadis itu.

“Tolong berikan aku satu lagi yang masih panas.” Aku memberikan senyum termanisku pada lelaki itu. Ia mengangkat alisnya memberi sedikit perhatian padaku sebelum ia membuat kopi untukku.

“Apa yang kau lakukan disini?” Tanya gadis itu ketus. Lipstik merah menghiasi bibirnya, begitu kontras dengan wajahnya yang pucat. Kuku panjang yang dicat merah dengan cincin tengkorak besar menghiasi jarinya.

“Mencuci, ah tidak, aku sedang tidur. Oh ayolah nona, kau tahu aku sedang minum dan berteduh dari salju di luar sana. Tidakkah matamu berfungsi dengan baik? Ah, aku tahu. Bukankah sejak tadi matamu sibuk memandang lelaki itu?” Nada menghina terdengar jelas dari suaraku, membuat wajah gadis itu nyaris sewarna dengan lipstiknya. 

Sekilas aku yakin melihat lelaki itu menyeringai sebelum ia memberikan segelas kopi panas untukku. Aku berdiri dan kembali menuju kursiku sebelumnya. Membuat posisiku senyaman mungkin. 

Aku memainkan ponselku kemudian login pada salah satu jejaring sosial, menikmati penjelajahanku di dunia maya hingga sebuah suara pukulan pada meja yang begitu keras mengagetkanku.

“Aku benar-benar tak bisa percaya ini Jesse! Kau keterlaluan!” Teriak gadis itu. Suaranya melengking membuat semua mata tertuju padanya. Senyum penuh arti tersungging di bibirku untuk gadis itu. Kilatan kemarahan terlihat jelas di matanya saat ia memandangku. Kemudian aku melanjutkan aktivitasku untuk berselancar di dunia maya.

Byur.

Sesuatu yang hangat –nyaris dingin– mengguyur kepalaku, menodai sweater biru pemberian mendiang ibuku. Aku menggebrak meja milikku, memandang gadis itu geram.

“Apa yang kau lakukan?” Aku membentaknya penuh amarah.

“Siapa suruh kau mentertawaiku? Dan lagi sweater jelek seperti itu memang harusnya kau buang!” Gadis itu benar-benar menyebalkan. Tanpa mengalihkan pandanganku darinya, tanganku meraih segelas kopi yang masih panas, kemudian kusiram tepat di dadanya. Seperti yang kutebak, dia menjerit kepanasan dan sumpah serapah keluar dari mulutnya. Kemudian ia pergi bersama omelan-omelannya yang tak jelas.

Aku mendengus kesal, kemudian kutatap lelaki yang masih sibuk dengan sesuatu di balik mejanya. Kulangkahkan kakiku dengan berat menuju meja itu.

“Aku butuh toilet.” Ucapku ketus. Lelaki itu menatapku sekilas kemudian menggerakkan matanya untuk menunjuk pintu bertuliskan toilet di sudut kedai itu. Aku menggeleng tak percaya. Bagaimana bisa semua orang di kota ini berlaku menyebalkan. Tak ada ramah tamah, tak ada percakapan yang menyenangkan dan yang pasti tak ada orang baik disini! Aku menghentakkan kakiku menuju kamar mandi, mengelap sisa-sisa kopi yang meninggalkan noda di sweater kesayanganku dan bergegas kembali ke mejaku.

“Aku mau tutup.” Suara maskulin itu membuyarkan lamunanku. Untuk pertama kalinya lelaki itu membuka mulutnya. Aku menatap lekat-lekat lelaki itu. “Cepat keluar, aku mau tutup.” Ia mengusirku. Ya, dia mengusirku! Seumur hidup aku tak pernah di usir dengan cara seperti ini. Ya Tuhan, ini benar-benar menyebalkan.

“Aku akan keluar ketika kau benar-benar selesai dengan pekerjaanmu dan meninggalkan tempat ini dalam keadaan terkunci.” Ujarku tegas. Lelaki itu membelalakkan matanya.

