Sambil menghela napas panjang karena
bosan, Profesor itu menatap langit-langit laboratoriumnya. Ada beberapa jejak
menghitam di sana, akibat dari ledakan kecil bahan penelitian yang tidak tercampur
dengan benar. Atau bisa dikatakan... gagal.
Profesor itu benci mengakui bahwa
penelitiannya selama dua tahun belakangan ini masih saja mengalami kebuntuan. Semua
percobaan ini terasa percuma. Hingga beberapa kali ia hampir saja menyerah. Ada
sedikit penyesalan sudah menyia-nyiakan masa mudanya yang berharga untuk hal
seperti ini.
Beruntung, Profesor itu memiliki seorang
asisten yang cekatan dan pandai menyuntikkan semangat untuknya. Ia
memperhatikan asistennya yang tampak sibuk merapikan tabung dan bejana bekas
penelitian dari atas meja. Asistennya itu terlihat lelah —sama lelahnya dengan dirinya, tapi tidak
pernah sekali pun ia mendengar keluhan terucap dari bibir asistennya.
“Biarkan saja bejana-bejana itu.” Profesor
itu memerintah. Asistennya mendongak dengan dahi mengernyit. “Kau bisa pulang
sekarang. Aku ingin istirahat.”
“Baik, Profesor.”
***
Bulan memancarkan sinarnya yang keemasan.
Langit semakin pekat sempurna bertabur bintang-bintang. Hutan di atas bumi
tampak indah diterpa cahaya langit malam.
“T-tunggu
aku!” Lelaki itu berseru dengan napas tersengal. Malam ini cukup dingin
sebenarnya. Tapi keringatnya mengucur deras.
Tapi gadis yang berjalan di depannya
tampak tidak peduli. “Gerakan kakimu lebih cepat atau kau bisa mati di sini.
Kau lelaki atau bukan, Forst?”
“Tentu saja.” Lelaki bernama Forst itu
menggeram kesal. Bukan ia yang lamban. Hanya saja... gadis itu berjalan jauh
lebih cepat darinya. Ia memacu langkahnya lebih cepat. Hingga akhirnya ia bisa
menyamai langkah gadis itu.
“Aku tidak menyangka manusia bisa selemah
ini,” gumam gadis itu dengan nada sarkartis.
“Apa kau bilang, Selva?” Forst sedikit
mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu.
“Sudah, diamlah!” Selva masih saja
bersikap dingin. “Kita sudah dekat. Tetap waspada dengan sekitarmu.”
Punggung Forst menegang. Matanya mulai
awas. Kepalanya mendongak ke arah langit malam dari sela dedaunan. Sepertinya
tidak ada bahaya mengancam dari arah sana. Tapi ia siaga, mempersiapkan
beberapa serbuk dan cairan dalam genggamannya. Itu akan berguna sebagai
pertahanan diri dari serangan lawan.
Tadi gadis itu bercerita bahwa hutan ini
adalah hutan terlarang yang merupakan perbatasan antar-wilayah di negeri ini. Tidak
seorangpun diperkenankan untuk memasuki daerah ini. Beberapa peri patroli siap
siaga menangkap para pembangkang seperti itu. Bahkan beberapa hari yang lalu,
Selva sempat terluka karena diserang oleh para peri yang sedang berpatroli.
Beruntung, ia berhasil lolos dan akhirnya bertemu Forst yang kemudian mengobati
lukanya.
Sebutan pembangkang diberikan kepada
mereka yang dibuang keluar dari
wilayah ras masing-masing. Sehingga tidak ada tempat bagi mereka selain hutan
terlarang ini. Walaupun tempat ini juga tidak cukup aman untuk menjadi tempat
tinggal. Sementara mereka tentu akan diusir karena dianggap penyusup jika
mencoba memasuki wilayah ras lain.
Saat ini Forst sedang berada di Derion —negeri para peri. Ia sendiri tidak
memahami di mana letak negeri tersebut. Apakah ada di dalam rimba yang gelap?
Atau melayang di atas awan? Dan bagaimana bisa ia ada di sini sekarang? Padahal
malam sebelumnya ia hanya sedang tertidur di dalam hutan seperti biasa. Sialnya
lagi, ia bertemu dengan gadis tidak tahu terima kasih seperti Selva.
