Selasa, 30 Desember 2014

My Destiny



Duk.. Duk.. Duk.. Duk..

Suara langkah sepatu berhak tinggi menggema di sepanjang lorong gedung di lantai dua. Semua mata memperhatikannya, bahkan tak jarang mereka menoleh dua kali ketika berpapasan dengannya. Rok mini lima belas senti di atas lutut yang mengekspos kaki jenjangnya, kemeja merah menyala tanpa lengan, tas jinjing bermerk Prada yang mengkilat, rambut ikal panjang berwarna pirang tergerai indah, lipstik yang senada dengan kemeja dan kaca mata hitam melengkapi penampilannya yang begitu mencolok di lantai kedua sebuah perusahaan desain arsitektur.

Tatapan kagum, iri, bahkan geli dari para pegawai ditujukan pada wanita itu. Wanita salah kostum. Langkahnya terhenti di depan dua orang pegawai yang tengah menatapnya sinis sambil berbisik-bisik satu sama lain. Diangkatnya kacamata hitam yang sedari tadi menutup mata indahnya. Tatapan angkuh dan mengintimidasi yang memancar dari kedua mata indahnya membuat kedua pegawai itu segera menyingkir dari hadapannya. Kembali dilangkahkan kakinya menuju ruangan yang berada di ujung lorong.

Meja sekretaris di depan ruangan tersebut kosong. Tanpa ragu ia melangkah membuka pintu yang ada di hadapannya. Begitu romantis. Dua sejoli dihadapannya sedang berpelukan erat dengan bibir yang saling berpagut mesra. Entah berapa lama mereka melakukannya sehingga tak memperhatikan bahwa seseorang tengah memperhatikan mereka. Wanita itu menyilangkan kedua tangannya, menikmati pertunjukan didepannya.

“Belum selesai juga?” Tanya wanita itu dengan nada jijik. Kedua sejoli itu terkesiap, segera melepaskan diri.

“Amanda, ini tidak seperti yang kau lihat. Kau salah paham.” Sang pria berusaha meyakinkan Amanda dengan menggenggam kedua tangannya.

“Oh.. Aku salah lihat? Maafkan aku sayang, mungkin ada gangguan di mataku.” Kata Amanda dengan nada sedih. Sedetik kemudian, ekspresi muak kembali terpasang di wajahnya. “Kau benar-benar brengsek! Dan kau, jalang, segera kemasi barangmu, ajukan surat pengunduran diri saat ini juga! Kalian menjijikkan.”

Amanda memutar tubuhnya, meninggalkan ruangan tersebut tanpa lupa membanting pintu untuk menunjukkan kemurkaannya. Dia begitu geram melihat kekasihnya tengah bermesraan dengan sekretaris jalang itu tepat di depan matanya. Suara langkah terburu buru terdengar menggema di belakang wanita itu.

“Amanda, tolong dengarkan aku. Aku ingin kau mendengarkan penjelasanku sebentar.” Amanda menghentikan langkahnya mendengar suara parau kekasihnya. Ditatapnya pria yang kini berada di hadapannya. Wajahnya pucat pasi dan suara paraunya terdengar begitu gugup.   

“Tiga menit.” Ucap Amanda tak acuh. Hening. Pria itu seolah kehilangan suaranya. Mulutnya terbuka, kemudian tertutup kembali bagai seekor ikan yang kehabisan nafas. Pandangan mengintimidasi putri pemilik perusahaan desain arsitektur tersebut nampaknya memang selalu membuat nyali lawan bicaranya menciut. Tak ingin membuang-buang waktunya, Amanda melangkah meninggalkan pria tampan dihadapannya.

“Amanda.. Tunggu Amanda. Aku.. Aku..” Pria itu terbata-bata, tidak tahu harus mengatakan apa pada kekasih yang telah tiga bulan bersamanya. Ia menggigit bibirnya, menyesali tindakan bodohnya yang dapat mengancam karirnya sebagai seorang arsitek.

“Kita akhiri semuanya disini. Jika kau khawatir tentang karirmu, tenang saja. Aku tak akan mengatakannya pada ayah. Hanya saja, rasanya begitu menjijikkan jika perusahaan ayahku kau gunakan untuk hal yang tidak bermoral seperti itu.” Tegas Amanda. Pria itu kembali bungkam, tubuhnya membeku oleh mulut pedas Amanda. Beberapa pasang mata sibuk memperhatikan sinetron sesaat antara putri pemilik perusahaan dengan arsitek tampan ternama.

*** 

Amanda mendatangi toko buku langganannya yang terletak tak jauh dari perusahaan ayahnya. Wajahnya yang masih begitu kacau sedikit tersembunyi berkat kacamata gelap yang dikenakannya. Gadis itu selalu dapat membuat orang lain memberikan perhatian lebih padanya karena penampilannya yang selalu glamor. Beberapa rak buku favoritnya telah ia lewati begitu saja tanpa melirik sedikitpun. Kakinya yang jenjang masih terus melangkah dengan anggun menaiki tangga menuju ke lantai dua.

