Jumat, 24 Juli 2015

Red Lie - Chapter 12



Semacam rumput liar yang akan terus bertahan hidup meski telah dipotong berkali-kali. Mungkin perumpamaan yang tepat untuk gadis itu. Berkali-kalipun diperingatkan ia seolah tak pernah mengindahkannya.

Langit semburat kemerahan di ufuk timur. Surya merambat perlahan. Cahaya pagi bersinar menembus tirai berjenis horizontal blind berwarna putih yang menutup beberapa jendela besar di ruangan Harry. Harry mengetuk-ketukkan jari telunjuknya di atas meja kerjanya, sementara sebelah tangannya memijat pangkal hidungnya. Ini masih pagi—bahkan terlalu pagi untuk memulai pekerjaannya di kantor. Jam digital yang berada di sudut mejanya menunjukkan pukul lima lebih empat puluh dua menit.

Bukan ia yang terlalu bersemangat hingga berada di ruangannya sepagi ini. Tetapi ia sengaja tidak meninggalkan kantornya sejak pesta ulang tahun perusahaannya yang ke tujuh puluh delapan tahun semalam. Rencananya kacau.

Semalam adalah malam yang dinanti-nantikannya. Ia telah membuat sebuah rencana cantik untuk mempermalukan Trisia di depan umum. Selanjutnya akan membuat gadis itu akan merasakan kantor seperti neraka. Ia akan membuat hari-hari gadis itu menjadi lebih panjang dengan menambah jam lembur. Melihat wajah gadis itu begitu tertekan oleh cemoohan seluruh karyawan akan membuat Harry senang. Kemudian ia akan melihat gadis itu mengajukan surat pengunduran diri sebelum masa kontraknya habis. Tidak sampai di situ, Harry akan mempersulit segalanya dan membuat Trisia akan memilih menyerah untuk hidup. Seperti ibunya yang memilih untuk mengakhiri hidupnya.

Harry berdecak kesal, kemudian beranjak dari kursinya untuk berpindah menuju sofa yang berada di sudut ruangannya. Ia merebahkan tubuhnya pada sofa panjang sambil melipat tangannya di bawah kepalanya. Ia memejamkan matanya sejenak, memutar memorinya mundur beberapa jam yang lalu.

Ia berjalan menuju ruangan besar tempat pesta di adakan. Harusnya Liana dan Trisia mendampinginya malam itu, namun ia tak melihat batang hidung Trisia meski matanya mencari-cari gadis itu. Gadis kecil itu sudah berani memberontak.

Harry sebagai CEO Quarts Design memberikan sambutan pada beberapa menit pertama sebagai pembuka acara. Matanya terus memerhatikan seluruh karyawan yang telah berkumpul di hadapannya. Ia menajamkan pandangannya seolah mencari seekor anak rusa di antara semak belukar yang siap disantap oleh singa kelaparan.

Nihil.

Ia masih juga tak menemukan gadis itu. Harry kembali memusatkan pikirannya pada sambutan singkatnya dan tepuk tangan terdengar meriah ketika Harry menutup sambutan singkatnya. Ia menuruni panggung kemudian menyeruak diantara karyawan-karyawan yang masih menikmati acara yang baru saja dimulai beberapa menit yang lalu. Fokusnya teralihkan saat ia tak menemukan adiknya pada saat yang sama.

Leo dan Trisia…

Suatu ketidak sengajaan itu membuat firasat Harry memburuk. Itu tak boleh terjadi.

Harry kembali tersadar begitu ponselnya berbunyi. Menandakan sebuah pesan bergambar telah dikirimkan oleh seseorang untuknya. Begitu Harry menyentuh tulisan buka di ujung layarnya, sebuah foto membuat Harry terperangah. Membelalakkan matanya lebar-lebar.
***

Mata Trisia terasa berat. Kantung hitam di bawah matanya terlihat mengerikan. Sebelum berangkat tadi, Trisia telah membubuhkan bedak yang tak bisa dikatakan mampu untuk menutup kekurangan itu. Di saat seperti ini ia menyesal tak menuruti Laura, sahabatnya, untuk membeli peralatan make up.

