Selasa, 31 Maret 2015

Accidentally Loving You part 3 End


Suara parau itu membuatku berjingkat. Sesegera mungkin aku melepaskan diri dari lelaki di hadapanku. Jantungku berdebar kencang seolah bersiap untuk membuat sebuah ledakan di kepalaku.

"Will—"

Suara itu begitu tegas dan mantap. Rahangnya mengeras. Matanya berkilat marah, memancarkan aura kejam yang siap mencabik-cabik kami kapan saja. Tentu saja itu membuatku gugup. Seumur hidup aku tak pernah melihatnya semarah ini.

"Apa yang kau lakukan dengannya?" Nadanya begitu mengancam. Langkah sepatunya beradu dengan lantai, mendekat ke arah kami. Kemudian dengan kasar ia melempar bunga di tangannya tepat ke wajah Will. Will bergeming, menatap Shane dengan tajam.

"Aku mencintainya." Will berkata dengan tegas, membuat Shane mengerang penuh kemarahan. Kemudian Shane menatapku. Menatapku lekat-lekat, seolah hendak menerkamku.

"Apa kau masih mengingatku, Kirana?" Tanya Shane tenang, ah— ini bukan pertanyaan, ini sindiran. Aku menggigit bibirku keras-keras. Entah kenapa aku berharap gigitanku dapat mengeluarkan darah dari bibirku.

"Jangan bercanda Shane. Te— tentu saja aku mengingatmu." Aku gugup. Dan saat itu juga aku merasa aku telah mengeluarkan jawaban yang salah.

"Lalu apa yang kau lakukan dengan mr. William Wright disini?" Shane menegaskan nama Will. Bagus. Aku memang sudah mengeluarkan jawaban yang salah. Dan aku yakin sebentar lagi adalah saatnya eksekusi untukku.

"Maafkam aku Shane, semua terjadi begitu saja. Aku— aku tak bermaksud mengkhianatimu. Tapi—"

"Tapi apa Kirana?" Shane memotong ucapanku dengan kasar. "Dan kau Will, bagaimana bisa kau bermain-main dengan kekasih adikmu sendiri, hah?" Shane mengepalkan tangannya kuat-kuat, mencoba menahan darahnya yang telah mendidih. Wajah tampannya begitu mengerikam kali ini. Membuatku hampir tak mengenalinya.

"Shane, aku tak tahu jika gadis ini yang kau maksud. Jika saja aku tahu sebelumnya, mungkin aku tak akan mendekatinya."

"Kau keterlaluan Will!" Shane melepaskan sebuah pukulan ke wajah Will, kemudian disusul dengan pukulan yang bertubi-tubi. Dengan segala kekuatan yang kumiliki aku mencoba untuk melerai mereka, namun sayang kekuatanku tak cukup mampu untuk menandingi Shane yang tengah mengamuk.

"Shane, maafkan kami. Kumohon jangan seperti ini." Aku memeluk Shane dan terus memohon pada Shane untuk memaafkan kami. Aku tahu, Shane tak akan memaafkanku, tapi aku tak bisa membiarkan Will begitu saja.

Lelaki itu perlahan mundur dari hadapan Will, membuatku semakin erat memeluknya. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku tahu persis ini adalah kesalahanku. Tangannya menyentuh tanganku, kemudian perlahan melepaskan pelukanku dari tubuhnya. Oh Tuhan, aku yakin sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Apakah kau akan menangisiku seperti ini ketika aku berada di posisi Will?" Aku mengerutkan kening menatap wajah merah Shane. Lelaki itu terus menatapku lekat-lekat. Ada yang berbeda dari wajah lelaki itu. Matanya yang memerah mulai berkaca-kaca.

Tangannya perlahan menyentuh pipiku, mengusap air mata yang mengalir membasahi wajahku. Kemudian ia memelukku dengan erat. Punggungnya bergetar. Dan saat itu aku tahu dengan pasti bahwa Shane menangis. Aku pun melingkarkan tanganku untuk memeluknya.