“Riiiiik.. Eriiiiiik..” Teriak Amanda serak. Tanpa menunggu lama, seorang pria tampan mengenakan setelan kaos hitam dan jeans belel dengan rambut yang berantakan keluar dari sebuah ruangan. Tanpa bergeming, pria itu merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa ragu Amanda berhambur kedalam pelukan pria itu. Tangisnya yang telah ia tahan demi menjaga imejnya dihadapan semua orang akhirnya meledak dalam pelukan pria itu. Pria itu mengusap pelan punggung Amanda untuk menenangkannya.

Amanda tak pernah sungkan menunjukkan suasana hatinya pada Erik. Karena Erik telah mengetahui segala kelemahannya. Bagaimapun juga, ia adalah wanita. Seberapa tangguh pun ia mengenakan topeng untuk menutupi segala kelemahannya, topeng tetap memiliki celah. Dan Erik telah menemukan celah tersebut.

Setelah Amanda tenang, disodorkannya segelas air dingin di hadapan Amanda. Pria itu tertawa melihat wajah Amanda yang kacau dengan mata sembab yang masih basah. Ia mengangkat kedua kakinya ke atas sofa, kemudian ia menyangga dagunya dengan sebelah tangan yang bertumpu pada lututnya.

“Jadi, bukankah ini sudah yang ke lima kalinya dalam setahun ini?” Tanya pria tampan pemilik toko buku langganan Amanda tersebut. Amanda mengangguk murung. Diteguknya setengah gelas air dihadapannya untuk mendinginkan hatinya.

“Kenapa akhirnya selalu seperti ini? Kapan akan ada lelaki yang tulus mencintaiku?” Air mata mengalir membasahi wajah cantiknya. Ia kembali menangis sesenggukan mengingat deretan mantan kekasihnya yang selalu berkhianat padanya. Parasnya yang cantik dan anggun, auranya yang berani sering kali membuat para pria menggilainya dan bertekuk lutut padanya. Namun meski begitu, rasa-rasanya tak ada satupun dari mereka yang benar-benar mencintai Amanda. Mereka hanya memburu kecantikan dan kekayaan yang dimiliki oleh Amanda.

Tawa terpingkal-pingkal justru keluar dari mulut Erik. Jika membayangkan perkenalannya dengan wanita dihadapannya tiga tahun yang lalu saat pertama ia membuka toko bukunya, ia tak akan pernah menyangka bahwa wanita sombong yang menggunakan mulut pedasnya untuk mencela tokonya adalah wanita yang sedang sesenggukan dihadapannya. Alis Amanda mengkerut, tak terima atas tawa yang muncul dari mulut Erik.

“Jangan salah paham, aku hanya teringat masa lalu. Bagaimana bisa wanita angkuh sepertimu selalu menangis seperti ini setelah dikhianati oleh pacarmu.”

“Harusnya seseorang perlu mengkhianatimu agar kau tahu bagaimana rasanya dikhianati.” Nada bicara Amanda semakin meninggi karena kesal.

“Sudahlah. Aku tahu rasanya. Cuci wajahmu. Make upmu benar-benar berantakan.” Seru Erik sambil melemparkan handuk ke pangkuan Amanda.

“Tapi aku tidak membawa make up untuk memperbaikinya lagi.” Rengek Amanda manja.

“Kau cantik tanpa make up.” Erik melemparkan seulas senyum menawannya sebelum menuruni tangga untuk mengecek toko buku miliknya di lantai bawah. Semburat kemerahan menghiasi wajah cantik Amanda. Seulas senyuman pun tersungging di bibir merah Amanda. 


***

Duk.. Duk.. Duk.. Duk..

Kembali langkah sepasang sepatu hak tinggi mengetuk lantai kedua perusahaan desain arsitektur tersebut. Kali ini bukan rok mini dengan penampilan mencolok seperti biasa yang membuat para pegawai memperhatikan wanita itu. Setelan celana jeans belel dengan kemeja putih, rambut pirang yang diikat ekor kuda, make up tipis dengan lipstik pink segar menghiasi bibirnya. Tentunya hal ini dipandang sebagai sesuatu yang aneh karena ini bukanlah hal biasa, putri pemilik perusahaan tersebut berpenampilan sederhana meski tetap dengan pembawaannya yang angkuh dan mengintimidasi.

Brak

Meja sekretaris yang dipukul oleh Amanda, membuat sekelilingnya memberikan perhatian penuh pada Amanda.

“Kenapa kau masih disini? Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi?” Tanya Amanda pada sekretaris yang berdiri kaku menundukkan kepala. “Dasar jalang tak tahu malu!” Tangan Amanda sudah hampir melayang ke wajah sekretaris tersebut. Namun sebuah tangan besar menghentikannya.

“Apa yang kau lakukan?” Bentak seorang pria yang berdiri di belakang Amanda.

“Oh, Alvin sayang, sang pangeran menyelamatkan gadis jalangnya?” Sindiran sinis terlontar dari mulut Amanda.

“Amanda, kau tidak bisa melakukan ini.” Bisik Alvin geram.