Trisia membuka pintu ruangan Harry tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Ia melakukan tugas rutinnya sebagai asisten—atau sebenarnya lebih mirip pembantu—untuk membereskan meja kerja Harry dan menyiapkan segala kebutuhan Harry. Senandung-senandung kecil keluar dari mulutnya. Jantungnya berdegup kencang ketika sekelebat kenangan bersama Leo semalam muncul dalam ingatannya. Wajahnya memerah, bibirnya seolah masih bisa merasakan kehangatan bibir Leo.

“Sedang senang rupanya?” Suara parau yang tertangkap oleh telinga Trisia membuat gadis itu berjingkat. Trisia buru-buru menoleh menuju asal suara dan mendapati Harry tengah duduk memerhatikannya dari sofa yang ada sudut ruangan.

“Bapak kenapa sudah datang sepagi ini?” Trisia bertanya dengan gugup sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam tujuh lebih tiga menit. Tidak biasanya Harry tiba sepagi ini.

“Ini kantorku. Memangnya apa yang salah jika aku datang sepagi ini?” Cetus Harry membuat Trisia bungkam.

Trisia memerhatikan lelaki itu. Wajahnya kusut masai. Kemejanya berwarna abu-abu gelap pun tak selicin biasanya. Dengan dua kancing yang terbuka dan rambut yang sedikit berantakan lelaki itu tampak… seksi. Suhu ruangan yang terasa dingin menusuk kulitnya membuat Trisia menyadari sesuatu, bosnya itu mungkin menginap di kantor. Tetapi kenapa?  pikir Trisia.

“Kemana kau semalam? Apa kau bersama Leo?” Tukas Harry dengan suara yang amat mengerikan, membuyarkan pikiran Trisia.

Trisia mengernyitkan dahinya. Bagaimana bosnya tahu ia bersama Leo? Ini akan jauh lebih mengerikan daripada mendengar ibu Tomi menghinanya di acara pertunangan Tomi semalam.

“Tidak pak.” Jawab Trisia tegas, menyembunyikan kebohongannya.

“Lalu kenapa kau dan Leo tidak hadir dalam acara semalam?”

Trisia semakin bingung dengan maksud Harry. Ia terus menggali ingatannya tentang acara semalam selain acara pertunangan Tomi. “Ya Tuhan,” seru Trisia ketika ia ingat akan ulang tahun perusahaannya yang juga diadakan semalam.

“Kenapa? Kau lupa karena kau memiliki janji bersama Leo?

Ya!

“Tidak pak. Maafkan saya. Saya benar-benar lupa. Saya ada urusan semalam, jadi…”

“Apa maksudmu? Kau tidak menghargai adanya acara perusahaan? Kau menyepelekan semua itu? Menyepelekan tanggung jawabmu untuk perusahaan?” Nada suara Harry meninggi. Kemudian ia berdiri, mengambil langkah cepat untuk menghampiri Trisia.

“Maaf pak.”

“Maaf kau bilang? Kutanya sekali lagi apa kau pergi bersama Leo?” Harry meneriaki Trisia. Wajah lelaki itu merah padam karena amarahnya yang memuncak. Ia terus melangkah mendekati gadis yang kini tengah berdiri merunduk tepat dihadapannya.

“Tidak pak.”

Harry memajukan langkahnya membuat Trisia melangkah mundur hingga kakinya menyentuh meja kerja Harry. Harry mengapit kedua sisi wajah Trisia dengan telunjuk dan ibu jarinya, menengadahkan wajah Trisia yang ketakutan.

“Kau berbohong padaku bukan? Seseorang melihatmu bersama Leo semalam. Mengapa kau tidak juga mengindahkan peringatanku Trisia?”

“Tidak mungkin pak. Saya tidak bersama pak Leo semalam. Saya…”

Tiba-tiba Harry menempelkan bibirnya pada bibir Trisia dengan paksa. Trisia meronta untuk melepaskan diri, kemudian Trisia mendorong tubuh Harry dengan sekuat tenaga.

“Apa yang…” Bentak Trisia panik.

“Ini yang dilakukan Leo padamu, bukan?” Harry memotong kalimat Trisia. “Beraninya kau menipuku. Bukankah sudah kuperingatkan untuk tidak mendekati Leo? Apa kau menikmatinya, pelacur?” Harry menegaskan kata terakhirnya dengan nada sinis, menyinggung perasaan gadis yang masih bergeming dengan pandangan berapi-api seolah hendak membakar tubuh lelaki di hadapannya itu.

