Rabu, 04 Maret 2015

Hilangkan Harapan


Waktu terasa bergerak sangat lambat. Detak jam dinding menggema di udara. Ketiga jarumnya berderak heran menatap ke arahmu. Sama herannya seperti aku.

Tiba-tiba air matamu menetes. Isakan demi isakan menghambur menyayat jiwa. Keningku masih berkerut tak mengerti. Sebenarnya, apa yang salah?

“Tidak bisakah kita tetap menjadi kekasih?” Kau bertanya di sela air mata yang terus berderai.

Rahangku menegang dan mengendur mendengar pertanyaanmu. Kedua alisku bertabrakan karena bingung. Sebenarnya, apa yang kurang dariku?

Aku melemparkan tatapan penuh tanda tanya kepadamu. Tapi kau membisu. Hanya air matamu yang terus saja berjatuhan. Mengertikah kau? Aku benci melihatmu menangis seperti ini. Terlebih jika aku yang menjadi penyebab air matamu tumpah.

Tapi kali ini aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa kau menangis? Kata-kataku yang mana yang melukai hatimu?

Mataku beralih menatap cincin berlian di genggamanku. Seharusnya cincin itu melingkar di jari manismu sekarang. Seharusnya kau tersenyum menerima lamaranku. Tapi sepertinya aku salah besar. Kau menolakku mentah-mentah. Diikuti tetesan air mata yang mengalir sederas hujan. Dan aku yakin itu bukan air mata haru ataupun air mata bahagia.

“Ma, maafkan aku.” Kau meraung penuh kepiluan.

Maaf? Aku semakin tidak mengerti. Jika aku yang membuatmu menangis, kenapa justru kau yang meminta maaf?

“Kau tidak ingin menikah denganku?” Aku bertanya menuntut kepastian.

Harapanku musnah saat kepalamu menggeleng lemah.

“Tapi kenapa?” Aku merasakan tenggorokanku tercekat. “Bukankah aku sudah cukup mapan untuk membina rumah tangga denganmu?”

“Aku tahu...” Kau menghela napas berat. Seolah pertanyaanku sudah membebani hatimu. “Tapi aku tidak bisa. Benar-benar tidak bisa. Tolong mengertilah posisiku...”

Mulutku ternganga. Apa maksudnya dengan tidak bisa?

“Bukankah kita saling mencintai?”

“Ya.” Kau menganggukkan kepala. Sementara matamu terpejam seperti menahan sakit yang mendalam. “Aku memang mencintaimu... sangat mencintaimu.”

“Lantas kenapa kau menolakku?”

Kau membisu. Tidak langsung menjawab pertanyaanku. Seolah sengaja menelantarkanku dalam jeda singkat yang menyiksa. Wajahmu menunduk dalam dengan ekspresi datar tidak terbaca. Setelah satu isakan lagi meluncur dari tangismu, kau baru menjawab, “Keluargaku tidak akan setuju.”

Sekejap, tanda tanya dalam benakku patah begitu saja. Jadi masalah sederhana itu yang membuatmu menangis seperti ini? Tanpa sadar aku tertawa kecil, sedikit merasa geli dengan drama yang baru saja kita perankan.

“Itu bukan masalah besar bagiku.” Aku mencoba untuk meredakan tangisanmu. Aku mengulurkan tangan membelai lembut rambutmu yang sehalus beledu. “Aku bersedia menemui kedua orang tuamu, bahkan keluarga besarmu.”

“Bukan itu...” Kau kembali menggelengkan kepala. Rambutmu yang halus menggelitik telapak tanganku. “Maksudku... keluargaku... suami dan kedua anakku.”



Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

2 komentar:

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D