Ruangan itu sudah sepi sejak lima menit yang lalu. Komputer sudah dalam keadaan off dan dokumen di atas meja sudah tertata rapi ditinggalkan penghuninya untuk sementara. Hanya tampak beberapa orang yang masih menyelesaikan pekerjaan mereka dan ingin bergegas pergi untuk makan siang. Tapi tidak untuk seorang lelaki yang menempati meja kerja di dekat jendela itu.
Ibel menyandarkan punggungnya di kursi dan melipat kedua
tangannya di depan dada. Ia menyipitkan mata menatap ke arah ponselnya yang
terus bergetar karena beberapa pesan singkat yang masuk bertubi-tubi. Pesan
singkat itu dikirim oleh beberapa gadis yang salah satunya adalah mantan
kekasih Ibel.
Sejak seminggu yang lalu, Ibel dan (mantan) kekasihnya
sepakat untuk memutuskan hubungan asmara yang sudah mereka jalin selama tiga
bulan terakhir. Tapi entah karena apa, mantan kekasihnya itu masih saja
mengirim pesan singkat penuh cinta seperti saat mereka masih bersama dulu.
Sementara gadis-gadis lain yang sudah mendengar kabar bahwa Ibel kembali melajang,
mulai gencar untuk menarik perhatiannya.
Dengan sekali gerakan, Ibel menekan satu tombol untuk
mematikan ponselnya.
“Ibel, ayo kita makan siang bersama.”
Ibel menengadahkan kepalanya dan mendapati dua orang
gadis yang merupakan rekan kerjanya, sedang berdiri di hadapannya. Mereka
tersenyum semanis mungkin kepada Ibel.
Kedua gadis ini cukup cantik dengan riasan wajah dan setelan pakaian
kantor yang rapi. Tapi hal tersebut sama sekali tidak membuat lelaki itu merasa
tertarik.
“Tidak. Terima kasih,” kata Ibel lalu tersenyum. “Tapi
aku sedang tidak lapar.”
Kedua gadis itu saling berpandangan sejenak. Wajah mereka
tampak menyembunyikan semburat merah yang samar. Senyuman singkat yang baru
saja dilengkungkan bibir Ibel, cukup membuat mereka tersipu.
“Aku dengar, kau baru saja putus. Apa itu benar?” Salah
satu dari gadis itu bertanya malu-malu.
Ibel menjawab dengan anggukan kecil.
“Apa hal itu yang membuatmu murung akhir-akhir ini?”
Gadis yang lain ikut bertanya.
Kali ini Ibel menatap mereka dengan mata kuyu lalu
berkata, “Ya. Terima kasih atas simpati kalian.”
Gadis-gadis itu sepertinya mengerti bahwa Ibel sedang
tidak ingin diganggu sekarang. Mereka berpamitan untuk makan siang dan pergi
dari hadapannya.
Lelaki itu
menghela napas panjang. Memang akhir-akhir ini ia merasa kurang bersemangat.
Tapi itu bukan disebabkan oleh putusnya hubungan Ibel dengan gadis itu. Ia
hanya sedang merasa bosan, jemu, atau jenuh pada kehidupan percintaannya.
Sepertinya ia memerlukan sedikit jeda sebelum akhirnya menjalin hubungan
percintaan dengan gadis lain.
Selama ini, Ibel selalu mendekati gadis yang menarik
hatinya dan merayu gadis itu hingga bersedia menjadi kekasihnya. Tapi jika
selama tiga bulan gadis itu tidak membuat ia jatuh cinta, maka Ibel akan
meminta hubungan mereka berakhir dengan berbagai alasan yang akan diterima oleh
gadis itu.
Beberapa teman lelaki Ibel memanggil ia dengan sebutan playboy. Tapi ia tidak setuju dengan hal
itu. Menurut Ibel, playboy adalah
sebutan bagi lelaki yang tidak setia dan menjalin hubungan asmara dengan
beberapa gadis dalam satu waktu. Sementara Ibel selalu menjalin hubungan hanya
dengan seorang gadis paling lama tiga bulan, berlaku setia, dan tidak melakukan
hal yang kurang ajar. Ia juga selalu menghormati setiap gadis yang pernah
menjadi kekasihnya. Jika ia merasa tidak cocok, barulah Ibel akan meminta putus
secara baik-baik dan mendekati gadis lain yang menarik hatinya.
“Hei. Kau tidak makan siang, Kawan?” Rekan kerja Ibel -yang bernama Indra, bertanya sambil menepuk bahunya. “Ayo
kita makan siang di kafe yang ada di ujung jalan. Pelayan di sana cepat
menghampiri, jika aku datang bersamamu.”
Ibel mengangkat satu alisnya dan menggelengkan kepala
dengan malas.
“Ada apa?” Indra mengerutkan dahinya dengan heran. “Apa
kau masih memikirkan gadis itu? Apa dia ternyata adalah gadis yang tepat hingga
kau menyesal sudah meninggalkannya?”
Ibel mengangkat alisnya karena kaget dengan pertanyaan
Indra. “Jangan mengatakan hal bodoh. Itu tidak mungkin terjadi padaku.”
Indra hanya tertawa singkat lalu berkata, “Suatu saat
akan ada gadis yang membuatmu tergila-gila dan menetap selamanya.”
Ibel hanya tersenyum samar. Indra memang selalu memiliki
kata-kata bagus dalam hal asmara. Tapi entah kenapa lelaki itu masih saja
melajang hingga saat ini.
“Kalau begitu, aku kan pergi makan siang sekarang,” kata
Indra. Ia melanjutkan kata-katanya dengan suara yang lebih pelan. “Oh- dan berarti kau akan berada di sini berdua dengan dia.”
