Negara kincir angin yang sering disebut-sebut ibunya
sebagai tanah kelahiran. Ibu… Bahkan Trisia sudah lupa bagaimana wajah ibunya. Hanya
sebuah kenangan samar yang terbesit dalam ingatannya tentang wanita itu, bahkan
bisa dibilang Trisia hampir melupakannya. Mungkin wanita itu memang tak sepantasnya
ada dalam pikiran Trisia.
Mata Trisia nyalang menatap langit-langit kamarnya
yang bermotif abstrak. Matanya mengikuti setiap garis yang melengkung, saling berkaitan
satu sama lain. Sejauh sejarah mimpi buruknya, mungkin ini bisa disejajarkan dengan
mimpi buruk lainnya.
Untuk
apa aku pergi? Setelah memutuskan untuk terbang ke
Belanda, sesuatu yang jauh lebih buruk dari mimpi burukku selama ini akan
menantikan kedatanganku kembali. Tapi
apa aku harus mendatangi pertunangan itu
sendirian dan mendengarkan kembali
berbagai penghinaan dari orang tua Tomi? Atau aku tak perlu datang ke pesta itu? Ya. Tentu saja. Untuk apa aku
datang? Hal itu justru akan membuatku sakit hati.
Tidak!
Betapa memalukannya jika kau tidak datang Tris. Mereka akan menertawakan
dirimu, dan berkata, “Mana berani gadis miskin itu menampakkan muka setelah Tomi lebih
memilih meninggalkannya?” Angkat dagumu dan injakkan kakimu di rumah
orang-orang sombong itu! Ego Trisia tampaknya memiliki pendapat lain.
Benar. Bagaimanapun juga ia harus datang. Ia
harus menyelesaikan semuanya dengan tuntas. Mungkin ia perlu merundingkan kembali
tentang Belanda. Trisia bangun dari tempat tidurnya, kemudian beranjak untuk mengambil
ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia harus menghubungi Leo.
Sebuah pesan singkat sampai sebelum Trisia
menyentuh ponselnya. Leo.
Apa kau sudah tidur?
Seulas senyum tertahan membuat bibirnya sedikit berkerut.
Dengan cepat Trisia membalas pesan tersebut.
Belum… Ada yang ingin kubicarakan.
Setelah pesan tersebut terkirim, ponsel Trisia
berdering. Leo membalas pesannya dengan sebuah panggilan.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” Tanya Leo begitu
telponnya tersambung.
“Aku… aku hanya ingin…” Trisia menelan ludah.
“Apa yang membuatmu gugup?”
“Em… Begini, tidak bisakah kau berubah pikiran
tentang… Belanda?”
“Tidak.” Sahut Leo dengan tegas. “Ada yang
lain?”
Lelaki
keras kepala,
batin Trisia. “Kalau begitu kau tak perlu mengantarku. Aku bisa pergi sendiri atau
bersama seorang teman.”
“Tidak. Kau tak bisa. Kau akan dipermalukan
di depan umum, Tris. Kau harus datang bersamaku.”
“Apa bedanya? Bersamamu atau tidak, mereka
akan tetap mempermalukanku. Kau tak ada hubungannya.”
“Ada. Ayah Tomi pemilik industri kontruksi
dan mereka sedang bekerja sama dengan perusahaan kita. Aku bahkan bisa saja berhenti
mendanai bisnis mereka jika aku mau. Mereka akan menutup mulut mereka jika kau datang
bersamaku.”
“Oh, ini tentang kekuasaan kalau begitu,” ucap
Trisia diikuti tawa kecil. Dalam hatinya ia bersyukur mengenal lelaki itu. Ia mulai
merasa santai dan mendapati perasaan nyaman itu mengguyur dirinya sekali lagi, melupakan
sejenak mimpi buruk yang sedari tadi memenuhi pikirannya.
“Sudahlah. Jadi apa kau setuju?”
“Bisakah kau memberiku waktu untuk memikirkannya?”
