Semerbak aroma bunga yang berwarna-warni menyeruak di udara. Gita berjalan memasuki toko bunga yang memajang bunga-bunga dengan begitu cantik. Terdengar suara berdenting saat gadis itu mendorong pintu kaca. Seorang pramuniaga yang ramah datang menyambut lalu membantunya memilih bunga.
Sambil menggenggam sebuket bunga lily
putih di depan dada, Gita melanjutkan perjalanan pulang dengan langkah ceria.
Lengkungan senyum merekah di wajah cantiknya. Tidak akan ada yang pernah
menyangka bahwa pernah ada goresan luka yang amat dalam di hati gadis itu.
Saat Gita berusia lima tahun, ia dan
keluarganya mengalami sebuah kecelakaan mobil yang menewaskan ayah, ibu, dan
kakaknya. Tapi entah bagaimana keajaiban terjadi sehingga hanya ia yang selamat
dari kecelakaan itu. Keajaiban itu menjadi anugerah sekaligus kesialan bagi
Gita yang harus sendirian menjalani
hidupnya.
Setelah kecelakaan itu, Gita yang sebatang
kara tinggal di sebuah panti asuhan. Pada awalnya, Gita datang sebagai gadis
penyendiri dan murung. Ia lebih sering menangis daripada bermain dengan
anak-anak seusianya di sana. Tapi suasana kekeluargaan yang hangat mampu
membuat Gita menyembuhkan kesedihannya dan tumbuh menjadi gadis yang ceria.
Gita meninggalkan panti asuhan itu lima
tahun lalu. Saat itu ia diterima kuliah di sebuah universitas negeri di kota
tempat ia tinggal saat ini. Ia menjalani kehidupan sebagai mahasiswa yang
aktif. Sikapnya yang supel dan ceria membuat Gita begitu dikenal
teman-temannya. Ia juga sempat menjalin hubungan spesial dengan seorang lelaki.
Hidupnya terasa begitu lengkap. Tapi dua tahun yang lalu lelaki itu menghilang
begitu saja. Meninggalkan Gita tanpa kabar apa pun.
Hati Gita sangat terluka saat itu. Tentu
saja. Perasaan sedih dan kesepian yang dulu pernah sekuat tenaga ia singkirkan
dari hatinya, tiba-tiba kembali. Tapi kali ini ia bisa dengan cepat
menyembuhkan luka itu. Hanya saja goresan kecewa membuat pintu hatinya tertutup
untuk lelaki mana pun.
“Gita.”
Telinga Gita menangkap sebuah suara
maskulin yang menyebut namanya. Ia menghentikan langkahnya lalu berbalik. Saat
melihat siapa yang memanggilnya, wajah gadis itu berubah pucat pasi. Kedua tangannya
yang memegang buket bunga mendadak gemetar. Sekujur tubuhnya seakan mematung
seperti habis melihat hantu.
Lelaki itu berdiri di sana.
Lelaki yang paling tidak ingin ia temui.
Lelaki yang sudah mencuri hatinya lalu meninggalkannya.
Lelaki bernama Gabriel.
Gita sangat membenci lelaki ini hingga
tidak ingin lagi melihat wajahnya. Ingin rasanya ia berteriak minta tolong.
Tapi apa daya, mulutnya seakan membungkam suaranya. Saat ini yang bisa
dilakukannya hanyalah berlari menjauh. Tapi kakinya membeku dan berat seperti
batu. Berlarilah kaki bodoh! Gita terus menerus merutuk dalam hatinya.
Sementara lelaki itu mulai berjalan
perlahan menuju tempat Gita berdiri. Bunyi sepatu pantofel hitam yang mengetuk
aspal terdengar sumbang di telinga Gita. Tidak banyak perubahan berarti yang
tampak pada lelaki itu. Hanya pipinya yang tampak lebih tirus dari terakhir
kali mereka bertemu.
Gita menggigit bibirnya. Rasa sakit yang
ditimbulkan menyadarkan gadis itu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk
mengingat kenangan sialan itu. Ia harus segera pergi dari hadapan Gabriel. Tidak sedikitpun ada keinginan di hati Gita
untuk bertemu apalagi mendengar suara lelaki itu lagi. Hatinya sudah terlalu
sakit.