Dahi Ibel mengernyit. “Dia? Siapa?”
Indra menolehkan kepalanya sedikit ke arah kanan, lalu matanya
melirik lewat bahunya.
Kepala Ibel melongok ke balik tubuh Indra yang berdiri di
hadapannya. Dia yang dimaksud oleh
Indra pastilah gadis yang sedang sibuk di hadapan komputernya itu. Ibel tidak
mungkin salah. Tidak ada orang lain selain mereka bertiga di dalam ruang kerja
divisi keuangan Arch Design siang ini.
Mata Ibel terus memperhatikan gadis itu hingga tidak
menghiraukan Indra yang berpamitan pergi. Gadis bernama Irna itu menghentikan
pekerjaannya lalu mematikan komputer. Ia melepas kacamatanya lalu memijat-mijat
pangkal hidungnya. Sedetik kemudian, gadis itu mengeluarkan sebuah kotak dari
dalam tas kerjanya. Ibel menajamkan pandangannya untuk melihat kotak itu.
Ternyata itu hanyalah sebuah kotak bekal. Irna tampak diam sejenak sebelum
akhirnya menyatap bekalnya.
Sebelum gadis itu merasa ada yang memperhatikan, Ibel
segera menyalakan komputer di hadapannya lalu berpura-pura mengerjakan sesuatu
di sana. Benar saja. Tidak lama kemudian Irna menoleh singkat ke arah Ibel lalu
kembali pada santap siangnya tanpa merasa peduli.
Irna.
Seorang gadis pekerja keras yang kurang menyukai kegiatan
bergosip di kantor. Sehingga hanya sedikit rekan kerja yang pernah berbicara
dengannya. Gadis konvensional dan serius. Mungkin yang ada dalam pikirannya
hanya kerja, kerja, dan kerja. Bahkan Ibel pernah mendengar bahwa Irna tidak
menyukai Ibel karena ia terlalu sering berbicara daripada bekerja.
Sebuah senyuman tersungging di bibir Ibel.
Menarik. Gadis ini menarik. Selama ini, tidak ada gadis yang
tidak bisa didapatkan Ibel. Selain ditunjang oleh wajah tampan -yang kabarnya setara dengan ketampanan pemilik perusahaan
ini, Ibel juga selalu mampu mengerti perasaan setiap gadis.
Untuk mendapatkan hati seorang gadis yang keibuan, maka
Ibel akan menunjukkan sedikit kelemahannya. Sementara untuk mendapatkan gadis
yang ceria, maka ia juga akan mengimbangi dengan bertingkah ceria dan energik.
Sementara untuk menghadapi gadis seperti Irna, ini pertama kalinya bagi Ibel.
Tapi hal itu tidak membuat semangat Ibel surut. Irna merupakan jawaban yang
datang di tengah rasa bosannya.
* * *
Ibel menyalakan mesin motornya lalu mengenakan helm
teropong. Sebenarnya Ibel tidak terlalu menyukai motor besar yang ia tungganggi
setiap hari ini. Tapi dengan memiliki motor seperti ini, maka kadar daya
tariknya akan meningkat di mata para gadis.
Baru saja Ibel akan menarik gas dan melesat meninggalkan
area parkir perusahaan tempat ia bekerja, seseorang menepuk ringan bahunya. Ia
menoleh dan mendapati Indra sedang tersenyum ke arahnya. Dan Ibel tahu apa
maksud senyuman itu. Lelaki ini pasti ingin menumpang.
“Apa aku boleh menumpang motormu lagi hari ini?”
Tebakan Ibel benar. Ia tertawa karena pikirannya sendiri.
Sementara Indra malah mengerutkan dahi karena bingung.
“Tentu saja boleh.” Mana mungkin Ibel menolak. Indra
merupakan rekan kerja yang sangat baik dan paling dekat dengannya. Mereka
berdua sudah akrab layaknya sahabat. “Lagi pula kau habiskan untuk apa uang
gajimu, eh? Apa kau sudah mulai dekat dengan seorang gadis?”
Indra memukul ringan lengan Ibel, lalu tertawa bersama.
Candaan seperti itu yang sering dilontarkan Ibel karena ia terkadang merasa heran
kenapa Indra tidak menggunakan uang gajinya untuk membeli kendaraan dari pada
harus sibuk mencari tumpangan atau menggunakan angkutan umum setiap harinya.
Saat itulah Ibel melihat gadis bernama Irna itu. Irna
tengah berdiri di tepi jalan dekat gerbang perusahaannya. Tampak kesulitan
menyebrangi jalan yang penuh kendaraan berlalu-lalang di jam pulang kantor.
Sebuah ide terbesit di benak Ibel. Ia bergegas turun dari motornya, lalu
melepas helm dan menyerahkannya pada Indra.
“Bawa saja motorku. Tapi besok pagi kau jemput aku untuk
berangkat ke kantor.” Ibel berkata begitu saja lalu berlalu meninggalkan Indra
yang melongo di samping motornya.
Kaki Ibel melangkah cepat lalu berhenti saat ia berdiri
di samping kanan Irna. Tanpa menoleh ke arah Irna, Ibel berjalan mantap menyeberangi
jalan. Ia mengangkat tangan kanan setinggi dada untuk meminta kendaraan di
jalan berhenti sejenak. Sesekali melalui ekor matanya, ia memastikan Irna
mengikuti langkahnya.
Begitu tiba di seberang jalan, Irna bergegas naik ke
angkutan umum yang menunggu di sana. Ibel mengikuti gadis itu dan duduk di kursi
yang berhadapan dengan tempat duduk Irna. Tanpa menunggu lebih lama, angkutan
umum itu mulai melaju.
