Kalimat
singkat yang membuat Trisia mempertimbangkan kepergiannya. Itu juga yang ia
rasakan pada Leo. Cinta. Bahkan tanpa
ia sadari, Leo telah merajai hatinya, membuat Tomi akhirnya tersingkir dari
hatinya.
Setelah
perjuangan yang cukup panjang, beriringan dengan ketakutan beserta kegelisahan
yang terus melawan teguhnya pendirian. Segalanya menjadi teramat berarti
setelah mempertimbangkan kenyataan yang terjadi, yang mampu membuatnya
terpukul. Tanpa ragu lagi ia memutuskan untuk mengikuti Leo ke Belanda, meski
ia harus meninggalkan surat pengunduran diri di meja bosnya.
Trisia
telah mengencangkan sabuk pengaman dan untuk pertama kalinya ia menginjakan
kakinya di dalam pesawat. Sebelumnya, ketika terdengar suara berdengung di
langit, Trisia akan menengadahkan kepala, memicingkan matanya untuk melawan
cahaya matahari. Lalu sebuah bongkahan besi yang terlihat sangat kecil akan
melintasi kepalanya. Senyum samar menghiasi wajahnya ketika mengingat hal itu,
membuat lelaki di sampingnya terus memerhatikan perubahan raut wajah gadis di
sampingnya.
“Kau
takut, sayang?” Leo menggenggam tangan Trisia, memandangnya dengan penuh
perhatian. Tak bisa dipungkiri oleh Trisia, pesona Leo memang akan selalu
menaklukkannya.
Trisia
menggeleng, “Tidak, aku hanya mengingat sesuatu.” Trisia memandang lekat-lekat
mata tajam Leo, kemudian pandangannya turun menuju bibirnya. Bibir yang manis…
Buru-buru
Trisia mengembalikan arah pandangannya saat Leo berkata, “Apa kau teringat
dengan apa yang dikatakan kakakku?”
Tidak. Trisia
sama sekali tak memikirkan hal itu, namun Leo membuatnya kembali teringat
sehingga mau tidak mau Trisia memang harus memikirkannya kembali. Memikirkan
tentang kemungkinan itu. Trisia menggigit bagian dalam bibirnya, sekelebat
adegan yang cukup buruk mengganggu pikirannya…
“Cuti?
Berapa lama?” Tanya Harry sambil membuka berkas-berkas yang baru saja diantar
oleh Trisia.
“Sekitar
dua minggu, pak.”
“Untuk
apa?”
“Saya
ada keperluan, pak.”
“Oh…
sudah jadi orang sibuk ternyata.” Sindir Harry. Pintu Harry kemudian terbuka
tanpa diketuk terlebih dahulu membuat perhatian Harry dan Trisia tertuju pada
orang yang muncul setelah pintu terbuka.
“Kupikir
kau sedang tidak ada tamu.” Leo basa-basi kemudian mendekat dan duduk di
samping Trisia yang tengah berdiri. “Api situasinya sedang tegang?” Tanya Leo
mencoba mencairkan suasana, memandang Harry dan Trisia bergantian.
“Tidak,
saya hanya…”
“Siapa
suruh kau bicara?” Sergah Harry ketus. “Dia meminta cuti. Padahal pegawai yang
masih bekerja kurang dari enam bulan dilarang mengajukan cuti,” jelasnya pada
adiknya.
“Dia ada urusan. Izinkan dia cuti.”
“Mengapa
kau memintaku mengizinkannya? Kau lupa dia bekerja untukku?” Gerutu Harry.
Hening. Tiba-tiba Harry menyadari sesuatu, “apa dia akan pergi denganmu?”
“Tidak.”
“Ya.”
Jawab Trisia dan Leo bersamaan. Mendengar Jawaban Leo, Trisia memandang lelaki
yang tampak tenang tanpa mencoba menyembunyikan kebohongan dari kakaknya yang
mengerikan itu.
“Kau
dan Trisia?” Harry meyakinkan. Kemudian Leo membalas dengan sebuah anggukan
mantap.
Brak!
Harry
memukul mejanya dengan keras. “Kau pikir apa yang kau lakukan?” Wajahnya merah
karena amarah. Ia memandang Leo dan Trisia bergantian.
“Kau,”
Harry menunjuk wajah Trisia, seolah telunjuknya adalah sebilah pisau yang siap
mencabik-cabik wajah gadis itu. “Kau sama saja dengan ibumu. Penggoda! Dasar
anak haram!”