Kini Gabriel sudah berdiri menjulang di
hadapan Gita dengan ekspresi tak terbaca. Lelaki itu membuka mulutnya sedikit
seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tiba-tiba Gita yang panik melemparkan
buket bunga yang digenggamannya ke arah lelaki itu lalu berlari sekuat tenaga.
Lelaki itu hanya berdiri terperangah
dengan tindakan yang sama sekali tidak ia duga itu. Sebuket bunga menghantam dadanya
lalu jatuh ke dekat kakinya. Ia merunduk dan memungut bunga dari atas aspal.
Matanya menatap nanar ke arah Gita yang terus berlari menjauh.
Gabriel tahu Gita tidak akan memaafkan
dirinya semudah itu. Meninggalkan gadis yang dicintainya tanpa kabar dan sebab
yang jelas merupakan kesalahan terburuk yang pernah dilakukannya. Ia sangat
menyesal. Tapi keadaan saat itu meletakkannya dalam posisi yang rumit.
Kaki Gabriel melangkah ke arah mobil yang
diparkir tidak jauh dari sana. Tadi ia sengaja menunggu di jalan yang biasa
dilalui Gita saat pulang dari kantor. Ia menghibur hatinya sendiri dengan
meyakini bahwa kali ini bukan saat yang tepat untuk menemui gadis itu.
Sabar. Benar juga. Bersabarlah, Gabriel. Mungkin ia harus menunggu sebentar lagi. Setidaknya
saat ini Gita sudah mengetahui bahwa Gabriel telah kembali untuknya. Lagi pula ia
sudah memiliki semua data mengenai gadis itu.
* * *
Semua lampu dalam ruangan itu dalam
keadaan padam. Cahaya rembulan menyusup sedikit melalui celah yang bisa
dilalui. Dalam suasana temaram itu, Gita meringkuk di atas tempat tidurnya.
Duduk meyandarkan punggungnya ke dinding yang dingin. Gadis itu memeluk kedua
lututnya. Pakaian kerjanya masih melekat walau sedikit kusut.
“Aku
mencintaimu, Gita. Sampai kapan pun aku akan selalu menjagamu.”
Tubuh Gita gemetar karena isakan demi
isakan yang semakin terdengar jelas. Kata-kata yang dulu selalu diucapkan
lelaki itu kembali terngiang. Pertemuan yang mengejutkan sore tadi sudah
membuat luka di hati gadis itu kembali terbuka. Ia sama sekali tidak menyangka
bahwa Gabriel masih punya muka untuk datang menemuinya. Tapi setelah dua tahun
berlalu, untuk apa lelaki itu datang
kembali?
Sekuat tenaga Gita mencoba melupakan
Gabriel. Berusaha untuk tidak mencari tahu keberadaannya walaupun ia ingin.
Maka, ia memilih untuk menyibukkan diri dengan kegiatan apa pun yang ia mampu. Beruntung,
usahanya itu berhasil. Ia bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Bahkan
datang surat panggilan dari sebuah perusahaan ternama yang memintanya bekerja
di sana. Gita tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Hingga saat ini sudah
hampir setahun ia bekerja di perusahaan itu.
Gita kembali menangis tersedu-sedu.
Kenangannya bersama Gabriel dalam benaknya muncul silih berganti seperti
potongan-potongan film tak beraturan. Semua kenangan yang setengah mati ia coba
lupakan dalam dua tahun terakhir. Tapi kemunculan Gabriel di hadapannya sudah
menghancurkan segalanya.
Pertama kali Gita berkenalan dengan
Gabriel adalah saat mereka menjadi panitia untuk sebuah acara di fakultas.
Gabriel yang saat itu merupakan seniornya, ditunjuk menjadi ketua panitia.
Setelah itu, mereka menjadi semakin akrab hingga akhirnya menjadi sepasang
kekasih.
Banyak gadis yang merasa iri kepada Gita
karena ia berhasil mendapatkan hati Gabriel yang tampan. Wajah lelaki itu
memang memiliki komposisi tepat yang merupakan perpaduan antara Spanyol dan
Indonesia. Di samping penampilan fisik yang menawan, Gabriel juga dikenal
sebagai lelaki yang setia. Tidak pernah sedikit pun lelaki itu tampak mendekati
gadis selain Gita.
Tapi lelaki itu meninggalkan Gita tanpa
kabar.
