Sabtu, 28 Maret 2015

Meminjam Kekuatan

“Tenang, Emma. Kau pasti bisa karena kau adalah gadis yang kuat.”

Emma menatap nanar ke arah sosok yang berdiri di hadapannya. Wajah itu tampak pucat dengan kantung mata kehitaman bergelayut seperti awan mendung. Tapi entah bagaimana caranya, tapi sosok di dalam cermin itu selalu bisa menyuntikkan semangat ke hati Emma.

Benar saja. Perlahan cahaya penuh kehangatan mewarnai wajah Emma. Begitu juga dengan sosok gadis di hadapannya. Mereka berdua tampak begitu cantik dengan kedua pipi yang merona.

Sebuah ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunan Emma. Ia mengalihkan pandangannya dari cermin. Begitu pintu terbuka, seorang pria bertubuh kekar berjalan memasuki ruangan serba putih itu. Sebuket bunga mawar merah ada dalam genggamannya.

“Ayah!” Emma memekik senang sambil menghambur ke dalam pelukan ayahnya.

Sebagai balasan dari pelukan hangat itu, ayahnya mengangkat tubuh Emma dan mengayunkannya di udara. Sontak gadis itu tertawa bahagia karena perlakuan ayahnya. Ia berpegangan kuat pada lengan ayahnya yang kokoh.

Tapi tiba-tiba, ayahnya seperti teringat sesuatu dan melepaskan pelukannya. “Maaf, Emma. Apa ayah menyakitimu? Apa kepalamu terasa pusing?”

Emma menggelengkan kepala lantas tersenyum lembut. “Tidak, Ayah. Aku justru merasa bahagia. Terima kasih ayah sudah datang dan mau meminjamkan kekuatan ayah.”

“Tidak, Emma....”

Kali ini ketukan di pintu menginterupsi kata-kata ayah Emma. Mereka berdua menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan berseragam serba putih memasuki kamar itu.

“Emma, apa kau sudah siap?” tanya perempuan itu dengan ramah.

Emma mengangguk mantap. “Tentu saja aku sudah siap, Suster," ujarnya lalu berjalan dan menyambut genggaman tangan perawat itu.

Perawat itu mengangguk singkat dan tersenyum ke arah ayah Emma. Lalu perlahan ia menempatkan tubuh mungil Emma di atas kursi roda. Dan mendorong perlahan menuju ruang kemoterapi.

Ayah Emma termangu di ruang rawat Emma. Perlahan air mata menitik di sudut matanya. Bahkan otot-ototnya yang kekar tidak mampu meredam tangisannya.

"Tidak, Emma. Kau salah. Kau adalah gadis yang kuat dan tegar menghadapi penyakit mematikan dalam tubuh mungilmu. Sementara aku hanyalah ayahmu yang lemah."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D