Senin, 22 Desember 2014

Interlude



Ruangan itu sudah sepi sejak lima menit yang lalu. Komputer sudah dalam keadaan off dan dokumen di atas meja sudah tertata rapi ditinggalkan penghuninya untuk sementara. Hanya tampak beberapa orang yang masih menyelesaikan pekerjaan mereka dan ingin bergegas pergi untuk makan siang. Tapi tidak untuk seorang lelaki yang menempati meja kerja di dekat jendela itu.

Ibel menyandarkan punggungnya di kursi dan melipat kedua tangannya di depan dada. Ia menyipitkan mata menatap ke arah ponselnya yang terus bergetar karena beberapa pesan singkat yang masuk bertubi-tubi. Pesan singkat itu dikirim oleh beberapa gadis yang salah satunya adalah mantan kekasih Ibel.

Sejak seminggu yang lalu, Ibel dan (mantan) kekasihnya sepakat untuk memutuskan hubungan asmara yang sudah mereka jalin selama tiga bulan terakhir. Tapi entah karena apa, mantan kekasihnya itu masih saja mengirim pesan singkat penuh cinta seperti saat mereka masih bersama dulu. Sementara gadis-gadis lain yang sudah mendengar kabar bahwa Ibel kembali melajang, mulai gencar untuk menarik perhatiannya.

Dengan sekali gerakan, Ibel menekan satu tombol untuk mematikan ponselnya.

“Ibel, ayo kita makan siang bersama.”

Ibel menengadahkan kepalanya dan mendapati dua orang gadis yang merupakan rekan kerjanya, sedang berdiri di hadapannya. Mereka tersenyum semanis mungkin kepada Ibel.  Kedua gadis ini cukup cantik dengan riasan wajah dan setelan pakaian kantor yang rapi. Tapi hal tersebut sama sekali tidak membuat lelaki itu merasa tertarik.

“Tidak. Terima kasih,” kata Ibel lalu tersenyum. “Tapi aku sedang tidak lapar.”

Kedua gadis itu saling berpandangan sejenak. Wajah mereka tampak menyembunyikan semburat merah yang samar. Senyuman singkat yang baru saja dilengkungkan bibir Ibel, cukup membuat mereka tersipu.

“Aku dengar, kau baru saja putus. Apa itu benar?” Salah satu dari gadis itu bertanya malu-malu.

Ibel menjawab dengan anggukan kecil.

“Apa hal itu yang membuatmu murung akhir-akhir ini?” Gadis yang lain ikut bertanya.

Kali ini Ibel menatap mereka dengan mata kuyu lalu berkata, “Ya. Terima kasih atas simpati kalian.”  
  
Gadis-gadis itu sepertinya mengerti bahwa Ibel sedang tidak ingin diganggu sekarang. Mereka berpamitan untuk makan siang dan pergi dari hadapannya.

 Lelaki itu menghela napas panjang. Memang akhir-akhir ini ia merasa kurang bersemangat. Tapi itu bukan disebabkan oleh putusnya hubungan Ibel dengan gadis itu. Ia hanya sedang merasa bosan, jemu, atau jenuh pada kehidupan percintaannya. Sepertinya ia memerlukan sedikit jeda sebelum akhirnya menjalin hubungan percintaan dengan gadis lain.

Selama ini, Ibel selalu mendekati gadis yang menarik hatinya dan merayu gadis itu hingga bersedia menjadi kekasihnya. Tapi jika selama tiga bulan gadis itu tidak membuat ia jatuh cinta, maka Ibel akan meminta hubungan mereka berakhir dengan berbagai alasan yang akan diterima oleh gadis itu.

Beberapa teman lelaki Ibel memanggil ia dengan sebutan playboy. Tapi ia tidak setuju dengan hal itu. Menurut Ibel, playboy adalah sebutan bagi lelaki yang tidak setia dan menjalin hubungan asmara dengan beberapa gadis dalam satu waktu. Sementara Ibel selalu menjalin hubungan hanya dengan seorang gadis paling lama tiga bulan, berlaku setia, dan tidak melakukan hal yang kurang ajar. Ia juga selalu menghormati setiap gadis yang pernah menjadi kekasihnya. Jika ia merasa tidak cocok, barulah Ibel akan meminta putus secara baik-baik dan mendekati gadis lain yang menarik hatinya.

“Hei. Kau tidak makan siang, Kawan?” Rekan kerja Ibel -yang bernama Indra, bertanya sambil menepuk bahunya. “Ayo kita makan siang di kafe yang ada di ujung jalan. Pelayan di sana cepat menghampiri, jika aku datang bersamamu.”

Ibel mengangkat satu alisnya dan menggelengkan kepala dengan malas.

“Ada apa?” Indra mengerutkan dahinya dengan heran. “Apa kau masih memikirkan gadis itu? Apa dia ternyata adalah gadis yang tepat hingga kau menyesal sudah meninggalkannya?”

Ibel mengangkat alisnya karena kaget dengan pertanyaan Indra. “Jangan mengatakan hal bodoh. Itu tidak mungkin terjadi padaku.”

Indra hanya tertawa singkat lalu berkata, “Suatu saat akan ada gadis yang membuatmu tergila-gila dan menetap selamanya.”

Ibel hanya tersenyum samar. Indra memang selalu memiliki kata-kata bagus dalam hal asmara. Tapi entah kenapa lelaki itu masih saja melajang hingga saat ini.

