Selasa, 28 Juli 2015

Red Lie - Chapter 13


“Apa yang kau lakukan dengan asistenku?”

Suara itu terdengar berat di telinga Leo. Suara parau yang mendesis melalui gigi yang terkatup. Ciri khas emosi yang tertahan yang selalu ditunjukkan oleh kakaknya yang cenderung menahan perasaannya.

“Aku ingin bicara dengannya,” ujar Leo tanpa memandang kakaknya yang bersandar pada kusen pintu. Lelaki itu sibuk mengamati adiknya yang tangannya masih terhubung dengan tangan asistennya.

“Dimana sopan santunmu? Dia bekerja untukku. Kenapa kau membawanya tanpa meminta izin padaku?”

Leo berbalik untuk memandang pemilik suara yang semakin terdengar sinis. “Pak Harry, saya mohon izin untuk berbicara dengan Trisia.” Leo merendahkan suaranya, menahan amarah yang mulai bergejolak dalam hatinya.

“Tidak bisa. Ini masih jam kerja.” Harry melangkah menuju meja Liana yang terletak tak jauh dari tempatnya bersandar, kemudian mengambil sebendel kertas di atas meja Liana. “Trisia, aku ingin kau mengopi ini,” Harry mengangkat kertas itu di udara untuk menunjukkannya pada Trisia, “tiga kali dan tolong kaubelikan sebuah klip kertas berukuran besar.”

“Baik pak.” Trisia segera menarik tangannya dari genggaman Leo.

Kekecewaan terlihat jelas pada wajah Leo, “Aku akan mengantarmu.”

“Tidak,” sergah Harry. “Kau masuklah, aku ingin bicara denganmu.” Tanpa mendengar jawaban Leo, Harry memasuki ruangannya dan membiarkan pintu ruangannya terbuka untuk Leo.

Dalam hati, Leo menggerutu. Ini benar-benar bukan saat yang tepat. Sejak kejadian semalam Trisia sangat berbeda, Trisia mulai mengabaikannya. Ia harus memastikan apakah kejadian itu yang membuat gadis itu terganggu.

“Apa yang ingin kaubicarakan?” Tanya Leo begitu memasuki ruangan Harry dan menutup pintu di belakangnya.

“Ada urusan apa kau dengan asistenku?” Harry merentangkan tangan dan menopangkan sikunya di meja.

“Kau hanya bosnya, kau tidak perlu tahu segala urusan asistenmu.” Leo memandangi kakaknya dan suaranya terdengar jengkel.

“Kusarankan jangan terlalu dekat dengan gadis itu,” ujar Harry dengan suara datar. “sebelum kau menyesal nantinya. Kau tidak tahu siapa dia.”

“Kenapa?”

“Aku tidak menyukainya,” jawab Harry. “Dia bukan gadis baik-baik.”

Tidak,” kata Leo. “Aku tak mengerti mengapa kau mempekerjakannya jika kau tak menyukainya. Tetapi apa yang kau maksud dengan bukan gadis baik-baik, kurasa itu bukanlah Trisia.”

Harry menghela napas, “Aku hanya berusaha memperingatkan padamu sebelumnya. Kau tak akan menyukai kenyataan siapa dia sebenarnya jika kau tahu bahwa dia mungkin adalah…”

“Anak dari wanita selingkuhan ayah?” Leo memotong kalimat Harry.

Harry membelalakkan matanya seolah bola matanya nyaris keluar. “Kau tahu? Sejak kapan kau tahu tentang itu?” Harry bergerak gelisah. Ia pikir rahasia yang ia simpan dari Leo selama ini masih tersimpan rapat.

“Tentu, aku membaca buku harian ibu. Ibu tidak meninggal karena penyakit. Ibu menulis rencana bunuh dirinya dalam buku harian itu.”

“Tetapi tetap saja Calista penyebab utamanya.”

“Tapi bukankah kita sedang membicarakan Trisia, kak?”

“Dia adalah anak dari wanita itu.”

“Lalu kenapa? Trisia bukanlah pelakunya.” Leo semakin geram. Terkadang ia bingung dengan jalan pikiran kakaknya yang selalu jauh dari cara pikirnya. “Sekarang coba kaupikir, saat itu dia sama seperti kita, dia hanya anak kecil yang tak tahu apa-apa.”

“Lalu apa kau berniat mendekatinya?” Nada sinis itu kembali terdengar oleh Leo dari mulut kakaknya. “Apa kau tahu bahwa gadis itu mungkin adalah adikmu? Buah dari perselingkuhan ayah dengan wanita itu?”

Pernyataan Harry seolah menggodam kepala Leo. Ia sama sekali tak memikirkan hal itu sebelumnya. Apakah ia telah mencium adiknya semalam? Apakah selama ini ia tengah jatuh cinta pada adiknya sendiri? Leo bertanya-tanya.

Harry tersenyum tanggung, menyadari perubahan pada raut wajah adiknya. “Kutebak kau tak memikirkan itu sebelumnya.”