Gita semakin merapatkan pelukan untuk
dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa ia hidup di dunia ini sebatang kara dan
akan seperti itu selamanya. Tapi ia
tidak ingin membiarkan dirinya terpuruk jatuh dalam lumpur kesedihan yang
mendalam. Itu tidak akan terjadi. Tidak untuk lelaki mana pun. Tidak untuk
bajingan seperti Gabriel.
* * *
Cahaya matahari yang hangat menelusup
masuk melalui ventilasi ruangan. Gadis yang masih terlelap itu perlahan membuka
matanya. Ia bangun lalu duduk di tepi tempat tidurnya. Entah kapan ia terlelap,
tapi efek yang terjadi di pagi hari ini benar-benar buruk. Matanya bengkak.
Tenggorokannya terasa kering. Kepalanya sakit seperti ditusuk-tusuk jarum.
“Jam berapa sekarang?” gumam Gita dengan
suara parau.
Gadis itu melirik jam di kamarnya sambil
menutup mulutnya yang menguap lebar. Astaga!
Rasa kantuknya hilang dalam sekejap. Gita bergegas menuju kamar mandi untuk
membersihkan dirinya. Bisa-bisa ia datang terlambat ke kantor jika terus
bergerak seperti siput.
Jarak ke kantor tempat Gita bekerja memang
cukup dekat. Dalam waktu kurang dari limabelas menit, ia bisa tiba di kantor
dengan berjalan kaki. Tapi dalam waktu yang sempit seperti ini, Gita tidak
mungkin bisa merasa santai. Ia ingin datang ke kantor dengan penampilan rapi
dan suara yang tidak serak. Gadis itu masih menyempatkan diri untuk menyeruput
secangkir teh hangat sebelum akhirnya berangkat ke kantornya dengan setengah
berlari.
Baru saja Gita melangkahkan kakinya di
jalan utama saat tiba-tiba sebuah cengkraman kuat di tangannya mengehentikan langkahnya seketika. Ia ingin berteriak. Tapi
suaranya tercekat saat menyadari bahwa tangan Gabriel yang sedang mencengkram
kuat tangannya saat ini.
“Gita, ada yang ingin aku bicarakan,” kata
Gabriel dengan datar tanpa ekspresi.
Gita memandang Gabriel dengan pandangan
penuh kebencian. “Tidak! Aku harus pergi bekerja sekarang!”
“Aku mohon, Gita. Dengarkan aku dulu.”
Suara Gabriel sedikit meninggi sekarang. “Aku tidak pernah memintamu untuk
memaafkan semua kesalahanku padamu. Aku menyadari bahwa aku tidak pantas untuk
itu. Aku hanya memintamu untuk mendengarkan.”
“Aku menolak. Tidak ada lagi yang perlu
dibicarakan. Sekarang lepaskan aku!” Gita meronta dan menarik tangannya dari
Gabriel. Tapi lelaki itu malah memperkuat cengkramannya.
“Aku tidak akan melepaskanmu sampai kau
bersedia mendengarkan aku!”
“Brengsek kau! Lepaskan aku! Kau menyakiti
tanganku!” jerit Gita sambil terus meronta.
“Aku tidak akan membiarkanmu pergi! Aku
ingin kembali bersamamu. Aku ingin selalu menjagamu... seperti dulu!”
Gita merasakan sakit saat mendengar perkataan
Gabriel. Hal itu mengingatkannya kembali pada kenangan mereka berdua. Gadis itu
sudah berhenti meronta sekarang. Tapi tubuhnya bergetar karena air mata yang
tidak bisa ditahan lagi.
“Aku sudah melupakan semua kebersamaan
kita. Aku bahkan sudah menganggap kau tidak pernah hadir dalam kehidupanku!”
Sengaja Gita mengatakan itu untuk membuat
Gabriel mengerti seperti apa rasa sakit yang ditanggungnya. Tapi ternyata
dampaknya di luar dugaan Gita. Wajah lelaki itu berubah pucat luar biasa.
Seperti ada yang menghantam kuat tepat di jantungnya. Perlahan Gabriel
melonggarkan pegangannya di tangan Gita.
Seperti tidak ingin kehilangan kesempatan
yang berharga, Gita segera menarik kuat tangannya. Ia memacu langkahnya cepat
untuk menjauh. Tanpa Gita sadari, sebuah mobil tengah melaju ke arahnya.
Sedetik kemudian ia merasakan sesuatu yang keras menghantam tubuhnya. Bunyi
klakson dan rem yang berdecit menghantarkan tubuhnya jatuh berdebam di atas aspal.
