Waktu terasa bergerak sangat lambat. Detak jam dinding menggema di udara. Ketiga jarumnya berderak heran menatap ke arahmu. Sama herannya seperti aku.
Tiba-tiba air matamu menetes. Isakan demi
isakan menghambur menyayat jiwa. Keningku masih berkerut tak mengerti. Sebenarnya, apa yang salah?
“Tidak bisakah kita tetap menjadi
kekasih?” Kau bertanya di sela air mata yang terus berderai.
Rahangku menegang dan mengendur mendengar
pertanyaanmu. Kedua alisku bertabrakan karena bingung. Sebenarnya, apa yang kurang dariku?
Aku melemparkan tatapan penuh tanda tanya
kepadamu. Tapi kau membisu. Hanya air matamu yang terus saja berjatuhan. Mengertikah
kau? Aku benci melihatmu menangis seperti ini. Terlebih jika aku yang menjadi
penyebab air matamu tumpah.
Tapi kali ini aku benar-benar tidak
mengerti. Kenapa kau menangis? Kata-kataku yang mana yang melukai hatimu?
Mataku beralih menatap cincin berlian di
genggamanku. Seharusnya cincin itu melingkar di jari manismu sekarang. Seharusnya
kau tersenyum menerima lamaranku. Tapi sepertinya aku salah besar. Kau menolakku
mentah-mentah. Diikuti tetesan air mata yang mengalir sederas hujan. Dan aku
yakin itu bukan air mata haru ataupun air mata bahagia.
“Ma, maafkan aku.” Kau meraung penuh
kepiluan.
Maaf?
Aku semakin tidak
mengerti. Jika aku yang membuatmu menangis, kenapa justru kau yang meminta
maaf?
“Kau tidak ingin menikah denganku?” Aku
bertanya menuntut kepastian.
Harapanku musnah saat kepalamu menggeleng
lemah.
“Tapi kenapa?” Aku merasakan tenggorokanku
tercekat. “Bukankah aku sudah cukup mapan untuk membina rumah tangga denganmu?”
“Aku tahu...” Kau menghela napas berat.
Seolah pertanyaanku sudah membebani hatimu. “Tapi aku tidak bisa. Benar-benar
tidak bisa. Tolong mengertilah posisiku...”
Mulutku ternganga. Apa maksudnya dengan tidak bisa?
“Bukankah kita saling mencintai?”
“Ya.” Kau menganggukkan kepala. Sementara matamu
terpejam seperti menahan sakit yang mendalam. “Aku memang mencintaimu... sangat
mencintaimu.”
“Lantas kenapa kau menolakku?”
Kau membisu. Tidak langsung menjawab
pertanyaanku. Seolah sengaja menelantarkanku dalam jeda singkat yang menyiksa. Wajahmu
menunduk dalam dengan ekspresi datar tidak terbaca. Setelah satu isakan lagi
meluncur dari tangismu, kau baru menjawab, “Keluargaku tidak akan setuju.”
Sekejap, tanda tanya dalam benakku patah
begitu saja. Jadi masalah sederhana itu yang membuatmu menangis seperti ini?
Tanpa sadar aku tertawa kecil, sedikit merasa geli dengan drama yang baru saja
kita perankan.
“Itu bukan masalah besar bagiku.” Aku
mencoba untuk meredakan tangisanmu. Aku mengulurkan tangan membelai lembut
rambutmu yang sehalus beledu. “Aku bersedia menemui kedua orang tuamu, bahkan
keluarga besarmu.”
“Bukan itu...” Kau kembali menggelengkan
kepala. Rambutmu yang halus menggelitik telapak tanganku. “Maksudku...
keluargaku... suami dan kedua anakku.”
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti
program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter
@nulisbuku
kereen. like it
BalasHapusTerima kasih, mbak atas kunjungan dan komentarnya. :D
Hapus