Leo bergeming, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tak tahu bagaimana memastikan kebenaran itu sementara ia tak mungkin bertanya pada ayahnya yang telah terkubur di dalam tanah. Kecuali ia bisa menemukan Calista.

“Ingatlah Leo, buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Aku yakin Trisia pun bukanlah gadis baik-baik, sama seperti ibunya yang bukanlah seorang wanita terhormat.”

“Lalu kaupikir ayah siapa yang melakukan hal tidak terhormat dengan wanita itu?” Leo berusaha mengendalikan diri. Leo meninggalkan ruangan kakaknya dengan emosi yang hampir meluap. Ia tak akan membiarkan kata-kata kakaknya itu semakin mengganggu pikirannya.
***

Sejak kapan Leo mengetahui semua itu? Sangat disayangkan bahwa rahasia yang ia simpan untuk melindungi adiknya justru terbuka di luar sepengetahuannya. Keras kepala yang memang berkembang pesat di kepala adiknya itu memang terkadang membuat Harry geram. Namun sesuatu yang ia sadari, raut kecewa Leo seolah mengatakan bahwa ia memiliki perasaan lebih untuk gadis itu. Bagaimanapun Harry tak akan membiarkan itu terjadi. Meski pada akhirnya gadis itu terbukti memang adiknya, ia tak akan pernah mengakuinya. Tidak, selama darah Calista mengalir dalam tubuh gadis itu.

Harry menyentuh beberapa angka pada layar ponselnya yang kemudian menghubungkannya pada seseorang di suatu tempat.

“Apakah ada perkembangan?” Tanya Harry begitu telpon tersambung.

“Belum. Aku masih kesulitan mencari dimana duplikat akta lahir gadis itu. Tak ada yang tahu dimana akta gadis itu dibuat.”  

“Jika dalam seminggu kau belum menemukannya, pergilah ke Belanda dan cari wanita itu.”
***

Dengan langkah terburu-buru Trisia kembali menuju lift untuk kembali ke lantai lima. Ia lupa membawa uang untuk membeli klip kertas yang diperintahkan Harry. Ini semua karena insiden yang membuatnya seperti berada dalam adegan sinetron yang diputar di layar kaca.

Begitu pintu lift terbuka di lantai lima, Trisia melompat keluar. Langkah terburu-burunya membuat sepatunya beradu dengan lantai dan menimbulkan suara berisik di tengah ruangan tenang lantai lima.

“Trisia.” Leo yang hampir memasuki ruangannya segera memutar langkahnya untuk kembali mendekati Trisia.

Tanpa perlu menoleh, gadis itu telah mengenali siapa sang pemilik suara. Orang yang sangat ingin ia temui dan ia hindari dalam waktu bersamaan. Trisia mempercepat langkahnya agar segera sampai di ruangannya.

“Tunggu Tris.” Leo menarik tangan Trisia sebelum Trisia sempat membuka pintu kaca yang ada dihadapannya.

“Ada apa lagi? Aku tak ingin pak Harry melihat kita disini.” Trisia merendahkan suaranya, menekankan setiap kata dalam kalimatnya.

“Aku tak peduli.” Dengan segala keegoisannya, Leo menarik tangan Trisia, membawanya menuju ruangan yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Apa yang ingin kau bicarakan?” Tanya Trisia begitu Leo menutup pintu di belakangnya. Untuk kedua kalinya Trisia menginjakkan kakinya di ruangan Leo.

“Kenapa kau menjauhiku?” Leo memegang erat kedua lengan Trisia dan menatap mata gadis itu dalam-dalam. Namun Trisia mengarahkan pandangannya ke arah lain, tak ingin membalas tatapan Leo. “Trisia, lihat aku. Apa kau menjauhiku karena kejadian semalam?”

Tidak!
Ingin rasanya Trisia meneriakkan kata itu di depan Leo, namun suaranya seolah menghilang begitu saja. Ditatapnya lelaki dihadapannya dengan mata yang berkaca-kaca. Lelaki itu tampak lelah, wajahnya pucat dengan rambutnya yang berantakan.

“Sampai kapan kau akan seperti ini? Jika ini karena aku menciummu dan kau menghindariku, kumohon maafkan aku.” Suara Leo terdengar serak.

“Bukan… aku…”

“Jangan membuatku kacau.” Leo mendekat, menyandarkan kepalanya di pundak Trisia. Seolah terdengat aliran listrik, jantung Trisia berdetak kencang. Bahkan mungkin saja Leo akan mendengarnya dalam ruangan sehening ini. Trisia mengangkat tangannya perlahan. Ragu. Meski dalam hatinya ia ingin memeluk lelaki itu. Namun Trisia mengurungkan niatnya begitu mendengar ponsel yang berasal dari meja kerja Leo berbunyi.

“Kau tidak mengangkatnya?” Tanya Trisia. Leo hanya menggelengkan kepalanya di bahu Trisia.