“Kalau begitu, aku kan pergi makan siang sekarang,” kata Indra. Ia melanjutkan kata-katanya dengan suara yang lebih pelan.  “Oh- dan berarti kau akan berada di sini berdua dengan dia.”

Dahi Ibel mengernyit. “Dia? Siapa?”

Indra menolehkan kepalanya sedikit ke arah kanan, lalu matanya melirik lewat bahunya.

Kepala Ibel melongok ke balik tubuh Indra yang berdiri di hadapannya. Dia yang dimaksud oleh Indra pastilah gadis yang sedang sibuk di hadapan komputernya itu. Ibel tidak mungkin salah. Tidak ada orang lain selain mereka bertiga di dalam ruang kerja divisi keuangan Arch Design siang ini.

Mata Ibel terus memperhatikan gadis itu hingga tidak menghiraukan Indra yang berpamitan pergi. Gadis bernama Irna itu menghentikan pekerjaannya lalu mematikan komputer. Ia melepas kacamatanya lalu memijat-mijat pangkal hidungnya. Sedetik kemudian, gadis itu mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tas kerjanya. Ibel menajamkan pandangannya untuk melihat kotak itu. Ternyata itu hanyalah sebuah kotak bekal. Irna tampak diam sejenak sebelum akhirnya menyatap bekalnya.

Sebelum gadis itu merasa ada yang memperhatikan, Ibel segera menyalakan komputer di hadapannya lalu berpura-pura mengerjakan sesuatu di sana. Benar saja. Tidak lama kemudian Irna menoleh singkat ke arah Ibel lalu kembali pada santap siangnya tanpa merasa peduli.

Irna.

Seorang gadis pekerja keras yang kurang menyukai kegiatan bergosip di kantor. Sehingga hanya sedikit rekan kerja yang pernah berbicara dengannya. Gadis konvensional dan serius. Mungkin yang ada dalam pikirannya hanya kerja, kerja, dan kerja. Bahkan Ibel pernah mendengar bahwa Irna tidak menyukai Ibel karena ia terlalu sering berbicara daripada bekerja.

Sebuah senyuman tersungging di bibir Ibel.

Menarik. Gadis ini menarik. Selama ini, tidak ada gadis yang tidak bisa didapatkan Ibel. Selain ditunjang oleh wajah tampan -yang kabarnya setara dengan ketampanan pemilik perusahaan ini, Ibel juga selalu mampu mengerti perasaan setiap gadis.

Untuk mendapatkan hati seorang gadis yang keibuan, maka Ibel akan menunjukkan sedikit kelemahannya. Sementara untuk mendapatkan gadis yang ceria, maka ia juga akan mengimbangi dengan bertingkah ceria dan energik. Sementara untuk menghadapi gadis seperti Irna, ini pertama kalinya bagi Ibel. Tapi hal itu tidak membuat semangat Ibel surut. Irna merupakan jawaban yang datang di tengah rasa bosannya.

* * *
Ibel menyalakan mesin motornya lalu mengenakan helm teropong. Sebenarnya Ibel tidak terlalu menyukai motor besar yang ia tungganggi setiap hari ini. Tapi dengan memiliki motor seperti ini, maka kadar daya tariknya akan meningkat di mata para gadis.

Baru saja Ibel akan menarik gas dan melesat meninggalkan area parkir perusahaan tempat ia bekerja, seseorang menepuk ringan bahunya. Ia menoleh dan mendapati Indra sedang tersenyum ke arahnya. Dan Ibel tahu apa maksud senyuman itu. Lelaki ini pasti ingin menumpang.

“Apa aku boleh menumpang motormu lagi hari ini?”

Tebakan Ibel benar. Ia tertawa karena pikirannya sendiri. Sementara Indra malah mengerutkan dahi karena bingung.

“Tentu saja boleh.” Mana mungkin Ibel menolak. Indra merupakan rekan kerja yang sangat baik dan paling dekat dengannya. Mereka berdua sudah akrab layaknya sahabat. “Lagi pula kau habiskan untuk apa uang gajimu, eh? Apa kau sudah mulai dekat dengan seorang gadis?”

Indra memukul ringan lengan Ibel, lalu tertawa bersama. Candaan seperti itu yang sering dilontarkan Ibel karena ia terkadang merasa heran kenapa Indra tidak menggunakan uang gajinya untuk membeli kendaraan dari pada harus sibuk mencari tumpangan atau menggunakan angkutan umum setiap harinya.

Saat itulah Ibel melihat gadis bernama Irna itu. Irna tengah berdiri di tepi jalan dekat gerbang perusahaannya. Tampak kesulitan menyebrangi jalan yang penuh kendaraan berlalu-lalang di jam pulang kantor. Sebuah ide terbesit di benak Ibel. Ia bergegas turun dari motornya, lalu melepas helm dan menyerahkannya pada Indra.

“Bawa saja motorku. Tapi besok pagi kau jemput aku untuk berangkat ke kantor.” Ibel berkata begitu saja lalu berlalu meninggalkan Indra yang melongo di samping motornya.

Kaki Ibel melangkah cepat lalu berhenti saat ia berdiri di samping kanan Irna. Tanpa menoleh ke arah Irna, Ibel berjalan mantap menyeberangi jalan. Ia mengangkat tangan kanan setinggi dada untuk meminta kendaraan di jalan berhenti sejenak. Sesekali melalui ekor matanya, ia memastikan Irna mengikuti langkahnya.

Begitu tiba di seberang jalan, Irna bergegas naik ke angkutan umum yang menunggu di sana. Ibel mengikuti gadis itu dan duduk di kursi yang berhadapan dengan tempat duduk Irna. Tanpa menunggu lebih lama, angkutan umum itu mulai melaju.

