CAHAYA matahari senja perlahan memudar, berganti dengan
langit malam yang bertaburan bintang-bintang. Bulan mulai menghinggapi malam
dengan kilaunya yang serupa mutiara. Suara jangkrik yang merdu terdengar
bersahutan dengan bisingnya kendaraan dari kejauhan.
Masih mengenakan seragam putih-kelabu mereka, Jihan dan
Rangga duduk berdampingan di kursi teras rumah Jihan. Biasanya, mereka akan
menikmati senja sambil duduk di kafe kesukaan mereka, membicarakan banyak hal
seperti materi ujian pekan depan mau pun sekadar gosip terkini di sekolah.
Tetapi hari ini mereka memilih untuk menghemat uang demi bisa membeli tiket
film kesukaan mereka berdua.
Tiba-tiba saja Jihan menghela napas berat. ‘Kenapa, ya,
orang-orang berciuman?’ tanyanya, lebih seperti gumaman untuk dirinya sendiri.
Tetapi tanpa dinyanya, kata-katanya berhasil merebut perhatian Rangga dari
konsol permainan portable yang
digenggam lelaki itu.
Rangga mem-pause
permainannya, mengangkat wajah, dan mengernyit menatap Jihan. Ia ingin mencoba
menjawab pertanyaan tidak biasa yang dilontarkan gadis itu. Hanya saja ia
sendiri merasa ragu dengan jawabannya. Jadi, ia menjawab dengan hati-hati, ‘hem... mungkin karena mereka saling
mencintai...?’
Mata Jihan membulat antusias. Ia menggerakkan kursinya
sedikit menghadap Rangga. ‘Itu berarti... aku hanya boleh berciuman dengan
seseorang yang kucintai?’
‘‘Tentu saja,” sahut Rangga sedikit terdengar kesal. Raut
wajahnya seolah mengatakan bahwa semua orang tahu hal itu. ‘Kau tidak boleh
berciuman dengan sembarang orang. Hanya boleh dengan seseorang yang benar-benar
istimewa. Misalnya, suamimu nanti.’
Jihan menganggut-anggutkan kepalanya. Ia terdiam, mencoba
memahami dengan baik kata-kata Rangga. Sementara lelaki itu kembali menyibukkan
diri dengan permainannya.
‘Kira-kira... di antara kita berdua, siapa yang akan
lebih dulu menikah, ya?’ Jihan kembali bergumam. ‘Dan mengalami bagaimana itu
berciuman....’
‘Entahlah.’ Rangga menggidikkan bahu tanpa kembali
melepas permainannya. Saat itu perasaan mereka masih murni sebagai sahabat,
tanpa perasaan jatuh cinta yang rumit. ‘Yang penting, kita harus menjaganya
untuk seseorang yang mencintai dan kita cintai.’
Jihan membiarkan dagu dan hidungnya berkerut. Diam-diam,
ia menanamkan kalimat itu baik-baik dalam benaknya. Ia harus menjaga ciumannya hanya
untuk seseorang yang mencintai dan dicintainya.
***
Bibir Rangga terasa lembut menempel di bibir Jihan. Lelaki
itu tampak begitu hati-hati dan berusaha untuk memperlakukan Jihan selembut
mungkin. Hingga tidak ada kesempatan bagi Jihan untuk menolak.
Tidak ada yang bisa dipikirkan Jihan. Ia merasa otaknya
sudah tercerabut paksa dari dalam rongga kepalanya. Tubuhnya terasa begitu
lemas seperti tidak bertulang. Jadi, ia memilih untuk memejamkan matanya
perlahan, merasakan euforia yang berdentam-dentam di rongga dada kirinya.
Tetapi begitu matanya terpejam sempurna, wajah Silvia
yang sedang tersenyum tulus muncul di balik kelopak matanya.
Dan seketika itu juga, Jihan menyentak dirinya dan mendorong
tubuh Rangga. Ia beringsut hingga ujung sofa terjauh dari Rangga. “Aku tidak
bisa, Rangga.”
“Kenapa?” Wajah lelaki itu berkerut masam. “Apa karena
Silvia?”
Jihan terdiam. Ia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan
yang sudah jelas jawabannya. Gadis itu hanya tertunduk mendekap kedua
tangannya. Sekujur jemarinya terasa menegang dan gemetar.
“Jihan....” Rangga mencoba mendekat. Tetapi ia
mengurungkan niatnya begitu melihat sikap defensif yang ditunjukkan Jihan.
“Maaf karena aku melakukannya.”