Gita merasakan rasa sakit luar biasa yang
seolah menelan habis kesadarannya. Mungkin ini sudah saatnya ia kembali
berkumpul dengan keluarganya di surga. Di tengah kesadaran yang terus menipis
ia masih bisa mendengar suara Gabriel meneriakkan namanya.
* * *
Gita perlahan membuka mata. Langit-langit
yang putih menyambutnya. Bau obat dan rumah sakit begitu memenuhi udara di
sekitarnya. Ia mengernytikan dahinya lalu mulai merasakan genggaman yang hangat
di tangannya. Gadis itu menggerakkan kepalanya dan bertatapan langsung dengan
Gabriel. Lelaki itu duduk di samping tempat tidurnya dengan penuh khawatir.
Apa
Gabriel menangis? Pertanyaan
itu yang muncul seketika dalam benak Gita saat melihat mata lelaki itu yang
tampak basah. Tapi sedetik kemudian ia tertawa sinis dalam hatinya. Mana mungkin lelaki seperti Gabriel
menangis, huh? Mungkin ini hanya efek dari pandangannya yang masih terasa
kabur. Lelaki yang tak memiliki hati seperti Gabriel mana mungkin menangis apa
lagi untuk gadis bodoh seperti dirinya.
Gabriel mengecup jemari Gita dengan
lembut. “Syukurlah kau sudah sadar.” Entah mengapa suaranya terdengar serak.
“Aku menyesal tidak bisa menjagamu dengan baik.”
Gita merasa muak. Ingin rasanya ia menarik
tangannya dari Gabriel lalu berlari pergi. Tapi apa daya, tubuhnya masih terasa
sangat lemas dan tak bisa leluasa digerakkan.
“Apa yang terjadi?” gumam Gita saat
merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Ia memegang kepalanya yang dibalut perban.
“Kau mengalami kecelakaan.” Wajah Gabriel
sedikit meringis saat teringat kejadian mengerikan yang terjadi di depan
matanya tadi. “Sebuah mobil menabrakmu. Tapi syukurlah, dokter bilang, tidak
ada luka yang serius. Kau hanya perlu istirahat. Aku juga sudah menelepon ke
kantor dan meminta izin untukmu.”
Gita menghela napas lega saat mendengar
semua itu. Walaupun sedikit ada perasaan sedih yang mengganjal karena itu
berarti ia tidak jadi berkumpul dengan keluarganya. Ia harus kembali merasakan
kesendirian di dunia yang luas ini.
“Gita.” Gabriel menyebut nama gadis itu
dengan begitu lembut. “Aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk membahas hal
ini. Tapi aku ingin kau mendengarkan aku.”
Hening. Tidak ada satu kata pun yang
keluar dari mulut Gita. Dan Gabriel merasa tidak tahan dengan suasana yang
menyiksa itu. Ia menghela napas panjang lalu berkata, “Aku mencintaimu, Gita. Sungguh.
Kau mungkin tidak akan percaya karena apa yang sudah aku lakukan padamu. Tapi
dua tahun yang lalu aku benar-benar berada dalam posisi yang... rumit.”
Gita memilih untuk tetap bungkam. Ia
memejamkan matanya. Berusaha menghalau air mata yang nyaris menetes ke pipinya.
“Aku tahu kau tidak akan dengan mudah memaafkanku.
Lagi pula aku juga tidak pantas untuk dimaafkan.” Gabriel tersenyum pahit di
dalam kata-katanya. “Aku hanya ingin kau mendengarkan. Setelah itu kau boleh
pergi kemana pun dan menemukan lelaki yang lebih baik. Jangan pernah lagi kau
pergi seperti tadi. Melihatmu jatuh tergeletak... membuatku... membuat
jantungku seakan berhenti berdetak.”
Gita tertegun. Melalui tangan Gabriel di
tangannya, ia merasakan tubuh lelaki itu gemetar menahan perasan. Ia
memberanikan diri menatap Gabriel. Tapi lelaki itu sendiri justru sedang
menundukkan kepala. Matanya menerawang seperti sedang mengingat masa lalu.
“Dua tahun yang lalu, sebenarnya aku
berniat... untuk melamarmu.” Gabriel mengigit bibir bawahnya dengan gugup. “Kedua
orang tuaku di Spanyol sudah menyetujuinya tapi mereka ingin bertemu langsung
denganmu. Saat itu aku langsung membeli tiket untuk kita berdua ke sana. Tapi
sebuah peristiwa terjadi sehingga aku mempercepat kepulanganku tanpa sempat
mengatakan atau berpamitan padamu.”