"Aku selalu tahu bahwa kau tak pernah mencintaiku, Kirana." Bisik Shane di telingaku. Kemudian ia mengusap air matanya dan mencoba menghilangkan rasa sedih dari wajahnya. Lelaki itu kemudian menyerahkan sebuah kotak berwarna biru gelap kepadaku.

"Apa ini?" Tanyaku saat Shane berusaha meletakkan kotak itu dalam genggamanku.

"Aku tak pernah berhenti berharap untuk menginginkanmu menjadi istriku. Namun, kurasa aku mengerti apa yang kau rasakan padaku. Mungkin ini akan menjadi hadiah perpisahan kita. Semoga kau bahagia Kirana. Selamat tinggal."

Itu kalimat terakhir yang ia ucapkan sebelum ia melangkah meninggalkanku dan Will. Perasaan bersalah bergelayut dalam hatiku. Aku tahu lelaki itu begitu tulus padaku. namun hingga detik ini, aku tak mampu untuk membalas perasaannya padaku.

Aku membuka kotak yang diberikan Shane padaku. Sebuah cincin dengan mata berwarna biru yang begitu cantik. Air mata kembali membasahi wajahku, kemudian sepasang lengan yang kuat merengkuhku ke dalam pelukannya.

"Apa kau mencintainya?" Will yang sejak tadi terdiam melontarkan sebuah pertanyaan padaku. Aku terdiam sesaat, mencari tahu bagaimana sebenarnya perasaanku.

"Entahlah Will, kurasa aku hanya menyukainya."

"Kirana, aku benar-benar tak tahu bahwa kau adalah gadis yang selalu ia ceritakan padaku. Jika saja aku tahu, aku tak akan menghancurkan hubungan kalian." Will mendesah. Ya, ini salahku. Aku tahu mereka adalah Wright bersaudara. Namun perasaanku pada Shane tak sebesar perasaanku pada Will. Dan ya, aku mencintai Will.

"Maafkan aku Will. Sebenarnya aku sudah menyadari bahwa kalian bersaudara sejak seminggu yang lalu. Tapi aku merahasiakannya karena aku benar-benar tak ingin kehilanganmu." Air mata kembali mengalir membasahi wajahku. Aku tahu apa yang kulakukan memang keterlaluan. Aku mengorbankan perasaan orang lain demi menjaga perasaanku.

Will menengadahkan kepalaku dengan kedua tangannya kemudian mengusap air mata di wajahku. Perlahan ia mendekatkan bibirnya, kemudian mengecup bibirku.

"Kirana, menikahlah denganku." Ujar Will mantap. Akupun mengangguk dan mengembangkan senyum di wajahku. Air mata kembali membasahi wajahku, tapi kali ini, itu adalah air mata kebahagiaan.

Tamat

Senin, 30 Maret 2015

Once Upon A Time In The Forest Part 2



Cahaya keemasan menerpa dan menciptakan bayang-bayang hitam di atas lantai marmer. Di samping jendela besar itu terdapat meja bundar yang terbuat dari akar-akar pohon yang saing menjalin. Diff, Selva, dan Forst duduk mengelilingi meja bermandikan cahaya bulan.

“Jadi, bagaimana kau bisa masuk ke Derion, Forst?” tanya Diff kemudian menyesap perlahan teh dalam cangkirnya.

Mata Forst bergerak gelisah. Tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Ia sendiri bahkan tidak memahami bagaimana ia bisa masuk ke negeri ini. “Saya... tidak tahu bagaimana saya bisa datang kemari.”

“Forst,” Diff berkata dengan suara yang lembut. “Bukankah aku sudah berkata padamu untuk tidak bersikap formal seperti itu?”

Forst menunduk rikuh. “T-tapi... Selva yang menyuruhku untuk bersikap sopan kepada Anda, Ratu Diff....”

“Hei!” Selva menggeram pelan saat mendengar namanya disebut. Hampir saja ia meggebrak meja kuat-kuat andaikan tidak ada Diff. Lelaki ini benar-benar menyebalkan!

