Kamis, 25 Desember 2014

Guardian


Semerbak aroma bunga yang berwarna-warni menyeruak di udara. Gita berjalan memasuki toko bunga yang memajang bunga-bunga dengan begitu cantik. Terdengar suara berdenting saat gadis itu mendorong pintu kaca. Seorang pramuniaga yang ramah datang menyambut lalu membantunya memilih bunga.

Sambil menggenggam sebuket bunga lily putih di depan dada, Gita melanjutkan perjalanan pulang dengan langkah ceria. Lengkungan senyum merekah di wajah cantiknya. Tidak akan ada yang pernah menyangka bahwa pernah ada goresan luka yang amat dalam di hati gadis itu.

Saat Gita berusia lima tahun, ia dan keluarganya mengalami sebuah kecelakaan mobil yang menewaskan ayah, ibu, dan kakaknya. Tapi entah bagaimana keajaiban terjadi sehingga hanya ia yang selamat dari kecelakaan itu. Keajaiban itu menjadi anugerah sekaligus kesialan bagi Gita yang harus sendirian  menjalani hidupnya.

Setelah kecelakaan itu, Gita yang sebatang kara tinggal di sebuah panti asuhan. Pada awalnya, Gita datang sebagai gadis penyendiri dan murung. Ia lebih sering menangis daripada bermain dengan anak-anak seusianya di sana. Tapi suasana kekeluargaan yang hangat mampu membuat Gita menyembuhkan kesedihannya dan tumbuh menjadi gadis yang ceria.

Gita meninggalkan panti asuhan itu lima tahun lalu. Saat itu ia diterima kuliah di sebuah universitas negeri di kota tempat ia tinggal saat ini. Ia menjalani kehidupan sebagai mahasiswa yang aktif. Sikapnya yang supel dan ceria membuat Gita begitu dikenal teman-temannya. Ia juga sempat menjalin hubungan spesial dengan seorang lelaki. Hidupnya terasa begitu lengkap. Tapi dua tahun yang lalu lelaki itu menghilang begitu saja. Meninggalkan Gita tanpa kabar apa pun.

Hati Gita sangat terluka saat itu. Tentu saja. Perasaan sedih dan kesepian yang dulu pernah sekuat tenaga ia singkirkan dari hatinya, tiba-tiba kembali. Tapi kali ini ia bisa dengan cepat menyembuhkan luka itu. Hanya saja goresan kecewa membuat pintu hatinya tertutup untuk lelaki mana pun.

“Gita.”

Telinga Gita menangkap sebuah suara maskulin yang menyebut namanya. Ia menghentikan langkahnya lalu berbalik. Saat melihat siapa yang memanggilnya, wajah gadis itu berubah pucat pasi. Kedua tangannya yang memegang buket bunga mendadak gemetar. Sekujur tubuhnya seakan mematung seperti habis melihat hantu.

Lelaki itu berdiri di sana.
Lelaki yang paling tidak ingin ia temui.
Lelaki yang sudah mencuri hatinya lalu meninggalkannya.
Lelaki bernama Gabriel.

Gita sangat membenci lelaki ini hingga tidak ingin lagi melihat wajahnya. Ingin rasanya ia berteriak minta tolong. Tapi apa daya, mulutnya seakan membungkam suaranya. Saat ini yang bisa dilakukannya hanyalah berlari menjauh. Tapi kakinya membeku dan berat seperti batu.  Berlarilah kaki bodoh! Gita terus menerus merutuk dalam hatinya.

Sementara lelaki itu mulai berjalan perlahan menuju tempat Gita berdiri. Bunyi sepatu pantofel hitam yang mengetuk aspal terdengar sumbang di telinga Gita. Tidak banyak perubahan berarti yang tampak pada lelaki itu. Hanya pipinya yang tampak lebih tirus dari terakhir kali mereka bertemu.

Gita menggigit bibirnya. Rasa sakit yang ditimbulkan menyadarkan gadis itu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk mengingat kenangan sialan itu. Ia harus segera pergi dari hadapan Gabriel.  Tidak sedikitpun ada keinginan di hati Gita untuk bertemu apalagi mendengar suara lelaki itu lagi. Hatinya sudah terlalu sakit.