Tidak ada penumpang selain mereka berdua. Suasana menjadi sedikit canggung. Ibel masih belum menemukan tema pembicaraan yang tepat. Sementara Irna hanya menatap ke arah jalanan di depan tanpa merasa tertarik dengan Ibel. Seolah mereka tidak saling  mengenal. Padahal setiap hari mereka bekerja di ruangan dan divisi yang sama.

Sepertinya keberuntungan sedang berpihak pada Ibel. Ia melihat seekor kucing bertengger di atas sebuah pohon di pinggir jalan. Kucing itu tampak ketakutan dan tidak tahu cara untuk turun dari pohon.

“Coba lihat kucing itu,” kata Ibel sambil menunjuk ke luar jendela di dekat punggung Irna. “Kasihan sekali. Andai aku ada di sana, pasti aku akan memanjat pohon dan menolong kucing itu untuk turun.”

Ibel mulai mencoba mengambil hati Irna dengan cara menunjukkan kebaikkan hatinya. Ia yakin bahwa gadis seperti Irna akan mudah tersentuh dengan perasaan lembut seorang lelaki.

Irna menoleh ke arah yang ditunjuk Ibel. Matanya terbelalak lebar saat melihat kucing itu. Tiba-tiba ia berseru meminta supir menghentikan laju kendaraannya. Ia bergegas turun lalu membayar ongkos dan tergesa-gesa menyebrangi jalan.

Ibel yang tidak mengerti apa yang sudah terjadi, entah kenapa mengikuti begitu saja semua tindakan gadis itu. Ia menghela napas lega saat Irna berhenti berjalan tergeesa-gesa dan berdiri dengan ekspresi khawatir. Kepalanya menengadah ke arah ranting dimana seekor kucing berbulu cokelat sedang mengeong ketakutan.

“Hei, Irna. Ada apa?” Ibel memberanikan diri untuk bertanya.

“Itu kucingku,”jawab Irna sambil menunjuk kucing itu.

Sial. Jawaban itu membuat Ibel membeku di tempat ia berdiri. Mulutnya menganga tidak percaya. Bahunya mendadak lemas. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Mana mungkin ia tiba-tiba tergeletak lalu berpura-pura mati. Itu bukanlah tindakan seorang lelaki sejati.

Sebagai lelaki,  selama ini Ibel tidak pernah menarik kata-kata yang sudah ia ucapkan. Maka, mau tak mau ia harus memanjat pohon ini untuk menurunkan kucing sialan itu dari sana. Ibel meletakkan tas kerjanya di dekat batang pohon lalu melipat ujung lengan kemejanya. Perlahan ia mulai memanjat pohon itu. Tidak begitu sulit sebenarnya. Hanya saja begitu Ibel berhasil meraih kucing itu, ia malah mendapat sambutan hangat berupa cakaran di lengannya. Ia mengumpat pelan lalu segera menarik kucing itu ke dalam dekapannya.

Sambil menahan rasa perih di lengannya, Ibel turun dari pohon. Kucing sialan yang terus meronta dalam dekapannya itu segera melompat ke arah Irna. Ibel menghela napas lega. Itu tadi benar-benar sepuluh menit terburuk seumur hidupnya. Tangan Ibel bergegas meraih tas kerjanya dan menyampirkannya di bahu.

Irna mendekap kucing kesayangannya dengan penuh rasa syukur. Ia mengelus dan membenamkan jemarinya di dalam bulu cokelat yang hangat. Tiba-tiba ia teringat pada lelaki yang sudah menyelamatkan kucingnya ini.  Lelaki itu bernama Ibel yang merupakan rekan kerjanya di kantor. Ia memang kurang terlalu akrab dengan rekan kerjanya, tapi ia harus mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Ibel.

“Terima kasih,” ujar Irna sambil tersenyum. “Kau sudah menolong kucingku.”

Senyuman yang terlukis di wajah Irna sesaat membuat Ibel terpana. Ini pertama kalinya Ibel melihat gadis ini tersenyum dengan begitu tulus. Selama bekerja dalam satu ruangan, Irna tidak pernah menyunggingkan senyum seperti ini kepada siapa pun.

Tapi perasaan itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba saja Ibel merasa kesal saat merasakan tatapan dari orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Beberapa dari mereka bahkan saling berbisik sambil menatap ke arahnya.

Ibel yakin penampilannya saat ini tidak sempurna seperti seharusnya. Padahal semua orang sedang memperhatikannya. Semua itu karena gadis ini dan kucing sialannya itu yang sudah membuat ia memanjat pohon. Irna benar-benar sudah mempermalukan dirinya hari ini. Tidak pernah ada seorang pun gadis yang pernah melakukan hal seperti ini.

Sambil tersenyum simpul, Irna menatap lelaki di hadapannya. Lengan kemeja yang tergulung asal-asalan, bagian bawah kemeja yang kusut, juga celana kain yang jadi bernoda karena batang pohon. Irna mengulurkan satu tangannya ke atas kepala Ibel sambil sedikit berjinjit. Ia mengambil selembar daun yang tersangkut di rambut Ibel yang jadi berantakan.

Saat itulah  Irna menyadari bahwa ada goresan kecil rangkap tiga di lengan Ibel.

“Hei. Kau terluka?” tanya Irna sambil menggenggam pergelangan tangan Ibel. Ia memperhatikan lebih dekat luka cakaran itu. “Astaga- maafkan kucingku sudah mencakarmu.”