“Kak,
jaga bicaramu!” Leo menyela sementara Trisia hanya mampu membelalakkan matanya.
“A—apa
maksud anda dengan…” Trisia menjeda kalimatnya, “…anak haram?”
“Kau
adalah…”
“Kak,
cukup!” Leo menyela, namun tampaknya Harry tak berniat menggubrisnya.
“Kau
adalah anak ayahku dan selingkuhannya.” Harry menegaskan setiap kata dengan
jelas, membuat Trisia terperangah mendengarnya.
“Tidak.”
Gumam Trisia parau.
“Itu
kenyataannya. Kau adalah anak haram.”
“Tapi
ini belum terbukti. Bukankah sudah kukatakan jaga mulutmu!” Leo mencoba
menghibur Trisia dengan menyalahkan kakaknya.
“Dan
sikapmu jelas kaudapatkan dari ibumu yang pelacur itu, nona.”
“Trisia.
Apa yang kau pikirkan?” Suara itu seolah membawa jiwa Trisia kembali.
“Ah,
tidak. Aku hanya berpikir tentang kita.”
“Semuanya
pasti baik-baik saja.” Leo menggenggam tangan Trisia yang terasa begitu dingin.
***
“Selamat
datang di Bandara Schipol, Amsterdam.” Suara pilot dari ruang kendali terdengar
nyaring, disambut oleh seulas senyum di bibir Trisia. Setelah perjalanan yang
menempuh sekitar empat belas jam tanpa henti, akhirnya Trisia akan melihat indahnya Belanda, tanah
kelahiran ibunya yang selama ini hanya mampu ia saksikan lewat siaran di
televisi.
Trisia
menoleh pada lelaki di sampingnya yang tengah tertidur pulas. Wajahnya tampak
polos seperti anak kecil yang membuat Trisia ingin melindunginya. Gadis itu
tersenyum kemudian mengecup pipi Leo hingga lelaki itu berjingkat, memandang
Trisia dengan matanya yang masih memerah.
“Kita
sudah sampai.” Ujar Trisia bersemangat.
“Aku
tertidur cukup lama ya?”
“Kurasa
begitu.”
Trisia
menengadahkan kepalanya, menyaksikan bangunan tinggi bertuliskan “Schipol” yang
amat besar yang dikelilingi oleh kaca-kaca yang memantulkan pemandangan di
belakang Trisia. Bandara Schipol memiliki penampakan yang cukup indah. Berbeda
dengan bandara yang pernah Trisia lihat sebelumnya.
Leo
memerhatikan wajah Trisia, mata Trisia terpejam dan mengambil napas dalam-dalam
untuk memenuhi paru-parunya. Leo meraih ponselnya, kemudian memotret wajah
cantik Trisia tanpa sepengetahuannya.
“Buka
matamu.” kata Leo dengan nada lembut.
Trisia
membuka mata, mengarahkan pandangan matanya pada lelaki tampan yang sekali lagi
mengambil fotonya. “Apa yang kau lakukan?”
“Aku
hanya ingin mengabadikan dirimu, sebelum…” Leo menghentikan kalimatnya,
berusaha menelan ludahnya yang terasa pahit.
“Sebelum
kenyataan bahwa kita sedarah akan terbukti?” Trisia tersenyum kecut seolah
mampu membaca pikiran Leo.
“Tidak,
maksudku sebelum kau menyadari bahwa aku memotretmu. Spontan hasilnya lebih
bagus, bukan?” Leo membantah meski memang hal itulah yang ada dalam pikirannya.
Ia sadar hal itu akan membuat gadis di hadapannya bersedih.
Trisia
melangkah, kemudian melingkarkan lengannya pada leher Leo, memeluk lelaki itu
dengan erat. “Aku tahu bukan itu yang ingin kaukatakan. Hal yang samalah yang tengah
mengganggu pikiran kita.”
Leo
membalas pelukan Trisia, “Maafkan aku telah membawamu pada situasi yang lebih
rumit.”
***
Sebuah
hotel bergaya klasik menjulang di hadapan mereka. Pemandangan De Dam atau Dam
Square yang pernah ia saksikan di televisi kini ada di depan matanya. Dengan segera
ia putuskan, ia harus menyempatkan diri untuk memberi makan merpati disana.