Tidak ada penumpang selain mereka berdua. Suasana menjadi
sedikit canggung. Ibel masih belum menemukan tema pembicaraan yang tepat.
Sementara Irna hanya menatap ke arah jalanan di depan tanpa merasa tertarik
dengan Ibel. Seolah mereka tidak saling
mengenal. Padahal setiap hari mereka bekerja di ruangan dan divisi yang
sama.
Sepertinya keberuntungan sedang berpihak pada Ibel. Ia
melihat seekor kucing bertengger di atas sebuah pohon di pinggir jalan. Kucing
itu tampak ketakutan dan tidak tahu cara untuk turun dari pohon.
“Coba lihat kucing itu,” kata Ibel sambil menunjuk ke
luar jendela di dekat punggung Irna. “Kasihan sekali. Andai aku ada di sana,
pasti aku akan memanjat pohon dan menolong kucing itu untuk turun.”
Ibel mulai mencoba mengambil hati Irna dengan cara
menunjukkan kebaikkan hatinya. Ia yakin bahwa gadis seperti Irna akan mudah
tersentuh dengan perasaan lembut seorang lelaki.
Irna menoleh ke arah yang ditunjuk Ibel. Matanya
terbelalak lebar saat melihat kucing itu. Tiba-tiba ia berseru meminta supir
menghentikan laju kendaraannya. Ia bergegas turun lalu membayar ongkos dan
tergesa-gesa menyebrangi jalan.
Ibel yang tidak mengerti apa yang sudah terjadi, entah
kenapa mengikuti begitu saja semua tindakan gadis itu. Ia menghela napas lega
saat Irna berhenti berjalan tergeesa-gesa dan berdiri dengan ekspresi khawatir.
Kepalanya menengadah ke arah ranting dimana seekor kucing berbulu cokelat
sedang mengeong ketakutan.
“Hei, Irna. Ada apa?” Ibel memberanikan diri untuk
bertanya.
“Itu kucingku,”jawab Irna sambil menunjuk kucing itu.
Sial. Jawaban itu membuat Ibel membeku di tempat ia berdiri.
Mulutnya menganga tidak percaya. Bahunya mendadak lemas. Apa yang harus ia
lakukan sekarang? Mana mungkin ia tiba-tiba tergeletak lalu berpura-pura mati.
Itu bukanlah tindakan seorang lelaki sejati.
Sebagai lelaki,
selama ini Ibel tidak pernah menarik kata-kata yang sudah ia ucapkan.
Maka, mau tak mau ia harus memanjat pohon ini untuk menurunkan kucing sialan
itu dari sana. Ibel meletakkan tas kerjanya di dekat batang pohon lalu melipat
ujung lengan kemejanya. Perlahan ia mulai memanjat pohon itu. Tidak begitu
sulit sebenarnya. Hanya saja begitu Ibel berhasil meraih kucing itu, ia malah mendapat
sambutan hangat berupa cakaran di lengannya. Ia mengumpat pelan lalu segera
menarik kucing itu ke dalam dekapannya.
Sambil menahan rasa perih di lengannya, Ibel turun dari
pohon. Kucing sialan yang terus meronta dalam dekapannya itu segera melompat ke
arah Irna. Ibel menghela napas lega. Itu tadi benar-benar sepuluh menit
terburuk seumur hidupnya. Tangan Ibel bergegas meraih tas kerjanya dan
menyampirkannya di bahu.
Irna mendekap kucing kesayangannya dengan penuh rasa
syukur. Ia mengelus dan membenamkan jemarinya di dalam bulu cokelat yang
hangat. Tiba-tiba ia teringat pada lelaki yang sudah menyelamatkan kucingnya
ini. Lelaki itu bernama Ibel yang
merupakan rekan kerjanya di kantor. Ia memang kurang terlalu akrab dengan rekan
kerjanya, tapi ia harus mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Ibel.
“Terima kasih,” ujar Irna sambil tersenyum. “Kau sudah
menolong kucingku.”
Senyuman yang terlukis di wajah Irna sesaat membuat Ibel
terpana. Ini pertama kalinya Ibel melihat gadis ini tersenyum dengan begitu
tulus. Selama bekerja dalam satu ruangan, Irna tidak pernah menyunggingkan
senyum seperti ini kepada siapa pun.
Tapi perasaan itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba saja Ibel
merasa kesal saat merasakan tatapan dari orang-orang yang berlalu-lalang di
sekitar mereka. Beberapa dari mereka bahkan saling berbisik sambil menatap ke
arahnya.
Ibel yakin penampilannya saat ini tidak sempurna seperti
seharusnya. Padahal semua orang sedang memperhatikannya. Semua itu karena gadis
ini dan kucing sialannya itu yang sudah membuat ia memanjat pohon. Irna
benar-benar sudah mempermalukan dirinya hari ini. Tidak pernah ada seorang pun
gadis yang pernah melakukan hal seperti ini.
Sambil tersenyum simpul, Irna menatap lelaki di
hadapannya. Lengan kemeja yang tergulung asal-asalan, bagian bawah kemeja yang
kusut, juga celana kain yang jadi bernoda karena batang pohon. Irna mengulurkan
satu tangannya ke atas kepala Ibel sambil sedikit berjinjit. Ia mengambil
selembar daun yang tersangkut di rambut Ibel yang jadi berantakan.
Saat itulah Irna
menyadari bahwa ada goresan kecil rangkap tiga di lengan Ibel.
“Hei. Kau terluka?” tanya Irna sambil menggenggam
pergelangan tangan Ibel. Ia memperhatikan lebih dekat luka cakaran itu. “Astaga- maafkan kucingku sudah mencakarmu.”