Gabriel mengangkat wajahnya. Lelaki itu
menatap Gita dengan mata hijaunya. “Apa kau mendengar, berita tentang gempa
bumi yang melanda Spanyol dua tahun yang lalu? Keluargaku menjadi korban
bencana itu. Kedua orang tuaku meninggal, sementara adikku terluka parah karena
tertimpa puing-puing bangunan. Dia koma selama hampir sebelas bulan.”
Gita kembali tertegun. Jantungnya seperti
diremas saat mendengar fakta yang dipaparkan Gabriel. Ia tahu benar bagaimana
rasanya ditinggalkan seperti itu. Ingatan saat kecelakaan yang merenggut
keluarganya, muncul dalam benaknya. Kali ini, Gita menggenggam hangat tangan
Gabriel. Ia ingin menyalurkan semangat ke dalam hati lelaki ini.
“Lalu, kenapa kau tidak pernah
menghubungiku?”
“Aku sangat ingin tapi tak bisa. Seminggu
setelah itu, aku berkali-kali mencoba mengirim pesan melalui akun media
sosialmu, tapi semuanya sudah tidak aktif. Begitu juga dengan nomor teleponmu.
Aku juga tidak mengetahui alamat barumu.”
Benar juga. Saat itu Gita memang sengaja
cepat-cepat menghapus semua akun media sosialnya. Pindah tempat tinggal dan
juga mengganti nomor teleponnya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Gabriel
akan mencoba untuk menghubunginya. Saat itu yang ada dipikirannya hanya
kenyataan bahwa lelaki itu sudah meninggalkannya tanpa sebab. Hilang seperti
ditelan bumi. Dan Gita hanya ingin melupakan segala hal tentang lelaki itu.
“Dalam suasana yang kalut itu, aku
dituntut untuk mengambil alih kepemimpinan ayahku di perusahaan. Juga mengurus adikku di rumah sakit. Dan saat
itu aku bersumpah bahwa setelah semua keadaan stabil, aku akan kembali ke
hadapanmu. Walaupun... dengan kemungkinan bahwa aku sudah hilang dari hatimu.”
Suara Gabriel mendadak serak.
Lelaki itu membelai pipi Gita dengan penuh
kasih sayang. “Berbulan-bulan aku melihat adikku terbaring di ranjang rumah
sakit, dan sekarang aku harus melihat hal yang sama terjadi padamu.
Benar-benar... aku benar-benar merasa menjadi lelaki yang tidak berguna. Tidak
bisa menjaga orang yang aku sayangi.”
Gita menatap Gabriel dengan lembut. Amarah
dan kebencian yang selama ini ia pupuk kepada sosok di hadapannya, perlahan
mulai sirna. “Dan syukurlah sekarang kita bisa bertemu kembali.”
“Ya. Sebenarnya... perusahaan tempatmu
bekerja sekarang adalah salah satu cabang perusahaan yang dimiliki ayahku. Aku
yang meminta untuk mengirimkan surat perekrutan kerja ke fakultas. Dengan
begitu aku akan dengan mudah mendapatkan alamat tempat tinggalmu.”
Gita tertawa kecil. Pantas saja lelaki ini
dengan mudah mencegatnya di tengah jalan pulang. “Astaga- bukankah itu tindakan yang curang?”
Gabriel mengangkat bahunya lalu tersenyum.
“Tidak ada cara lain yang terpikirkan. Lagi pula cara itu cukup berhasil untuk
bertemu denganmu.”
Gita membelai kulit Gabriel yang kecokelatan
dan membalas senyuman lelaki itu. “Terima kasih sudah kembali.”
Gabriel kembali menundukkan kepalanya lalu
bertanya dengan suara tercekat. “Lalu... apa sudah ada lelaki yang mengisi
hatimu sekarang?”
Gita tidak langsung menjawab. Ia mengambil
jeda sebentar tapi terasa begitu menyiksa bagi Gabriel.
“Ada.”
Jawaban itu seketika langsung membuat
jantung Gabriel seakan ditusuk sebuah belati. Begitu cepat dan melukainya
dengan hebat.