“Tentu saja aku bisa melakukan apapun disini. Termasuk membuat kalian berdua dipecat dari perusahaan ini.” Kesombongan merajai hati Amanda. Pengkhianatan mereka berdua benar-benar telah membuatnya murka. “Sekarang kembalikan credit cardku. Aku tak akan rela kau menghamburkan uangku bersama gadis jalang itu.” Perintah Amanda. Ragu-ragu Alvin mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam. Kemudian dengan cepat disahutnya kartu tersebut oleh Amanda. Tanpa banyak bicara, Amanda segera meninggalkan tempat tersebut dengan beberapa padang mata yang masih melekatkan pandangan mereka padanya.

*** 

Diraihnya sebuah novel terjemahan tebal dari rak buku yang berada di dekat meja kasir. Kemudian ia membaca sekilas blurb yang ada di sampul belakang novel tersebut. Lalu dirobeknya plastik segel novel tersebut. Seorang pegawai baru, bersiap untuk menegurnya namun Erik melarang. Dari kejauhan Erik bersandar pada dinding dengan tatapan lurus memperhatikan wanita yang memiliki penampilan lain hari ini.

“Namanya Amanda kalau tidak salah. Iya, putrinya Pak Irwan kan?” Kata seorang wanita dengan setelan pakaian kerja seraya membolak-balik sebuah buku resep.

“Iya, kasihan. Dikhianati pak Alvin sama sekretarisnya. Mukanya judes sih. Pantes cowok pada kabur. Kalau aku jadi cowok juga aku pasti milih sekretaris itu. Cantik, ramah, kalem lagi” Sahut temannya sambil tertawa.

Erik yang memang memiliki pembawaan tenang hanya mendengarkan kedua wanita itu berceloteh sambil matanya tetap mengawasi reaksi Amanda. Wanita itu berdiri mematung. Pandangannya kosong menatap rak buku dihadapannya.  Erik sangat paham tentang rapuhnya hati wanita angkuh yang selalu mengisi hatinya. Ia segera mengambil langkah merengkuh pinggang wanita itu dan membawanya ke lantai dua.

Suasana hening tercipta di dalam ruangan temaram di lantai dua. Matahari senja menelusup samar dari balik tirai. Amanda menaikkan kedua kakinya ke sofa, menenggelamkan wajahnya di antara lututnya. Isakan tertahan terdengar begitu pelan oleh Erik yang duduk di sampingnya. Tak banyak yang bisa ia ucapkan karena ia bukanlah tipe pria pembual yang lihai merangkai kata-kata. Cukup lama terjebak dalam suasana hening untuk mendengar isak tangis gadis yang dicintainya itu, membuat Erik berpikir ia harus melakukan sesuatu.

“Sudahlah, jangan dengarkan mereka. Yang mereka katakan itu tidak benar.” Erik mencoba menghibur.

“Tapi mereka memang benar. Aku judes. Sampai sekarang tak ada pria yang benar-benar mencintaiku.” Amanda tak lagi dapat menahan tangisnya. Agaknya rasa kesal dalam hatinya mulai meluap. Erik menggenggam tangan Amanda untuk memberikan sedikit rasa tenang padanya. Karena Amanda tak dapat membendung lagi kesedihannya, ia berhambur memeluk Erik dan berteriak dengan kencang untuk melepas rasa kesalnya.

“Kecilkan suaramu, bodoh! Pegawai dan pelanggan bisa berpikir yang tidak-tidak” Bisik Erik sambil menggoyang bahu Amanda.

“Tidak mau! Mereka semua brengsek! Mereka hanya mengincar fisik dan hartaku. Jika selalu seperti ini kapan aku menikah? Aku ingin menikah! Aku tak mau jadi perawan tua!” Amanda berteriak, meronta seperti seorang anak kecil yang kehilangan bonekanya. Erik pun merengkuhnya dalam sebuah ciuman lembut yang dalam untuk membungkam mulut Amanda.

“Aku yang akan menikahimu.” Tukas Erik serius. Amanda seolah kehilangan suaranya. Jantungnya berdebar kencang mengingat segala sesuatu yang serba mendadak. Amanda membeku menatap pria dihadapannya yang tak pernah disangkanya akan begitu berani.

“Mengapa kau mau menikahiku?” Tanya Amanda begitu mendapatkan kembali suaranya meski serak dan terbata-bata.

“Karena aku mencintaimu. Tak peduli bagaimana angkuhnya dirimu, keras kepalamu, mulut pedasmu, rapuhnya hatimu, aku mencintaimu. Bagaimanapun orang lain memandangmu, selama itu adalah kau, aku akan tetap mencintaimu.” Erik menatap lekat-lekat mata bulat Amanda untuk meyakinkannya.

Kedatangan Amanda memang telah merubah pandangan Erik tentang wanita. Erik begitu paham dengan arti sebuah pengkhianatan. Begitu menyakitkan. Namun Amanda begitu kuat oleh sebuah pengkhianatan yang bertubi-tubi setelah tiga tahun Erik mengenalnya dan itu telah menumbuhkan sesuatu dalam hati Erik. Sesuatu yang membuatnya selalu ingin melihatnya bahagia, melindunginya bahkan memilikinya.