Ibel hanya meringis sambil perlahan menarik tangannya dari genggaman Irna.

“Apa kau ada waktu untuk mampir sebentar? Tempat tinggalku dekat dari sini.” Irna berkata sambil menunjuk ke arah sebuah tikungan yang berada lima meter dari tempat mereka berdiri. “Aku bisa mengobati lukamu di sana.”

“Tidak. Terima kasih.” Ibel menggelengkan kepalanya. Penampilan yang berantakan sudah membuat mood-nya ikut kacau sore ini. “Tapi aku harus pergi sekarang.”

Jawaban itu membuat Irna mengerucutkan bibirnya lalu mendesah kecewa. “Sayang sekali. Maafkan aku... dan kucingku. Dan juga terima kasih atas bantuanmu.”

“Tidak apa-apa. Aku pergi dulu,” kata Ibel sambil mulai melangkah pergi.

“Ah- Tunggu sebentar!”

Sebuah seruan yang diteriakkan Irna membuat Ibel menghentikan langkahnya lalu menoleh. Ia mellihat gadis itu tengah mengaduk isi tasnya dengan satu tangan semantara tangan yang lain masih mendekap erat kucing sialan itu.

Wajah Irna berubah cerah saat ia menemukan benda yang dicarinya. Ia berjalan perlahan mendekati Ibel dan menyerahkan plester kepada lelaki itu.

“Ini untuk menutupi lukamu. Semoga lekas sembuh.”

“Terima kasih.” Ibel menerima plester yang disodorkan Irna lalu melanjutkan lagi perjalanannya. Tanpa bermaksud menoleh ke belakang. Ia merasa kesal karena gadis itu benar-benar sudah merusak mood-nya.

Sementara Irna masih terpaku di tempat ia berdiri. Matanya melihat lurus ke arah Ibel hingga lelaki itu hilang dari pandangannya. Bibirnya mengucap terima kasih tanpa suara. Tangannya menggenggam selembar daun yang tadi menyangkut di rambut lelaki itu.
* * *

Semangat yang kemarin sempat muncul kini lenyap sudah. Ibel kembali mendekam di bilik kerjanya tanpa ada keinginan untuk menghabiskan waktu istirahat siang dengan siapa pun. Ia lebih memilih melipat kedua tangannya di atas meja lalu menjadikannya bantal bagi kepalanya yang terasa berat.

Kejadian kemarin masih menyisakan efek yang buruk bagi Ibel. Menurut lelaki seperti dirinya, penampilan adalah hal paling penting di atas segalanya. Berpenampilan berantakan seperti kemarin di depan banyak orang merupakan hal yang sangat dihindarinya. Tapi hal itu terjadi juga hanya karena seorang gadis, yaitu Irna.

Tiba-tiba Ibel merasakan ada jari yang mengetuk perlahan bahunya. Ia menengadahkan kepala dengan malas dan melihat gadis yang paling tidak ingin ia temui saat ini. Siapa lagi kalau bukan Irna. Benar juga. Ia merutuk dalam hati. Gadis ini tidak pernah pergi keluar saat makan siang. Kenapa Ibel bisa melupakan hal itu? Mendekam di ruang kerja sepertinya menjadi pilihan yang salah.

Sebuah gantungan kunci berbentuk kucing berwarna cokelat disodorkan Irna. Ia membeli gantungan itu di sebuah toko yang memiliki maskot seeorang gadis dengan rambut pendek berwarna merah.

Ibel tidak langsung menerima gantungan kunci itu. Ia malah mengangkat satu alisnya penuh tanda tanya.

 “Ini untukmu.” Irna menegaskan maksudnya. “Sebagai ucapan terima kasih.”

Setelah mendengar hal itu, Ibel menerima gantungan kunci yang terbuat dari kain flanel itu. Ia menggenggam benda yang terasa lembut itu lalu tersenyum.

“Terima kasih,” ujar Ibel dengan tulus. Kali ini, ia merasa lebih baik. Sepertinya Irna mulai membuka hati untuknya. Membuat senyum di bibir Ibel semakin lebar.

“Aku juga ingin memberikanmu ini.” Irna memberikan kotak bekal yang biasanya ia bawa ke hadapan Ibel.

Ibel membuka kotak makanan itu. Potongan-potongan kentang goreng, dua telur mata sapi, dan sosis sapi. Air liur Ibel nyaris menetes saat melihat pemandangan itu. Tapi sedetik kemudian mengernyit dengan heran. “Lalu, bagaimana dengan makan siangmu?”

Irna hanya menjawab dengan senyuman lalu memberikan sebuah garpu kepada Ibel. Kemudian ia mengacungkan garpu lain yang digenggamnya lalu berkata, “Kita akan makan ini bersama.”

Sontak mulut Ibel ternganga karena tidak menyangka akan menerima perlakuan seperti ini dari gadis seperti Irna. Sedetik kemudian ia malah tertawa tanpa menyadari bahwa gadis di sebelahnya menatap dengan heran.

“Sampai kapan kau akan terus tertawa?” tanya Irna dengan nada datar. Ia lalu menyuapkan sepotong kentang ke dalam mulut. “Apa perutmu terasa penuh jika tertawa?”

Ibel menghentikan tawanya seketika. Ia melirik gadis di sebelahnya yang terus makan dengan lahap. Seperti tak mau ketinggalan, akhirnya Ibel ikut mengangkut makanan-makanan itu ke dalam mulutnya.