Ibel hanya meringis sambil perlahan menarik tangannya
dari genggaman Irna.
“Apa kau ada waktu untuk mampir sebentar? Tempat
tinggalku dekat dari sini.” Irna berkata sambil menunjuk ke arah sebuah
tikungan yang berada lima meter dari tempat mereka berdiri. “Aku bisa mengobati
lukamu di sana.”
“Tidak. Terima kasih.” Ibel menggelengkan kepalanya. Penampilan
yang berantakan sudah membuat mood-nya
ikut kacau sore ini. “Tapi aku harus pergi sekarang.”
Jawaban itu membuat Irna mengerucutkan bibirnya lalu
mendesah kecewa. “Sayang sekali. Maafkan aku... dan kucingku. Dan juga terima
kasih atas bantuanmu.”
“Tidak apa-apa. Aku pergi dulu,” kata Ibel sambil mulai
melangkah pergi.
“Ah- Tunggu sebentar!”
Sebuah seruan yang diteriakkan Irna membuat Ibel
menghentikan langkahnya lalu menoleh. Ia mellihat gadis itu tengah mengaduk isi
tasnya dengan satu tangan semantara tangan yang lain masih mendekap erat kucing
sialan itu.
Wajah Irna berubah cerah saat ia menemukan benda yang
dicarinya. Ia berjalan perlahan mendekati Ibel dan menyerahkan plester kepada
lelaki itu.
“Ini untuk menutupi lukamu. Semoga lekas sembuh.”
“Terima kasih.” Ibel menerima plester yang disodorkan
Irna lalu melanjutkan lagi perjalanannya. Tanpa bermaksud menoleh ke belakang.
Ia merasa kesal karena gadis itu benar-benar sudah merusak mood-nya.
Sementara Irna masih terpaku di tempat ia berdiri. Matanya
melihat lurus ke arah Ibel hingga lelaki itu hilang dari pandangannya. Bibirnya
mengucap terima kasih tanpa suara. Tangannya menggenggam selembar daun yang
tadi menyangkut di rambut lelaki itu.
* * *
Semangat yang kemarin sempat muncul kini lenyap sudah.
Ibel kembali mendekam di bilik kerjanya tanpa ada keinginan untuk menghabiskan
waktu istirahat siang dengan siapa pun. Ia lebih memilih melipat kedua
tangannya di atas meja lalu menjadikannya bantal bagi kepalanya yang terasa
berat.
Kejadian kemarin masih menyisakan efek yang buruk bagi
Ibel. Menurut lelaki seperti dirinya, penampilan adalah hal paling penting di
atas segalanya. Berpenampilan berantakan seperti kemarin di depan banyak orang
merupakan hal yang sangat dihindarinya. Tapi hal itu terjadi juga hanya karena
seorang gadis, yaitu Irna.
Tiba-tiba Ibel merasakan ada jari yang mengetuk perlahan
bahunya. Ia menengadahkan kepala dengan malas dan melihat gadis yang paling
tidak ingin ia temui saat ini. Siapa lagi kalau bukan Irna. Benar juga. Ia
merutuk dalam hati. Gadis ini tidak pernah pergi keluar saat makan siang.
Kenapa Ibel bisa melupakan hal itu? Mendekam di ruang kerja sepertinya menjadi
pilihan yang salah.
Sebuah gantungan kunci berbentuk kucing berwarna cokelat
disodorkan Irna. Ia membeli gantungan itu di sebuah toko yang memiliki maskot
seeorang gadis dengan rambut pendek berwarna merah.
Ibel tidak langsung menerima gantungan kunci itu. Ia
malah mengangkat satu alisnya penuh tanda tanya.
“Ini untukmu.”
Irna menegaskan maksudnya. “Sebagai ucapan terima kasih.”
Setelah mendengar hal itu, Ibel menerima gantungan kunci
yang terbuat dari kain flanel itu. Ia menggenggam benda yang terasa lembut itu
lalu tersenyum.
“Terima kasih,” ujar Ibel dengan tulus. Kali ini, ia
merasa lebih baik. Sepertinya Irna mulai membuka hati untuknya. Membuat senyum
di bibir Ibel semakin lebar.
“Aku juga ingin memberikanmu ini.” Irna memberikan kotak
bekal yang biasanya ia bawa ke hadapan Ibel.
Ibel membuka kotak makanan itu. Potongan-potongan kentang
goreng, dua telur mata sapi, dan sosis sapi. Air liur Ibel nyaris menetes saat
melihat pemandangan itu. Tapi sedetik kemudian mengernyit dengan heran. “Lalu,
bagaimana dengan makan siangmu?”
Irna hanya menjawab dengan senyuman lalu memberikan
sebuah garpu kepada Ibel. Kemudian ia mengacungkan garpu lain yang digenggamnya
lalu berkata, “Kita akan makan ini bersama.”
Sontak mulut Ibel ternganga karena tidak menyangka akan
menerima perlakuan seperti ini dari gadis seperti Irna. Sedetik kemudian ia
malah tertawa tanpa menyadari bahwa gadis di sebelahnya menatap dengan heran.
“Sampai kapan kau akan terus tertawa?” tanya Irna dengan
nada datar. Ia lalu menyuapkan sepotong kentang ke dalam mulut. “Apa perutmu
terasa penuh jika tertawa?”
Ibel menghentikan tawanya seketika. Ia melirik gadis di
sebelahnya yang terus makan dengan lahap. Seperti tak mau ketinggalan, akhirnya
Ibel ikut mengangkut makanan-makanan itu ke dalam mulutnya.