Kini Gabriel sudah berdiri menjulang di hadapan Gita dengan ekspresi tak terbaca. Lelaki itu membuka mulutnya sedikit seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi tiba-tiba Gita yang panik melemparkan buket bunga yang digenggamannya ke arah lelaki itu lalu berlari sekuat tenaga.

Lelaki itu hanya berdiri terperangah dengan tindakan yang sama sekali tidak ia duga itu. Sebuket bunga menghantam dadanya lalu jatuh ke dekat kakinya. Ia merunduk dan memungut bunga dari atas aspal. Matanya menatap nanar ke arah Gita yang terus berlari menjauh.

Gabriel tahu Gita tidak akan memaafkan dirinya semudah itu. Meninggalkan gadis yang dicintainya tanpa kabar dan sebab yang jelas merupakan kesalahan terburuk yang pernah dilakukannya. Ia sangat menyesal. Tapi keadaan saat itu meletakkannya dalam posisi yang rumit.

Kaki Gabriel melangkah ke arah mobil yang diparkir tidak jauh dari sana. Tadi ia sengaja menunggu di jalan yang biasa dilalui Gita saat pulang dari kantor. Ia menghibur hatinya sendiri dengan meyakini bahwa kali ini bukan saat yang tepat untuk menemui gadis itu.

Sabar. Benar juga. Bersabarlah, Gabriel. Mungkin ia harus menunggu sebentar lagi. Setidaknya saat ini Gita sudah mengetahui bahwa Gabriel telah kembali untuknya. Lagi pula ia sudah memiliki semua data mengenai gadis itu.

* * *
Semua lampu dalam ruangan itu dalam keadaan padam. Cahaya rembulan menyusup sedikit melalui celah yang bisa dilalui. Dalam suasana temaram itu, Gita meringkuk di atas tempat tidurnya. Duduk meyandarkan punggungnya ke dinding yang dingin. Gadis itu memeluk kedua lututnya. Pakaian kerjanya masih melekat walau sedikit kusut. 

“Aku mencintaimu, Gita. Sampai kapan pun aku akan selalu menjagamu.”

Tubuh Gita gemetar karena isakan demi isakan yang semakin terdengar jelas. Kata-kata yang dulu selalu diucapkan lelaki itu kembali terngiang. Pertemuan yang mengejutkan sore tadi sudah membuat luka di hati gadis itu kembali terbuka. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Gabriel masih punya muka untuk datang menemuinya. Tapi setelah dua tahun berlalu, untuk apa lelaki itu datang kembali?

Sekuat tenaga Gita mencoba melupakan Gabriel. Berusaha untuk tidak mencari tahu keberadaannya walaupun ia ingin. Maka, ia memilih untuk menyibukkan diri dengan kegiatan apa pun yang ia mampu. Beruntung, usahanya itu berhasil. Ia bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. Bahkan datang surat panggilan dari sebuah perusahaan ternama yang memintanya bekerja di sana. Gita tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Hingga saat ini sudah hampir setahun ia bekerja di perusahaan itu.

Gita kembali menangis tersedu-sedu. Kenangannya bersama Gabriel dalam benaknya muncul silih berganti seperti potongan-potongan film tak beraturan. Semua kenangan yang setengah mati ia coba lupakan dalam dua tahun terakhir. Tapi kemunculan Gabriel di hadapannya sudah menghancurkan segalanya.

Pertama kali Gita berkenalan dengan Gabriel adalah saat mereka menjadi panitia untuk sebuah acara di fakultas. Gabriel yang saat itu merupakan seniornya, ditunjuk menjadi ketua panitia. Setelah itu, mereka menjadi semakin akrab hingga akhirnya menjadi sepasang kekasih.

Banyak gadis yang merasa iri kepada Gita karena ia berhasil mendapatkan hati Gabriel yang tampan. Wajah lelaki itu memang memiliki komposisi tepat yang merupakan perpaduan antara Spanyol dan Indonesia. Di samping penampilan fisik yang menawan, Gabriel juga dikenal sebagai lelaki yang setia. Tidak pernah sedikit pun lelaki itu tampak mendekati gadis selain Gita.

Tapi lelaki itu meninggalkan Gita tanpa kabar.