Selesai santap siang yang singkat itu, Ibel memberanikan diri bertanya sambil sedikit menunjukkan daya tariknya, “Kenapa kau berbagi makan siang denganku?”

Irna tidak langsung menjawab. Gadis itu terdiam sejenak untuk berpikir.

“Aku lihat kemarin dan hari ini kau tidak pergi makan siang dan hanya tinggal sendirian. Jadi, ku pikir kau sudah tidak memiliki teman atau pun kekasih,” jawab Irna tanpa ekspresi.

Rahang Ibel mengeras dan membeku begitu saja mendengar jawaban Irna yang seakan mencoreng harga dirinya. Ada apa dengan gadis ini? Bagaimana mungkin gadis ini berpikir lelaki seperti Ibel tidak memiliki teman. Ibel bisa saja berteman dengan siapa saja di dunia ini. Bahkan ia bisa menjadikan gadis mana pun sebagai kekasihnya jika ia mau. Hanya saat ini ia sedang membutuhkan jeda sejenak karena merasa bosan dengan kehidupan percintaannya.

“Lagi pula, kemarin kau sudah berbaik hati menolong kucingku. Jadi tidak ada salahnya aku mengungkapkan rasa terima kasihku.” Irna melanjutkan kata-katanya lalu kembali ke bilik kerjanya.

Gadis itu benar-benar membuatnya geram. Ibel bertekad bahwa ia tidak akan berurusan lagi dengan gadis bernama Irna itu.
* * *
Ini tidak benar.

Berkali-kali Ibel mengucapkan kalimat itu di dalam hatinya. Tapi tetap saja, ia tidak mungkin menolak pekerjaan yang diberikan atasannya ini. Ia tidak memiliki wewenang apa pun dalam memberi atau membatalkan perintah. Sama halnya dengan gadis yang berjalan di sampingnya saat ini. Irna. Gadis yang setengah mati dihindari Ibel, tapi kini ia harus terjebak dalam pekerjaan yang harus dikerjakannya berdua dengan gadis ini.

Kepala divisi keuangan kemarin memberi tugas untuk dua orang. Dua orang itu diminta untuk mengerjakan dokumen keuangan selama tiga bulan terakhir serta memeriksa kemungkinan adanya kesalahan hitung atau kejanggalan dari data tersebut. Dokumen tersebut harus diserahkan dalam waktu tujuh hari.

Dan dua orang itu adalah Ibel dan Irna.

Selama tujuh hari ke depan, Ibel harus menahan diri untuk tidak merasa kesal. Bagaimana pun ia harus bersikap profesional. Apalagi pekerjaan ini dilakukan dalam sebuah ruangan yang berbeda dari tempat mereka berkerja sehari-hari. Ruangan itu lebih seperti ruang rapat dengan ukuran yang lebih kecil.

Mereka berdua duduk berseberangan dengan meja panjang sebagai pembatasnya. Sambil mencoba berkonsentrasi pada  kertas di hadapannya, Ibel berkali-kali mencuri pandang ke arah Irna. Gadis itu benar-benar bekerja dengan seluruh tenaga dan pikirannya. Tidak sedikitpun tergoda untuk sekedar melirik ke arah lelaki tampan di hadapannya. Irna hanya sesekali menyeruput kopi dari cangkirnya.

Ibel mengacak rambutnya untuk mengembalikan konsentrasinya. Ia tidak bisa terus-menerus memperhatikan gadis yang tidak peduli kepadanya. Pemimpin perusahaan ini membayarnya untuk bekerja bukan untuk memperhatikan gadis di hadapannya. Ibel mengangkat cangkir miliknya. Mungkin sedikit kafein bisa menyegarkan pikirannya.

Dalam keheningan Ibel dan Irna bekerja. Mereka harus bisa menyelesaikan pekerjaan ini tepat waktu. Ditambah, bonus yang menanti juga cukup menggiurkan.

Ibel berhenti menggerakkan tangannya saat menyadari kopi dalam cangkirnya sudah habis. Ia baru akan beranjak saat melihat Irna telah lebih dulu bangkit dari tempat duduknya.

“Aku ke pantri sebentar. Kopiku habis,” ujar gadis itu.

Ibel tertawa ringan lalu menunjukkan cangkirnya kepada Irna. “Sama. Kopiku juga habis.”

“Mau aku ambilkan?” tawar Irna sambil ikut tertawa singkat.

“Tidak. Terima kasih.” Ibel menggelengkan kepala. “Lebih baik kita ke pantri bersama. Kau akan kesulitan membuka pintu jika membawa dua cangkir kopi di tanganmu.”

Irna menganggukkan kepala menyetujui saran kawan bicaranya. Mereka berdua bekerja sama untuk secangkir kopi. Ibel membawa dua cangkir kopi di tangannya sementara Irna bertugas membuka dan menutup pintu. Lagi pula pantri yang mereka tuju berada di samping ruangan tempat mereka bekerja.

Saat berada di depan pintu pantri, terdengar suara beberapa gadis yang membuat Irna menghentikan gerakan tangannya. Gadis-gadis itu sedang membicarakan dirinya. Tidak salah lagi. Mereka menyebut nama Irna.

“Kau lihat wajah kesal Ibel saat mengetahui bahwa ia harus bekerja dengan gadis seperti Irna?”

Terdengar seseorang berkata lalu tertawa.

“Ya. Mana mungkin Ibel cocok dengan Irna. Gadis itu terlalu membosankan. Tidak pernah berbicara hanya terus bekerja di hadapan komputernya.”

Suara yang berbeda.