“Tidak. Besok malam aku akan menjemputmu. Kita
butuh persiapan.” Suara lelaki itu terdengar menyenangkan. Membuat Trisia terhanyut
dan melupakan perbedaan kasta antara mereka. “Ini sudah malam. Tidurlah.”
“Tentu.”
“Sampai jumpa besok.”
Sambungan terputus. Ia menatap benda kecil
di tangannya, menyunggingkan senyum penuh arti.
♥♥♥
Leo mengarahkan mobilnya ke sebuah alamat yang
telah dicatatkan oleh Trisia. Tampak sebuah rumah bercat putih yang tak bisa dikatakan
mewah. Seorang wanita paruh baya sibuk membersihkan halaman rumah, bersenandung
kecil untuk menghalau sepi. Kemudian Leo meraih ponselnya, mencari-cari kontak bernama
Trisia. Belum sempat Leo menyentuh gambar gagang telpon, seseorang membuka pagar.
Gadis itu mengenakan terusan sepanjang lutut
bermotif bunga. Rambut ikalnya sebahu, tergerai indah menutup beberapa bagian wajahnya.
Gadis itu tampak jauh lebih muda dari yang biasa dilihatnya di kantor. Angin sepoi-sepoi
menerbangkan beberapa helai rambut hitamnya, membuatnya harus menyelipkan rambutnya
ke belakang telinga agar tak mengganggu pandangannya.
Leo akhirnya turun dari mobilnya dan menghampiri
gadis itu, “Masuklah,” ujar Leo membukakan pintu mobilnya.
“Terima kasih.”
Mobil Leo melaju melewati beberapa perempatan,
jalan layang, melewati pertokoan elit yang tak pernah dilalui Trisia sebelumnya,
kemudian Leo berhenti di depan sebuah rumah bercat putih dengan kombinasi abu-abu
dengan sebuah papan nama yang senada dengan bangunan tersebut.
“Ayo masuk,” Leo berjalan terlebih dahulu,
kemudian Trisia mengikuti di belakangnya. Trisia mengedarkan pandangannya menatap
sekeliling rumah minimalis yang rimbun dengan pepohonan yang di tanam di sekeliling
rumah tersebut.
“Selamat datang.” Seorang gadis yang rambutnya
dikuncir tinggi menatap Leo dengan mata berbinar, kemudian senyum itu sedikit surut
ketika matanya menatap Trisia.
“Dimana Adam?” Tanya Leo sambil mengedarkan
pandangannya untuk menemukan sahabatnya.
“Ada di dalam,” Kata gadis itu mempersilakan
Leo yang telah berjalan masuk sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, “silakan masuk.”
Akhirnya gadis itu mempersilakan Trisia dengan senyum yang dibuat-buat.
“Dam… Adam…” Leo setengah berteriak, sampai
seorang lelaki berperawakan gagah dengan kacamata persegi tanpa bingkai keluar dari
sebuah ruangan dengan terburu-buru.
“Tutup mulutmu, sialan,” Adam mengumpat. Kemudian
ia melirik gadis mungil yang berdiri beberapa meter di belakang Leo, tengah memandang
sebuah gaun berwarna kuning yang terpasang di sebuah manekin. Tanpa menghiraukan
Leo, Adam mendekati gadis itu.
“Silahkan, itu koleksi terbaru kami. Gaun model
Ball Gown yang cantik, berbahan sifon halus berkualitas tinggi yang nyaman dipakai.
Ditambah variasi aplikasi dan permata yang berkilau membuatnya tampak mewah.” Adam
menjelaskan. Trisia yang terkejut hanya mampu tersenyum kaku sambil memandang Adam.
“Kau mengagetkannya,” sergah Leo pada Adam.
“Kau mengenalnya?” Adam setengah berbisik.
“Dia datang bersamaku.”