Gita semakin merapatkan pelukan untuk dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa ia hidup di dunia ini sebatang kara dan akan seperti itu selamanya.  Tapi ia tidak ingin membiarkan dirinya terpuruk jatuh dalam lumpur kesedihan yang mendalam. Itu tidak akan terjadi. Tidak untuk lelaki mana pun. Tidak untuk bajingan seperti Gabriel.

* * *
Cahaya matahari yang hangat menelusup masuk melalui ventilasi ruangan. Gadis yang masih terlelap itu perlahan membuka matanya. Ia bangun lalu duduk di tepi tempat tidurnya. Entah kapan ia terlelap, tapi efek yang terjadi di pagi hari ini benar-benar buruk. Matanya bengkak. Tenggorokannya terasa kering. Kepalanya sakit seperti ditusuk-tusuk jarum.

“Jam berapa sekarang?” gumam Gita dengan suara parau.

Gadis itu melirik jam di kamarnya sambil menutup mulutnya yang menguap lebar. Astaga! Rasa kantuknya hilang dalam sekejap. Gita bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Bisa-bisa ia datang terlambat ke kantor jika terus bergerak seperti siput.

Jarak ke kantor tempat Gita bekerja memang cukup dekat. Dalam waktu kurang dari limabelas menit, ia bisa tiba di kantor dengan berjalan kaki. Tapi dalam waktu yang sempit seperti ini, Gita tidak mungkin bisa merasa santai. Ia ingin datang ke kantor dengan penampilan rapi dan suara yang tidak serak. Gadis itu masih menyempatkan diri untuk menyeruput secangkir teh hangat sebelum akhirnya berangkat ke kantornya dengan setengah berlari.

Baru saja Gita melangkahkan kakinya di jalan utama saat tiba-tiba sebuah cengkraman kuat di tangannya mengehentikan  langkahnya seketika. Ia ingin berteriak. Tapi suaranya tercekat saat menyadari bahwa tangan Gabriel yang sedang mencengkram kuat tangannya saat ini.

“Gita, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Gabriel dengan datar tanpa ekspresi.

Gita memandang Gabriel dengan pandangan penuh kebencian. “Tidak! Aku harus pergi bekerja sekarang!”

“Aku mohon, Gita. Dengarkan aku dulu.” Suara Gabriel sedikit meninggi sekarang. “Aku tidak pernah memintamu untuk memaafkan semua kesalahanku padamu. Aku menyadari bahwa aku tidak pantas untuk itu. Aku hanya memintamu untuk mendengarkan.”

“Aku menolak. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Sekarang lepaskan aku!” Gita meronta dan menarik tangannya dari Gabriel. Tapi lelaki itu malah memperkuat cengkramannya. 

“Aku tidak akan melepaskanmu sampai kau bersedia mendengarkan aku!”

“Brengsek kau! Lepaskan aku! Kau menyakiti tanganku!” jerit Gita sambil terus meronta.

“Aku tidak akan membiarkanmu pergi! Aku ingin kembali bersamamu. Aku ingin selalu menjagamu... seperti dulu!” 

Gita merasakan sakit saat mendengar perkataan Gabriel. Hal itu mengingatkannya kembali pada kenangan mereka berdua. Gadis itu sudah berhenti meronta sekarang. Tapi tubuhnya bergetar karena air mata yang tidak bisa ditahan lagi.

“Aku sudah melupakan semua kebersamaan kita. Aku bahkan sudah menganggap kau tidak pernah hadir dalam kehidupanku!”

Sengaja Gita mengatakan itu untuk membuat Gabriel mengerti seperti apa rasa sakit yang ditanggungnya. Tapi ternyata dampaknya di luar dugaan Gita. Wajah lelaki itu berubah pucat luar biasa. Seperti ada yang menghantam kuat tepat di jantungnya. Perlahan Gabriel melonggarkan pegangannya di tangan Gita.

Seperti tidak ingin kehilangan kesempatan yang berharga, Gita segera menarik kuat tangannya. Ia memacu langkahnya cepat untuk menjauh. Tanpa Gita sadari, sebuah mobil tengah melaju ke arahnya. Sedetik kemudian ia merasakan sesuatu yang keras menghantam tubuhnya. Bunyi klakson dan rem yang berdecit menghantarkan tubuhnya jatuh berdebam di atas aspal.