Gita menahan napas saat melanjutkan
kata-katanya. “Lelaki itu kau, Gabriel. Apa pun perasaanku terhadapmu, entah
benci atau cinta, tapi hanya kau yang selalu aku pikirkan.”
Binar kebahagiaan terbit di mata Gabriel. Ingin
rasanya ia memeluk gadis ini dengan erat sebagai ungkapan kebahagiaannya. Tapi
ia sadar bahwa kondisi tubuh Gita masih lemah. Akhirnya, Gabriel berdiri dari
duduknya lalu menundukkan kepala mengecup dahi Gita.
“Terima kasih,” gumam Gabriel. Bergegas
lelaki itu memutar tubuhnya menghadap meja di samping tempat tidur Gita. Air
matanya mulai menetes dan ia terlalu malu untuk menunjukkannya di hadapan
gadisnya.
Gita merasakan basah di pipinya. Padahal
ia tidak mennagis. Lalu apakah ini air mata Gabriel? Ia menatap punggung lelaki
yang tampak sibuk dengan sesuatu di atas meja. Ketika baru membuka mulut hendak
bertanya, Gabriel sudah berbalik dan tersenyum padanya. Kening Gita mengernyit
heran. Tidak ada tanda-tanda lelaki itu menangis.
“Ini sudah waktunya makan. Kau harus
berusaha untuk mengembalikan kondisi tubuhmu,” kata Gabriel sambil mengatur
ranjang agar posisi kepala Gita lebih tinggi. “Aku akan menyuapimu. Jadi
berjanjilah untuk cepat sembuh.”
Gita menyantap makanannya dengan lahap. Bubur
itu terasa lebih lezat karena Gabriel sudah kembali ke sisinya sekarang.
Berkali-kali Gita tersenyum tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya. Hingga lelaki di hadapannya mengernyitkan dahi
karena kebingungan.
Selesai menyuapi gadisnya, Gabriel kembali
menggenggam tangan Gita. Ia mengecup lembut jemari gadis itu. Lalu berbisik,“Getelah
kau diperbolehkan pulang dari rumah sakit, ikutlah aku ke Spanyol.”
Apa? Gita menajamkan pendengarannya. “Kenapa?
Maksudku- untuk apa?”
“Aku ingin kau bertemu dengan adikku,
satu-satunya keluargaku saat ini.”
Gita harus mengingatkan dirinya untuk bernapas.
Ia sudah terlalu bahagia saat menemukan fakta bahwa Gabriel masih mencintainya. Tidak seperti
yang ia pikirkan selama ini. Dan sekarang lelaki itu meminta dirinya untuk ke
Spanyol bersamanya. Untuk bertemu dengan anggota keluarganya. Gita merasa tidak
percaya. Apa ini mimpi?
“Jadi, apa jawabanmu?” tanya Gabriel tidak
sabar.
Gita menganggukkan kepala seraya
tersenyum. Ia menjawab tanpa perlu memikirkannya berkali-kali. “Aku akan ikut
denganmu ke Spanyol.”
Mata Gabriel terbelalak tidak percaya. Ia
berharap ini bukan mimpi di antara tidurnya. Untuk lebih meyakinkan hatinya
sendiri, ia menempelkan tangan Gita ke pipinya. Merasakan setiap kelembutan
kulit gadis itu. Lalu ia berkali-kali menghujani tangan Gita dengan
kecupan-kecupan ringan.
“Terima kasih,” gumam Gabriel. “Aku
mencintaimu, Gita. Aku akan selalu menjagamu dan juga cinta kita.”
Gita mengerjapkan matanya. Ia merasa
takjub dengan apa yang terjadi. Lelaki yang meninggalkannya kini kembali hadir
dengan membawa cinta yang sama. Sepertinya jarak yang sempat membentang di
antara mereka cukup menggali kerinduan yang sangat dalam. Tak henti-hentinya
Gita mengucap syukur di dalam hati. Kini ia tahu, tidak ada manusia yang
diciptakan sebatang kara di dunia ini. Hal yang terpenting adalah mau atau
tidaknya kita membuka hati.
Air mata kebahagiaan menitik di sudut mata
Gita. Dengan lembut Gabriel mengusap air matanya lalu tersenyum. Sedetik
kemudian, Gita merasakan bibirnya disentuh ringan oleh bibir Gabriel. Baru saja
ia dicium oleh seorang lelaki yang menjaga hatinya demi gadis seperti dirinya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D