Setiap kali Amanda menangis di pelukan Erik karena pengkhianatan yang dilakukan kekasihnya, saat itu pula dorongan untuk memilikinya semakin kuat. Namun Amanda yang selalu berdampingan dengan pengusaha muda maupun orang-orang sukses lainnya, membuat Erik menahan diri mengingat dia hanya pengusaha sebuah toko buku. Tetapi, ia tak bisa lagi berlama-lama membiarkan wanita yang dicintainya itu tersakiti oleh orang lain.

“Kupikir kau tak pernah memiliki rasa itu untukku.” Mata sembab Amanda nampak berbinar. “Ekspresimu selalu datar. Aku tak pernah bisa menebak perasaanmu.” Amanda memberi jeda. “Apakah ini nyata?” gumam Amanda meyakinkan.

“Ini nyata Amanda. Mungkin ini bukan saat yang tepat, tapi apakah kau mau menikah denganku?” Digenggamnya tangan Amanda dengan erat seolah tak ingin melepaskannya. Amanda mengurai senyum di bibirnya.

“Tentu saja, Erik.” Jawab Amanda mantap.

Sekian lama ia nantikan, Erik, pria mandiri yang selalu mendapatkan hatinya sejak pertemuan pertamanya. Pria yang selalu dapat memberikan kedamaian di hatinya. Pria yang dapat menerima segala kelemahannya. Dan dialah pria yang telah ditakdirkan Tuhan untuknya.

TAMAT

Senin, 29 Desember 2014

Vote untuk "Kilau Senyuman"



Adelin adalah seorang penulis novel roman yang tengah dilanda hambatan inspirasi. Deadline yang terus mendesak, membuat gadis itu nekat untuk melarikan diri. Tapi siapa yang menyangka jika perjalanan kaburnya menuntun ia untuk bertemu tambatan hati.






Halo, Semuanya. :D

Mohon maaf, cerpen yang kamu cari tidak ada di sini. Kamu harus klik di sini untuk membaca kelanjutan cerita tentang penulis yang mencoba lari dari tanggung jawabnya ini.

Suatu kehormatan yang sangat menyenangkan karena cerpen ini bisa diposting di blog yang sangat keren ini. Dan dibaca oleh banyak orang. Jadi, jangan ragu untuk berkunjung dan tinggalkan komentar yaaaaa..

Setelah membaca, pastikan kalian menulis komentar dan saran untuk cerpen ini ya.
Ingat, beri juga nilai dalam angka:

3 = bagus! Gue suka niy cerpen!
2 = lumayan lah... Daripada lumanyun
1 = kurang bagus, ngga suka ahh...


Sebelumnya, log in dulu menggunakan akun gmail kalian ya :D

Terima kasih atas waktu kalian yang berharga. ^^
Apresiasi dan dukungan kalian sangat berarti.


Selamat membaca.
Jangan lupa untuk menyiapkan camilan juga, ya. \(^^

Jumat, 26 Desember 2014

Titik Kelabu


Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro
Aku lagi bang wingo wingo
Jin setan kang tak utusi
Dadyo sebarang
Wojo lelayu sabet

Tembang Lingsir Wengi yang telah ratusan kali diputar untuk latar musik teater selama empat bulan terakhir, selalu membuat bulu kuduk Arya merinding. Ditambah lagi mendengar cerita mistis teman-temannnya sehabis latihan malam ini membuatnya bergidik ngeri. Yang ia ketehui, tembang itu pernah populer untuk memanggil kuntilanak. Namun, sang sutradara mengelak. Menurutnya, itu hanya tembang yang di gunakan untuk film kuntilanak, bukan untuk memanggil kuntilanak, makhluk halus atau sejenisnya. Dilihatnya jam tangan yang melingkar di tangannya. Hampir jam delapan malam. Arya berpamitan untuk pulang karena tak tahan dengan suasana yang kian mencekam di ruang teater.

Di tempat yang sama, untuk kesekian kalinya Arya menghentikan motornya untuk menatap gadis mungil berambut hitam legam sebahu itu tengah menatap sebuah rumah yang berdiri megah di perumahan elit dekat kostnya. Gadis itu menatap jendela gelap di lantai dua, mulutnya terlihat komat-kamit seperti mengatakan sesuatu.

Dia berbicara sendiri! Namun Arya segera membuang pikirannya jauh-jauh. Dilayangkan pandangannya mengikuti arah mata gadis tersebut. Sepi dan gelap. Arya menelan ludah melihat gadis itu berbicara dengan ekspresi wajah yang berubah-ubah pada jendela di lantai dua. Merasa diperhatikan, gadis mungil tersebut menoleh memandang Arya.

Sial.

Bulu kuduk di sekitar tengkuknya merinding, jantungnya berdebar, tubuhnya terasa kaku bagai sebuah batu. Gadis itu tersenyum pada Arya. Mental Arya yang telah terguncang sejak latihan teater tadi membuatnya memacu motornya dengan kencang agar segera sampai di kostnya.

