Selasa, 28 Juli 2015

Red Lie - Chapter 13


“Apa yang kau lakukan dengan asistenku?”

Suara itu terdengar berat di telinga Leo. Suara parau yang mendesis melalui gigi yang terkatup. Ciri khas emosi yang tertahan yang selalu ditunjukkan oleh kakaknya yang cenderung menahan perasaannya.

“Aku ingin bicara dengannya,” ujar Leo tanpa memandang kakaknya yang bersandar pada kusen pintu. Lelaki itu sibuk mengamati adiknya yang tangannya masih terhubung dengan tangan asistennya.

“Dimana sopan santunmu? Dia bekerja untukku. Kenapa kau membawanya tanpa meminta izin padaku?”

Leo berbalik untuk memandang pemilik suara yang semakin terdengar sinis. “Pak Harry, saya mohon izin untuk berbicara dengan Trisia.” Leo merendahkan suaranya, menahan amarah yang mulai bergejolak dalam hatinya.

“Tidak bisa. Ini masih jam kerja.” Harry melangkah menuju meja Liana yang terletak tak jauh dari tempatnya bersandar, kemudian mengambil sebendel kertas di atas meja Liana. “Trisia, aku ingin kau mengopi ini,” Harry mengangkat kertas itu di udara untuk menunjukkannya pada Trisia, “tiga kali dan tolong kaubelikan sebuah klip kertas berukuran besar.”

“Baik pak.” Trisia segera menarik tangannya dari genggaman Leo.

Kekecewaan terlihat jelas pada wajah Leo, “Aku akan mengantarmu.”

“Tidak,” sergah Harry. “Kau masuklah, aku ingin bicara denganmu.” Tanpa mendengar jawaban Leo, Harry memasuki ruangannya dan membiarkan pintu ruangannya terbuka untuk Leo.

Dalam hati, Leo menggerutu. Ini benar-benar bukan saat yang tepat. Sejak kejadian semalam Trisia sangat berbeda, Trisia mulai mengabaikannya. Ia harus memastikan apakah kejadian itu yang membuat gadis itu terganggu.

“Apa yang ingin kaubicarakan?” Tanya Leo begitu memasuki ruangan Harry dan menutup pintu di belakangnya.

“Ada urusan apa kau dengan asistenku?” Harry merentangkan tangan dan menopangkan sikunya di meja.

“Kau hanya bosnya, kau tidak perlu tahu segala urusan asistenmu.” Leo memandangi kakaknya dan suaranya terdengar jengkel.

“Kusarankan jangan terlalu dekat dengan gadis itu,” ujar Harry dengan suara datar. “sebelum kau menyesal nantinya. Kau tidak tahu siapa dia.”

“Kenapa?”

“Aku tidak menyukainya,” jawab Harry. “Dia bukan gadis baik-baik.”

Tidak,” kata Leo. “Aku tak mengerti mengapa kau mempekerjakannya jika kau tak menyukainya. Tetapi apa yang kau maksud dengan bukan gadis baik-baik, kurasa itu bukanlah Trisia.”

Harry menghela napas, “Aku hanya berusaha memperingatkan padamu sebelumnya. Kau tak akan menyukai kenyataan siapa dia sebenarnya jika kau tahu bahwa dia mungkin adalah…”

“Anak dari wanita selingkuhan ayah?” Leo memotong kalimat Harry.

Harry membelalakkan matanya seolah bola matanya nyaris keluar. “Kau tahu? Sejak kapan kau tahu tentang itu?” Harry bergerak gelisah. Ia pikir rahasia yang ia simpan dari Leo selama ini masih tersimpan rapat.

“Tentu, aku membaca buku harian ibu. Ibu tidak meninggal karena penyakit. Ibu menulis rencana bunuh dirinya dalam buku harian itu.”

“Tetapi tetap saja Calista penyebab utamanya.”

“Tapi bukankah kita sedang membicarakan Trisia, kak?”

“Dia adalah anak dari wanita itu.”

“Lalu kenapa? Trisia bukanlah pelakunya.” Leo semakin geram. Terkadang ia bingung dengan jalan pikiran kakaknya yang selalu jauh dari cara pikirnya. “Sekarang coba kaupikir, saat itu dia sama seperti kita, dia hanya anak kecil yang tak tahu apa-apa.”

“Lalu apa kau berniat mendekatinya?” Nada sinis itu kembali terdengar oleh Leo dari mulut kakaknya. “Apa kau tahu bahwa gadis itu mungkin adalah adikmu? Buah dari perselingkuhan ayah dengan wanita itu?”

Pernyataan Harry seolah menggodam kepala Leo. Ia sama sekali tak memikirkan hal itu sebelumnya. Apakah ia telah mencium adiknya semalam? Apakah selama ini ia tengah jatuh cinta pada adiknya sendiri? Leo bertanya-tanya.

Harry tersenyum tanggung, menyadari perubahan pada raut wajah adiknya. “Kutebak kau tak memikirkan itu sebelumnya.”

Leo bergeming, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia tak tahu bagaimana memastikan kebenaran itu sementara ia tak mungkin bertanya pada ayahnya yang telah terkubur di dalam tanah. Kecuali ia bisa menemukan Calista.