Gita merasakan rasa sakit luar biasa yang seolah menelan habis kesadarannya. Mungkin ini sudah saatnya ia kembali berkumpul dengan keluarganya di surga. Di tengah kesadaran yang terus menipis ia masih bisa mendengar suara Gabriel meneriakkan namanya.

* * *
Gita perlahan membuka mata. Langit-langit yang putih menyambutnya. Bau obat dan rumah sakit begitu memenuhi udara di sekitarnya. Ia mengernytikan dahinya lalu mulai merasakan genggaman yang hangat di tangannya. Gadis itu menggerakkan kepalanya dan bertatapan langsung dengan Gabriel. Lelaki itu duduk di samping tempat tidurnya dengan penuh khawatir.

Apa Gabriel menangis? Pertanyaan itu yang muncul seketika dalam benak Gita saat melihat mata lelaki itu yang tampak basah. Tapi sedetik kemudian ia tertawa sinis dalam hatinya. Mana mungkin lelaki seperti Gabriel menangis, huh? Mungkin ini hanya efek dari pandangannya yang masih terasa kabur. Lelaki yang tak memiliki hati seperti Gabriel mana mungkin menangis apa lagi untuk gadis bodoh seperti dirinya.

Gabriel mengecup jemari Gita dengan lembut. “Syukurlah kau sudah sadar.” Entah mengapa suaranya terdengar serak. “Aku menyesal tidak bisa menjagamu dengan baik.”

Gita merasa muak. Ingin rasanya ia menarik tangannya dari Gabriel lalu berlari pergi. Tapi apa daya, tubuhnya masih terasa sangat lemas dan tak bisa leluasa digerakkan.

“Apa yang terjadi?” gumam Gita saat merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Ia memegang kepalanya yang dibalut perban.

“Kau mengalami kecelakaan.” Wajah Gabriel sedikit meringis saat teringat kejadian mengerikan yang terjadi di depan matanya tadi. “Sebuah mobil menabrakmu. Tapi syukurlah, dokter bilang, tidak ada luka yang serius. Kau hanya perlu istirahat. Aku juga sudah menelepon ke kantor  dan meminta izin untukmu.”

Gita menghela napas lega saat mendengar semua itu. Walaupun sedikit ada perasaan sedih yang mengganjal karena itu berarti ia tidak jadi berkumpul dengan keluarganya. Ia harus kembali merasakan kesendirian di dunia yang luas ini.

“Gita.” Gabriel menyebut nama gadis itu dengan begitu lembut. “Aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk membahas hal ini. Tapi aku ingin kau mendengarkan aku.”

Hening. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Gita. Dan Gabriel merasa tidak tahan dengan suasana yang menyiksa itu. Ia menghela napas panjang lalu berkata, “Aku mencintaimu, Gita. Sungguh. Kau mungkin tidak akan percaya karena apa yang sudah aku lakukan padamu. Tapi dua tahun yang lalu aku benar-benar berada dalam posisi yang... rumit.”

Gita memilih untuk tetap bungkam. Ia memejamkan matanya. Berusaha menghalau air mata yang nyaris menetes ke pipinya.

“Aku tahu kau tidak akan dengan mudah memaafkanku. Lagi pula aku juga tidak pantas untuk dimaafkan.” Gabriel tersenyum pahit di dalam kata-katanya. “Aku hanya ingin kau mendengarkan. Setelah itu kau boleh pergi kemana pun dan menemukan lelaki yang lebih baik. Jangan pernah lagi kau pergi seperti tadi. Melihatmu jatuh tergeletak... membuatku... membuat jantungku seakan berhenti berdetak.”

Gita tertegun. Melalui tangan Gabriel di tangannya, ia merasakan tubuh lelaki itu gemetar menahan perasan. Ia memberanikan diri menatap Gabriel. Tapi lelaki itu sendiri justru sedang menundukkan kepala. Matanya menerawang seperti sedang mengingat masa lalu.

“Dua tahun yang lalu, sebenarnya aku berniat... untuk melamarmu.” Gabriel mengigit bibir bawahnya dengan gugup. “Kedua orang tuaku di Spanyol sudah menyetujuinya tapi mereka ingin bertemu langsung denganmu. Saat itu aku langsung membeli tiket untuk kita berdua ke sana. Tapi sebuah peristiwa terjadi sehingga aku mempercepat kepulanganku tanpa sempat mengatakan atau berpamitan padamu.”