“Oh Tuhan.” Adam segera memperbaiki sikapnya
di hadapan Trisia, “Maafkan aku, ada yang bisa kulakukan untukmu nona?” Tanya Adam
dengan senyumnya yang begitu lebar. Trisia mengedipkan matanya beberapa kali, kemudian
memandang Leo dengan tatapan apa-yang-harus-kulakukan.
“Begini, kami harus menghadiri acara pertunangan
temannya atau lebih tepatnya mantan pacarnya. Menurutmu apa yang harus ia kenakan
untuk menghadiri acara itu?” Leo menjelaskan.
Adam diam sesaat, memandang Trisia yang tengah
berdiri gugup karena dipandangi dari atas sampai ke bawah. “Apa kita pernah bertemu?”
Mata Trisia melebar, “Apa?”
“Ya Tuhan.” Adam mengingat sesuatu, “Kau gadis
yang di kafe itu kan?”
“Benar, aku Trisia.”
“Sialan, kau benar-benar mendapatkannya.” Bisik
Adam pada Leo. “Ayo, Trisia, aku punya gaun dengan desain terbaruku.” Adam merangkul
pundak Trisia, mengarahkannya menuju sebuah pintu kaca yang terletak di bagian dalam
rumah tersebut tanpa memedulikan Leo. Dengan perasaan jengkel Leo mengikuti Adam
dan Trisia di belakangnya.
Sebuah gaun dengan model one shoulder berwarna hijau muda dengan bahan
sifon menjuntai sepanjang lutut manekin yang tak berkepala di sudut ruangan. Kombinasi
brukat dan permata di beberapa sisi gaun tersebut tampak begitu indah.
“Aku telah menyelesaikan pakaian yang sama
sekitar sebulan yang lalu, tentu saja dengan warna yang berbeda. Kurasa pakaian
ini sangat cocok dengan warna kulitmu, dan serasi dengan warna matamu yang indah.”
Ujar Adam sambil menyentuh pinggang manekin tersebut.
Trisia tertegun, begitu takjub dengan gaun
di hadapannya, “Ini seperti pakaian yang digunakan Diandra Vionita.” Trisia menggumamkan
sebuah nama.
“Kau tahu itu?”
“Tentu, itu mirip dengan gaun yang dikenakan
Diandra saat show di Bali. Aku melihatnya di majalah temanku. Aku sangat menyukai
dunia fashion, dan model pakaian ini tentu saja.” Trisia menyentuh sisi lain manekin
tersebut.
“Aku tersanjung mendengarnya. Ya, itu adalah
desainku. Aku sedang mencoba untuk menembus pasar internasional. Bulan depan aku
akan ke Belanda untuk acara fashion berskala internasional.” Adam menjelaskan dengan
bangga, sementara Trisia mendengarnya dengan berbinar-binar.
“Belanda?” Trisia mengulangi kata Belanda sambil melirik ke arah Leo.
“Ya, tentu saja. Aku sudah lama menantikannya,”
Ujar Adam. Dua orang itu terlihat begitu
cocok ketika berbincang masalah fashion, menyinggung sesuatu di dalam diri Leo.
“Tujuan kita kemari untuk membeli pakaian dan
perlengkapannya. Bukan membicarakan tentang fashion.” Leo memotong pembicaraan mereka,
alisnya menyatu sebagai bentuk ketidak setujuan dengan percakapan yang sama sekali
tidak dipahaminya, sementara Adam dan Trisia tersenyum geli menatap lelaki itu.
♥♥♥
Trisia berdiri di tengah kerumunan orang dan
berharap sikap tenang yang sedang diusahakannya akan berhasil. Akhirnya malam yang
tidak pernah dinantikannya ini tiba. Malam dimana ia akan menyaksikan pacarnya—ralat,
mantan pacarnya akan bertunangan dengan gadis lain. Tangannya terasa begitu dingin.
Tanpa diragukan lagi, gadis itu benar-benar gugup.