“Mungkin itu memang rencananya untuk mengambil hati kepala divisi. Terlihat rajin agar mendapat pekerjaan tambahan dan dipasangkan dengan Ibel.”

Kali ini suara yang berbeda lagi. Ketiga gadis itu serentak tertawa. Dan entah mengapa suara tawa mereka terdengar begitu menyakitkan bagi Irna.

Irna berbalik lalu kembali ke ruang kerjanya. Air matanya mulai tidak terbendung. Ia tidak mempedulikan kopi maupun Ibel. Benar juga kata mereka. Lelaki seperti Ibel tidak akan cocok dengannya. Ia merasa bodoh karena sempat merasa senang saat tahu mendapat pekerjaan yang harus dikerjakan bersama Ibel. Bagaimana pun, lelaki itu adalah rekan kerja yang pertama kali bersikap sangat baik terhadapnya.

“Irna?” gumam Ibel lirih. Lelaki itu menempati kursi di samping Irna.

Dengan penuh kehati-hatian, Ibel menyentuh bahu Irna yang bergetar. Ia juga ikut mendengar semua kata-kata yang kejam tadi. Sehingga ia tahu bagaimana rapuhnya hati gadis ini sekarang.

“Aku mohon, jangan mendengarkan mereka,” kata Ibel setengah berbisik. “Semua yang mereka katakan itu tidak benar.”

Irna mengangkat kepala lalu menoleh. Ia menatap Ibel dengan matanya yang merah karena air mata. Perlahan gadis itu melepas kacamatanya lalu menghapus bulir-bulir air mata yang  membasahi pipinya. Sekuat tenaga ia mencoba menyunggingkan senyuman.

“Tidak perlu khawatir, aku tidak apa-apa,” ujar Irna di tengah isakan yang coba disembunyikannya. “Aku hanya... sedikit terkejut.”

Ibel menatap gadis itu dengan alis yang berkerut. Ada apa dengan gadis ini? Kenapa ia masih saja bersikap sok kuat di hadapan lelaki seperti Ibel? Seharusnya, seorang gadis akan bebas menunjukkan kelemahannya di saat seperti ini.

Entah karena ada angin apa, tiba-tiba saja Ibel merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Ia mendekap Irna seperti sedang melindungi sebuah benda yang rapuh. Seakan benda itu akan hancur jika salah menyentuhnya.

Tindakan yang dilakukan Ibel secara impulsif itu bukannya membuat Irna tenang tapi malah membuat tangisannya semakin menjadi-jadi. Ibel dengan penuh kesabaran membelai kepala dan punggung Irna berkali-kali. Bibirnya juga tidak berhenti membisikan kata-kata untuk mengembalikan semangat gadis ini.

Begitu suara isakan Irna sudah mereda, Ibel melepaskan pelukannya. Matanya saling bertatapan dengan mata yang basah karena air mata. Dengan lembut Ibel mengusap pipi Irna, menghapus jejak air mata yang tertinggal di sana. Perlahan tapi pasti, Ibel mendekatkan wajahnya ke wajah gadis di hadapannya. Ia berhenti sejenak lalu menatap mata Irna sekali lagi untuk meminta persetujuan. Gadis itu hanya diam tapi tidak berusaha menjauh. Maka, Ibel menganggap itu sebagai izin untuk melanjutkan tindakannya. Ibel memajukan wajahnya dan menghapus jarak di antara mereka berdua. Perlahan, ia mengecup bibir yang lembut itu.

* * *

Setelah kejadian siang itu di ruang kerja, Irna bersikap biasa saja seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Hal tersebut membuat Ibel tidak tahu harus melakukan apa. Ia jadi menduga-duga apa mungkin Irna menyesal sudah berciuman dengannya di hari itu. Sehingga ia memilih untuk melupakan kejadian itu.

Tapi tidak bagi Ibel.

Ibel ingat benar setiap hal yang terjadi hari itu. Ia juga masih mengingat jelas bagaimana lembutnya bibir Irna saat bersentuhan dengan bibirnya. Bahkan aroma musk dari parfum Irna masih menggantung di ujung hidung Ibel.

Menurut Ibel, tidak ada satu pun yang salah dari kejadian itu. Tapi kenapa setelah pekerjaan -yang menjadi tanggung jawab mereka berdua itu selesai, Irna tidak pernah lagi masuk kerja. Dan itu sudah menjadi tiga hari yang menyiksa bagi Ibel. Begitu bertanya ke bagian personalia, Ibel mendapatkan keterangan bahwa Irna sudah berhenti bekerja dari perusahaan ini.

Ada apa dengan gadis itu? Ibel melepas helmnya dan turun dari motornya. Ia baru memarkirkan motornya di area parkir sebuah minimarket, lalu mulai berjalan ke arah pohon yang pernah ia panjat untuk menolong kucing milik Irna. Gadis itu pernah berkata bahwa tempat tinggalnya berada di dekat sini. Tapi, dimana?

Di tengah kebingungan yang melanda, Ibel mendengar suara seseorang di dekatnya.

“Hei, bukankah kau lelaki tampan yang itu?”

Ibel menoleh dan mendapati dua orang wanita -yang kira-kira lebih tua dari ibunya- sedang menatap ke arahnya.

“Ternyata benar. Kau lelaki yang memanjat pohon untuk menolong kucing milik Irna.”

Telinga Ibel langsung menajam begitu mendengar nama Irna disebut.

“Anda mengenal Irna?”

“Tentu saja. Aku tinggal di flat yang sama dengannya.”