“Aku benar-benar lelah.” Leo bergumam. Pembicaraannya dengan kakaknya tadi rupanya masih berdampak pada pikirannya. Apa yang harus ia lakukan jika gadis ini adalah adiknya? Mampukah ia menghapuskan perasaannya untuk Trisia? Perasaan yang terlanjur dalam ia tanamkan dalam hatinya.


“Trisia,” Leo mengangkat kepalanya, menyentuh salah satu sisi wajah Trisia. “Aku mencintaimu.” Kemudian Leo mendekat, menghapus jarak di antara mereka, mendekatkan wajahnya untuk menyentuh bibir Trisia dengan bibirnya.

Jumat, 24 Juli 2015

Red Lie - Chapter 12



Semacam rumput liar yang akan terus bertahan hidup meski telah dipotong berkali-kali. Mungkin perumpamaan yang tepat untuk gadis itu. Berkali-kalipun diperingatkan ia seolah tak pernah mengindahkannya.

Langit semburat kemerahan di ufuk timur. Surya merambat perlahan. Cahaya pagi bersinar menembus tirai berjenis horizontal blind berwarna putih yang menutup beberapa jendela besar di ruangan Harry. Harry mengetuk-ketukkan jari telunjuknya di atas meja kerjanya, sementara sebelah tangannya memijat pangkal hidungnya. Ini masih pagi—bahkan terlalu pagi untuk memulai pekerjaannya di kantor. Jam digital yang berada di sudut mejanya menunjukkan pukul lima lebih empat puluh dua menit.

Bukan ia yang terlalu bersemangat hingga berada di ruangannya sepagi ini. Tetapi ia sengaja tidak meninggalkan kantornya sejak pesta ulang tahun perusahaannya yang ke tujuh puluh delapan tahun semalam. Rencananya kacau.

Semalam adalah malam yang dinanti-nantikannya. Ia telah membuat sebuah rencana cantik untuk mempermalukan Trisia di depan umum. Selanjutnya akan membuat gadis itu akan merasakan kantor seperti neraka. Ia akan membuat hari-hari gadis itu menjadi lebih panjang dengan menambah jam lembur. Melihat wajah gadis itu begitu tertekan oleh cemoohan seluruh karyawan akan membuat Harry senang. Kemudian ia akan melihat gadis itu mengajukan surat pengunduran diri sebelum masa kontraknya habis. Tidak sampai di situ, Harry akan mempersulit segalanya dan membuat Trisia akan memilih menyerah untuk hidup. Seperti ibunya yang memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Harry berdecak kesal, kemudian beranjak dari kursinya untuk berpindah menuju sofa yang berada di sudut ruangannya. Ia merebahkan tubuhnya pada sofa panjang sambil melipat tangannya di bawah kepalanya. Ia memejamkan matanya sejenak, memutar memorinya mundur beberapa jam yang lalu.

Ia berjalan menuju ruangan besar tempat pesta di adakan. Harusnya Liana dan Trisia mendampinginya malam itu, namun ia tak melihat batang hidung Trisia meski matanya mencari-cari gadis itu. Gadis kecil itu sudah berani memberontak.

Harry sebagai CEO Quarts Design memberikan sambutan pada beberapa menit pertama sebagai pembuka acara. Matanya terus memerhatikan seluruh karyawan yang telah berkumpul di hadapannya. Ia menajamkan pandangannya seolah mencari seekor anak rusa di antara semak belukar yang siap disantap oleh singa kelaparan.

Nihil.

Ia masih juga tak menemukan gadis itu. Harry kembali memusatkan pikirannya pada sambutan singkatnya dan tepuk tangan terdengar meriah ketika Harry menutup sambutan singkatnya. Ia menuruni panggung kemudian menyeruak diantara karyawan-karyawan yang masih menikmati acara yang baru saja dimulai beberapa menit yang lalu. Fokusnya teralihkan saat ia tak menemukan adiknya pada saat yang sama.

Leo dan Trisia…

Suatu ketidak sengajaan itu membuat firasat Harry memburuk. Itu tak boleh terjadi.

Harry kembali tersadar begitu ponselnya berbunyi. Menandakan sebuah pesan bergambar telah dikirimkan oleh seseorang untuknya. Begitu Harry menyentuh tulisan buka di ujung layarnya, sebuah foto membuat Harry terperangah. Membelalakkan matanya lebar-lebar.
***

Mata Trisia terasa berat. Kantung hitam di bawah matanya terlihat mengerikan. Sebelum berangkat tadi, Trisia telah membubuhkan bedak yang tak bisa dikatakan mampu untuk menutup kekurangan itu. Di saat seperti ini ia menyesal tak menuruti Laura, sahabatnya, untuk membeli peralatan make up.

Trisia membuka pintu ruangan Harry tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Ia melakukan tugas rutinnya sebagai asisten—atau sebenarnya lebih mirip pembantu—untuk membereskan meja kerja Harry dan menyiapkan segala kebutuhan Harry. Senandung-senandung kecil keluar dari mulutnya. Jantungnya berdegup kencang ketika sekelebat kenangan bersama Leo semalam muncul dalam ingatannya. Wajahnya memerah, bibirnya seolah masih bisa merasakan kehangatan bibir Leo.