Selesai santap siang yang singkat itu, Ibel memberanikan
diri bertanya sambil sedikit menunjukkan daya tariknya, “Kenapa kau berbagi
makan siang denganku?”
Irna tidak langsung menjawab. Gadis itu terdiam sejenak
untuk berpikir.
“Aku lihat kemarin dan hari ini kau tidak pergi makan
siang dan hanya tinggal sendirian. Jadi, ku pikir kau sudah tidak memiliki
teman atau pun kekasih,” jawab Irna tanpa ekspresi.
Rahang Ibel mengeras dan membeku begitu saja mendengar
jawaban Irna yang seakan mencoreng harga dirinya. Ada apa dengan gadis ini? Bagaimana mungkin gadis ini berpikir
lelaki seperti Ibel tidak memiliki teman. Ibel bisa saja berteman dengan siapa
saja di dunia ini. Bahkan ia bisa menjadikan gadis mana pun sebagai kekasihnya
jika ia mau. Hanya saat ini ia sedang membutuhkan jeda sejenak karena merasa
bosan dengan kehidupan percintaannya.
“Lagi pula, kemarin kau sudah berbaik hati menolong
kucingku. Jadi tidak ada salahnya aku mengungkapkan rasa terima kasihku.” Irna
melanjutkan kata-katanya lalu kembali ke bilik kerjanya.
Gadis itu benar-benar membuatnya geram. Ibel bertekad
bahwa ia tidak akan berurusan lagi dengan gadis bernama Irna itu.
* * *
Ini
tidak benar.
Berkali-kali Ibel mengucapkan kalimat itu di dalam
hatinya. Tapi tetap saja, ia tidak mungkin menolak pekerjaan yang diberikan
atasannya ini. Ia tidak memiliki wewenang apa pun dalam memberi atau
membatalkan perintah. Sama halnya dengan gadis yang berjalan di sampingnya saat
ini. Irna. Gadis yang setengah mati dihindari Ibel, tapi kini ia harus terjebak
dalam pekerjaan yang harus dikerjakannya berdua dengan gadis ini.
Kepala divisi keuangan kemarin memberi tugas untuk dua
orang. Dua orang itu diminta untuk mengerjakan dokumen keuangan selama tiga
bulan terakhir serta memeriksa kemungkinan adanya kesalahan hitung atau
kejanggalan dari data tersebut. Dokumen tersebut harus diserahkan dalam waktu
tujuh hari.
Dan dua orang itu adalah Ibel dan Irna.
Selama tujuh hari ke depan, Ibel harus menahan diri untuk
tidak merasa kesal. Bagaimana pun ia harus bersikap profesional. Apalagi
pekerjaan ini dilakukan dalam sebuah ruangan yang berbeda dari tempat mereka
berkerja sehari-hari. Ruangan itu lebih seperti ruang rapat dengan ukuran yang
lebih kecil.
Mereka berdua duduk berseberangan dengan meja panjang
sebagai pembatasnya. Sambil mencoba berkonsentrasi pada kertas di hadapannya, Ibel berkali-kali
mencuri pandang ke arah Irna. Gadis itu benar-benar bekerja dengan seluruh
tenaga dan pikirannya. Tidak sedikitpun tergoda untuk sekedar melirik ke arah
lelaki tampan di hadapannya. Irna hanya sesekali menyeruput kopi dari
cangkirnya.
Ibel mengacak rambutnya untuk mengembalikan
konsentrasinya. Ia tidak bisa terus-menerus memperhatikan gadis yang tidak
peduli kepadanya. Pemimpin perusahaan ini membayarnya untuk bekerja bukan untuk
memperhatikan gadis di hadapannya. Ibel mengangkat cangkir miliknya. Mungkin
sedikit kafein bisa menyegarkan pikirannya.
Dalam keheningan Ibel dan Irna bekerja. Mereka harus bisa
menyelesaikan pekerjaan ini tepat waktu. Ditambah, bonus yang menanti juga
cukup menggiurkan.
Ibel berhenti menggerakkan tangannya saat menyadari kopi
dalam cangkirnya sudah habis. Ia baru akan beranjak saat melihat Irna telah
lebih dulu bangkit dari tempat duduknya.
“Aku ke pantri sebentar. Kopiku habis,” ujar gadis itu.
Ibel tertawa ringan lalu menunjukkan cangkirnya kepada
Irna. “Sama. Kopiku juga habis.”
“Mau aku ambilkan?” tawar Irna sambil ikut tertawa
singkat.
“Tidak. Terima kasih.” Ibel menggelengkan kepala. “Lebih
baik kita ke pantri bersama. Kau akan kesulitan membuka pintu jika membawa dua
cangkir kopi di tanganmu.”
Irna menganggukkan kepala menyetujui saran kawan
bicaranya. Mereka berdua bekerja sama untuk secangkir kopi. Ibel membawa dua
cangkir kopi di tangannya sementara Irna bertugas membuka dan menutup pintu.
Lagi pula pantri yang mereka tuju berada di samping ruangan tempat mereka
bekerja.
Saat berada di depan pintu pantri, terdengar suara
beberapa gadis yang membuat Irna menghentikan gerakan tangannya. Gadis-gadis
itu sedang membicarakan dirinya. Tidak salah lagi. Mereka menyebut nama Irna.
“Kau lihat wajah kesal Ibel saat mengetahui bahwa ia
harus bekerja dengan gadis seperti Irna?”
Terdengar seseorang berkata lalu tertawa.
“Ya. Mana mungkin Ibel cocok dengan Irna. Gadis itu
terlalu membosankan. Tidak pernah berbicara hanya terus bekerja di hadapan
komputernya.”