“Apa-apaan kau ini. Cepat keluar atau aku akan menyeretmu!” Bentak lelaki itu membuatku terperangah. Benar-benar tidak sopan.

“Apa seperti ini perlakuan orang-orang disini pada orang lain? Benar-benar tak tahu sopan santun! Ah, apa aku perlu mengajarimu sopan santun, ha?” Nadaku seoktaf lebih tinggi. Tanpa banyak kata lelaki itu menyeretku keluar.

“Pulanglah, anak kecil jangan berkeliaran tengah malam seperti ini.” Ujar lelaki itu ketus. Sialan. Aku sudah dua puluh satu tahun! Lelaki itu membanting pintu di depanku. Dingin sesegera mungkin menyergapku. Salju turun lebih lebat dan aku tak punya tempat tujuan.

Perjalananku menuju Dakota Selatan masih sangat jauh dan busku meninggalkanku ketika aku menggunakan toilet di terminal Bareland. Seluruh barangku –kecuali ponsel dan dompet– tertinggal dalam bus. Dan sialnya aku tak pernah tahu ada kota terkutuk seperti Bareland di Minnesota.

Aku duduk meringkuk di depan kedai itu, mencoba membuat posisiku nyaman dan menghangatkan tubuhku. Aku tak bisa tidur diluar dengan suhu minus seperti ini. Tapi mataku begitu berat mengalahkan rasa dingin yang menusuk tulang.

***

Kehangatan mulai menjalar di tubuhku. Aku menarik selimut untuk membuatku semakin hangat. Hangat? Aku segera membuka mataku. Aku berada di sebuah ruangan seluas kamarku. Tapi jelas ini bukan. Lalu aroma roti panggang menggelitik hidungku. Membuatku beranjak dari tempat tidur dan mencari asal aroma itu.

“Jesse.” Satu nama itu muncul ketika kusaksikan seorang lelaki tengah menyesap minuman di tangannya.

“Kau tau namaku? Duduklah, makan sarapanmu.” Kata lelaki itu dengan nada yang lebih lembut. Aku beringsut menuju kursi kosong di sampingnya. Kemudian melahap roti dengan selai kacang dan menyesap teh yang disiapkannya dalam mug polkadot.

“Terima kasih.”

“Kenapa kau tidak pulang?” Tanya Jesse  setelah menelan rotinya.

“Aku tak punya tempat tujuan.”

“Dimana rumahmu?”

“Setelah ayah meninggal, rumah kami di sita. Aku tak punya tempat tinggal. Aku hendak menuju Dakota Selatan, rumah bibiku. Tapi bus yang kutumpangi meninggalkanku di terminal ketika aku menggunakan toilet. Uangku tak cukup untuk membeli tiket lagi.” Ujarku. “Tidak bisakah kau memberiku pekerjaan?”

“Pekerjaan apa yang kau butuhkan?” Tanya Jesse lembut. Lembut? Kurasa lelaki ini kerasukan semacam malaikat –atau ibu peri. Dia berubah begitu lembut, sangat berbeda dengan kemarin. Atau dia punya kepribadian ganda? Segala pertanyaan berputar-putar dalam kepalaku, mencoba menerka  apa yang sebenarnya terjadi dengan lelaki  ini.

“Pekerjaan apa? Kenapa malah melamun?” Suara berat itu membuyarkan lamunanku. “Apa yang ada dalam otakmu itu?”

“Em.. hanya saja–“ Aku menggigit bibirku ragu. Tatapan Jesse begitu tajam, berusaha menuntut jawaban. “ –hanya saja kenapa kau berubah?” Suaraku penuh keraguan. 

Senyum terurai dari bibir Jesse, membuatku terperangah dan membelalakkan mataku. Senyum itu begitu pas di wajahnya. Membuat dia tampak begitu menawan. 

“Siapa namamu?” Jesse bertanya. Ah, ya. Kami belum berkenalan sebelumnya. Aku hanya mengetahui nama lelaki itu dari si pirang kemarin.

“Megan Reed.”