“Sedang senang rupanya?” Suara parau yang tertangkap oleh telinga Trisia membuat gadis itu berjingkat. Trisia buru-buru menoleh menuju asal suara dan mendapati Harry tengah duduk memerhatikannya dari sofa yang ada sudut ruangan.

“Bapak kenapa sudah datang sepagi ini?” Trisia bertanya dengan gugup sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam tujuh lebih tiga menit. Tidak biasanya Harry tiba sepagi ini.

“Ini kantorku. Memangnya apa yang salah jika aku datang sepagi ini?” Cetus Harry membuat Trisia bungkam.

Trisia memerhatikan lelaki itu. Wajahnya kusut masai. Kemejanya berwarna abu-abu gelap pun tak selicin biasanya. Dengan dua kancing yang terbuka dan rambut yang sedikit berantakan lelaki itu tampak… seksi. Suhu ruangan yang terasa dingin menusuk kulitnya membuat Trisia menyadari sesuatu, bosnya itu mungkin menginap di kantor. Tetapi kenapa?  pikir Trisia.

“Kemana kau semalam? Apa kau bersama Leo?” Tukas Harry dengan suara yang amat mengerikan, membuyarkan pikiran Trisia.

Trisia mengernyitkan dahinya. Bagaimana bosnya tahu ia bersama Leo? Ini akan jauh lebih mengerikan daripada mendengar ibu Tomi menghinanya di acara pertunangan Tomi semalam.

“Tidak pak.” Jawab Trisia tegas, menyembunyikan kebohongannya.

“Lalu kenapa kau dan Leo tidak hadir dalam acara semalam?”

Trisia semakin bingung dengan maksud Harry. Ia terus menggali ingatannya tentang acara semalam selain acara pertunangan Tomi. “Ya Tuhan,” seru Trisia ketika ia ingat akan ulang tahun perusahaannya yang juga diadakan semalam.

“Kenapa? Kau lupa karena kau memiliki janji bersama Leo?

Ya!

“Tidak pak. Maafkan saya. Saya benar-benar lupa. Saya ada urusan semalam, jadi…”

“Apa maksudmu? Kau tidak menghargai adanya acara perusahaan? Kau menyepelekan semua itu? Menyepelekan tanggung jawabmu untuk perusahaan?” Nada suara Harry meninggi. Kemudian ia berdiri, mengambil langkah cepat untuk menghampiri Trisia.

“Maaf pak.”

“Maaf kau bilang? Kutanya sekali lagi apa kau pergi bersama Leo?” Harry meneriaki Trisia. Wajah lelaki itu merah padam karena amarahnya yang memuncak. Ia terus melangkah mendekati gadis yang kini tengah berdiri merunduk tepat dihadapannya.

“Tidak pak.”

Harry memajukan langkahnya membuat Trisia melangkah mundur hingga kakinya menyentuh meja kerja Harry. Harry mengapit kedua sisi wajah Trisia dengan telunjuk dan ibu jarinya, menengadahkan wajah Trisia yang ketakutan.

“Kau berbohong padaku bukan? Seseorang melihatmu bersama Leo semalam. Mengapa kau tidak juga mengindahkan peringatanku Trisia?”

“Tidak mungkin pak. Saya tidak bersama pak Leo semalam. Saya…”

Tiba-tiba Harry menempelkan bibirnya pada bibir Trisia dengan paksa. Trisia meronta untuk melepaskan diri, kemudian Trisia mendorong tubuh Harry dengan sekuat tenaga.

“Apa yang…” Bentak Trisia panik.

“Ini yang dilakukan Leo padamu, bukan?” Harry memotong kalimat Trisia. “Beraninya kau menipuku. Bukankah sudah kuperingatkan untuk tidak mendekati Leo? Apa kau menikmatinya, pelacur?” Harry menegaskan kata terakhirnya dengan nada sinis, menyinggung perasaan gadis yang masih bergeming dengan pandangan berapi-api seolah hendak membakar tubuh lelaki di hadapannya itu.

“Kau keterlaluan Harry!” Untuk pertama kalinya Trisia berani meneriaki lelaki itu. Kali ini Harry benar-benar keterlaluan!
***

Itu yang disampaikan Melina padanya semalam. Sahabat Melina melihat Leo bersama gadis itu. Mulanya Harry mencoba untuk tidak mempercayai apa yang disampaikan kekasihnya itu kepadanya. Namun sebuah foto yang Melina kirimkan pada Harry memperjelas segalanya.

Harry tak boleh membiarkan adiknya terjerumus karena gadis itu. Ia yakin, tabiat gadis itu tak akan jauh berbeda seperti ibunya. Seperti kata pepatah, buah jatuh takkan jauh dari pohonnya. Mungkin membawanya untuk bekerja di perusahaan ini adalah suatu kesalahan, tetapi tak ada cara yang lebih baik dari pada membuat mental gadis itu tersiksa dengan caranya sendiri.