Diff tertawa kecil hingga menyentuh matanya. “Jangan terlalu percaya pada Selva, Forst. Dia memang seperti itu sejak dulu. Kaku dan ketus. Tapi jauh di dalam hatinya, dia menyimpan kelembutan.”

Sontak pipi Selva berubah merah mendengar kata-kata tersebut. “Jangan mengolok-olokku, Diff.”

“Kita semua yang ada di sini adalah sahabat, kau tahu? Jadi berhentilah memanggilku dengan sebutan Ratu. Aku ingin kalian semua menganggapku sebagai teman terbaik.” Senyuman Diff bersinar samar. “Jangan menciptakan dinding tidak terlihat yang akan memisahkan kita.”

Selva menganggukkan kepalanya. Ia sudah mendengar penjelasan ini berkali-kali. Tapi entah mengapa kali ini Diff terdengar sangat serius. “Baiklah, Diff.”

“syukurlah kau akhirnya mengerti, Selva.” Diff melengkungkan senyum, kemudian mengalihkan padangannya kepada Forst. “Bagaimana denganmu, Forst?”

Forst tergagap. Ia menegakkan punggungnya karena gugup. “B-baiklah jika itu keinginanmu, D-di... Diff.”

Diff memiringkan kepalanya ke satu sisi. Wajahnya sumringah berhias senyuman lebar. “Bagus.”

“Jadi, bagaimana kau bisa sampai kemari, Forst?” tanya Diff sekali lagi.

“Entahlah,” Forst mengangkat bahunya. “Aku terbiasa tidur di dalam hutan. Jadi, aku juga bingung kenapa hari itu aku terbangun di hutan ini.”

“Kau tidur di hutan?” Diff mengenyitkan dahi. “Kenapa? Bukankah biasanya manusia tinggal di rumah?”

Forst menundukkan kepala, menyembunyikan kesedihan wajahnya. “Bagiku, hutan adalah rumah dan tanaman adalah teman....”

“Apa maksudmu?” tanya Diff heran. “Bukankah

“Diff, apa kau di sana?”

Tiba-tiba sebuah suara yang maskulin menginterupsi kalimat Diff. Sedetik kemudian, seorang lelaki dengan tubuh menjulang melangkah anggun ke dalam ruangan itu. Kulit pucat lelaki itu tampak begitu kontras dengan penampilannya yang serba hitam. Kecuali pupil mata kanannya yang berwarna merah.

“Dash!” Diif memekik riang lalu menghambur ke dalam pelukan lelaki itu.

Diff dan Dash berpelukan hangat mengungkapkan kerinduan. Diff menghirup dalam-dalam aroma Dash yang khas. Sementara Dash menenggelamkan hidungnya dalam rambut merah Diff. Mereka tidak bertemu selama tiga hari, tapi rasanya sudah terpisah bertahun-tahun lamanya. Temaram cahaya bulan menambah suasana romantis di ruangan itu.

Selva tersipu melihat keharmonisan raja dan ratunya itu. Ia berharap suatu hari nanti akan ada lelaki yang bisa mencintainya seperti itu. Tapi sedetik kemudian, mata gadis itu mendelik kesal. Ia melihat Forst  tampak begitu terang-terangan menatap ke arah Diff dan Dash!

“Hei!” geram Selva sambil menyentuh siku Forst, menarik lelaki manusia itu dari lamunannya. “Jaga sopan santunmu.”

Forst menoleh ke arah Selva, lalu berbisik lirih. “Kenapa mata kanan mereka berdua seperti ditukar?”

“Itu adalah prosesi pernikahan bagi kaum kami,” jawab Selva dengan suara yang perlahan. “Dan kudengar... itu sangat... menyakitkan.”

“Menyakitkan?” Forst mengernyit heran.

Selva menganggukkan kepala. “Prosesinya memang tidak rumit. Tapi yang kudengar, rasanya... seperti ingin mati saja.”

 “Baiklah. Itu mulai terdengar menyeramkan.” Forst menelan ludah. “Lalu bagaimana dengan mata mereka... berbeda warna?”

“Prosesi menyakitkan dalam pernikahan itu memang karena pertukaran mata kanan antar kedua mempelai.”