Lelaki itu berdiri bersebelahan dengan seorang
gadis yang cantik. Lelaki yang dirindukannya. Saat ini tak ada hal yang paling diinginkan
Trisia selain meninggalkan pesta pertunangan ini. Tatapan penuh arti ditujukan pada
dirinya. Seorang wanita paruh baya dengan penampilan yang glamour menatapnya angkuh,
membuat nyali Trisia menciut.
Trisia berdiri dengan gelisah, ketika seorang
pria dengan setelan jas berwarna hitam mulai mengucapkan selamat kepada pasangan
yang berbahagia itu. Ingin rasanya melangkah mundur dan pergi dari tempat itu. Tepat
ketika Trisia melangkahkan kakinya, sebuah tangan merangkul pinggangnya.
“Mau kemana kau?” Bisik Leo tepat di telinga
Trisia.
“Aku ingin pergi dari sini.” Bisik Trisia yang
berjinjit untuk medekatkan bibirnya dengan telinga Leo.
“Setidaknya ucapkanlah selamat pada mereka.
Tegakkan punggungmu, tunjukkan bahwa kau akan mendukung mereka atau mereka akan
merendahkanmu.”
Mendukung?
Antara ingin menangis dan tertawa secara bersamaan,
Trisia ingin berteriak, memprotes garis nasibnya yang selalu membawanya pada ketidakadilan
hidup. Tangan di pinggangnya yang ramping semakin memeluknya dengan erat, membawanya
mendekat pada tubuh maskulin lelaki di sampingnya.
Aroma Leo begitu khas. Dengan jarak sedekat
ini, Trisia dapat mencium aroma kayu-kayuan yang menyatu dengan aroma tubuh Leo.
Perasaan gugupnya perlahan tergantikan dengan rasa nyaman.
♥♥♥
Matanya tak bisa berhenti menatap gadis itu.
Ia tampak cantik—sangat cantik. Namun menatap lelaki yang merangkul pinggang gadis
itu membuat darahnya mendidih. Tapi ia sadar, ini semua salahnya, seharusnya Trisia
yang berdiri di sampingnya saat ini. Sangat disesalkan gadis itu justru harus berada
di antara orang-orang yang menyaksikan pertunangannya.
Sebenarnya ia telah mengetahui hal ini akan
terjadi. Industri konstruksi ayahnya hampir bangkrut, jalan satu-satunya untuk membuatnya
tetap berdiri adalah dengan menikah dengan gadis itu—anak seorang pengusaha rafinering
ternama, meski jauh di lubuk hatinya masih ada Trisia. Ini adalah yang terbaik untuk
perusahaan, orang tuanya dan Trisia.
Tomi tersenyum menatap gadis di hadapannya
sebelum menyematkan cincin pertunangan di jari manis gadis itu. Senyum yang tak
bisa dikatakan tulus, jauh di dalam hatinya begitu terluka. Terlebih gadis yang
dicintainya tampaknya telah menemukan penggantinya—yang jauh lebih baik darinya.
Setelah gadis itu menyematkan cincin pada jari
manis Tomi, tepuk tangan bersahut-sahutan, turut berbahagia atas kebahagiaan mereka
berdua. Namun mata Tomi tak henti-hentinya memerhatikan gadis yang berdiri beberapa
meter darinya. Tangan lelaki di sampingnya menyentuh lengan telanjang gadis itu,
mendekatkan Trisia pada dirinya. Secara reflek Tomi hendak meloncat untuk menghajar
lelaki itu, namun gadis di sampingnya mencoba menghentikan Tomi dengan menggenggam
tangan Tomi. Ia tahu pasti apa yang sejak tadi mengganggu pikiran tunangannya itu.
Pembawa acara mengucapkan terima kasih untuk
perhatian para tamu undangan setelah menyatakan bahwa acara telah berakhir. Asambel
kembali bermusik, tepuk tangan terus membanjiri ruangan. Tomi menggertakkan gigi
sebelum Trisia dan lelaki itu mendekat ke arahnya.