Ia melihat punggung gadis itu menjauh, kemudian menghilang setelah gadis itu membanting pintu ruangannya dengan kasar. Seringai kepuasan tersungging di bibirnya. Entah kelainan apa yang ada pada dirinya, membuat Trisia ketakutan, mampu membuahkan kepuasan dalam hatinya.
***

Trisia menangis tersedu-sedu, di salah satu bilik toilet di lantai lima. Ia mengusap-usap bibirnya kasar dengan telapak tangannya. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri. Mengapa kenangannya bersama Leo harus hilang begitu saja karena bos sialan itu?

Ponsel Trisia bergetar di dalam saku blazer  merahnya. Mendapati nama Leo di layar ponselnya membuat darahnya berdesir. Rasa bersalah kembali mencuat. Trisia berdehem, mencoba memulihkan suaranya sebelum mengangkat telpon Leo.

“Halo.”

“Tris, aku ingin bicara denganmu. Bisa kita keluar untuk makan siang seperti biasa?”

Trisia diam. Ia tak akan mampu menatap wajah Leo setelah apa yang baru saja terjadi. Tetapi di satu sisi ia ingin bertemu dengannya, ingin menceritakan apa yang telah terjadi antara dia dan kakaknya. Hanya saja… ia tak yakin bahwa ia akan mampu.

“Aku tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Pekerjaanku banyak. Mungkin lain kali atau selain hari ini. Maafkan aku Leo.”

“Apa yang terjadi denganmu?”

“Apa maksudmu?

“Kau menangis? Kau dimana?”

“Tidak, maaf aku banyak pekerjaan.”

Trisia memutuskan sambungan telponnya, kemudian kembali mengurai air mata yang sempat ditahannya beberapa saat yang lalu. Hatinya kalut, takut dan tak tahu apa yang harus ia lakukan.
***

Leo memarkirkan mobilnya, buru-buru memasuki pintu lift untuk segera ke lantai lima. Ia tidak segera menuju ke ruangannya, namun menuju ke ruangan Harry terlebih dahulu untuk menengok gadis itu. Gadis yang terus menyita pikirannya.

Di balik kaca, Leo menatap gadis itu tengah menulis sesuatu. Wajahnya murung dan memerah. Ia yakin sesuatu pasti telah terjadi. Membuatnya semakin ragu untuk mengatakan pada Trisia mengenai keberangkatan mereka ke Belanda yang akan dimajukan melihat kondisi Trisia yang tidak dalam kondisi baik.

Dengan pertimbangan singkat, Leo melangkah membuka pintu kaca dihadapannya dan mendekati Trisia.

“Aku perlu bicara denganmu.”

Suara itu mengagetkan Trisia hingga gadis itu berjingkat.

“Apa yang kau lakukan?” bisik Trisia penuh penekanan. Jika Harry mendengar keributan, apalagi melihat mereka seperti ini, ia tahu pasti keadaan akan semakin memburuk.

“Aku punya pembicaraan yang lebih penting, ikutlah denganku.” Leo menarik tangan Trisia, sementara Liana yang duduk tepat di seberang meja Trisia hanya mampu memandang mereka berdua.

Tepat setelah Trisia beringsut dari mejanya, pintu Harry terbuka. Tatapan tajam itu mengarah pada mereka berdua seolah hendak menikam jantung mereka satu persatu.

“Apa yang kau lakukan dengan asistenku?”


Bersambung

Senin, 13 Juli 2015

Repihan Hati



Cerita ini pernah diikutsertakan dalam proyek menulis cerpen yang diadakan oleh nulisbuku pada Januari lalu.
Sayangnya, kisah ini belum beruntung untuk bergabung. Jadi, akhirnya muncul di sini sebagai persembahan untuk kalian semua.
Selamat membaca! ^^
*untuk yang sudah membaca Nightmare, ini adalah kisah Nadira sebelum bertemu dengan Nino


Sejak pagi tadi, langit tampak begitu gelap. Warna awan yang kelabu pekat terlihat sudah tidak kuat menahan beban berat. Benar saja. Sedetik kemudian tetesan hujan pertama menyentuh tanah yang diikuti tetesan-tetesan air berikutnya. Hujan turun begitu deras hingga menghasilkan melodi-melodi sumbang saat menghantam atap maupun kanopi bangunan.

Kevin berdiri di samping jendela. Ia menyandarkan setengah bahu pada kosen jendela dengan kedua tangan di saku celana kainnya yang sudah disetrika rapi. Diam dan hanya memandangi langit mendung yang terbingkai jendela. Terkadang Kevin ingin menjadi langit yang bisa menumpahkan air matanya tanpa peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain.