“Oke, miss Reed. Begini, mungkin kau harus tahu di Bareland kau tak diijinkan beramah tamah pada orang lain. Orang lain bukanlah urusanmu. Apapun yang mereka lakukan, meski itu menyimpang kau tak boleh ikut campur bahkan untuk sekedar berkomentar. Jika mereka mendengarnya, mereka akan menuntutmu. Disini tak ada aturan bahwa kau harus menolong orang lain meski ia tergeletak sekarat di jalanan.”

“Kejam sekali.” 

“Memang seperti itu aturan disini. Terlebih penduduk asli Bareland. Tidak ada yang namanya teman. Semua adalah musuh. Setiap mereka mengajukan tuntutan, mereka akan mendapatkan uang. Jadi berhati-hatilah.” Penjelasan Jesse membuatku merinding. Aku teringat si pirang. Bagaimana jika ia menuntutku? 

“Lalu, kenapa kau menolongku?” Jesse memandangku, tatapannya melembut.

“Aku punya adik perempuan. Kau membuatku teringat padanya.” Kemudian ia memandang foto yang terletak di atas bufet. Empat laki-laki dan seorang perempuan yang cantik.

“Aku sepertinya harus berterima kasih pada gadis cantik ini.” Aku melangkah untuk mendekat pada foto tersebut. Menarik. Mereka semua mirip. Gen yang sangat bagus ada dalam keluarga Jesse. “Mereka saudaramu?”

“Ya, aku anak sulung di keluargaku. Aku tinggal disini sejak tiga tahun yang lalu. Kota yang cocok untukku. Kau tak akan menemukan penjilat disini.” Senyum kembali terurai di wajah tampannya, membuatku bagai terhipnotis. “Mulailah bekerja di kedaiku sore nanti. Aku akan membayarmu. Kau bisa tinggal disini sampai uangmu cukup untuk perjalanan ke Dakota” Ujar Jesse membuatku berbinar. Terima kasih Tuhan, masih ada orang baik di sini!

***

Sudah hampir seminggu aku bekerja di kedai kopi yang tak bisa dikatakan besar ini. Tapi setidaknya aku bisa mengumpulkan uang untuk segera pergi dari kota aneh ini. Hawa dingin masih menyelimuti Bareland, membuatku menggigil meski aku berada di dalam ruangan. Aku menatap lelaki yang meracik kopi dengan cekatan itu. 

“Meg, hidungmu.” Jesse menunjuk hidungku. Darah keluar dari hidungku, membuat kepalaku semakin pusing setelah melihat darah. “Naiklah, sepertinya lebih baik kau beristirahat.” Kedai ini memiliki dua lantai, lantai atas adalah tempat tinggal Jesse.

“Tidak Jesse. Kau akan memotong gajiku untuk ini.” Aku meraih tisu di meja dan segera mengelap hidungku. Musim dingin kali ini sangat dingin dengan temperatur minus dua belas derajat pada malam ini. Beruntung hari dimana aku tersesat tak sedingin ini.

“Kubilang naik.” Suara lelaki itu rendah, penuh penekanan. Sorot matanya yang kejam seakan mengatakan naik-atau-kubunuh membuatku takut. Ini kota aneh, bukannya tak mungkin lelaki ini akan membunuhku karena aku tak menuruti kata-katanya. 

Sesuatu yang lama tersimpan dalam seakan muncul. Malaikat dalam hatiku berbisik Jesse memperhatikanmu, dia pasti menyukaimu. Namun malaikat dalam otakku melipat tangannya sambil berteriak, Meg, dia hanya simpati.