Ibel menanyakan lokasi flat yang dimaksud dan wanita itu menjelaskan dengan senang hati. Ia memastikan bahwa telinganya mendengarkan dengan baik setiap penjelasan sehingga ia tidak tersesat.

“Kamarnya ada di ujung lorong lantai dua. Setelah menaiki tangga, belok ke kiri.”

“Hei, kamar Irna berada di ujung lorong sebelah kanan,” protes wanita yang satunya.

“Tidak. Aku ingat betul kamar Irna berada di sebelah kiri.”

Ibel menghela napas berat. Ia datang ke sini bukan untuk mendengar dua orang wanita berdebat seperti ini. Tanpa peduli dengan kanan atau kiri, yang penting Ibel ingin segera pergi ke flat itu dan meninggalkan dua orang wanita ini.

“Terima kasih atas bantuannya.”

Ucapan Ibel itu membuat perdebatan di hadapannya berhenti seketika.

“Ya. Terima kasih kembali, Nak. Kau tampak lebih tampan saat berpakaian rapi seperti ini,” kata wanita yang mengenakan pakaian bermotif floral. Ia menepuk hangat kemeja Ibel.

“Oh- tidak. Kau salah. Dia lebih tampan dengan pakaian dan rambut yang berantakan saat turun dari pohon setelah menolong seekor kucing. Tampak seperti pahlawan.”

“Aku tidak setuju. Lelaki mana pun akan tampak tampan saat mengenakan pakaian yang rapi.”

Ibel hanya tersenyum masam. Ia menganggukkan kepala sedikit lalu melangkah pergi, meninggalkan dua wanita yang masih saja berdebat tengtang dirinya.

* * *

Ibel mengetuk perlahan pintu yang ada di hadapannya. Ternyata tidak terlalu sulit menemukan flat yang dimaksud. Setelah menaiki tangga ke lantai dua, ia memilih untuk berbelok ke sebelah kanan.

Terdengar gerutuan seorang gadis dari balik pintu. Begitu gagang pintu terbuka, gadis itu langsung membentak Ibel.

“Sudah ku bilang, aku akan menyerahkan naskahnya tep-.” Gadis itu menghentikan kalimatnya saat menyadari lelaki yang berdiri di depan pintunya bukanlah orang yang pantas menerima makiannya. Apa lagi lelaki itu cukup tampan seperti tokoh utama lelaki dalam cerita romantis. Kali ini, gadis itu lebih memelankan suaranya. “Oh- Maaf. Aku kira editorku yang datang. Kau mencari siapa?”

Ibel tidak langsung menjawab. Ia masih merasa shock karena dibentak oleh seorang gadis yang tidak dikenalnya.

“Kau mencari siapa?” tanya gadis itu sekali lagi.

“Aku mencari... Irna,” jawab Ibel kemudian.

“Irna? Gadis berkacamata yang memelihara seekor kucing?”

Ibel menganggukkan kepala.

 Gadis itu tersenyum sambil melonggokkan kepalanya dari pintu. Jari telunjuknya menunjuk ke ujung lorong yang lain sambil berkata,  “Dia tinggal di ujung sebelah sana.”

Pandangan Ibel mengikuti ke arah gadis itu menunjuk. “Oh- terima kasih. Dan maaf sudah mengganggu.”

Gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk sedikit lalu masuk kembali ke dalam flatnya.

Dengan jantung yang berdebar, Ibel melangkahkan kaki ke ujung lorong yang satunya. Begitu tiba di hadapan pintu flat Irna., ia mengetuk pintu itu sambil menahan napas.

“Sebentar,” jawab seseorang dari dalam.

Sebuah senyuman tersungging di bibir Ibel saat mendengar suara itu. Ia tidak mungkin salah lagi. Itu pasti suara Irna. Suara yang ia rindukan.

Pintu terbuka. Irna berdiri di sana dengan ekspresi terkejut.  Ia pasti tidak akan menyangka Ibel akan datang ke sini.

“Ibel? Sedang apa kau di sini?”

Ibel menahan dirinya untuk tidak langsung memeluk gadis di hadapannya. “Aku ke sini untuk menemuimu.”

“Oh- Ada apa?” Gadis itu bertanya lagi. Kali ini ekspresinya kembali datar.

“Kau tidak ingin mengundangku masuk?” tanya Ibel sambil melirik ke balik punggung Irna.

Irna menganggukkan kepalanya lalu mempersilakan Ibel masuk. Lelaki itu duduk di ruang tamunya yang berantakan. Ia menyesal sudah membiarkan flatnya berantakan. Andai saja ia tahu bahwa Ibel akan datang.

“Kenapa kau tidak datang ke kantor?” Ibel langsung bertanya saat Irna duduk di sampingnya sambil menghidangkan dua cangkir teh ke atas meja.

“Aku sudah berhenti bekerja,” jawab Irna datar sambil membetulkan letak kacamatanya. “Maaf aku tidak tahu harus menghidangkan apa. Ini pertama kalinya ada lelaki yang bertamu ke sini.”

“Kenapa kau berhenti?” Ibel tetap mencari jawaban dari pertanyaannya.

Irna tidak langsung menjawab pertanyaan Ibel. Ia hanya diam memperhatikan uap putih yang membumbung dari cangkir teh. “Ibu memintaku pulang ke kampung halaman.” Irna merasakan suaranya sedikit bergetar karena mengatakan kebohongan.

 “Benarkah?” tanya Ibel sambil melirik ke arah koran yang terbuka pada halaman lowongan kerja. Beberapa bagian ditandai menggunakan spidol merah. “Kau bohong.”