Sedetik kemudian, Kevin mengalihkan pandangannya pada sebuah cermin besar di ruangan itu. Mendung yang sama masih tetap bergayut di wajah tampannya. Iris matanya yang hitam tampak serasi dengan setelan tuksedo hitam yang dikenakannya. Mata hitam itu berkilat, menunjukkan emosi kecewa yang sedang mencengkramnya dengan kuat.

Semalaman suntuk Kevin tidak bisa tidur. Ia merasa begitu kecewa, frustasi, gelisah, dan ungkapan kesedihan yang lain. Bahkan ia sempat menitikkan air mata sambil mengumpulkan repihan hatinya yang beserak. Perasaan nelangsa benar-benar menghancurkan hatinya tanpa diminta. Sempat terbesit pikiran untuk kabur dan menghilang begitu saja untuk sementara. Tapi ia tahu itu adalah gagasan buruk yang hanya akan berujung pada kekecewaan kedua orang tuanya. Mereka sangat menantikan saat yang penting ini sejak lama.

Kevin menggerakkan matanya ke arah daun pintu saat terdengar sebuah ketukan pelan di sana. Sedetik kemudian, handle pintu bergerak dan pintu terbuka. Seorang wanita muncul dan melangkah masuk ke ruangan itu.

“Apa kau sudah selesai bersiap, Kevin?”

“Aku akan merapikan rambutku sebentar lagi, Ma,” jawab Kevin dengan nada datar. Ia berharap ibunya akan menyadari kesedihannya dan membatalkan prosesi pernikahan hari ini.

Ibu Kevin berjalan mendekat ke arah Kevin. Kemudian ia merapikan sedikit dasi hitam anak lelakinya itu. “Mama rasa tidak perlu. Kau sudah terlihat sangat tampan seperti ini.”

Kevin hanya tersenyum pahit menanggapi pujian ibunya. Sepertinya tidak ada cara untuk menggagalkan pernikahan ini. Ia hanya bisa berusaha tegar dan menghadapi semua dengan hati sekeras baja.

“Apa kau tahu di mana Nizar?” tanya ibu Kevin sambil mematut bayangannya sendiri di cermin. Tidak peduli berapapun usianya, wanita akan selalu tertarik menganggumi kecantikannya sendiri.

“Kenapa anak itu harus menghilang di tengah acara penting seperti ini?”

Kevin hanya mengangkat bahunya sesaat lalu kembali melemparkan pandangannya ke luar jendela. Hujan masih saja turun dengan deras. Langit seolah menggantikan Kevin yang tidak bisa menangis di saat seperti ini.

“Tadi dia berpamitan padaku untuk mengambil cincin pernikahan pesanannya. Toko itu berada dekat dari sini tapi dia tidak mengatakannya di mana,” gumam Kevin acuh tak acuh.

“Baiklah. Kalau begitu Mama akan menelepon Nizar.” Tiba-tiba nada suara ibu Kevin terdengar panik dan tampak terburu-buru melangkah keluar ruangan. “Kau cepatlah selesaikan persiapanmu, Kevin. Acara akan dimulai satu jam lagi.”

Begitu pintu kembali tertutup, Kevin menghela napas berat. Kemudian ia melangkah keluar sambil terus berusaha menguatkan hatinya. Lelaki itu berjalan sambil sesekali menyapa singkat familinya yang datang berkumpul untuk hari penting ini. Mereka tampak antusias menunggu acara dimulai.

Kevin terus melangkahkan kakinya menjauhi keramaian itu. Tapi kakinya salah melangkah dan malah membawanya ke dekat ruangan luas untuk acara penting hari ini. Dan saat itulah mata Kevin menangkap sosok gadis yang sudah mencuri hatinya.

Selembar kain muslin warna cokelat terpasang pada dinding di sebelah pintu ruangan. Kain itu berfungsi sebagai background untuk pemotretan sebelum acara dimulai. Gadis itu sedang berpose mengikuti arahan dari fotografer. Gaun pernikahan berwarna putih membungkus tubuh rampingnya. Sehelai pita satin hitam melingkar cantik di pinggang gadis itu.

Waktu terasa melambat kemudian berhenti. Gadis itu menatap ke arah Kevin yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Seulas senyum manis tergambar jelas di bibir gadis itu. Ingin rasanya Kevin merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Kemudian mengecup lembut bibir yang tampak sangat memabukkan itu. Tapi tentu saja itu adalah yang mustahil karena kurang dari satu jam lagi, gadis ini akan resmi menjadi istri dari Nizar —kakak kandung Kevin.

Gadis itu melangkah perlahan ke arah Kevin. Sepertinya sesi pemotretan untuk gadis itu sudah selesai. Gaun pernikahan yang panjang tampaknya sedikit mengganggu langkah gadis itu. Sehingga membuat Kevin tergerak untuk membantunya mengangkat sedikit bagian bawah gaun yang menyentuh lantai.

“Terima kasih, Kevin,” ujar gadis itu sambil tersenyum cerah. Wajahnya tampak sangat bahagia.  “Aku merasa sangat berdebar-debar sekarang.”