Langkah
Trisia mengikuti Leo menuju meja resepsionis. Matanya berkeliling ke penjuru
ruangan yang sangat besar itu. Kemudian dari arah belakang, seseorang
menabraknya hingga Trisia nyaris terjatuh. Beruntung Leo sempat memegangi
lengan gadis itu.
Seorang
pria tinggi besar mengucapkan kalimat aneh—mungkin bahasa Belanda. Nada suara
pria itu seolah menanyakan sesuatu pada Trisia, namun Leo dan Trisia hanya
saling bertatapan karena tak mengerti dengan bahasa pria tersebut. Buru-buru
Leo menanyakan maksud pria itu dengan Bahasa Inggris.
“Kupikir
nona ini orang Belanda. Maaf, aku tak sengaja. Apa dia baik-baik saja?” Tanya
pria itu pada Leo dalam Bahasa Inggris yang segera diterjemahkan Leo pada
Trisia.
“Dia
baik-baik saja. Terima kasih.” Kata Leo menerjemahkan kalimat Trisia. Lalu Leo mengangguk
sejenak sebagai tanda untuk berpamitan pada pria itu dan ia menarik tangan
Trisia. Sementara mereka berjalan menjauh, pria itu masih berdiri di tempatnya,
memerhatikan pasangan tersebut.
***
“Lantai tiga puluh?” Tanya Trisia ketika Leo
menekan angka tiga puluh di lift. “Mengapa kau tidak memilih di lantai bawah?”
“Ini milik pamanku, dan beliau memiliki penthouse khusus keluarga di lantai
paling atas.”
“Jadi hotel ini tiga puluh lantai?”
“Begitulah. Sekarang beliau membangun sebuah
hotel lagi di Istanbul.”
“Wah… Keluarga kalian benar-benar luar biasa.”
“Itu karena kakekku telah mewariskan modal dan
bakat pengusaha yang hebat.” Leo menjelaskan hingga lift telah terbuka di
lantai tiga puluh. Mereka melangkah beriringan menuju ujung koridor dan Leo
membuka pintunya.
“Beristirahatlah, ini kamarmu,” ujar Leo
menunjuk sebuah kamar di dalam penthouse.
“besok pagi kita memulai pencarian ibumu.”
“Lalu kau tidur dimana?”
Leo menunjuk sofa di belakangnya dengan ibu
jarinya. “Disana.”
“Kenapa kau tidak masuk saja? Ranjang itu cukup
besar untuk berdua.”
“Baiklah sayang,” Leo mengecup kening gadis
yang kini menjadi miliknya. “Aku masih ada urusan sebentar. Begitu selesai, aku
akan menyusul. Selamat tidur.”
***
Leo
menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa, kemudian mengangkat kedua kakinya ke
atas meja. Ia membuka kaleng minuman yang telah disediakan di lemari pendingin.
Kemudian sesekali menyentuhkan kaleng dingin itu pada dahinya. Ia memejamkan
matanya, mengistirahatkan sejenak matanya hingga sesuatu seolah menempa kursi
di sampingnya.
“Apa
yang kau pikirkan?” Tanya Trisia yang tiba-tiba duduk di samping Leo.
“Tidak
ada, aku hanya tertidur. Kenapa kau disini?”
Trisia
menyandarkan kepalanya di pundak Leo. “Apa pendapatmu jika kita memang
benar-benar saudara?”
Hening.
Leo tak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan Trisia. Yang jelas ia sama
sekali tak ingin mendapati kenyataan bahwa mereka adalah saudara. Pikirannya
begitu kacau, belum lagi Harry mengiriminya beberapa pesan singkat yang
menyudutkannya. Ia tak begitu paham mengapa kakaknya begitu dendam pada Trisia
meski bukan ia yang membuat ibu mereka meninggal.
“Entahlah.
Atau kita kawin lari?” Canda Leo dengan cekikikan seperti yang sering
dilakukannya selama ini. Tapi sejujurnya, ini bukan lelucon melainkan isi hati lelaki
itu. Ia tak bisa memikirkan apapun selain kawin lari.
“Tapi
apa kau tahu, jika kita tetap menikah, mungkin keturunan kita akan cacat?” Trisia
menghela napasnya. Itu yang pernah didengarnya dari temannya.
“Kita
bukan saudara.” Ujar Leo lugas.
“Mengapa
kau begitu yakin?”
“Karena
aku ingin menikah denganmu dan kita akan hidup bahagia bersama anak-anak kita.”
Leo memberikan senyum lebutnya diikuti sebuah ciuman di puncak rambut Trisia. “Tidurlah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D