Jihan mengigit bibirnya, berusaha menahan air matanya
yang mendesak di pelupuk mata. Tidak ada satu kata pun yang mampu diucapkan
bibirnya yang kelu. Pipinya memerah sementara jantungnya berdebar kencang
karena perasaannya yang campur aduk. Malu, bingung, dan menyesal saling
bertumpuk di dalam hatinya.
“Aku juga minta maaf.” Akhirnya Jihan mampu mengucapkan
sesuatu walaupun dengan suara tercekat. “Tidak seharusnya kita melakukan hal
seperti itu....”
“Lihat aku, Jihan.” Rangga memberanikan diri untuk
mendekat dan meraih dagu Jihan. Rasa perih merayap di hatinya ketika melihat
sepasang mata gadis itu berkaca-kaca. “Jangan berpikiran buruk tentang ini. Aku
sama sekali tidak bermaksud untuk melecehkanmu atau—”
“Sebaiknya kau pergi,” tukas Jihan dengan suara serak. Ia
membebaskan dagunya dari jemari Rangga, lalu memalingkan wajahnya untuk
menghindari tatapan lelaki itu.
“Baiklah.” Rangga berusaha menyunggingkan senyuman penuh
pengertian. Lelaki itu lantas bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah
pintu. Sekuat tenaga menghalau dirinya untuk berbalik dan merengkuh Jihan ke
dalam pelukannya. Ia sangat mengerti bahwa gadis itu membutuhkan waktu untuk
sendiri.
Begitu terdengar suara pintu tertutup, air mata Jihan
tumpah tanpa bisa dicegah.
***
Jihan termenung sambil menatap langit-langit kamarnya. Bulir-bulir
air matanya tampak mengering, meninggalkan jejak sungai penyesalan di wajahnya.
Entah sudah berapa lama ia membiarkan tubuhnya berbaring seperti itu. Hingga
akhirnya cahaya jingga yang samar menyusup melalui jendela yang tertutup tirai.
Senja.
Suasana itu selalu mampu menarik perhatian Jihan. Ia
bangkit dan menarik tirainya sedikit terbuka. Membiarkan sinar lembayung itu
memasuki kamarnya dengan lebih leluasa. Ah, langit yang dipenuhi kerinduan.
Dengan sedih, Jihan menyentuh bibirnya. Masih terasa
sentuhan bibir Rangga di sana. Ia menghela napas panjang. Ciuman yang dijaganya
untuk satu orang yang istimewa. Jihan tahu ia mencintai Rangga. Dan ia yakin
Rangga juga begitu. Selama beberapa detik, ia merasa bahagia. Tetapi detik
berikutnya, hanya perasaan menyesal yang melingkupi hatinya.
Jihan mencintai—masih mencintai Rangga
hingga saat ini. Tidak ada gunanya menyangkal kenyataan itu. Tetapi ia harus
benar-benar membuang perasaannya. Jika tidak, itu berarti ia akan melukai
perasaan Silvia. Ia akan menjadi pengkhianat untuk sahabatnya. Walaupun itu
berarti ia harus membohongi dirinya sendiri.
Oh, tidak. Apa yang dipikirkannya tadi? Demi Tuhan.
Sahabatnya sedang terbaring sakit. Sementara ia malah... melakukan hal yang
sama sekali tidak pantas. Bahkan dengan lelaki yang tidak memiliki ikatan apa
pun dengannya.
Air mata Jihan kembali tergelincir di pipinya. Ia menutup
wajahnya dengan telapak tangan. Tetapi isakannya terdengar jelas. Apa yang
harus dikatakannya saat ia bertemu langsung dengan Silvia?
***
“Jihan... Jihan... Jihan...!”
Jihan lantas tersentak ketika merasakan lengannya
diguncang samar. “Oh, maaf. Apa kau mengatakan sesuatu?”
Silvia tidak menjawab. Gadis itu malah menyilangkan
tangannya di dada, terang-terangan tampak kesal. Ia memberikan pandangan
menyelisik yang membuat Jihan merasa tidak nyaman.
“Apa lagi yang mengganggu pikiranmu, Gadis Muda?” tanya
Silvia penuh sindiran. “Kau membuatku merasa sedang bicara dengan batu.”
Kepala Jihan tertunduk. Ia merasa seperti anak kecil yang
baru saja terpergok menghabiskan semua kue di kulkas. Bibirnya berbisik lirih
mengucapkan maaf. Entah meminta maaf karena sudah mengabaikan Silvia, atau
karena pengkhianatan yang dilakukannya.
