“Kau sudah datang?” tanya Winda dengan
wajah yang ceria. Matanya berbinar seperti mata kelinci. Senyumnya berpendar
untuk menyembunyikan rasa lelah karena menunggu. Penampilannya menjadi sedikit
berantakan. Tapi itu bukan masalah. Winda selalu tampak cantik bagi Dewa.
“Maaf, Winda. Kau sudah menunggu lama,
ya?” sahut Dewa penuh penyesalan.
“Tidak apa-apa,” jawab Winda lalu
tersenyum. “Aku senang kau datang.”
Dewa menatap kekasihnya itu penuh kasih
sayang. Ia memperhatikan keringat membasahi kening gadisnya. Juga air yang
nyaris mengering dalam botol minuman berwarna tosca bening yang selalu dibawa Winda. Ia tahu benar bahwa gadis
ini menunggu lelaki brengsek seperti dirinya sejak dua jam yang lalu. Tapi
gadis itu dengan baik menyimpan rasa kecewanya dan malah menyambut kedatangan
Dewa dengan tersenyum.
Jauh berbeda dengan Winda yang sedang
menatapnya garang saat ini.
“Kalau begitu, katakan saja jika kau
menginginkan hubungan ini berakhir!”
Benak Dewa mengulang kata-kata Winda
beberapa detik yang lalu. Itu berarti kesimpulan Winda kembali ke teorinya yang
kedua tadi. Tapi mana mungkin ia menginginkan hal menyakitkan seperti itu. Dewa
sangat ingin meluruskan kesalah pahaman ini tapi ia benar-benar harus menunggu
saatnya tiba.
“Apa ada yang sedang kau inginkan sekarang,
Winda?”
Kening Winda mengernyit. “Apa maksudmu?”
Biasanya, setelah merasa bersalah sudah
membuat Winda menunggu lama, Dewa akan membelikan apa saja yang disukai gadis
itu. Entah itu cokelat, es krim, boneka, bunga, apa saja. Ia berharap hal itu
bisa memperbaiki perasaan Winda sekaligus menebus kesalahannya.
“Mungkin kita bisa pergi ke kedai es krim
atau—“
“Oh, ayolah!” Winda berseru sambil setengah
tertawa sinis. “Berapa usiamu, Dewa? Dua puluh? Tapi caramu meminta maaf
benar-benar kekanakan. Aku bukan anak kecil yang selalu bisa kau sogok dengan
makanan manis!”
Ekspresi Dewa seketika mengeras. Ia merasa
tertohok dengan kata-kata Winda barusan. Nada bicara sinis yang benar-benar
bukan khas Winda. Sama sekali tidak terpikirkan bahwa gadis itu akan
semenakutkan ini saat sedang marah.
“Tapi bukankah kau menyukai es krim—“
“Ya, ya, ya. Aku suka es krim. Kau benar,
Dewa. Sama sekali tidak salah.” Winda memotong cepat sambil mengibaskan
tangannya ke udara. “Aku suka es krim. Tapi bukan berati kau bisa menyelesaikan
masalah semudah itu!” Ia memberi jeda sebelum melanjutkan kata-kata sambil
memicingkan mata. “Apa kau pikir waktu dan maafku semurah itu?”
Dewa cepat-cepat mengangkat wajah lalu
menggelengkan kepalanya mendengar tuduhan seperti itu. “Tentu saja bukan seperti
itu, Winda.”
“Lalu apa? Apa yang kau sembunyikan
dariku, Dewa?” Winda menuntut. Air matanya mulai merebak.
Cepat-cepat Dewa mengulurkan tangan pada Winda saat ia melihat
air mata yang nyaris tumpah. Ia maju selangkah dengan kedua lengan yang terbuka
lebar.
Tapi tanpa dinyana, Winda mengelak. Gadis
itu mengangkat kedua tangannya dengan sikap defensif. "Jangan sentuh
aku," desisnya.
“Aku benar-benar minta maaf, Winda,” bisik
Dewa. “Aku harap kau bisa menunggu sebentar lagi.”
“Sampai kapan aku harus menunggu? Aku
sudah cukup sering menunggumu! Apa itu tidak cukup, huh?” Air mata sialan itu
meleleh dari sudut mata Winda. Cepat-cepat ia menghapusnya dengan punggung
tangan. Lalu ia melipat tangan di depan dada, kentara sekali gadis itu sedang
berusaha menunjukkan sikap tegar.
Tapi Dewa hanya terdiam. Wajah sedihnya
berubah muram dalam hitungan detik. Terang-terangan menunjukkan sikap
bungkamnya. Dewa benar-benar ingin rencananya berjalan seperti seharusnya.
“Baiklah.” Winda mengigit bibirnya untuk menahan
air matanya agar tidak tumpah. “Aku sangat mengerti, Dewa. Jadi, jangan pernah
temui aku lagi.”
Jantung Dewa seakan berhenti berdetak. Ia
mencoba mengulurkan tangannya yang gemetar untuk menggapai Winda yang semakin
menjauh. Tapi ia tidak bisa mencapainya. Bisa-bisa ia kehilangan Winda untuk
selamanya jika terus seperti ini.
“Winda! Aku mohon beri aku kesempatan satu
kali saja!” seru Dewa dari balik punggung Winda. Tapi gadis itu tetap pada
langkahnya. Tidak sedetikpun berhenti atau menoleh lagi. “Datanglah ke tempat
ini di hari ulang tahunmu!”
Suara Dewa terdengar dengan volume rendah di telinga Winda. Isakan
yang melompat-lompat seakan menulikan telinganya. Cepat atau lambat, ia harus
melupakan Dewa.
***
Winda pulang dengan air mata yang terus
berderai. Beberapa pasang mata terus saja memperhatikannya dengan penasaran.
