Kamis, 12 Maret 2015

Once Upon A Time In The Forest Part 1



Sambil menghela napas panjang karena bosan, Profesor itu menatap langit-langit laboratoriumnya. Ada beberapa jejak menghitam di sana, akibat dari ledakan kecil bahan penelitian yang tidak tercampur dengan benar. Atau bisa dikatakan... gagal.

Profesor itu benci mengakui bahwa penelitiannya selama dua tahun belakangan ini masih saja mengalami kebuntuan. Semua percobaan ini terasa percuma. Hingga beberapa kali ia hampir saja menyerah. Ada sedikit penyesalan sudah menyia-nyiakan masa mudanya yang berharga untuk hal seperti ini.

Beruntung, Profesor itu memiliki seorang asisten yang cekatan dan pandai menyuntikkan semangat untuknya. Ia memperhatikan asistennya yang tampak sibuk merapikan tabung dan bejana bekas penelitian dari atas meja. Asistennya itu terlihat lelah sama lelahnya dengan dirinya, tapi tidak pernah sekali pun ia mendengar keluhan terucap dari bibir asistennya.

“Biarkan saja bejana-bejana itu.” Profesor itu memerintah. Asistennya mendongak dengan dahi mengernyit. “Kau bisa pulang sekarang. Aku ingin istirahat.”

“Baik, Profesor.”

***

Bulan memancarkan sinarnya yang keemasan. Langit semakin pekat sempurna bertabur bintang-bintang. Hutan di atas bumi tampak indah diterpa cahaya langit malam.

 “T-tunggu aku!” Lelaki itu berseru dengan napas tersengal. Malam ini cukup dingin sebenarnya. Tapi keringatnya mengucur deras.

Tapi gadis yang berjalan di depannya tampak tidak peduli. “Gerakan kakimu lebih cepat atau kau bisa mati di sini. Kau lelaki atau bukan, Forst?”

“Tentu saja.” Lelaki bernama Forst itu menggeram kesal. Bukan ia yang lamban. Hanya saja... gadis itu berjalan jauh lebih cepat darinya. Ia memacu langkahnya lebih cepat. Hingga akhirnya ia bisa menyamai langkah gadis itu.

“Aku tidak menyangka manusia bisa selemah ini,” gumam gadis itu dengan nada sarkartis.

“Apa kau bilang, Selva?” Forst sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu.

“Sudah, diamlah!” Selva masih saja bersikap dingin. “Kita sudah dekat. Tetap waspada dengan sekitarmu.”

Punggung Forst menegang. Matanya mulai awas. Kepalanya mendongak ke arah langit malam dari sela dedaunan. Sepertinya tidak ada bahaya mengancam dari arah sana. Tapi ia siaga, mempersiapkan beberapa serbuk dan cairan dalam genggamannya. Itu akan berguna sebagai pertahanan diri dari serangan lawan.

Tadi gadis itu bercerita bahwa hutan ini adalah hutan terlarang yang merupakan perbatasan antar-wilayah di negeri ini. Tidak seorangpun diperkenankan untuk memasuki daerah ini. Beberapa peri patroli siap siaga menangkap para pembangkang seperti itu. Bahkan beberapa hari yang lalu, Selva sempat terluka karena diserang oleh para peri yang sedang berpatroli. Beruntung, ia berhasil lolos dan akhirnya bertemu Forst yang kemudian mengobati lukanya.

Sebutan pembangkang diberikan kepada mereka yang dibuang keluar dari wilayah ras masing-masing. Sehingga tidak ada tempat bagi mereka selain hutan terlarang ini. Walaupun tempat ini juga tidak cukup aman untuk menjadi tempat tinggal. Sementara mereka tentu akan diusir karena dianggap penyusup jika mencoba memasuki wilayah ras lain.

Saat ini Forst sedang berada di Derion negeri para peri. Ia sendiri tidak memahami di mana letak negeri tersebut. Apakah ada di dalam rimba yang gelap? Atau melayang di atas awan? Dan bagaimana bisa ia ada di sini sekarang? Padahal malam sebelumnya ia hanya sedang tertidur di dalam hutan seperti biasa. Sialnya lagi, ia bertemu dengan gadis tidak tahu terima kasih seperti Selva.