Suara yang berbeda.
“Mungkin itu memang rencananya untuk mengambil hati
kepala divisi. Terlihat rajin agar mendapat pekerjaan tambahan dan dipasangkan
dengan Ibel.”
Kali ini suara yang berbeda lagi. Ketiga gadis itu
serentak tertawa. Dan entah mengapa suara tawa mereka terdengar begitu menyakitkan
bagi Irna.
Irna berbalik lalu kembali ke ruang kerjanya. Air matanya
mulai tidak terbendung. Ia tidak mempedulikan kopi maupun Ibel. Benar juga kata
mereka. Lelaki seperti Ibel tidak akan cocok dengannya. Ia merasa bodoh karena
sempat merasa senang saat tahu mendapat pekerjaan yang harus dikerjakan bersama
Ibel. Bagaimana pun, lelaki itu adalah rekan kerja yang pertama kali bersikap
sangat baik terhadapnya.
“Irna?” gumam Ibel lirih. Lelaki itu menempati kursi di
samping Irna.
Dengan penuh kehati-hatian, Ibel menyentuh bahu Irna yang
bergetar. Ia juga ikut mendengar semua kata-kata yang kejam tadi. Sehingga ia
tahu bagaimana rapuhnya hati gadis ini sekarang.
“Aku mohon, jangan mendengarkan mereka,” kata Ibel
setengah berbisik. “Semua yang mereka katakan itu tidak benar.”
Irna mengangkat kepala lalu menoleh. Ia menatap Ibel
dengan matanya yang merah karena air mata. Perlahan gadis itu melepas
kacamatanya lalu menghapus bulir-bulir air mata yang membasahi pipinya. Sekuat tenaga ia mencoba
menyunggingkan senyuman.
“Tidak perlu khawatir, aku tidak apa-apa,” ujar Irna di
tengah isakan yang coba disembunyikannya. “Aku hanya... sedikit terkejut.”
Ibel menatap gadis itu dengan alis yang berkerut. Ada apa
dengan gadis ini? Kenapa ia masih saja bersikap sok kuat di hadapan lelaki
seperti Ibel? Seharusnya, seorang gadis akan bebas menunjukkan kelemahannya di
saat seperti ini.
Entah karena ada angin apa, tiba-tiba saja Ibel merengkuh
gadis itu ke dalam pelukannya. Ia mendekap Irna seperti sedang melindungi
sebuah benda yang rapuh. Seakan benda
itu akan hancur jika salah menyentuhnya.
Tindakan yang dilakukan Ibel secara impulsif itu bukannya
membuat Irna tenang tapi malah membuat tangisannya semakin menjadi-jadi. Ibel
dengan penuh kesabaran membelai kepala dan punggung Irna berkali-kali. Bibirnya
juga tidak berhenti membisikan kata-kata untuk mengembalikan semangat gadis
ini.
Begitu suara isakan Irna sudah mereda, Ibel melepaskan
pelukannya. Matanya saling bertatapan dengan mata yang basah karena air mata.
Dengan lembut Ibel mengusap pipi Irna, menghapus jejak air mata yang tertinggal
di sana. Perlahan tapi pasti, Ibel mendekatkan wajahnya ke wajah gadis di
hadapannya. Ia berhenti sejenak lalu menatap mata Irna sekali lagi untuk
meminta persetujuan. Gadis itu hanya diam tapi tidak berusaha menjauh. Maka,
Ibel menganggap itu sebagai izin untuk melanjutkan tindakannya. Ibel memajukan
wajahnya dan menghapus jarak di antara mereka berdua. Perlahan, ia mengecup
bibir yang lembut itu.
* * *
Setelah kejadian siang itu di ruang kerja, Irna bersikap
biasa saja seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Hal tersebut membuat Ibel tidak
tahu harus melakukan apa. Ia jadi menduga-duga apa mungkin Irna menyesal sudah
berciuman dengannya di hari itu. Sehingga ia memilih untuk melupakan kejadian
itu.
Tapi tidak bagi Ibel.
Ibel ingat benar setiap hal yang terjadi hari itu. Ia
juga masih mengingat jelas bagaimana lembutnya bibir Irna saat bersentuhan
dengan bibirnya. Bahkan aroma musk
dari parfum Irna masih menggantung di ujung hidung Ibel.
Menurut Ibel, tidak ada satu pun yang salah dari kejadian
itu. Tapi kenapa setelah pekerjaan -yang menjadi tanggung jawab mereka berdua itu selesai,
Irna tidak pernah lagi masuk kerja. Dan itu sudah menjadi tiga hari yang
menyiksa bagi Ibel. Begitu bertanya ke bagian personalia, Ibel mendapatkan
keterangan bahwa Irna sudah berhenti bekerja dari perusahaan ini.
Ada
apa dengan gadis itu? Ibel
melepas helmnya dan turun dari motornya. Ia baru memarkirkan motornya di area
parkir sebuah minimarket, lalu mulai berjalan ke arah pohon yang pernah ia
panjat untuk menolong kucing milik Irna. Gadis itu pernah berkata bahwa tempat
tinggalnya berada di dekat sini. Tapi, dimana?
Di tengah kebingungan yang melanda, Ibel mendengar suara
seseorang di dekatnya.
“Hei, bukankah kau lelaki tampan yang itu?”
Ibel menoleh dan mendapati dua orang wanita -yang kira-kira lebih tua dari ibunya- sedang menatap ke arahnya.
“Ternyata benar. Kau lelaki yang memanjat pohon untuk
menolong kucing milik Irna.”
Telinga Ibel langsung menajam begitu mendengar nama Irna
disebut.
“Anda mengenal Irna?”