Irna tersentak mendengar tuduhan tanpa basa-basi itu.

“Aku mohon, Irna. Katakan apa yang membuatmu berhenti dari Arch Design?” Ibel memandang Irna dengan pandangan yang memohon jawaban. “Apa karena... karena aku menciummu?”

Irna menggerakkan bola matanya menghindari tatapan mata Ibel. Pipinya bersemu karena Ibel mengingatkannya pada kejadian itu.

 “Apa kau menyesal?” tanya Ibel dengan suara yang tercekat. “Waktu itu aku menci

“Lupakan!” Irna menyentak dengan suara yang keras. “Aku mohon, lupakan kejadian itu. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa.”

Ibel tidak menjawab apa-apa. Keheningan memenuhi ruangan itu.

“Apa karena... kau tidak menyukaiku?” tanya Ibel kemudian. Setidaknya ia ingin mengetahui kebenaran rumor yang pernah ia dengar.

Irna menelan ludah. Entah kenapa suaranya begitu sulit untuk terucap dari mulut bodohnya. “Ya. Aku memang tidak menyukaimu. Kau terlalu cerewet untuk ukuran seorang lelaki. Kau lebih banyak mengobrol daripada bekerja.”

Ibel melongo. Ia memang sangat ingin mengetahui kebenaran dari rumor itu. Tapi setelah mendengar jawaban Irna yang begitu terang-terangan, entah mengapa Ibel merasa... tersakiti.

“Tapi semua itu berubah saat kau mengajakku bicara bahkan menolong kucingku turun dari pohon. Aku senang bisa melihat sisi baikmu.”

Kali ini Ibel hanya ternganga mendengar penjelasan Irna. Gadis ini benar-benar polos. Dengan mudah ia percaya pada lelaki seperti dirinya. Padahal awalnya, Ibel hanya ingin menjadikan Irna sebagai tantangan baru di tengah kejenuhannya. Tapi sekarang semuanya berubah.

“Ya. Pemikiranku tentangmu juga berubah.” Ibel berusaha mengungkapkan perasaannya sebaik mungkin. “Aku pikir kau adalah orang yang kaku dan sulit untuk diajak berteman. Tapi ternyata kau gadis yang baik dan menyenangkan. Sayang sekali tidak semua orang bisa melihatmu yang seperti itu.”

“Tidak apa-apa,” kata Irna lalu tersenyum. “Bagiku, sudah cukup jika kau yang mengerti aku.”

Ibel membalas senyum Irna dengan sebuah kecupan di puncak kepalanya. Gadis itu tampak sedikit terkejut lalu beringsut menjauh.

“Aku mohon, Ibel. Jangan lakukan hal seperti itu lagi.” Irna berkata sambil memeluk tubuhnya sendiri yang tampak gemetar.

“Kenapa?”

“Karena aku mencintaimu!” Irna menjawab dengan cepat. “Dan aku tidak ingin dicium oleh lelaki yang tidak mencintaiku!”

Ibel terpaku mendengar jawaban Irna. Apa ia tidak salah dengar?

“Aku sudah mengatakannya. Sekarang kau boleh keluar dari sini.” Irna mengatakan setiap kata itu penuh perjuangan menahan air matanya yang nyaris keluar.

“Tidak.” Ibel menolak permintaan Irna. “Waktu itu aku telah memanfaatkan situasimu saat itu untuk menciummu, kau tahu? Dan aku sangat takut kau menyesal sudah berciuman dengan bajingan seperti aku.”

Kali ini Irna yang terperangah. “Kenapa?”

“Tentu saja karena aku mencintaimu. Apa ada alasan lain?”

“Kau... mencintaiku?” Irna bertanya meminta kepastian.

Ibel menghela napas panjang. “Ya. Aku mencintaimu. Aku tidak tahu kenapa. Tapi aku benar-benar merasa kacau jika tidak berada di dekatmu.”

Tidak mungkin. Irna menekan pelipisnya yang terasa berdenyut. Kepalanya belum siap mencerna semua kenyataan yang begitu tiba-tiba. Matanya memandang dua cangkir teh yang sudah dingin di atas meja. Belum tersentuh sedikit pun.

“Irna?”
Ibel tampak cemas karena sejak tadi gadis di hadapannya hanya terpaku tanpa mengucapkan apa pun.

“Kau mencintaiku, Ibel?” Irna bertanya lagi seakan tidak bisa mendengar kata-kata yang diucapkan Ibel sebelumnya.

Ibel tersenyum lembut sebelum menjawab. “Astaga- Kenapa kau bertanya lagi? Ya. Aku mencintaimu, Irna. Aku bahkan bisa menciummu sekarang di hadapan kucing kecilmu itu.”
Irna tertawa kecil lalu menyambut kucingnya yang datang mendekat. Ia meletakkan kucing itu di pangkuannya lalu mulai membelai lembut bulunya yang halus.

“Entahlah, Ibel. Aku tidak tahu harus berkata ap-

Ibel tidak membiarkan Irna menyelesaikan kalimatnya. Lelaki itu sudah membungkam Irna dengan bibirnya.

“Kau tidak perlu berkata apa-apa,” bisik Ibel. “Yang penting aku tahu bahwa kita saling mencintai.”

Ibel sudah tidak memerlukan jeda apa pun dalam kehidupan percintaanya. Kini ia sudah menemukan gadis yang membuatnya ingin menetap selamanya di hati gadis bernama Irna.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D