“Kau pasti tidak mendengarkan kata-kataku tadi, kan?”
Nada bicara Silvia masih terdengar tajam.
“Memang apa yang kaukatakan?” Jihan balas bertanya.
Silvia berdecak kesal. “Lebih tepatnya, tadi aku bertanya
padamu. Apakah kau jadi pergi makan siang dengan Julian?”
“Sepertinya tidak.” Jihan menggeleng. “Tadi dia mengirim
pesan singkat untuk membatalkan janji makan siang. Dia tidak bisa meninggalkan
dapurnya. Restoran terlalu ramai siang ini, katanya.”
“Bagus kalau begitu, kau ikut makan siang saja denganku,”
ujar Silvia sambil menarik lengan Jihan, mengajak gadis itu untuk bangkit dari
duduknya. “Rangga mengajakku makan siang bersama. Dia bilang ingin memastikan
bahwa aku akan makan dengan benar,” Silvia menambahkan lantas terkekeh penuh
kebahagiaan.
Oh, tidak.
“A-aku tidak bisa, Silvia. Lebih baik aku makan sendiri saja.”
“Kenapa?” Tawa Silvia lenyap, menjelma ekspresi kecewa
pada lawan bicaranya.
Jihan menggaruk kepalanya, mencari alasan yang sesuai.
“Aku hanya tidak ingin mengganggu acara kalian berdua.”
Apalagi setelah apa yang terjadi tempo hari. Jihan sama
sekali tidak memiliki keberanian untuk bertemu dengan lelaki itu. Ditambah ada
Silvia di tempat yang sama dengan mereka. Itu pasti akan menjadi sebuah
kesalahan besar.
“Oh, ayolah. Jangan bersikap seperti remaja yang takut
diabaikan seperti obat nyamuk.”
Jihan menempelkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia mendongak
dan menatap Silvia lekat-lekat penuh permohonan. Tetapi ia lupa seperti apa sifat
keras kepala sahabatnya itu.
“Cepat pilih. ‘Ya’ atau ‘ikut’?”
Alis Jihan terangkat. Itu jelas bukan pilihan. Ia memilih
tetap bergeming, berusaha mempertahankan diri agar tidak goyah oleh rajukan
Silvia. Padalah perasaan bimbang tergambar jelas di mata Jihan. Seharusnya
Silvia mengerti dan berhenti memaksakan kehendaknya. Tetapi bukan Silvia
namanya jika tidak bisa membuat orang lain patuh. Setengah hati, Jihan
menganggukkan kepalanya.
Senyum kemenangan terukir di bibir Silvia. “Kalau begitu
kita berangkat sekarang sebelum kau menghabiskan jam makan siangmu dengan
melamun.”
***
“Jadi ini kedai nasi goreng yang sering kau bicarakan
itu?” bisik Jihan di dekat telinga Silvia ketika mereka memasuki sebuah kedai
yang tampak dipadati oleh para pekerja kantoran siang ini.
Silvia mengangguk dan menoleh sedikit kepada Jihan yang
berdiri di belakangnya. “Menu nasi gorengnya sangat lezat dan bervariasi. Kau
lihat sendiri berapa banyak perut lapar yang datang ke sini,” ucap Silvia
sambil memandang berkeliling pada suasana kedai yang diwarnai obrolan samar dan
denting alat makan yang beradu.
Saat ini mereka berdiri berbaris di dekat pintu masuk
kedai. Rangga yang berdiri paling depan sedang berbicara dengan pramusaji yang
kemudian mengantar mereka ke tempat duduk di tengah ruangan.
Silvia tentu saja memilih untuk duduk berdampingan dengan
Rangga. Jihan duduk di seberang meja, berhadapan langsung dengan Silvia. Sejak
tadi gadis itu berusaha untuk tidak bertemu pandang dengan Rangga. Ia tidak
yakin dengan kemampuan matanya menyembunyikan perasaan.
Pramusaji meletakkan dua buku menu ke atas meja. Jihan
menyambar cepat satu buku menu agar matanya tidak menganggur. Dalam sekejap, ia
sudah tenggelam dalam deretan foto nasi goreng yang tertera di buku menu. Air
liurnya nyaris menetes. Sepertinya benar kata Silvia, nasi goreng di sini pasti
sangat lezat.
“Aku pesan nasi goreng hitam,” kata Rangga sambil
mengulurkan tangan menyebrangi meja dan mengetuk sebuah gambar nasi goreng pada
menu di hadapan Jihan.