“Ingatlah Leo, buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Aku yakin Trisia pun bukanlah gadis baik-baik, sama seperti ibunya yang bukanlah seorang wanita terhormat.”

“Lalu kaupikir ayah siapa yang melakukan hal tidak terhormat dengan wanita itu?” Leo berusaha mengendalikan diri. Leo meninggalkan ruangan kakaknya dengan emosi yang hampir meluap. Ia tak akan membiarkan kata-kata kakaknya itu semakin mengganggu pikirannya.
***

Sejak kapan Leo mengetahui semua itu? Sangat disayangkan bahwa rahasia yang ia simpan untuk melindungi adiknya justru terbuka di luar sepengetahuannya. Keras kepala yang memang berkembang pesat di kepala adiknya itu memang terkadang membuat Harry geram. Namun sesuatu yang ia sadari, raut kecewa Leo seolah mengatakan bahwa ia memiliki perasaan lebih untuk gadis itu. Bagaimanapun Harry tak akan membiarkan itu terjadi. Meski pada akhirnya gadis itu terbukti memang adiknya, ia tak akan pernah mengakuinya. Tidak, selama darah Calista mengalir dalam tubuh gadis itu.

Harry menyentuh beberapa angka pada layar ponselnya yang kemudian menghubungkannya pada seseorang di suatu tempat.

“Apakah ada perkembangan?” Tanya Harry begitu telpon tersambung.

“Belum. Aku masih kesulitan mencari dimana duplikat akta lahir gadis itu. Tak ada yang tahu dimana akta gadis itu dibuat.”  

“Jika dalam seminggu kau belum menemukannya, pergilah ke Belanda dan cari wanita itu.”
***

Dengan langkah terburu-buru Trisia kembali menuju lift untuk kembali ke lantai lima. Ia lupa membawa uang untuk membeli klip kertas yang diperintahkan Harry. Ini semua karena insiden yang membuatnya seperti berada dalam adegan sinetron yang diputar di layar kaca.

Begitu pintu lift terbuka di lantai lima, Trisia melompat keluar. Langkah terburu-burunya membuat sepatunya beradu dengan lantai dan menimbulkan suara berisik di tengah ruangan tenang lantai lima.

“Trisia.” Leo yang hampir memasuki ruangannya segera memutar langkahnya untuk kembali mendekati Trisia.

Tanpa perlu menoleh, gadis itu telah mengenali siapa sang pemilik suara. Orang yang sangat ingin ia temui dan ia hindari dalam waktu bersamaan. Trisia mempercepat langkahnya agar segera sampai di ruangannya.

“Tunggu Tris.” Leo menarik tangan Trisia sebelum Trisia sempat membuka pintu kaca yang ada dihadapannya.

“Ada apa lagi? Aku tak ingin pak Harry melihat kita disini.” Trisia merendahkan suaranya, menekankan setiap kata dalam kalimatnya.

“Aku tak peduli.” Dengan segala keegoisannya, Leo menarik tangan Trisia, membawanya menuju ruangan yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.

“Apa yang ingin kau bicarakan?” Tanya Trisia begitu Leo menutup pintu di belakangnya. Untuk kedua kalinya Trisia menginjakkan kakinya di ruangan Leo.

“Kenapa kau menjauhiku?” Leo memegang erat kedua lengan Trisia dan menatap mata gadis itu dalam-dalam. Namun Trisia mengarahkan pandangannya ke arah lain, tak ingin membalas tatapan Leo. “Trisia, lihat aku. Apa kau menjauhiku karena kejadian semalam?”

Tidak!
Ingin rasanya Trisia meneriakkan kata itu di depan Leo, namun suaranya seolah menghilang begitu saja. Ditatapnya lelaki dihadapannya dengan mata yang berkaca-kaca. Lelaki itu tampak lelah, wajahnya pucat dengan rambutnya yang berantakan.

“Sampai kapan kau akan seperti ini? Jika ini karena aku menciummu dan kau menghindariku, kumohon maafkan aku.” Suara Leo terdengar serak.

“Bukan… aku…”

“Jangan membuatku kacau.” Leo mendekat, menyandarkan kepalanya di pundak Trisia. Seolah terdengat aliran listrik, jantung Trisia berdetak kencang. Bahkan mungkin saja Leo akan mendengarnya dalam ruangan sehening ini. Trisia mengangkat tangannya perlahan. Ragu. Meski dalam hatinya ia ingin memeluk lelaki itu. Namun Trisia mengurungkan niatnya begitu mendengar ponsel yang berasal dari meja kerja Leo berbunyi.

“Kau tidak mengangkatnya?” Tanya Trisia. Leo hanya menggelengkan kepalanya di bahu Trisia.

“Aku benar-benar lelah.” Leo bergumam. Pembicaraannya dengan kakaknya tadi rupanya masih berdampak pada pikirannya. Apa yang harus ia lakukan jika gadis ini adalah adiknya? Mampukah ia menghapuskan perasaannya untuk Trisia? Perasaan yang terlanjur dalam ia tanamkan dalam hatinya.


“Trisia,” Leo mengangkat kepalanya, menyentuh salah satu sisi wajah Trisia. “Aku mencintaimu.” Kemudian Leo mendekat, menghapus jarak di antara mereka, mendekatkan wajahnya untuk menyentuh bibir Trisia dengan bibirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D