“Kau baik-baik saja Meg?” Jesse semakin mendekat. Aku menggeleng membiarkan kedua malaikat itu pergi. “Kubilang naiklah. Aku tak akan memotong gajimu.” Kali ini nadanya lebih lembut, membuat rasa pusing di kepalaku semakin menjadi-jadi, bukan karena melihat darah, tapi karena pesona lelaki ini. Aku mengangguk setelah beberapa detik terpaku melihat wajah tampan lelaki di hadapanku. Rambutnya yang kecoklatan tampak berantakan, mata birunya begitu indah, alisnya tebal, bibirnya pun  menggoda untuk di– 

“Meg.” Jesse mengguncang pundakku. Membuatku kembali ke daratan. “Kau tak tampak baik-baik saja. Beristirahatlah atau kau kupecat dan aku akan menendangmu keluar malam ini juga.” Pemikiran menggigil pada cuaca seekstrim ini membuatku ngeri. Akhirnya akupun menuruti perkataan Jeese dan merebahkan diriku di sofa hitam di depan televisi.

***

Aku merasakan sesuatu yang hangat membelai wajahku. Perlahan aku membuka mataku dan aku menyadari bahwa aku telah berada di kamar.

“Jesse..” Bisikku ketika menatap wajah tampan yang tengah terduduk menatapku.

“Badanmu panas. Kau meracau sejak tadi malam.” Suara Jeese terdengar parau. Aku melirik jam meja di atas nakas. Ini sudah hampir pagi.

“Sejak kapan kau di sini? Kau tidak tidur?” Jesse menggeleng. 

“Kau memanggilku terus menerus.”

“Apa aku mengatakan sesuatu?” Tanyaku mulai panik, khawatir dengan mulutku. Jesse tersenyum penuh arti. Membuat perutku terasa seperti diaduk-aduk.

“Kau bilang kau mencintaiku.” Suara Jesse terdengar parau. Membuatku mati rasa begitu mendengar kalimat itu keluar dari mulut Jesse. Matilah aku!

“Apa itu yang ada di hatimu?” Goda Jesse. Wajahku memanas, bahkan mungkin seperti udang rebus sekarang. Beruntung suasana temaram menyembunyikan wajahku.

Ya! Ingin sekali aku mengatakan itu dengan suara lantang, namun aku tak punya keberanian. Kenyataan jika aku katakan ya dan Jesse menolakku, membuatku takut. Aku masih membutuhkan pekerjaanku. 

“Tidurlah. Kuharap nanti malam kau sudah bisa bekerja kembali.” 

*** 

“Hai, manis. Berikan kami tiga kopi.” Seorang lelaki menghampiriku, memesan kopi untuk dua temannya yang telah mengambil tempat di meja lima –meja dekat pintu masuk. Seperti biasa tanpa senyum aku melayani mereka. Aku berjalan, mengantar pesanan mereka. 

“Aa–” Pekikku saat tangan seseorang menepuk pantatku. “Apa yang kau lakukan?” Bentakku dengan suara yang tak terlalu keras.

“Kemarilah manis. Kau begitu hangat.” Lelaki itu menarik tanganku.

“Lepaskan dia.” Suara yang sangat ku kenal diikuti tangannya yang menarikku untuk menjauh dari lelaki itu.

“Tak ada urusannya denganmu! Apa kau menginginkan sebuah tuntutan, ha?” Seorang lelaki lainnya berdiri dan menendang kursi disampingnya hingga terguling. Seorang lagi beringsut mendaratkan pukulan untuk Jesse namun Jesse berhasil menghindarinya. 

“Tentu saja ada karena kau mengganggu pacarku.” Suaranya begitu mengancam dengan tatapan pembunuh ala Jesse. Suasana kedai yang sepi berubah ramai karena perkelahian mereka berempat. Dan tentu saja Jesse tak keluar sebagai pemenangnya, ini bukan sinetron.

“Jesse, bagaimana denganmu?” Suaraku bergetar ketakutan, kakiku seolah tak bertulang, tak mampu menopang tubuhku hingga aku jatuh terduduk dan merangkak untuk mendekati Jesse.

“Aku baik-baik saja, jangan menangis.” Jesse mengusap kepalaku, senyum menghiasi wajahnya yang terluka. Aku memeluk Jesse, bersyukur bahwa mereka tak melukai Jesse lebih dari ini. Jesse membalas pelukanku, mengusap punggungku untuk menenangkanku yang masih menangis ketakutan.

“Maafkan aku.” Bisikku di telinganya. membuat lelaki itu mempererat pelukannya.