Gabriel mengangkat wajahnya. Lelaki itu menatap Gita dengan mata hijaunya. “Apa kau mendengar, berita tentang gempa bumi yang melanda Spanyol dua tahun yang lalu? Keluargaku menjadi korban bencana itu. Kedua orang tuaku meninggal, sementara adikku terluka parah karena tertimpa puing-puing bangunan. Dia koma selama hampir sebelas bulan.”

Gita kembali tertegun. Jantungnya seperti diremas saat mendengar fakta yang dipaparkan Gabriel. Ia tahu benar bagaimana rasanya ditinggalkan seperti itu. Ingatan saat kecelakaan yang merenggut keluarganya, muncul dalam benaknya. Kali ini, Gita menggenggam hangat tangan Gabriel. Ia ingin menyalurkan semangat ke dalam hati lelaki ini.

“Lalu, kenapa kau tidak pernah menghubungiku?”

“Aku sangat ingin tapi tak bisa. Seminggu setelah itu, aku berkali-kali mencoba mengirim pesan melalui akun media sosialmu, tapi semuanya sudah tidak aktif. Begitu juga dengan nomor teleponmu. Aku juga tidak mengetahui alamat barumu.”

Benar juga. Saat itu Gita memang sengaja cepat-cepat menghapus semua akun media sosialnya. Pindah tempat tinggal dan juga mengganti nomor teleponnya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Gabriel akan mencoba untuk menghubunginya. Saat itu yang ada dipikirannya hanya kenyataan bahwa lelaki itu sudah meninggalkannya tanpa sebab. Hilang seperti ditelan bumi. Dan Gita hanya ingin melupakan segala hal tentang lelaki itu.

“Dalam suasana yang kalut itu, aku dituntut untuk mengambil alih kepemimpinan ayahku di perusahaan.  Juga mengurus adikku di rumah sakit. Dan saat itu aku bersumpah bahwa setelah semua keadaan stabil, aku akan kembali ke hadapanmu. Walaupun... dengan kemungkinan bahwa aku sudah hilang dari hatimu.” Suara Gabriel mendadak serak.

Lelaki itu membelai pipi Gita dengan penuh kasih sayang. “Berbulan-bulan aku melihat adikku terbaring di ranjang rumah sakit, dan sekarang aku harus melihat hal yang sama terjadi padamu. Benar-benar... aku benar-benar merasa menjadi lelaki yang tidak berguna. Tidak bisa menjaga orang yang aku sayangi.”

Gita menatap Gabriel dengan lembut. Amarah dan kebencian yang selama ini ia pupuk kepada sosok di hadapannya, perlahan mulai sirna. “Dan syukurlah sekarang kita bisa bertemu kembali.”

“Ya. Sebenarnya... perusahaan tempatmu bekerja sekarang adalah salah satu cabang perusahaan yang dimiliki ayahku. Aku yang meminta untuk mengirimkan surat perekrutan kerja ke fakultas. Dengan begitu aku akan dengan mudah mendapatkan alamat tempat tinggalmu.”

Gita tertawa kecil. Pantas saja lelaki ini dengan mudah mencegatnya di tengah jalan pulang. “Astaga- bukankah itu tindakan yang curang?”

Gabriel mengangkat bahunya lalu tersenyum. “Tidak ada cara lain yang terpikirkan. Lagi pula cara itu cukup berhasil untuk bertemu denganmu.”

Gita membelai kulit Gabriel yang kecokelatan dan membalas senyuman lelaki itu. “Terima kasih sudah kembali.”

Gabriel kembali menundukkan kepalanya lalu bertanya dengan suara tercekat. “Lalu... apa sudah ada lelaki yang mengisi hatimu sekarang?”

Gita tidak langsung menjawab. Ia mengambil jeda sebentar tapi terasa begitu menyiksa bagi Gabriel.

“Ada.”

Jawaban itu seketika langsung membuat jantung Gabriel seakan ditusuk sebuah belati. Begitu cepat dan melukainya dengan hebat.

Gita menahan napas saat melanjutkan kata-katanya. “Lelaki itu kau, Gabriel. Apa pun perasaanku terhadapmu, entah benci atau cinta, tapi hanya kau yang selalu aku pikirkan.”