“Kita sudah tiba,” gumam Selva dan menyadarkan Forst dari lamunannya.

Kepala Forst celingukan. Ia mencoba mencari tempat yang dimaksud gadis itu. Tapi sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah pepohonan. Tidak ada istana maupun gedung di sekitar sini. Forst tahu ia harus bertanya walaupun mungkin jawaban ketus yang akan ia jawab. Tapi tidak apa-apa, Forst sudah terbiasa. Ia hanya ingin mendapat jawaban sekarang.

Tapi gerakan bibir Forst terhenti. Matanya memperhatikan dengan saksama apa yang dilakukan gadis di depannnya.

Selva sedang mengulurkan tangan kanannya ke depan. Bibirnya mulai bergerak merapalkan mantra yang terdengar asing ditelinga Forst. Dan sedetik kemudian, mata Forst terbelalak.

Sebuah pintu berdaun ganda tiba-tiba muncul seakan tumbuh dari tanah basah yang diinjak Forst. Beberapa sulur dedaunan menghiasi pintu itu. Gagang pintunya tampak dibuat dari jalinan akar pepohonan yang kokoh. Forst menatap pintu itu dengan mulut yang menganga.

“Kau tidak pernah melihat pintu sebelumnya?” tanya Selva mencemooh. “Ayolah bergegas. Sebelum ada yang menemukan kita.”

Cepat-cepat Forst mengikuti langkah gadis itu. ia tidak ingin disebut lamban lagi. Saat memasuki pintu itu, ruangan di dalamnya sangatlah gelap. Tapi begitu pintu ditutup, cahaya benderang menerangi jajaran anak tangga yang sepertinya mengarah ke bawah tanah. Forst mengekor di belakang Selva, menuruni anak tangga dengan hati-hati. Saat melirik ke belakang melalui bahunya, ia melihat pintu itu menghilang.

Anak tangga pada bangunan ini tampak seperti cabang pohon yang tumbuh dari dinding. Cabang-cabang itu tersusun berundak tanpa birai. Awalnya, Forst tampak ragu saat melangkah. Ia takut cabang itu patah dan tubuhnya jatuh menghantam tanah. Tapi di luar dugaannya, ternyata cabang itu cukup kuat.

“Kita akan bertemu Ratu dan Raja, jadi bersikaplah yang sopan. Jangan memandangi mereka terus menerus.”

Kening Forst mengernyit. “Apa yang membuat aku ingin memandangi mereka terus menerus?”

Tapi Selva tidak menjawab. Ia memilih bungkam dan meneruskan perjalanan. Pertanyaan Forst memang tidak perlu dijawab. Sebentar lagi ia akan menemukan jawabannya.

Selva mendorong pintu berdaun ganda yang lebih besar dari yang sebelumnya. Pintu itu terbuka lebar. Begitu juga dengan kedua mata Forst. Ia tidak bisa mempercayai pemandangan yang ada di hadapannya.

Ada begitu banyak orang atau peri, tampak sedang berkumpul di sana. Ada yang tampak sedang bersenda gurau, beberapa sedang membaca buku, dan yang lainnya mengobrol sambil duduk di dekat dinding. Mereka semua memiliki sayap kaca seperti milik Selva.

Masing-masing dari mereka mengenakan pakaian dengan warna yang senada dengan warna rambut dan mata mereka. Ada yang berwarna ungu, hitam, merah, biru, kuning, dan juga hijau seperti milik Selva. Saat menyadari kedatangan Selva dan Forst, mereka semua mengalihkan pandangan dan menyambut Selva dengan hangat.

“Selva, kami kira kau sudah ditangkap peri patroli.”

“Syukurlah kau sudah kembali.”

Mereka semua mengucap rasa syukur atas kembalinya sahabat mereka. Beberapa di antaranya, bahkan memeluk penuh rasa rindu. Sementara Forst merasa heran. Ternyata gadis ketus ini begitu disayangi teman-temannya.