“Bang, tahu rumah pojok dekat lapangan nggak?” Tanya Arya pada penjual sate keliling yang berhenti di depan kost. Arya sengaja menunggu penjual sate berteriak menyuarakan dangangannya karena malam ini nyalinya telah menciut untuk berkeliaran mencari makan dan melewati rumah tersebut.

“Oh, itu rumah Pak Akbar. Dari dulu dikontrakin nggak ada yang mau mas.” Jelas tukang sate tersebut yang memang telah mengenal kawasan perumahan itu sejak sembilan tahun lalu.

“Disitu sering ada perempuan rambut segini ya bang?” Arya memperagakan rambut sebahu gadis itu dengan kedua tangannya. “Saya sering lihat dia ngomong sendiri.” Lanjutnya. Si penjual sate mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Arya dan mencoba mengingat sosok yang dimaksud oleh Arya.

“Wah, saya nggak inget mas. Mungkin mas salah lihat kali.” Kata penjual sate tertawa sambil memberikan sebungkus sate pesanan Arya.
***
Sudah seminggu Arya tidak lagi melihat gadis itu di rumah mewah yang ada di ujung jalan. Dia begitu penasaran tentang siapa gadis itu. Apakah dia manusia atau hantu seperti di film-film. Arya terlarut dalam pikirannya hingga ia tak menyadari seseorang tengah memperhatikannya.

 Dung..Dung..Dung

Suara gendang yang ditabuh tepat di samping telinga Arya telah membuyarkan lamunannya. Keisengan teman-teman teaternya, kadang membuatnya geram.  Namun Arya sadar melamun saat jam latihan adalah sebuah kesalahan. Ketika Arya bangun dari duduknya, sekilas ia melihat seorang gadis tersenyum padanya. Itu dia. Gadis yang sering dilihatnya berbicara sendiri sedang tersenyum padanya di balik pintu kaca ruang teater. Arya menyenggol Udin yang sedang berusaha menghafalkan teks bagiannya.

“Din, perempuan itu siapa sih? Pernah lihat?” Arya mencoba menunjuk gadis itu dengan gerak matanya. Setelah melihatnya dengan seksama, Udin menggeleng pelan. Dia mengatakan bahwa dia tak pernah melihat gadis itu sebelumnya. Tembang Lingsir Wengi kembali diputar sebagai pertanda pemain harus siap berada di balik panggung. Latihan dimulai, namun pikiran Arya masih saja tertuju pada gadis mungil tersebut.

Pukul tujuh malam latihan telah usai, Arya bergegas menuju parkiran motornya untuk segera pulang karena latihan keras membuat tubuhnya benar-benar lelah. Seseorang tiba-tiba menghadang jalan Arya. Betapa terkejutnya ia melihat sesosok cantik di hadapannya.

“Mau kemana?” Tanya gadis itu dengan senyum simpul di bibirnya yang menambah kecantikannya.

“Mau pulang.” Arya mengernyitkan dahi, memandang lekat-lekat gadis yang tidak asing lagi baginya. “Kau bukannya perempuan yang biasanya bicara sen-, ah maaf maksudku biasa di rumah ujung itu bukan?” Gadis itu tersenyum lebar.

“Ternyata benar kau memperhatikanku. Jangan salah paham, aku tidak berbicara, aku hanya berdoa.” Tukasnya. “Aku Shela.” Diulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

“Arya.” Secara impulsif Arya menjabat tangan mungil Shela. “Kenapa masih di kampus? Mahasiswa sini?” Tanya Arya penasaran. Gadis itu mengangguk. Dia memberi penjelasan singkat bahwa dia adalah mahasiswi komunikasi tahun kedua, setingkat diatas Arya dan dia sedang menunggu seseorang. Arya yang memang sudah sangat lelah akhirnya berpamitan untuk pulang terlebih dahulu.

“Besok, jika tidak keberatan aku tunggu di kantin ya jam 2 siang. Aku yang traktir.” Ucap gadis itu, membuat Arya membalik badan, menatap gadis yang tengah melambaikan tangan padanya. Arya mengangguk sambil mengacungkan jempolnya tanda setuju dengan ajakan Shela.
***
Datang. Tidak. Datang. Tidak. Arya sedang bimbang antara datang ke kantin atau tidak. Setelah menghitung manik-manik gelang yang ia temukan di ruang teater, ia mendapati ‘datang’ sebagai manik-manik terakhir pada gelangnya, akhirnya Arya meraih tasnya dan melangkahkan kakinya menuju ke kantin.

Dilemparkan pandangannya kesekeliling kantin hingga matanya mendapatkan seorang gadis menggunakan blazer biru tua dengan rambut hitam sebahu tengah duduk sendiri dengan menyangga dagunya. Dengan mantap Arya mendekati meja tersebut.

“Sudah lama? Maaf aku terlambat.” Kata Arya menarik kursi di hadapan Shela.

“Tidak apa-apa. Aku juga baru saja sampai.” Senyum manis Shela melebar begitu melihat Arya dihadapannya. Shela segera meminta Arya untuk memesankan makanan dan minuman untuk mereka berdua.