“Untuk apa Meg?”

“Gara-gara aku kau jadi begini.” Jesse melepaskan pelukannya, menangkup wajahku dengan kedua tangannya.

“Sudah seharusnya itu kulakukan untuk orang yang kucintai.” Jesse mendekatkan wajahnya, kemudian memberi sebuah ciuman di bibirku yang memberikan kehangatan di seluruh tubuhku. 

TAMAT

Senin, 23 Februari 2015

"Jugendliebe" dalam FAll in love



Aku yakin, dia adalah cinta sejatiku.



Judul: Fall in Love
Penerbit: Ellunar Publisher
ISBN: 978-602-72139-8-2
v + 169 hlm; 14.8 x 21 cm


Selamat hari Senin yang ceria, teman-teman :)
Mohon maaf, hari Senin ini kembali tidak ada cermin (cerita mini) yang hadir seperti sebelumnya. Tapi postingan hari ini akan membahas sebuah cermin yang diikut sertakan dalam event menulis yang diadakan oleh Ellunar Publisher.

Pada bulan Januari 2015, Ellunar Publisher mengadakan event menulis cermin dan puisi dengan tema “cinta monyet”. Dengan sebuah tekad kuat agar tulisan bisa dibaca banyak orang, sebuah cermin berjudul “Jugendliebe” diikut sertakan dalam event ini. Perasaan waswas tentu saja menghantui, apa lagi setelah mengetahui naskah cermin yang masuk berjumlah 874!!

Tapi alhamdulillah, atas izin Allah SWT cermin “Jugendliebe” terpilih sebagai salah satu kontributor dalam buku ini. \(^o^)/


Seperti biasanya, konsep dan cover dari Ellunar Publisher selalu sesuai dan memuaskan. Untuk cermin yang dibukukan, dibagi ke dalam tujuh buku. Cover dari tujuh buku tersebut merupakan rangkaian sebuah cerita. Sementara judulnya secara berurutan membentuk Do-Re-Mi-FA-Sol-La-Si. Cermin “Jugendliebe” sendiri terdapat dalam buku “FAll in love”.




Kata “Jugendliebe” diambil dari bahasa Jerman yang berarti “cinta yang terlalu dini”. Frasa itu sering disebut “puppy love” dalam bahasa Inggris, atau “cinta monyet” dalam bahasa Indonesia.

Apa kalian sudah pernah membaca cerpen di blog ini yang berjudul “Arabesque”?  Dalam cerpen itu, diceritakan bahwa ada seorang adik kelas yang menyukai tokoh utama lelaki yang bernama Arman. Tapi cinta gadis itu tidak terbalas karena Arman lebih memilih setia kepada kekasihnya yaitu Alysa. Nah, dalam cermin “Jugendliebe”, gadis itu muncul sebagai tokoh utama bernama Della.

Lalu, apakah Della berhasil move on dari Arman?

Silakan kalian baca sendiri ceritanya. :D

Terima kasih sudah membaca.

Eat. Read. Repeat.
Stoples Cerita



**
Putri Ireny | Yulinda Ayunani P. | Erna Listyaningrum | Mikyal Amaen |Rossi Annisa | Rizal Zulfiqri A. | Dieksa Bebadito | Ricca Fitriani | Ajeng Ayu P. | Tyas Citra K. |  Dewi Puspo R. | Nining Z. Noor | Nurhijrianti Akib | Nita Bonita r. | Kopi Hitam | Nurul Fadhilah | Indah Purnam D. | Fandi Achmad | Anggi Ermona | Gati Pramesti | Osi Kosawa | Yuni Safitri | Narti Prihartini | Laras Sekar S. | Nabila Rana S. | Intan Firdausi | Lydia Dwi A. | Umi Sholikhatun | Ani Yuniarsih | Erma Erviana | Ervina Nurjanah | Linisa Huang | Annisa Izmi | Rikeu Yuliantineu | Idi Auliya R. | Annisa Rahmadiah | Nilam Vembika | Mys | Anggita Arief F.