“Jangan meremehkanku. Mana mungkin aku tertangkap.” Selva menanggapi setengah tertawa. “Aku harus segera menemui Ratu .”

“Benar. Tentu saja, dia juga sangat mengkhawatirkanmu,” ujar seorang gadis ungu yang paling terakhir memeluk Selva.

“Aku harus melaporkan penyusup ini.” Selva menunjuk dengan ibu jari ke arah balik punggungnya.

Saat mendengar kata penyusup, sontak mereka semua melompat mundur. Tatapan tajam terarah pada sosok Forst. Ia memang tampak aneh di sini. Rambut cokelat dan mata hijau cemerlang. Tanpa sayap kaca di punggungnya. Benar-benar... berbeda.

“B-bukan seperti itu...” Forst mencoba menjelaskan. Tapi justru karena ia bersuara, semua yang ada di sana malah mempersiapkan senjata masing-masing.

Selva terkekeh. Forst mengumpat dalam hati. Sial benar gadis ini.

“Tenang teman-teman. Simpan pedang kalian, aku sudah menjinakkan dia.”

Apa maksudnya menjinakkan? Mata Forst melotot karena tersinggung. Gadis itu menyamakannya dengan seekor anjing.

Tapi ternyata kata-kata Selva itu mampu meredam ketegangan di antara para peri itu. Sekarang mereka lebih tenang dan tidak lagi bersiap dalam kuda-kuda. Forst hanya bisa tersenyum rikuh. Takut salah bertindak lagi.

“Ayoi, ikuti aku.” Selva memerintah.

Forst  menundukkan kepalanya dan mengekor di belakang Selva. Ia masih bisa merasakan tatapan permusuhan menghujam punggungnya. Bisa-bisa Forst terbunuh di sini jika kurang hati-hati.

“Aku peringatkan sekali lagi, Forst. Bersikaplah yang sopan,” bisik Selva. “Setelah ini kita akan menemui Ratu.”

Setelah berbelok ke sebuah koridor, tampaklah seorang gadis. Ia berkulit sehalus satin dan rambut lurus panjang berwarna merah bekilau, berdiri di hadapan jendela besar yang disinari cahaya bulan. Jadi ini ratu yang dimaksud Selva? Tanpa mahkota dan tanpa singgasana. Sesaat Forst sempat mengira alasan Selva mengatakan padanya untuk tidak memandangi ratunya adalah karena gadis itu luar biasa cantik.

“Ratu Diff,” gumam Selva.

"Selva?" Gadis itu bergumam tidak percaya dengan suara merdu mengalun. Ia memalingkan wajah sepenuhnya, senyum tersungging penuh rasa lega. Cepat-cepat ia memeluk Selva penuh rasa syukur seperti peri yang lainnya sebelum ini.

“Maafkan saya sudah membuat Anda khawatir, Ratu Diff.”

Diff melepas pelukannya dan memandang Selva penuh kritik. “Sudah kukatakan, panggil saja aku Diff. Kita berteman dan saling melindungi, bukan diperintah dan memerintah.”

“Maafkan aku... Diff,” ujar Selva terbata.
Diff tersenyum senang. “Begitu lebih baik.”

“Dan ini kita kedatangan tamu...” Selva berbalik dan menunjuk ke arah Forst. Urat di dahinya mencuat begitu saja saat mendapati Forst bersikap tidak sopan. Lelaki itu tampak membeku di tempatnya berdiri. Matanya tidak bisa lepas dari sosok Diff. Padahal Selva sudah mengingatkannya berkali-kali.

Siapa saja pasti merasa heran dan terkejut saat melihat Diff pertama kali. Ia merupakan gadis dari ras Kokkinon yang serba merah. Tapi ia menikah dengan lelaki dari ras Mavron yang serba hitam sehingga mata kanannya ditukar dengan milik suaminya. Seperti itulah prosesi pernikahan bagi para peri di Derion.

“Selamat datang,” ujar Diff seraya tersenyum hangat. Tampak tidak tersinggung sama sekali. “Jadi benar kau adalah manusia?”



Bersambung ke part 2

Kisah pertemuan pertama Forst dan Selva bisa dibaca dalam Waldeinsamkeit. ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D