Jihan tersentak. Ia tidak menyangka lelaki itu menunjuk
menunya, bukannya menu pada Silvia yang seharusnya mereka bagi berdua. Takut-takut,
Jihan mengikuti gerakan tangan yang kini ditarik kembali oleh pemiliknya. Apa
lelaki ini sengaja ingin menarik perhatiannya?
Tetapi ketika Jihan mendongak untuk menatap sekilas ke
arah Rangga, lelaki itu tampak tidak menggubrisnya. Ia sibuk bersikap ramah
kepada pramusaji yang menanyakan pesanan mereka. Sebenarnya, apa maksudnya?
“Kalau begitu, aku juga sama,” ujar Silvia sambil tetap
menunduk untuk memerhatikan gambar nasi goreng berwarna hitam karena tinta
cumi-cumi, dengan potongan udang dan cumi-cumi berbentuk cincin. Kemudian ia
masih menyibukkan diri membolak-balik lembaran menu sambil bertanya, “kau ingin
pesan apa, Jihan?”
“A-aku juga sama.” Tergeragap, Jihan kembali menunduk
tidak fokus pada menu di hadapannya.
“Tiga nasi goreng seafood
hitam,” gumam pramusaji sambil mencatat. “Minumannya?”
“Orange juice,”
kata Rangga. Lagi-lagi tanpa melihat menu yang berderet, seolah ia sudah
menghafal menu apa saja yang ada di kedai ini.
“Aku juga.” Silvia tersenyum lebar sambil menutup buku
menunya.
“Aku—“ Mata Jihan bergerak cepat di antara deretan daftar minuman.
“Espresso macchiato.”
Pramusaji itu membacakan ulang pesanan lalu mengambil
kembali menu yang tadi dibawanya. Tetapi langkahnya tertunda ketika Rangga
menginterupsi gerakannya.
“Tolong salah satu nasi gorengnya tanpa bawang goreng,
ya.”
“Baik.” Pramusaji itu mengangguk dan memberi tanda pada
catatannya.
“Kau tidak suka bawang goreng?” tanya Silvia ingin tahu
begitu pramusaji itu berlalu. Sepertinya, ketika mereka makan berdua di sini
tempo hari, Rangga tidak pernah protes tentang hal ini.
“Bukan aku. Tapi Jihan,” jawab Rangga sambil menggidikkan
dagunya ke arah Jihan.
Sontak Jihan langsung salah tingkah diperlakukan seperti
itu. Ia sendiri bahkan tidak terpikirkan tentang bawang goreng—si
perusak rasa pada hidangan makan siangnya kali ini. Mengapa lelaki itu harus
menunjukkan perhatiannya di hadapan Silvia seperti ini? Apalagi setelah itu
Silvia langsung melirik sekilas ke arahnya, membuat Jihan merasa rikuh.
“Wah, ingatanmu kuat sekali.” Ucapan Silvia itu terdengar
sepert sindiran tajam bagi Jihan.
“Mana mungkin aku lupa,” sahut Rangga lantas terkekeh
perlahan. “Pernah suatu ketika kami makan bersama teman sekelas, dia heboh
melihat taburan bawang goreng di atas nasi gorengnya.”
Bibir Silvia membulat lantas ikut terkekeh. Sementara
Jihan tampak tersipu rikuh menyadari kejadian memalukan itu terlintas kembali
dalam ingatannya. Dasar Rangga sialan! Ia hanya bisa mengumpat dalam hati. Sama
sekali tidak ada keinginan untuk membalas perkataan lelaki di hadapannya.
“Omong-omong, Jihan. Apa kau akan datang acara reuni
bulan depan?”
“Reuni?” Alis Jihan terangkat, sedikit bingung dengan
perubahan topik yang begitu tiba-tiba. Lagi pula, bagaimana bisa lelaki ini
bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka berdua?
“Ya. Reuni SMA kita. Apa kau belum menerima undangannya?”
“Ha?”
“Oh. Benar juga. Pasti teman-teman kita tidak memiliki alamat
tempat tinggalmu yang sekarang.” Kepala Rangga mengangguk-angguk ketika
menyadari hal itu. “Atau mungkin hanya aku yang tahu kalau kau kembali ke kota
ini.”
Jihan terdiam, sama sekali tidak bermaksud menanggapi
kata-kata Rangga.
“Reuni itu... apakah aku boleh ikut?” Dengan hati-hati,
Silvia mencoba memasuki topik yang sedang berlangsung di hadapannya. “Aku tidak
memiliki teman SMA yang tinggal di sini.”