“Kita sudah tiba,” gumam Selva dan menyadarkan
Forst dari lamunannya.
Kepala Forst celingukan. Ia mencoba
mencari tempat yang dimaksud gadis itu. Tapi sejauh mata memandang yang
terlihat hanyalah pepohonan. Tidak ada istana maupun gedung di sekitar sini. Forst
tahu ia harus bertanya walaupun mungkin jawaban ketus yang akan ia jawab. Tapi
tidak apa-apa, Forst sudah terbiasa. Ia hanya ingin mendapat jawaban sekarang.
Tapi gerakan bibir Forst terhenti. Matanya
memperhatikan dengan saksama apa yang dilakukan gadis di depannnya.
Selva sedang mengulurkan tangan kanannya
ke depan. Bibirnya mulai bergerak merapalkan mantra yang terdengar asing
ditelinga Forst. Dan sedetik kemudian, mata Forst terbelalak.
Sebuah pintu berdaun ganda tiba-tiba
muncul seakan tumbuh dari tanah basah yang diinjak Forst. Beberapa sulur
dedaunan menghiasi pintu itu. Gagang pintunya tampak dibuat dari jalinan akar
pepohonan yang kokoh. Forst menatap pintu itu dengan mulut yang menganga.
“Kau tidak pernah melihat pintu
sebelumnya?” tanya Selva mencemooh. “Ayolah bergegas. Sebelum ada yang
menemukan kita.”
Cepat-cepat Forst mengikuti langkah gadis
itu. ia tidak ingin disebut lamban lagi. Saat memasuki pintu itu, ruangan di
dalamnya sangatlah gelap. Tapi begitu pintu ditutup, cahaya benderang menerangi
jajaran anak tangga yang sepertinya mengarah ke bawah tanah. Forst mengekor di
belakang Selva, menuruni anak tangga dengan hati-hati. Saat melirik ke belakang
melalui bahunya, ia melihat pintu itu menghilang.
Anak tangga pada bangunan ini tampak
seperti cabang pohon yang tumbuh dari dinding. Cabang-cabang itu tersusun
berundak tanpa birai. Awalnya, Forst tampak ragu saat melangkah. Ia takut
cabang itu patah dan tubuhnya jatuh menghantam tanah. Tapi di luar dugaannya,
ternyata cabang itu cukup kuat.
“Kita akan bertemu Ratu dan Raja, jadi
bersikaplah yang sopan. Jangan memandangi mereka terus menerus.”
Kening Forst mengernyit. “Apa yang membuat
aku ingin memandangi mereka terus menerus?”
Tapi Selva tidak menjawab. Ia memilih
bungkam dan meneruskan perjalanan. Pertanyaan Forst memang tidak perlu dijawab.
Sebentar lagi ia akan menemukan jawabannya.
Selva mendorong pintu berdaun ganda yang
lebih besar dari yang sebelumnya. Pintu itu terbuka lebar. Begitu juga dengan
kedua mata Forst. Ia tidak bisa mempercayai pemandangan yang ada di hadapannya.
Ada begitu banyak orang —atau peri, tampak sedang berkumpul di
sana. Ada yang tampak sedang bersenda gurau, beberapa sedang membaca buku, dan
yang lainnya mengobrol sambil duduk di dekat dinding. Mereka semua memiliki
sayap kaca seperti milik Selva.
Masing-masing dari mereka mengenakan
pakaian dengan warna yang senada dengan warna rambut dan mata mereka. Ada yang
berwarna ungu, hitam, merah, biru, kuning, dan juga hijau seperti milik Selva.
Saat menyadari kedatangan Selva dan Forst, mereka semua mengalihkan pandangan
dan menyambut Selva dengan hangat.
“Selva, kami kira kau sudah ditangkap peri
patroli.”
“Syukurlah kau sudah kembali.”
Mereka semua mengucap rasa syukur atas
kembalinya sahabat mereka. Beberapa di antaranya, bahkan memeluk penuh rasa
rindu. Sementara Forst merasa heran. Ternyata gadis ketus ini begitu disayangi
teman-temannya.