“Ada apa sampai seorang perempuan cantik ini mau mentraktirku?” Goda Arya sambil menyeruput kopi susu yang dipesannya.

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Aku sering melihatmu lewat rumah mewah itu.” Shela tersenyum membayangkan wajah ketakutan Arya tiap kali melihatnya di depan rumah itu. “Jangan-jangan kau berpikir aku ini setan?” Arya terdiam sesaat karena tebakan Shela yang sama sekali tidak meleset.

“Ah, ti- tidak.” Jawab Arya gugup. “Aku tak pernah berpikir seperti itu.” Tawa terpaksa keluar dari mulut Arya karena rasa segannya pada gadis itu.  “Kalau boleh tahu, kenapa kau selalu menatap jendela itu?” Lanjut Arya yang penasaran. Hening. Senyum gadis itu perlahan memudar, raut wajahnya yang riang berubah drastis seolah ia memiliki sebuah kenangan pahit dengan rumah tersebut.

“Itu rumah Pak Akbar. Beliau memiliki tiga orang anak. Anak keduanya, Andra, dia adalah pacarku.” Shela menghela nafas besarnya untuk memberikan jeda pada ceritanya. “Dia tampan, pandai dan tentu saja aku mencintainya.” Pandangannya menerawang membayangkan wajah tampan kekasihnya sambil menyunggingkan senyum getir di bibirnya. “Titik Kelabu.” Shela memberi sebuah klu untuk Arya. Arya terdiam sejenak mendengar dua kata yang sama sekali tidak asing di telinganya.

“Itu judul drama teater yang sebentar kami pentaskan.” Kata Arya menanggapi. Shela mengangguk. Arya semakin penasaran mengapa gadis itu menyebut judul drama tersebut. Arya mengerutkan dahinya, berharap Shela segera melanjutkan ceritanya.

“Dia sangat menginginkan peran sebagai Mahendra.” Sekali lagi Shela menggantung ceritanya dan meminum jus leci dihadapannya.

“Itu peranku.” Sahut Arya menanggapi pernyataan Shela. Shela mengangguk pelan.

“Dia mendapatkannya.” Kembali diberikannya jeda untuk ceritanya. “Tapi dia tak dapat mementaskannya. Seminggu sebelum pementasaan, ia mengalami kecelakaan. Dan sayangnya tak ada yang dapat menolongnya.” Air mata yang sejak tadi tertahan tak dapat lagi dibendungnya. Kepedihan begitu terlihat nyata di raut wajahnya. “Padahal aku begitu ingin melihat orang yang kucintai memainkan drama itu.”

“Kenapa?” Tanya Arya memecah keheningan yang tercipta di antara mereka.

“Karena aku membuat naskah itu untuknya.” Mata Arya terbelalak tak percaya. Andhini Shela Satriani, penulis naskah Titik Kelabu adalah gadis mungil yang sedang duduk dihadapannya.

Setahun lalu, Teater Topeng Kaca mengadakan lomba menulis naskah dan naskah Shela terpilih menjadi naskah terbaik. Sesuai dengan perjanjian, naskah terbaik akan dipentaskan. Andra, anggota teater tersebut, mati-matian berusaha untuk mengikuti casting sebagai Mahendra demi kekasihnya yang telah membuat naskah tersebut sebagai hadiah satu tahun mereka pacaran. Tentu saja peran itu didapatkan dengan mudah oleh Andra, karena tokoh Mahendra adalah cerminan Andra. Segala sesuatu tentang Mahendra ada pada diri Andra. Hingga hari itu, tepat seminggu sebelum pementasan, Andra mengajak Shela untuk menyaksikan latihannya. Namun malang, karena menerobos lampu merah, sebuah truk berkecepatan tinggi dari arah berlawanan menghantam mereka hingga maut menjemput Andra saat itu juga dan pementasan dibatalkan.

Shela menghela nafas besar, mengakhiri ceritanya. Perasaannya terasa ringan. Begitu lama ia memendam cerita itu. Arya adalah orang pertama yang mendengar kisah tragisnya setelah kecelakaan setahun yang lalu. Namun di sisi lain kebahagiaan seolah menghangatkan hati Shela. Setelah setahun ia menunggu, akhirnya karyanya tersebut dipentaskan. Meski sangat disayangkan Andra tak dapat memainkan perannya.

Arya melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Pukul empat sore. Obrolan mereka ternyata berlanjut cukup lama hingga tanpa terasa Arya harus melanjutkan latihannya. Pertunjukan kurang seminggu lagi, karena itu ia harus berusaha mati-matian meskipun merasa lelah.

“Shela, maaf. Sudah jam empat, aku harus latihan. Mau nonton?” Arya menawarkan pada sang penulis untuk menyaksikan latihannya.

“Boleh?” Shela terbelalak tak percaya karena mendapatkan sebuah kesempatan menonton latihan Titik Kelabu.

“Tentu saja. Sebuah kehormatan sang penulis bisa hadir menyaksikan Mahendra.” Puji Arya membuat gadis itu merona malu. “Aku heran kenapa harus menggunakan tembang Jawa. Itu membuatku merinding. Seperti di film Kuntilanak.” Protes Arya pada sang penulis.