“Selamat untuk kalian berdua. Kami turut berbahagia
untuk pertunangan kalian,” Ujar Trisia dengan senyum yang dipaksa melebar.
“Tentu, terima kasih banyak.” Gadis di samping
Tomi tersenyum anggun.
“Senang kau bisa datang, Tris.” Tomi yang seolah
sempat kehilangan suaranya akhirnya mampu berkata-kata.
“Oh… Kupikir kau tidak akan berani untuk datang
ke pertunangan Tomi. Ternyata kau bernyali juga.” Wanita itu—ibu Tomi menyindir
Trisia dengan suara pelan, diiringi seringaian angkuh di bibir merahnya. Tubuh Trisia
tampak menegang, namun lelaki di sampingnya mengeratkan pelukannya di pinggang Trisia.
“Ma—”
“Nyonya Gideon yang terhormat, kami tidak sedang
mengunjungi malaikat kematian, bukan? Untuk apa kami harus takut?” Balas lelaki
di samping Trisia memotong ucapan Tomi dengan senyum geli. Mata wanita itu pun terbelalak.
Tak menyangka lelaki itu akan begitu berani.
“Kau…” gumamnya geram.
“Pak Leo, selamat malam. Tak kusangka anda
akan hadir di acara kecil ini.” Pria bertubuh tinggi besar itu menghampiri Leo,
kemudian menjabat tangan lelaki itu.
“Selamat malam pak Gideon. Senang bertemu dengan
anda. Saya ucapkan selamat atas pertunangan putra anda.” Leo menjabat tangan pria
itu sementara Tomi memerhatikan mereka.
“Terima kasih, anda bersama…” Gideon terkejut
begitu menatap gadis di samping Leo. “Trisia.”
Trisia mengangguk untuk memberi hormat pada
lelaki itu.
“Benar, anda sudah mengenalnya? Kami akan segera
menyusul Tomi,” ujar Leo membuat beberapa pasang mata terbelalak menatap Leo dan
Trisia bergantian. “Bukan begitu, sayang?” Ia menatap Trisia. Wajah gadis itu bersemu
merah. Mendengar hal itu tubuh Tomi menegang, tangannya mengepal hingga buku-buku
jarinya memutih.
Sialan!
♥♥♥
Leo terus memerhatikan gadis yang berjalan
lambat di depannya. Kepalanya menunduk menatap kakinya yang berjalan menyilang seperti
model yang berjalan di catwalk sementara
Leo mengikuti di belakangnya.
Gadis itu tampak amat cantik mengenakan gaun
hijau cerah, begitu indah membalut tubuhnya, serasi dengan warna matanya. Ia yakin
setelah ini ia tak akan mampu untuk tidak memikirkan Trisia. Namun Leo tahu pasti,
hatinya tak secerah itu. Tampak dari kilatan mata hijaunya yang tampak begitu sedih.
Ingin rasanya Leo memeluk gadis itu, namun ia takut dengan sebuah penolakan.
Leo berhenti tepat di depan mobilnya. Ia mengerutkan
dahinya menatap Trisia yang masih melangkah malas. Mobilnya telah terlewati oleh
Trisia. Leo menyeringai, kemudian berlari kecil untuk mengejar Trisia. Ia meraih
pergelangan tangan Trisia untuk menghentikannya.
“Trisia?” Panggil Leo lembut ketika Trisia
tak juga berbalik untuk menatapnya. Leo mengambil langkah di depan Trisia, menaikkan
dagu Trisia dengan tangannya. Hati Leo mencelus ketika mendapati wajah Trisia begitu
basah oleh air mata. Leo mengusap air matanya yang masih terus mengaliri wajahnya,
namun gadis itu menghentikannya dengan menyentuh tangan Leo.
Leo yang masih menangkupkan kedua tangannya
di wajah Trisia, mendekatkan bibirnya ke bibir Trisia. Kemudian menarik tubuh Trisia
ke dalam pelukannya, “Berikan aku kesempatan.”
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D