“Tentu saja. Aku tinggal di flat yang sama dengannya.”
Ibel menanyakan lokasi flat yang dimaksud dan wanita itu
menjelaskan dengan senang hati. Ia memastikan bahwa telinganya mendengarkan
dengan baik setiap penjelasan sehingga ia tidak tersesat.
“Kamarnya ada di ujung lorong lantai dua. Setelah menaiki
tangga, belok ke kiri.”
“Hei, kamar Irna berada di ujung lorong sebelah kanan,”
protes wanita yang satunya.
“Tidak. Aku ingat betul kamar Irna berada di sebelah
kiri.”
Ibel menghela napas berat. Ia datang ke sini bukan untuk
mendengar dua orang wanita berdebat seperti ini. Tanpa peduli dengan kanan atau
kiri, yang penting Ibel ingin segera pergi ke flat itu dan meninggalkan dua
orang wanita ini.
“Terima kasih atas bantuannya.”
Ucapan Ibel itu membuat perdebatan di hadapannya berhenti
seketika.
“Ya. Terima kasih kembali, Nak. Kau tampak lebih tampan
saat berpakaian rapi seperti ini,” kata wanita yang mengenakan pakaian bermotif
floral. Ia menepuk hangat kemeja Ibel.
“Oh- tidak. Kau salah. Dia lebih tampan dengan pakaian dan
rambut yang berantakan saat turun dari pohon setelah menolong seekor kucing.
Tampak seperti pahlawan.”
“Aku tidak setuju. Lelaki mana pun akan tampak tampan
saat mengenakan pakaian yang rapi.”
Ibel hanya tersenyum masam. Ia menganggukkan kepala
sedikit lalu melangkah pergi, meninggalkan dua wanita yang masih saja berdebat
tengtang dirinya.
* * *
Ibel mengetuk perlahan pintu yang ada di hadapannya.
Ternyata tidak terlalu sulit menemukan flat yang dimaksud. Setelah menaiki
tangga ke lantai dua, ia memilih untuk berbelok ke sebelah kanan.
Terdengar gerutuan seorang gadis dari balik pintu. Begitu
gagang pintu terbuka, gadis itu langsung membentak Ibel.
“Sudah ku bilang, aku akan menyerahkan naskahnya tep-.” Gadis itu menghentikan kalimatnya saat menyadari
lelaki yang berdiri di depan pintunya bukanlah orang yang pantas menerima
makiannya. Apa lagi lelaki itu cukup tampan seperti tokoh utama lelaki dalam
cerita romantis. Kali ini, gadis itu lebih memelankan suaranya. “Oh- Maaf. Aku kira editorku yang datang. Kau mencari siapa?”
Ibel tidak langsung menjawab. Ia masih merasa shock karena dibentak oleh seorang gadis
yang tidak dikenalnya.
“Kau mencari siapa?” tanya gadis itu sekali lagi.
“Aku mencari... Irna,” jawab Ibel kemudian.
“Irna? Gadis berkacamata yang memelihara seekor kucing?”
Ibel menganggukkan kepala.
Gadis itu
tersenyum sambil melonggokkan kepalanya dari pintu. Jari telunjuknya menunjuk
ke ujung lorong yang lain sambil berkata,
“Dia tinggal di ujung sebelah sana.”
Pandangan Ibel mengikuti ke arah gadis itu menunjuk. “Oh- terima kasih. Dan maaf sudah mengganggu.”
Gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk sedikit lalu
masuk kembali ke dalam flatnya.
Dengan jantung yang berdebar, Ibel melangkahkan kaki ke
ujung lorong yang satunya. Begitu tiba di hadapan pintu flat Irna., ia mengetuk
pintu itu sambil menahan napas.
“Sebentar,” jawab seseorang dari dalam.
Sebuah senyuman tersungging di bibir Ibel saat mendengar
suara itu. Ia tidak mungkin salah lagi. Itu pasti suara Irna. Suara yang ia
rindukan.
Pintu terbuka. Irna berdiri di sana dengan ekspresi
terkejut. Ia pasti tidak akan menyangka
Ibel akan datang ke sini.
“Ibel? Sedang apa kau di sini?”
Ibel menahan dirinya untuk tidak langsung memeluk gadis
di hadapannya. “Aku ke sini untuk menemuimu.”
“Oh- Ada apa?” Gadis itu bertanya lagi. Kali ini ekspresinya
kembali datar.
“Kau tidak ingin mengundangku masuk?” tanya Ibel sambil
melirik ke balik punggung Irna.
Irna menganggukkan kepalanya lalu mempersilakan Ibel
masuk. Lelaki itu duduk di ruang tamunya yang berantakan. Ia menyesal sudah
membiarkan flatnya berantakan. Andai saja ia tahu bahwa Ibel akan datang.
“Kenapa kau tidak datang ke kantor?” Ibel langsung
bertanya saat Irna duduk di sampingnya sambil menghidangkan dua cangkir teh ke
atas meja.
“Aku sudah berhenti bekerja,” jawab Irna datar sambil
membetulkan letak kacamatanya. “Maaf aku tidak tahu harus menghidangkan apa.
Ini pertama kalinya ada lelaki yang bertamu ke sini.”
“Kenapa kau berhenti?” Ibel tetap mencari jawaban dari
pertanyaannya.
Irna tidak langsung menjawab pertanyaan Ibel. Ia hanya
diam memperhatikan uap putih yang membumbung dari cangkir teh. “Ibu memintaku
pulang ke kampung halaman.” Irna merasakan suaranya sedikit bergetar karena
mengatakan kebohongan.
“Benarkah?” tanya
Ibel sambil melirik ke arah koran yang terbuka pada halaman lowongan kerja.