“Kau keterlaluan Harry!” Untuk pertama kalinya Trisia berani meneriaki lelaki itu. Kali ini Harry benar-benar keterlaluan!
***

Itu yang disampaikan Melina padanya semalam. Sahabat Melina melihat Leo bersama gadis itu. Mulanya Harry mencoba untuk tidak mempercayai apa yang disampaikan kekasihnya itu kepadanya. Namun sebuah foto yang Melina kirimkan pada Harry memperjelas segalanya.

Harry tak boleh membiarkan adiknya terjerumus karena gadis itu. Ia yakin, tabiat gadis itu tak akan jauh berbeda seperti ibunya. Seperti kata pepatah, buah jatuh takkan jauh dari pohonnya. Mungkin membawanya untuk bekerja di perusahaan ini adalah suatu kesalahan, tetapi tak ada cara yang lebih baik dari pada membuat mental gadis itu tersiksa dengan caranya sendiri.

Ia melihat punggung gadis itu menjauh, kemudian menghilang setelah gadis itu membanting pintu ruangannya dengan kasar. Seringai kepuasan tersungging di bibirnya. Entah kelainan apa yang ada pada dirinya, membuat Trisia ketakutan, mampu membuahkan kepuasan dalam hatinya.
***

Trisia menangis tersedu-sedu, di salah satu bilik toilet di lantai lima. Ia mengusap-usap bibirnya kasar dengan telapak tangannya. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri. Mengapa kenangannya bersama Leo harus hilang begitu saja karena bos sialan itu?

Ponsel Trisia bergetar di dalam saku blazer  merahnya. Mendapati nama Leo di layar ponselnya membuat darahnya berdesir. Rasa bersalah kembali mencuat. Trisia berdehem, mencoba memulihkan suaranya sebelum mengangkat telpon Leo.

“Halo.”

“Tris, aku ingin bicara denganmu. Bisa kita keluar untuk makan siang seperti biasa?”

Trisia diam. Ia tak akan mampu menatap wajah Leo setelah apa yang baru saja terjadi. Tetapi di satu sisi ia ingin bertemu dengannya, ingin menceritakan apa yang telah terjadi antara dia dan kakaknya. Hanya saja… ia tak yakin bahwa ia akan mampu.

“Aku tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Pekerjaanku banyak. Mungkin lain kali atau selain hari ini. Maafkan aku Leo.”

“Apa yang terjadi denganmu?”

“Apa maksudmu?

“Kau menangis? Kau dimana?”

“Tidak, maaf aku banyak pekerjaan.”

Trisia memutuskan sambungan telponnya, kemudian kembali mengurai air mata yang sempat ditahannya beberapa saat yang lalu. Hatinya kalut, takut dan tak tahu apa yang harus ia lakukan.
***

Leo memarkirkan mobilnya, buru-buru memasuki pintu lift untuk segera ke lantai lima. Ia tidak segera menuju ke ruangannya, namun menuju ke ruangan Harry terlebih dahulu untuk menengok gadis itu. Gadis yang terus menyita pikirannya.

Di balik kaca, Leo menatap gadis itu tengah menulis sesuatu. Wajahnya murung dan memerah. Ia yakin sesuatu pasti telah terjadi. Membuatnya semakin ragu untuk mengatakan pada Trisia mengenai keberangkatan mereka ke Belanda yang akan dimajukan melihat kondisi Trisia yang tidak dalam kondisi baik.

Dengan pertimbangan singkat, Leo melangkah membuka pintu kaca dihadapannya dan mendekati Trisia.

“Aku perlu bicara denganmu.”

Suara itu mengagetkan Trisia hingga gadis itu berjingkat.

“Apa yang kau lakukan?” bisik Trisia penuh penekanan. Jika Harry mendengar keributan, apalagi melihat mereka seperti ini, ia tahu pasti keadaan akan semakin memburuk.

“Aku punya pembicaraan yang lebih penting, ikutlah denganku.” Leo menarik tangan Trisia, sementara Liana yang duduk tepat di seberang meja Trisia hanya mampu memandang mereka berdua.

Tepat setelah Trisia beringsut dari mejanya, pintu Harry terbuka. Tatapan tajam itu mengarah pada mereka berdua seolah hendak menikam jantung mereka satu persatu.

“Apa yang kau lakukan dengan asistenku?”


Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D