“Kuntilanak?” Ulang Shela mengkonfirmasi ucapan Arya. Arya mengangguk. “Arya, aku tidak mengerti kenapa kau menghubungkan tembang itu dengan kuntilanak. tapi bukan itu maksudku. Di dalam lagu itu ada makna kebaikan yang tersirat. Sesuai dengan tema ceritanya.” Arya mengangguk, mencoba memahami maksud Shela. Namun tetap saja ia merasa ngeri ketika mendengarnya ratusan kali selama empat bulan terakhir.

Latihan dimulai, Shela duduk di sudut ruangan memperhatikan akting Arya yang memerankan Mahendra. Dia begitu antusias melihat latihan drama. Seulas senyum puas menghiasi wajah cantik Shela.
***
Pukul enam tiga puluh. Latihan telah selesai. Mata Arya menatap sudut ruangan tempat Shela menunggu, namun ia tak menemukan sosok yang dicarinya.

“Ran, lihat perempuan yang tadi duduk disitu?” Tanya Arya menunjuk tempat yang dimaksud. Namun Rani tak melihatnya. Begitu pula jawaban Dedi dan Ana setelah Arya memberi pertanyaan yang sama pada mereka.

Setelah beristirahat sejenak, tepat pukul tujuh malam Arya memutuskan untuk pulang. Sesampainya di dekat rumah mewah dekat kostnya, ia sengaja menurunkan kecepatannya. Tepat seperti dugaannya, dilihatnya gadis itu berdiri di tempat yang sama seperti biasa. Arya melajukan motornya agar dapat memperhatikannya dari jauh.

Arya memarkirkan motornya beberapa meter dari rumah tersebut. Ia mengendap-endap mendekati Shela tanpa sepengetahuannya. Ia berdiri dibelakang Shela, bersiap-siap untuk mengagetkannya.

“Harusnya aku bisa melihatmu sebagai Mahendra.” Kata Shela dengan suara yang bergetar seolah menahan tangisnya. Arya melangkah lebih mendekat. Namun langkahnya terhenti ketika Shela meneruskan kata-katanya. “Kau ingat lelaki yang kau bilang selalu memperhatikanku disini? dia yang menggantikan peranmu. Aku cukup senang dia mendapatkan peran itu.” Isakan kecil keluar dari mulut Shela. “Andra, apakah kau benar-benar rela melepaskanku bersamanya? Aku benar-benar mencintai Arya,  maafkan aku.”

Arya yang mendengarkan ucapan Shela perlahan mendekat. Merengkuh gadis itu dalam dekapannya. Gadis mungil yang terlihat begitu rapuh, benar-benar membuat Arya ingin melindunginya. Gadis itu terkesiap dan segera membalikkan tubuhnya, memastikan pemilik lengan kekar yang telah merengkuhnya.

“Apa itu benar?” Tanya Arya meyakinkan ucapan Shela. Shela mengangguk pelan. Kembali didekapnya gadis mungil yang terlihat menanggung beban begitu berat di pundaknya. Tangisnya meledak dalam pelukan Arya. Arya mengusap punggung gadis itu untuk menenangkannya. Namun tangisnya justru semakin menjadi. Beberapa menit selanjutnya, perlahan tangis gadis itu mereda.

“Akan kuantarkan kau pulang.” Kata Arya menggandeng tangan Shela. Shela mengangguk, melangkah pelan di belakang Arya. Beberapa menit kemudian sampailah mereka didepan sebuah rumah bercat biru muda. Rumah yang indah meski tak semegah rumah Andra. Jaraknya pun cukup jauh dari rumah Andra.

“Terima kasih. Maafkan aku telah merepotkanmu.” Kata Shela mengembangkan senyum manis di bibirnya.

“Aku tak merasa direpotkan. Masuklah. Sudah malam.” Arya mengusap rambut Shela, membuat wajah gadis itu merona. Shela melambaikan tangannya sebagai perpisahan untuk Arya, kemudian masuk melewati pagar rumahnya.
***
Kostum sudah dikenakan. Teks telah dihafalkan di luar kepala. Kepercayaan diri pun telah dikumpulkan. Para pemain telah siap di belakang panggung untuk pementasan Titik Kelabu. Gadis itu tersenyum, duduk di kursi penonton bagian paling depan. Dilambaikanya tangannya pada Arya yang tengah memperhatikannya.

Tembang Lingsir Wengi yang menjadi pembuka pementasan tersebut telah terdengar mendayu-dayu. Semua pemain mulai mempersiapkan diri mereka untuk memerankan peran mereka masing-masing. Setiap pemain mengeluarkan kepiawaiannya dalam berakting dalam drama berdurasi lima puluh menit itu.

Tepuk tangan penonton dan sorak sorai kagum terhadap suksesnya pementasan tunggal tersebut menandai akhir dari acara yang telah dipersiapkan dengan sempurna. Tangis haru mengalir dari mata indah Shela. Ia tak pernah menyangka karyanya akan menjadi seindah ini. Arya yang telah menyelesaikan tugasnya berhambur memeluk Shela.