Sejak berusia lima belas tahun, Silvia memang tinggal
bersama nenek dari pihak ibunya di London. Jadi, ia mengenyam pendidikan menengah
hingga kuliahnya di kota yang memiliki bianglala raksasa itu.
“Kau yakin tidak akan merasa bosan di sana?” Rangga
berusaha menghalau keinginan Silvia. “Kau, kan, bukan alumni sekolah itu.”
“Tidak masalah. Aku yakin akan banyak teman-teman kalian
yang datang bersama suami atau istri mereka. Jadi..., aku bisa datang sebagai
pasanganmu.” Silvia tersenyum menunjukkan deretan giginya yang putih.
“Ide bagus,” sahut
Jihan kemudian, mendukung usulan Silvia.
Silvia mengerling terima kasih ke arah Jihan. Sedikit
banyak, tujuan ia sebenarnya adalah ingin mengenal Rangga melalui teman-teman
SMA lelaki itu. Karena selama ini, informasi yang didapatnya dari Jihan tidak
pernah memuaskan hasrat ingin tahunya.
Rangga melirik protes ke arah Jihan, tetapi gadis itu
mencoba tidak mengacuhkannya. Yang benar saja! Apa gadis ini sama sekali tidak
memiliki keinginan untuk datang bersamanya ke reuni itu?
“Tapi kau tidak mengenal teman-teman SMA-ku,” ujar Rangga
dengan nada ragu. “Apa kau tidak takut nanti akan merasa... hem... canggung?”
“Siapa bilang aku tidak mengenal teman SMA-mu?” sanggah
Silvia dengan nada riang. “Aku mengenal Jihan.”
Rangga mengikuti tatapan Silvia yang kini terarah ke arah
Jihan. Dan gadis itu membalas kata-kata
Silvia dengan tertawa. Tentu saja tawa yang tidak ditujukan untuk
dirinya. Semakin lama suara tawa itu semakin terasa jauh, hingga hanya
menyisakan gaung di sudut benaknya.
Tidak pernah Rangga mengira bahwa sebuah ciuman seolah
mampu merentangkan jarak ribuan kilometer di antara mereka.
***
Jihan mengurai tawa sekilas menanggapi kata-kata Silvia.
Memang benar gadis itu mengenal dirinya sebagai alumni dari SMA itu. Hanya
saja, ia sendiri tidak berniat datang ke acara reuni—atau apapun
itu yang berpotensi membangkitkan kenangan di antara dirinya dan Rangga.
Seorang pramusaji berjalan melewati meja mereka dengan
langkah kikuk. Jihan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengalihkan
perhatiannya dari perdebatan kecil di hadapannya. Ia bertopang dagu di atas
meja, sambil membiarkan kepalanya bergerak mengikuti pramusaji yang tadi lewat.
Pramusaji itu tampak kurang percaya diri. Mungkin pegawai
baru, duga Jihan. Tangannya tampak gemetar memegang nampan. Senyumannya kaku
dan tidak terlatih. Ketika ia mengantarkan pesanan ke sebuah meja di dekat
jendela, pramusaji itu berusaha menyapa seramah mungkin walaupun kerutan gugup
mencuat di setiap sudut wajahnya.
Entah mengapa, Jihan merasa pramusaji itu lebih mirip
aktris amatir di atas panggung teater. Sekuat tenaga ia harus merahasiakan
perasaan yang sesungguhnya dan menampilkan peran yang diingkan orang-orang. Ah, entah mengapa itu terdengar seperti
dirinya sendiri.
Jihan mendengar helaan napas Rangga yang menginterupsi
lamunannya.
“Baiklah kalau begitu. Asalkan Jihan tidak keberatan kita
datang bertiga,” ujar Rangga mengakhiri perdebatannya dengan Silvia. Terdengar
nada memohon dari kalimat terakhir yang diucapkan lelaki itu. Entah memohon
untuk apa.
Kepala Jihan berputar cepat mendengar namanya disebut.
“Berempat,” ralat Silvia begitu perhatian Jihan kembali
kepadanya. “Kita ajak juga Julian. Sebagai pasangan Jihan.”
Baru saja Jihan membuka bibirnya ingin menyatakan
penolakan dan sanggahan atas usulan Silvia. Tetapi apa pun yang hendak
dikatakan Jihan, urung terucap karena saat itu sang pramusaji kikuk datang ke
meja mereka mengantarkan tiga porsi nasi goreng beraroma sedap yang membuat
gemuruh di lambung Jihan bersorak gembira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D