Binar kebahagiaan terbit di mata Gabriel. Ingin rasanya ia memeluk gadis ini dengan erat sebagai ungkapan kebahagiaannya. Tapi ia sadar bahwa kondisi tubuh Gita masih lemah. Akhirnya, Gabriel berdiri dari duduknya lalu menundukkan kepala mengecup dahi Gita.

“Terima kasih,” gumam Gabriel. Bergegas lelaki itu memutar tubuhnya menghadap meja di samping tempat tidur Gita. Air matanya mulai menetes dan ia terlalu malu untuk menunjukkannya di hadapan gadisnya.

Gita merasakan basah di pipinya. Padahal ia tidak mennagis. Lalu apakah ini air mata Gabriel? Ia menatap punggung lelaki yang tampak sibuk dengan sesuatu di atas meja. Ketika baru membuka mulut hendak bertanya, Gabriel sudah berbalik dan tersenyum padanya. Kening Gita mengernyit heran. Tidak ada tanda-tanda lelaki itu menangis.

“Ini sudah waktunya makan. Kau harus berusaha untuk mengembalikan kondisi tubuhmu,” kata Gabriel sambil mengatur ranjang agar posisi kepala Gita lebih tinggi. “Aku akan menyuapimu. Jadi berjanjilah untuk cepat sembuh.”

Gita menyantap makanannya dengan lahap. Bubur itu terasa lebih lezat karena Gabriel sudah kembali ke sisinya sekarang. Berkali-kali Gita tersenyum tak mampu menyembunyikan kebahagiaannya.  Hingga lelaki di hadapannya mengernyitkan dahi karena kebingungan.

Selesai menyuapi gadisnya, Gabriel kembali menggenggam tangan Gita. Ia mengecup lembut jemari gadis itu. Lalu berbisik,“Getelah kau diperbolehkan pulang dari rumah sakit, ikutlah aku ke Spanyol.”

Apa? Gita menajamkan pendengarannya. “Kenapa? Maksudku- untuk apa?”

“Aku ingin kau bertemu dengan adikku, satu-satunya keluargaku saat ini.”

Gita harus mengingatkan dirinya untuk bernapas. Ia sudah terlalu bahagia saat menemukan fakta bahwa  Gabriel masih mencintainya. Tidak seperti yang ia pikirkan selama ini. Dan sekarang lelaki itu meminta dirinya untuk ke Spanyol bersamanya. Untuk bertemu dengan anggota keluarganya. Gita merasa tidak percaya. Apa ini mimpi?

“Jadi, apa jawabanmu?” tanya Gabriel tidak sabar.

Gita menganggukkan kepala seraya tersenyum. Ia menjawab tanpa perlu memikirkannya berkali-kali. “Aku akan ikut denganmu ke Spanyol.”

Mata Gabriel terbelalak tidak percaya. Ia berharap ini bukan mimpi di antara tidurnya. Untuk lebih meyakinkan hatinya sendiri, ia menempelkan tangan Gita ke pipinya. Merasakan setiap kelembutan kulit gadis itu. Lalu ia berkali-kali menghujani tangan Gita dengan kecupan-kecupan ringan.

“Terima kasih,” gumam Gabriel. “Aku mencintaimu, Gita. Aku akan selalu menjagamu dan juga cinta kita.”

Gita mengerjapkan matanya. Ia merasa takjub dengan apa yang terjadi. Lelaki yang meninggalkannya kini kembali hadir dengan membawa cinta yang sama. Sepertinya jarak yang sempat membentang di antara mereka cukup menggali kerinduan yang sangat dalam. Tak henti-hentinya Gita mengucap syukur di dalam hati. Kini ia tahu, tidak ada manusia yang diciptakan sebatang kara di dunia ini. Hal yang terpenting adalah mau atau tidaknya kita membuka hati.

Air mata kebahagiaan menitik di sudut mata Gita. Dengan lembut Gabriel mengusap air matanya lalu tersenyum. Sedetik kemudian, Gita merasakan bibirnya disentuh ringan oleh bibir Gabriel. Baru saja ia dicium oleh seorang lelaki yang menjaga hatinya demi gadis seperti dirinya.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D