Beberapa bagian ditandai menggunakan spidol merah. “Kau bohong.”
Irna tersentak mendengar tuduhan tanpa basa-basi itu.
“Aku mohon, Irna. Katakan apa yang membuatmu berhenti
dari Arch Design?” Ibel memandang Irna dengan pandangan yang memohon jawaban.
“Apa karena... karena aku menciummu?”
Irna menggerakkan bola matanya menghindari tatapan mata
Ibel. Pipinya bersemu karena Ibel mengingatkannya pada kejadian itu.
“Apa kau
menyesal?” tanya Ibel dengan suara yang tercekat. “Waktu itu aku menci—”
“Lupakan!” Irna menyentak dengan suara yang keras. “Aku
mohon, lupakan kejadian itu. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa.”
Ibel tidak menjawab apa-apa. Keheningan memenuhi ruangan
itu.
“Apa karena... kau tidak menyukaiku?” tanya Ibel
kemudian. Setidaknya ia ingin mengetahui kebenaran rumor yang pernah ia dengar.
Irna menelan ludah. Entah kenapa suaranya begitu sulit
untuk terucap dari mulut bodohnya. “Ya. Aku memang tidak menyukaimu. Kau terlalu
cerewet untuk ukuran seorang lelaki. Kau lebih banyak mengobrol daripada
bekerja.”
Ibel melongo. Ia memang sangat ingin mengetahui kebenaran
dari rumor itu. Tapi setelah mendengar jawaban Irna yang begitu
terang-terangan, entah mengapa Ibel merasa... tersakiti.
“Tapi semua itu berubah saat kau mengajakku bicara bahkan
menolong kucingku turun dari pohon. Aku senang bisa melihat sisi baikmu.”
Kali ini Ibel hanya ternganga mendengar penjelasan Irna. Gadis
ini benar-benar polos. Dengan mudah ia percaya pada lelaki seperti dirinya. Padahal
awalnya, Ibel hanya ingin menjadikan Irna sebagai tantangan baru di tengah
kejenuhannya. Tapi sekarang semuanya berubah.
“Ya. Pemikiranku tentangmu juga berubah.” Ibel berusaha
mengungkapkan perasaannya sebaik mungkin. “Aku pikir kau adalah orang yang kaku
dan sulit untuk diajak berteman. Tapi ternyata kau gadis yang baik dan menyenangkan.
Sayang sekali tidak semua orang bisa melihatmu yang seperti itu.”
“Tidak apa-apa,” kata Irna lalu tersenyum. “Bagiku, sudah
cukup jika kau yang mengerti aku.”
Ibel membalas senyum Irna dengan sebuah kecupan di puncak
kepalanya. Gadis itu tampak sedikit terkejut lalu beringsut menjauh.
“Aku mohon, Ibel. Jangan lakukan hal seperti itu lagi.” Irna
berkata sambil memeluk tubuhnya sendiri yang tampak gemetar.
“Kenapa?”
“Karena aku mencintaimu!” Irna menjawab dengan cepat. “Dan
aku tidak ingin dicium oleh lelaki yang tidak mencintaiku!”
Ibel terpaku mendengar jawaban Irna. Apa ia tidak salah dengar?
“Aku sudah mengatakannya. Sekarang kau boleh keluar dari
sini.” Irna mengatakan setiap kata itu penuh perjuangan menahan air matanya
yang nyaris keluar.
“Tidak.” Ibel menolak permintaan Irna. “Waktu itu aku
telah memanfaatkan situasimu saat itu untuk menciummu, kau tahu? Dan aku sangat
takut kau menyesal sudah berciuman dengan bajingan seperti aku.”
Kali ini Irna yang terperangah. “Kenapa?”
“Tentu saja karena aku mencintaimu. Apa ada alasan lain?”
“Kau... mencintaiku?” Irna bertanya meminta kepastian.
Ibel menghela napas panjang. “Ya. Aku mencintaimu. Aku tidak
tahu kenapa. Tapi aku benar-benar merasa kacau jika tidak berada di dekatmu.”
Tidak mungkin. Irna menekan pelipisnya yang terasa
berdenyut. Kepalanya belum siap mencerna semua kenyataan yang begitu tiba-tiba.
Matanya memandang dua cangkir teh yang sudah dingin di atas meja. Belum tersentuh
sedikit pun.
“Irna?”
Ibel tampak cemas karena sejak tadi gadis di hadapannya
hanya terpaku tanpa mengucapkan apa pun.
“Kau mencintaiku, Ibel?” Irna bertanya lagi seakan tidak
bisa mendengar kata-kata yang diucapkan Ibel sebelumnya.
Ibel tersenyum lembut sebelum menjawab. “Astaga- Kenapa kau bertanya lagi? Ya. Aku mencintaimu, Irna. Aku
bahkan bisa menciummu sekarang di hadapan kucing kecilmu itu.”
Irna tertawa kecil lalu menyambut kucingnya yang datang mendekat.
Ia meletakkan kucing itu di pangkuannya lalu mulai membelai lembut bulunya yang
halus.
“Entahlah, Ibel. Aku tidak tahu harus berkata ap-”
Ibel tidak membiarkan Irna menyelesaikan kalimatnya. Lelaki
itu sudah membungkam Irna dengan bibirnya.
“Kau tidak perlu berkata apa-apa,” bisik Ibel. “Yang penting
aku tahu bahwa kita saling mencintai.”
Ibel sudah tidak memerlukan jeda apa pun dalam kehidupan percintaanya.
Kini ia sudah menemukan gadis yang membuatnya ingin menetap selamanya di hati gadis
bernama Irna.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D