“Bagaimana?” Tanya Arya bangga.

“Luar biasa. Aku benar-benar terpesona. Aku tak pernah menyangka karyaku dijadikan sebuah pentas tunggal dan menjadi seindah ini. Dan kau Mahendra, aku benar-benar bangga padamu.” Shela menirukan dialog salah satu pemain dalam drama tersebut.

“Terima kasih.” Arya mengecup kening Shela. “I love you, Shela.” Bisiknya di telinga Shela.

“I love you, too.” Balas Shela malu-malu.

“Arya.” panggil salah satu teman teaternya.

“Sebentar ya. Tunggu disini sebentar.” Arya yang sedang bersama dengan Shela, berpamitan sejenak untuk mengikuti langkah temannya menuju ruang teater. Sesaat kemudian langkahnya terhenti sejenak, kemudian berbalik mendekati Shela. Dikecupnya bibir merah muda Shela dengan cepat kemudian kembali untuk berkumpul dengan teman-teman teaternya.

“Luar biasa. Pementasan ini benar-benar sempurna.” Kata sang sutradara gembira.

“Tentu saja, naskahnya benar-benar bagus. Apa lagi artisnya, luar biasa.” Sahut asisten sutradara dengan memberikan tepuk tangan yang diikuti oleh seluruh anggota.

“Aku kenal penulis naskahnya. Benar-benar cantik dan cerdas.” Arya membanggakan gadis mungil yang selalu menemaninya latihan seminggu terakhir ini.

“Kau mengenalnya?” Sang ketua teater membuka suara. Arya mengangguk.

“Dia ada didepan.” Arya menunjuk pintu kaca dengan ibu jarinya.

“Jangan bercanda. Dia sudah meninggal setahun yang lalu, kecelakaan bersama pacarnya. Makanya dulu pementasannya gagal. Aku yang jadi sutradaranya.” Jelas sang sutradara membanggakan diri, menepuk-nepuk dadanya. “Kau masih ingat Andra kan, Ben? Waktu itu si Shela masih mahasiswa baru.” Sang sutradara mengingatkan Beni, senior Teater Topeng Kaca yang sudah empat tahun aktif dalam kegiatan teater.

“Iya, aku ingat. Tapi yang aku tahu Andra memang meninggal, sedangkan Shela masih koma.” kata Beni yang masih meragukan pernyataannya sendiri.

“Kalian jangan bercanda. Kan seminggu ini dia ikut latihan. Dia mungil kan? Rambutnya segini?” Arya menepuk pundaknya untuk menunjukkan panjang rambut Shela.

“Iya benar. Kau itu yang bercanda. Bikin takut saja. Orang udah mati masih dibawa-bawa” Sang sutradara kembali berseru.

Arya yang tidak terima, segera keluar untuk menemukan Shela dan berniat membawanya untuk diperlihatkan pada teman-temannya. Namun sayang, meski telah berkeliling kampus, Arya tak dapat menemukan Shela. Arya mengacak-acak rambutnya karena kesal. Tubuhnya terasa lemas, semangat dan kepercayaan dirinya seolah menguap. Dengan langkah gontai Arya kembali pada teman-temannya.  

Sejak itu Arya tak lagi melihatnya. Di kampus, maupun di depan rumah Andra. Hatinya hancur, semangatnya hilang, pikirannya selalu tertuju pada Shela, gadis yang dicintainya. Tanpa pesan Shela telah menghilang. Bahkan rumah bercat biru muda yang pernah ia datangi, ternyata sudah lama kosong. Orang tua Shela menjualnya beberapa bulan setelah kecelakaan itu. Tetangganya tak mengetahui alamat rumahnya yang baru. Pun dengan kondisi Shela yang memang koma atau justru telah tiada.

Sudah empat bulan sejak saat itu. Teman-teman Arya berharap ia dapat menemukan seseorang yang dapat menggantikan Shela di hatinya. Arya menolak, bagaimanapun juga meski dengan waktu yang singkat, Shela mampu membuat Arya jatu cinta hingga begitu dalam.

“Tinggal pilih-pilih, bro. Lihat mahasiswa baru pada seger-seger. Fresh from the oven.” Gurau Udin untuk mengembalikan semangat Arya. Namun agaknya itu tak cukup membuat semangatnya kembali.

“Udah ah, percuma nawarin mahasiswa baru. Nggak minat. Aku mau pulang.” Arya mempercepat langkahnya, meninggalkan Udin yang sedang sibuk menebar pesona untuk para mahasiswa baru.

“Mau kemana?” Tanya seorang gadis yang menghalangi langkah Arya.

“Mau pulang.” Jawab Arya ketus, berharap gadis itu segera menyingkir dari hadapannya. Namun gadis itu tetap bergeming. Dengan malas, diangkatnya kepalanya yang tertunduk. Ia terperangah, tak percaya dengan pengelihatannya sendiri. Gadis mungil dengan rambut hitam sebahu yang hampir membuatnya gila selama empat bulan terakhir tengah tersenyum di hadapan Arya.

Shela.
TAMAT