“Jangan meremehkanku. Mana mungkin aku
tertangkap.” Selva menanggapi setengah tertawa. “Aku harus segera menemui Ratu
.”
“Benar. Tentu saja, dia juga sangat
mengkhawatirkanmu,” ujar seorang gadis ungu yang paling terakhir memeluk Selva.
“Aku harus melaporkan penyusup ini.” Selva menunjuk dengan ibu jari ke arah balik
punggungnya.
Saat mendengar kata penyusup, sontak mereka semua melompat mundur. Tatapan tajam
terarah pada sosok Forst. Ia memang tampak aneh di sini. Rambut cokelat dan
mata hijau cemerlang. Tanpa sayap kaca di punggungnya. Benar-benar... berbeda.
“B-bukan seperti itu...” Forst mencoba
menjelaskan. Tapi justru karena ia bersuara, semua yang ada di sana malah
mempersiapkan senjata masing-masing.
Selva terkekeh. Forst mengumpat dalam
hati. Sial benar gadis ini.
“Tenang teman-teman. Simpan pedang kalian,
aku sudah menjinakkan dia.”
Apa
maksudnya menjinakkan?
Mata Forst melotot karena tersinggung. Gadis itu menyamakannya dengan seekor
anjing.
Tapi ternyata kata-kata Selva itu mampu
meredam ketegangan di antara para peri itu. Sekarang mereka lebih tenang dan
tidak lagi bersiap dalam kuda-kuda. Forst hanya bisa tersenyum rikuh. Takut
salah bertindak lagi.
“Ayoi, ikuti aku.” Selva memerintah.
Forst
menundukkan kepalanya dan mengekor di belakang Selva. Ia masih bisa merasakan
tatapan permusuhan menghujam punggungnya. Bisa-bisa Forst terbunuh di sini jika
kurang hati-hati.
“Aku peringatkan sekali lagi, Forst.
Bersikaplah yang sopan,” bisik Selva. “Setelah ini kita akan menemui Ratu.”
Setelah berbelok ke sebuah koridor,
tampaklah seorang gadis. Ia berkulit sehalus satin dan rambut lurus panjang
berwarna merah bekilau, berdiri di hadapan jendela besar yang disinari cahaya
bulan. Jadi ini ratu yang dimaksud Selva? Tanpa mahkota dan tanpa singgasana. Sesaat
Forst sempat mengira alasan Selva mengatakan padanya untuk tidak memandangi
ratunya adalah karena gadis itu luar biasa cantik.
“Ratu Diff,” gumam Selva.
"Selva?" Gadis itu bergumam
tidak percaya dengan suara merdu mengalun. Ia memalingkan wajah sepenuhnya,
senyum tersungging penuh rasa lega. Cepat-cepat ia memeluk Selva penuh rasa
syukur seperti peri yang lainnya sebelum ini.
“Maafkan saya sudah membuat Anda khawatir,
Ratu Diff.”
Diff melepas pelukannya dan memandang
Selva penuh kritik. “Sudah kukatakan, panggil saja aku Diff. Kita berteman dan
saling melindungi, bukan diperintah dan memerintah.”
“Maafkan aku... Diff,” ujar Selva terbata.
Diff tersenyum senang. “Begitu lebih
baik.”
“Dan ini kita kedatangan tamu...” Selva
berbalik dan menunjuk ke arah Forst. Urat di dahinya mencuat begitu saja saat
mendapati Forst bersikap tidak sopan. Lelaki itu tampak membeku di tempatnya
berdiri. Matanya tidak bisa lepas dari sosok Diff. Padahal Selva sudah
mengingatkannya berkali-kali.
Siapa saja pasti merasa heran dan terkejut
saat melihat Diff pertama kali. Ia merupakan gadis dari ras Kokkinon yang serba
merah. Tapi ia menikah dengan lelaki dari ras Mavron yang serba hitam sehingga mata
kanannya ditukar dengan milik suaminya. Seperti itulah prosesi pernikahan bagi
para peri di Derion.
“Selamat datang,” ujar Diff seraya
tersenyum hangat. Tampak tidak tersinggung sama sekali. “Jadi benar kau adalah
manusia?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D