“Tentu saja, Nadira. Kau akan menikah.” Kevin menimpali sekenanya.

Nadira. Seorang gadis yang diimpikan Kevin sejak berusia sebelas tahun. Usia Nadira dua tahun lebih tua dari Kevin. Hal itu yang membuat Kevin ingin cepat-cepat menjadi orang dewasa. Sehingga ia bisa menyatakan perasaannya kepada Nadira tanpa merisaukan perbedaan usia mereka. Tapi itu semua tidak lebih dari sebuah mimpi di sudut hati Kevin. Setelah sepuluh tahun berlalu, justru Nizarlah yang mampu mencuri hati Nadira seutuhnya. Sebuah pertemuan singkat, dua kali kencan, tiga bulan berpacaran, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk mengikat cinta mereka dalam pernikahan.

Sesaat pikiran jahat menyusup ke hati Kevin. Ia berharap Nizar terjebak hujan deras sehingga kesulitan kembali ke gedung. Dan mungkin saja pernikahan hari ini akan dibatalkan. Atau paling tidak Kevin memiliki waktu lebih bersama Nadira sebelum gadis itu menjadi milik lelaki lain.

“Apa kau tahu ke mana Nizar pergi?” tanya Nadira dengan raut wajah khawatir.

Baru saja Kevin membuka bibirnya hendak menjawab pertanyaan Nadira, tiba-tiba terdengar suara seruan keras yang mengalihkan perhatian gadis itu. Juga perhatian Kevin dan orang-orang di sekitar mereka.

“Nadira! Ada berita buruk!” Ternyata paman Nadira yang tengah berteriak lantang. Ekspresi wajahnya tidak terbaca. Antara bingung, sedih, dan kecewa bercampur menjadi satu. Tapi sedetik kemudian, pria itu melanjutkan kata-katanya. “Nizar mengalami kecelakaan!”
***

Tidak pernah ada yang bisa menduga kapan maut akan menjemput. Setiap manusia di dunia ini hanya bisa menunggu hingga ajal berkata: ini sudah saatnya. Dan tidak ada seorangpun yang bisa menolak atau mengelak dari ketentuan tersebut.

Para pelayat berpakaian serba hitam mulai meninggalkan area pemakaman. Payung-payung yang juga serba hitam terkembang berusaha melindungi dari basahnya hujan. Air mata kesedihan mengalir tidak kalah deras dengan air hujan. Isakan duka juga seakan memenuhi udara di pemakaman.

Hujan masih deras mengguyur bumi. Seakan berusaha membasuh hati yang sedih. Tetesan hujan terus turun berderai-derai, menghambur tak tentu arah, kemudian hancur saat menyentuh tanah. Sama seperti perasaan Nadira. Hatinya hancur menjadi repihan kecil di atas tanah. Begitu tidak berarti dan berakhir di bawah injakan kaki para pelayat.

Nadira berdiri terpaku di sana seperti patung batu. Ia masih mengenakan gaun putih pernikahannya. Tampak sangat kontras dengan pakaian serba hitam di sekelilingnya. Para anggota keluarga berusaha membujuknya untuk pulang dan beristirahat. Tapi gadis itu tetap bergeming hingga keluarganya menyerah. Ia tidak ingin meninggalkan Nizar sendirian dalam balutan tanah merah yang dingin.

“Aku sangat mencintaimu, Nadira. Bahkan kematian pun tidak akan mampu memisahkan kita.”

Sebaris kalimat terngiang di telinga Nadira. Kalimat yang selalu dibisikkan Nizar dengan penuh cinta di telinganya. Terdengar seperti perjanjian hati tak terpatahkan yang mengikat mereka sehidup semati.

Tapi pada kenyataannya, kalimat itu tidak terbukti sekarang. Nizar sudah meninggalkan Nadira jauh ke tempat yang tak terjangkau. Kematian justru merenggut kekasihnya yang tercinta. Meninggalkan Nadira sendirian dalam keadaan tersiksa. Memisahkan mereka dengan jarak yang tak kasatmata.

Lalu bagaimana Nadira bisa menyampaikan rasa cintanya kepada Nizar? Di saat suara Nizar bahkan sudah tidak bisa lagi terdengar. Di saat kenangan mereka hanya tersisa sebagai memoar.

Tidak pernah sedetikpun Nadira membayangkan hal seperti ini akan terjadi dalam hidupnya. Sampai tadi pagi, hidupnya terasa begitu sempurna. Seluruh kebahagiaan setiap gadis di dunia berkumpul memenuhi hatinya. Tapi kemudian dalam sekejap, kebahagiaan itu lenyap begitu saja tanpa tersisa setetespun di hati Nadira.

Hanya Kevin yang masih setia di sana. Berdiri di samping Nadira. Tangannya menggenggam sebuah payung besar yang tampak percuma. Payung itu tidak cukup lebar untuk melindungi mereka berdua. Penampilan Kevin tidak kalah berantakan dengan gadis di sampingnya. Rambutnya berantakan, wajahnya pucat seperti bulan purnama, dua kancing atas kemejanya tidak terpasang rapi, dan hatinya terasa begitu rapuh karena kehilangan dua orang yang disayanginya.