Tapi ia tidak peduli. Benar-benar tidak peduli. Cara Dewa memperlakukannya
benar-benar membuatnya mati rasa.
Beruntung, saat tiba di rumahnya, mobil
kedua orang tua Winda tidak ada di garasi. Sepertinya sudah berangkat
menghadiri pesta pernikahan dari anak salah seorang rekan kerja ayahnya. Hanya
ada adik perempuannya yang tengah membaca majalah remaja bersama seorang teman
di ruang tamu.
Langkah Winda berderap cepat saat ia
memasuki ruang tamu. Ia ingin segera masuk dan mengurung diri di kamarnya. Tapi
adiknya langsung bangkit dari duduk karena dengan mudahnya menyadari perubahan
sikap Winda.
“Kak Winda, ada apa?” tanya adiknya penuh
rasa khawatir. Tangannya menyentuh lembut lengan Winda.
“Oh, diamlah, Neysa.” Winda menyikut
tangan adiknya dengan perasaan tidak sabar. Langkahnya tidak berhenti
sedikitpun. Secepat mungkin menaiki tangga ke lantai dua.
“Della... tunggu sebentar, ya,” bisik
Neysa kepada temannya. Begitu Della menganggukkan kepala, ia bergegas mengejar
kakaknya.
Neysa tidak ingin membiarkan Winda
tenggelam di kamarnya sendirian. Ia tahu, kakaknya itu pasti membutuhkan teman
untuk bercerita. Maka, ia ingin meredakan air mata kakaknya.
“Ada apa, Kak?” tanya Neysa sambil berdiri
di ambang pintu. Sedetik yang lalu, hampir pintu itu dibanting keras.
Beruntung, Neysa datang tepat pada waktunya.
Tubuh Winda bergetar sesegukkan. Air
matanya tumpah ruah tak bisa dibendung. Saat Neysa mendekat, ia langsung
memeluk adiknya dan membasahi bahu adiknya dengan air mata.
Neysa bergeming. Ia membiarkan Winda
menumpahkan segala perasaannya. Pasti selama perjalanan pulang, kakaknya itu
menahan diri untuk tidak menangis seperti ini. Setelah tangisan Winda mereda,
Neysa mulai bertanya.
“Apa ini... tentang Kak Dewa?”
Winda menganggukkan kepala sambil mengusap
air matanya dengan tisu. “Dia... sepertinya berselingkuh.”
Kepala Neysa ditelengkan ke kiri. “Kenapa
kakak berpikiran seperti itu?”
“Setiap kali kami janjian kencan, dia
selalu terlambat. Tidak hanya satu atau dua menit, melainkan dua jam bahkan
tiga jam. Bayangkan!” Winda bercerita di tengah isakannya. “Dia pasti bertemu
dengan selingkuhannya sebelum bertemu denganku.”
“Kakak yakin dengan hal itu?” tanya Neysa
dengan nada ragu. “Mungkin saja ada sesuatu yang penting yang harus
diselesaikan Kak Dewa hingga harus datang terlambat.”
“Kemarin aku juga sudah bercerita kepada
Inez dan Sofia mengenai ini...” Winda melempar gumpalan tisu ke keranjang
sampah di kamarnya. “Awalnya mereka juga sama sepertimu. Tapi setelah dipikir
lagi, kami semua sepakat dengan dugaanku.”
Neysa menghela napas panjang. Sedikit
banyak ia mengenal kekasih kakaknya dalam beberapa kali saat Dewa berkunjung ke
kediaman mereka. Dan selama percakapan singkat mereka itu, tampaknya Dewa bukan
lelaki yang seperti itu. Tapi... entahlah... hati manusia memang sulit ditebak.
“Apa kakak sudah menanyakan langsung
kepada yang bersangkutan?” tanya Neysa sambil mengusap-usap punggung Winda
penuh kelembutan. “Tidak baik terlalu lama menyimpan dugaan tanpa alasan seperti
itu.”
“Tentu saja aku sudah menanyakannya. Dan dia
memilih tetap bungkam dari pada menceritakan alasannya. Aku semakin yakin dia berselingkuh!”
Kening Neysa berkerut. “Lalu, apa yang
kakak katakan? Apa kakak meminta untuk... putus?”
Winda mengangguk, lalu menggelengkan
kepala. Sejenak ia terdiam seakan ragu. Tapi sedetik kemudian ia mengangkat
bahunya dengan sikap enggan. “Entahnya, Neysa. Aku hanya memintanya untuk tidak
menemuiku lagi.”
“Kalau begitu, gunakan waktu itu untuk
saling memeperbaiki diri. Setelah itu baru putuskan untuk bertemu dan membicarakan
masalah ini hingga selesai.”
Winda cepat-cepat menggelengkan kepalanya.
Air matanya sudah mulai surut sekarang. “Aku tidak mau bertemu lagi dengan
Dewa. Aku lelah menunggunya di setiap waktu yang dijanjikannya.”
Apa boleh buat. Neysa hafal betul bahwa
kata-kata Winda saat sedang membara karena amarah tak bisa dibantah. Secepatnya
harus diberi pendingin.
“Aku dan Della berencana pergi ke kedai es
krim yang baru dibuka seminggu yang lalu. Apa kakak mau ikut?”
Secercah cahaya terbit di wajah Winda. Ia
menganggukkan kepalanya. Ada sedikit perasaan menyesal sudah menolak ajakan Dewa
tadi. Tentu saja. Kata es krim sudah seperti mantra sihir bagi telinga Winda. Kecuali
saat ia sedang marah tentunya. Perasaan gengsi jauh lebih membekukan hatinya.
“Tunggulah di bawah bersama Della. Aku akan
mencuci muka sebentar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D