Senin, 02 Maret 2015

Waiting for You Part 2


“Kau sudah datang?” tanya Winda dengan wajah yang ceria. Matanya berbinar seperti mata kelinci. Senyumnya berpendar untuk menyembunyikan rasa lelah karena menunggu. Penampilannya menjadi sedikit berantakan. Tapi itu bukan masalah. Winda selalu tampak cantik bagi Dewa.

“Maaf, Winda. Kau sudah menunggu lama, ya?” sahut Dewa penuh penyesalan.

“Tidak apa-apa,” jawab Winda lalu tersenyum. “Aku senang kau datang.”

Dewa menatap kekasihnya itu penuh kasih sayang. Ia memperhatikan keringat membasahi kening gadisnya. Juga air yang nyaris mengering dalam botol minuman berwarna tosca bening yang selalu dibawa Winda. Ia tahu benar bahwa gadis ini menunggu lelaki brengsek seperti dirinya sejak dua jam yang lalu. Tapi gadis itu dengan baik menyimpan rasa kecewanya dan malah menyambut kedatangan Dewa dengan tersenyum.

Jauh berbeda dengan Winda yang sedang menatapnya garang saat ini.

“Kalau begitu, katakan saja jika kau menginginkan hubungan ini berakhir!”

Benak Dewa mengulang kata-kata Winda beberapa detik yang lalu. Itu berarti kesimpulan Winda kembali ke teorinya yang kedua tadi. Tapi mana mungkin ia menginginkan hal menyakitkan seperti itu. Dewa sangat ingin meluruskan kesalah pahaman ini tapi ia benar-benar harus menunggu saatnya tiba.

“Apa ada yang sedang kau inginkan sekarang, Winda?”

Kening Winda mengernyit. “Apa maksudmu?”

Biasanya, setelah merasa bersalah sudah membuat Winda menunggu lama, Dewa akan membelikan apa saja yang disukai gadis itu. Entah itu cokelat, es krim, boneka, bunga, apa saja. Ia berharap hal itu bisa memperbaiki perasaan Winda sekaligus menebus kesalahannya.

“Mungkin kita bisa pergi ke kedai es krim atau

“Oh, ayolah!” Winda berseru sambil setengah tertawa sinis. “Berapa usiamu, Dewa? Dua puluh? Tapi caramu meminta maaf benar-benar kekanakan. Aku bukan anak kecil yang selalu bisa kau sogok dengan makanan manis!”

Ekspresi Dewa seketika mengeras. Ia merasa tertohok dengan kata-kata Winda barusan. Nada bicara sinis yang benar-benar bukan khas Winda. Sama sekali tidak terpikirkan bahwa gadis itu akan semenakutkan ini saat sedang marah.

“Tapi bukankah kau menyukai es krim

“Ya, ya, ya. Aku suka es krim. Kau benar, Dewa. Sama sekali tidak salah.” Winda memotong cepat sambil mengibaskan tangannya ke udara. “Aku suka es krim. Tapi bukan berati kau bisa menyelesaikan masalah semudah itu!” Ia memberi jeda sebelum melanjutkan kata-kata sambil memicingkan mata. “Apa kau pikir waktu dan maafku semurah itu?”

Dewa cepat-cepat mengangkat wajah lalu menggelengkan kepalanya mendengar tuduhan seperti itu. “Tentu saja bukan seperti itu, Winda.”

“Lalu apa? Apa yang kau sembunyikan dariku, Dewa?” Winda menuntut. Air matanya mulai merebak.

Cepat-cepat Dewa  mengulurkan tangan pada Winda saat ia melihat air mata yang nyaris tumpah. Ia maju selangkah dengan kedua lengan yang terbuka lebar.

Tapi tanpa dinyana, Winda mengelak. Gadis itu mengangkat kedua tangannya dengan sikap defensif. "Jangan sentuh aku," desisnya.

“Aku benar-benar minta maaf, Winda,” bisik Dewa. “Aku harap kau bisa menunggu sebentar lagi.”

“Sampai kapan aku harus menunggu? Aku sudah cukup sering menunggumu! Apa itu tidak cukup, huh?” Air mata sialan itu meleleh dari sudut mata Winda. Cepat-cepat ia menghapusnya dengan punggung tangan. Lalu ia melipat tangan di depan dada, kentara sekali gadis itu sedang berusaha menunjukkan sikap tegar.

Tapi Dewa hanya terdiam. Wajah sedihnya berubah muram dalam hitungan detik. Terang-terangan menunjukkan sikap bungkamnya. Dewa benar-benar ingin rencananya berjalan seperti seharusnya.

“Baiklah.” Winda mengigit bibirnya untuk menahan air matanya agar tidak tumpah. “Aku sangat mengerti, Dewa. Jadi, jangan pernah temui aku lagi.”

Jantung Dewa seakan berhenti berdetak. Ia mencoba mengulurkan tangannya yang gemetar untuk menggapai Winda yang semakin menjauh. Tapi ia tidak bisa mencapainya. Bisa-bisa ia kehilangan Winda untuk selamanya jika terus seperti ini.

“Winda! Aku mohon beri aku kesempatan satu kali saja!” seru Dewa dari balik punggung Winda. Tapi gadis itu tetap pada langkahnya. Tidak sedetikpun berhenti atau menoleh lagi. “Datanglah ke tempat ini di hari ulang tahunmu!”

Suara Dewa terdengar dengan volume rendah di telinga Winda. Isakan yang melompat-lompat seakan menulikan telinganya. Cepat atau lambat, ia harus melupakan Dewa.