Kevin melirik ke arah Nadira. Gadis itu sudah tidak menangis sekarang. Sepertinya sumur air matanya sudah dikuras habis hingga kering. Mata bengkaknya hanya menatap kosong ke arah gundukan tanah merah yang basah. Seolah jiwa gadis itu telah direnggut paksa dan ikut bersama jasad Nizar yang terkubur di bawah sana.

“Nadira, ayo kita pulang sebentar saja. Hari semakin gelap.” Kevin mulai bersuara untuk membujuk gadis itu pulang. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan Nadira. Penyakit apapun akan mudah menyerang dalam kondisi seperti ini. “Setidaknya ganti dulu pakaianmu.”

Nadira menggeleng lemah lalu berujar dengan suara seraknya. “Tidak, Kevin. Aku ingin menemani Nizar di sini.”

Kevin menelan ludahnya yang terasa pahit. Ia tahu. Sekuat apapun ia berusaha, perasaan cintanya tidak akan pernah sampai ke hati Nadira. Hati gadis itu akan menjadi milik Nizar selamanya. Sekalipun lelaki itu sudah tiada.

Nadira tahu bahwa sejak tadi Kevin memayunginya. Walaupun tubuh mereka tetap saja kuyup diguyur hujan. Tapi Nadira berusaha untuk tidak peduli. Kevin sama saja seperti yang lainnya. Hanya merasa simpati terhadap gadis malang yang ditinggal mati calon suaminya tepat di hari pernikahan mereka.

Tidak ada seorangpun dari mereka yang benar-benar merasakan apa yang dirasakan Nadira.

Nadira memejamkan matanya, meresapi setiap tetes air hujan di pori-porinya. Perlahan potongan-potongan kenangan antara ia dan Nizar berputar dalam benak Nadira. Bagi Nadira, Nizar lebih dari seorang calon suami. Nizar adalah sosok lelaki yang dicintainya sepenuh hati. Walaupun perkenalan mereka bisa dikatakan cukup singkat.

Dimulai dengan pertemuan pertama mereka yang berlanjut dengan kencan pertama mereka menonton film di bioskop, lalu kencan kedua makan malam di restoran.

Setelah tiga bulan bersama, Nizar melamarnya dengan membawa lima balon berbeda warna yang bertuliskan kata-kata Nadira, Will you marry me?. Nadira masih ingat betapa terkejutnya ia kala itu. Dan begitu Nadira menganggukkan kepalanya, Nizar melepas genggamannya dari benang balon-balon itu dan membiarkannya terbang bebas di udara. Saat Nadira tengah memperhatikan balon-balon aneka warna itu melayang di langit, Nizar sudah berlutut sambil menyodorkan sekotak cincin ke hadapan Nadira. Sontak gadis itu menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Kepalanya mengangguk memberi persetujuan. Nizar menyematkan cincin itu di jari manis Nadira dan mengikat hati mereka selamanya.

Sampai tiba hari ini. Hari di mana semua momen itu hanya tinggal kenangan. Tertinggal dalam benak dan hati Nadira tanpa berniat untuk dihapus. Masih tergambar jelas sosok Nizar yang tergeletak kaku dalam balutan jas pernikahan yang serba putih. Darah mengalir deras dari dahinya yang membentur aspal. Tulang punggungnya patah karena sebuah mobil menghantam keras tubuh lelaki itu. Sepertinya hujan yang deras cukup membatasi pandangan orang di jalan.

Sekali lagi Kevin melirik ke arah Nadira. Takut-takut ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Nadira yang kembali bergetar. Terdengar suara isakan tertahan. Gadis itu menangis lagi.

Kevin sudah tidak bisa menahan diri lagi. Ia melepas genggaman tangannya dari gagang payung. Sehingga payung itu jatuh ke tanah yang basah dengan posisi terbalik. Secepat mungkin Kevin menarik Nadira ke dalam pelukannya. Tangisan gadis itu alih-alih mereda, malah semakin berderai sederas hujan. Dan teriakan pilu gadis itu menyebut nama Nizar membuat hati Kevin seperti tersayat petir. Kesedihan Nadira menjadi kesedihannya juga.

Mereka berdua bersimpuh di atas tanah pemakaman. Saling berpelukan seakan ingin saling menguatkan padahal mereka sama-sama merasa lemah. Tidak satupun dari mereka yang memedulikan hujan yang mendera tubuh mereka sekuat tenaga.

Tapi Kevin menyadari satu hal. Nadira merasakan kehilangan yang lebih menyakitkan daripada yang ia sendiri rasakan. Seharusnya Kevin tidak perlu merasa kehilangan. Bukankah sejak dulu Nadira memang tidak pernah menjadi miliknya? Sementara Nadira... gadis itu harus kehilangan miliknya yang paling berharga.

TAMAT