***

Winda pulang dengan air mata yang terus berderai. Beberapa pasang mata terus saja memperhatikannya dengan penasaran. Tapi ia tidak peduli. Benar-benar tidak peduli. Cara Dewa memperlakukannya benar-benar membuatnya mati rasa.

Beruntung, saat tiba di rumahnya, mobil kedua orang tua Winda tidak ada di garasi. Sepertinya sudah berangkat menghadiri pesta pernikahan dari anak salah seorang rekan kerja ayahnya. Hanya ada adik perempuannya yang tengah membaca majalah remaja bersama seorang teman di ruang tamu.

Langkah Winda berderap cepat saat ia memasuki ruang tamu. Ia ingin segera masuk dan mengurung diri di kamarnya. Tapi adiknya langsung bangkit dari duduk karena dengan mudahnya menyadari perubahan sikap Winda.

“Kak Winda, ada apa?” tanya adiknya penuh rasa khawatir. Tangannya menyentuh lembut lengan Winda.

“Oh, diamlah, Neysa.” Winda menyikut tangan adiknya dengan perasaan tidak sabar. Langkahnya tidak berhenti sedikitpun. Secepat mungkin menaiki tangga ke lantai dua.

“Della... tunggu sebentar, ya,” bisik Neysa kepada temannya. Begitu Della menganggukkan kepala, ia bergegas mengejar kakaknya.

Neysa tidak ingin membiarkan Winda tenggelam di kamarnya sendirian. Ia tahu, kakaknya itu pasti membutuhkan teman untuk bercerita. Maka, ia ingin meredakan air mata kakaknya.

“Ada apa, Kak?” tanya Neysa sambil berdiri di ambang pintu. Sedetik yang lalu, hampir pintu itu dibanting keras. Beruntung, Neysa datang tepat pada waktunya.

Tubuh Winda bergetar sesegukkan. Air matanya tumpah ruah tak bisa dibendung. Saat Neysa mendekat, ia langsung memeluk adiknya dan membasahi bahu adiknya dengan air mata.

Neysa bergeming. Ia membiarkan Winda menumpahkan segala perasaannya. Pasti selama perjalanan pulang, kakaknya itu menahan diri untuk tidak menangis seperti ini. Setelah tangisan Winda mereda, Neysa mulai bertanya.

“Apa ini... tentang Kak Dewa?”
Winda menganggukkan kepala sambil mengusap air matanya dengan tisu. “Dia... sepertinya berselingkuh.”

Kepala Neysa ditelengkan ke kiri. “Kenapa kakak berpikiran seperti itu?”

“Setiap kali kami janjian kencan, dia selalu terlambat. Tidak hanya satu atau dua menit, melainkan dua jam bahkan tiga jam. Bayangkan!” Winda bercerita di tengah isakannya. “Dia pasti bertemu dengan selingkuhannya sebelum bertemu denganku.”

“Kakak yakin dengan hal itu?” tanya Neysa dengan nada ragu. “Mungkin saja ada sesuatu yang penting yang harus diselesaikan Kak Dewa hingga harus datang terlambat.”

“Kemarin aku juga sudah bercerita kepada Inez dan Sofia mengenai ini...” Winda melempar gumpalan tisu ke keranjang sampah di kamarnya. “Awalnya mereka juga sama sepertimu. Tapi setelah dipikir lagi, kami semua sepakat dengan dugaanku.”

Neysa menghela napas panjang. Sedikit banyak ia mengenal kekasih kakaknya dalam beberapa kali saat Dewa berkunjung ke kediaman mereka. Dan selama percakapan singkat mereka itu, tampaknya Dewa bukan lelaki yang seperti itu. Tapi... entahlah... hati manusia memang sulit ditebak.

“Apa kakak sudah menanyakan langsung kepada yang bersangkutan?” tanya Neysa sambil mengusap-usap punggung Winda penuh kelembutan. “Tidak baik terlalu lama menyimpan dugaan tanpa alasan seperti itu.”

“Tentu saja aku sudah menanyakannya. Dan dia memilih tetap bungkam dari pada menceritakan alasannya. Aku semakin yakin dia berselingkuh!”

Kening Neysa berkerut. “Lalu, apa yang kakak katakan? Apa kakak meminta untuk... putus?”

Winda mengangguk, lalu menggelengkan kepala. Sejenak ia terdiam seakan ragu. Tapi sedetik kemudian ia mengangkat bahunya dengan sikap enggan. “Entahnya, Neysa. Aku hanya memintanya untuk tidak menemuiku lagi.”

“Kalau begitu, gunakan waktu itu untuk saling memeperbaiki diri. Setelah itu baru putuskan untuk bertemu dan membicarakan masalah ini hingga selesai.”

Winda cepat-cepat menggelengkan kepalanya. Air matanya sudah mulai surut sekarang. “Aku tidak mau bertemu lagi dengan Dewa. Aku lelah menunggunya di setiap waktu yang dijanjikannya.”

Apa boleh buat. Neysa hafal betul bahwa kata-kata Winda saat sedang membara karena amarah tak bisa dibantah. Secepatnya harus diberi pendingin.

“Aku dan Della berencana pergi ke kedai es krim yang baru dibuka seminggu yang lalu. Apa kakak mau ikut?”

Secercah cahaya terbit di wajah Winda. Ia menganggukkan kepalanya. Ada sedikit perasaan menyesal sudah menolak ajakan Dewa tadi. Tentu saja. Kata es krim sudah seperti mantra sihir bagi telinga Winda. Kecuali saat ia sedang marah tentunya. Perasaan gengsi jauh lebih membekukan hatinya.

“Tunggulah di bawah bersama Della. Aku akan mencuci muka sebentar.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D