“Pertukaran mata?” Forst sedikit meninggikan suaranya karena merasa ngeri. Sedetik kemudian, Forst menegakkan punggungnya karena Selva tampak mendelik marah kepadanya. Sekilas, mata hijau itu melirik ke tengah ruangan.

Forst menggerakkan kepalanya, menoleh ke arah lirikan mata Selva. Rupanya suara Forst tadi sudah menginterupsi pasangan peri di tengah ruangan itu. Mereka saling melepas pelukan dan mulai berjalan ke arah Selva dan Forst.

Forst menunduk dengan perasaan bersalah. Suaranya nyaris tidak terdengar. “M-maaf....”

“Hei, Selva.” Dash menyapa ramah dengan suara maskulinnya.

Selva bergegas bangkit dari duduknya kemudian menunduk penuh rasa hormat. “Selamat datang, Raja Dash.”

“Oh, ayolah, Selva. Berhenti memanggilku raja. Bukankah kita semua bersahabat?”

“Selva memang keras kepala, Dash. Tadi sebelum kau datang, aku sudah mengingatkannya sekali lagi,” timpal Diff. “Sampai kapan kau akan seperti itu, Selva?”

Bahu Selva merosot turun. Ia merasa kalah dengan sikap ramah dari Diff dan Dash. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk menuruti saja permintaan itu. Padahal ia hanya ingin menunjukkan contoh yang baik kepada tamu manusia mereka. “Baiklah kalau begitu, Diff... Dash....”

“Itu lebih baik,” ujar Dash lantas tersenyum.

“Dash... hari ini kita kedatangan tamu penting.” Diff menyentuh bahu Forst hingga lelaki itu mengangkat wajahnya. “Namanya Forst.”

“Selamat datang di Derion, Forst,” sambut Dash dengan senyuman ramah.

Begitu mendengar suara Dash yang penuh wibawa, sontak Forst bangkit dari duduknya. Sedetik kemudian, ia menunduk hormat seperti yang dilakukan Selva tadi.

“Tidak perlu terlalu formal seperti itu, Forst.” Dash tertawa kecil. Dengan kedua tangannya yang kokoh, ia mengangkat bahu Forst hingga kini mereka saling berhadapan.  “Aku harap bisa mengobrol lama denganmu, Forst. Aku ingin bertanya mengenai dunia manusia. Tapi untuk sekarang bisakah kalian meninggalkan kami berdua? Ada hal penting yang ingin kubicarakan dengan Diff.”

“Tentu saja, Dash.” Selva menjawab cepat.

“Kau bisa mengakrabkan Forst kepada teman-teman kita.”

“Baiklah,” Selva menganggukkan kepala dengan patuh. Dalam sekejap, kakinya sudah melangkah lebar. Sementara tangannya menarik tangan Forst untuk mengajak lelaki itu meninggalkan ruangan.

***

Forst duduk di ujung meja yang dipenuhi beberapa peri dengan warna masing-masing. Selva mengajaknya kembali ke ruangan utama yang pertama kali mereka datangi tadi. Selva memperkenalkan Forst kepada teman-temannya. Dan Forst langsung lupa nama-nama mereka yang terdengar sangat asing. Sedetik kemudian, Selva mulai mengobrol dengan teman-temannya. Mereka semua terdengar penuh rasa ingin tahu bagaimana Selva bisa bertemu dengan manusia di hutan terlarang ini.

Banyak dari mereka bersikap begitu ramah dan bersahabat kepada Forst. Dan entah mengapa ia merasa nyaman di tengah-tengah para peri ini. Rasanya seperti berkumpul dengan teman lama.  Walaupun tidak sedikit juga yang melemparkan tatapan penuh curiga kepada Forst. Mungkin itu akibat dari kata-kata penyusup yang dilontarkan Selva sebelumnya.

Benar juga. Di mana gadis galak itu? Forst memutar kepalanya untuk mencari keberadaan Selva. Tapi nihil. Gadis itu tidak terlihat dalam ruangan besar ini.

“Apa kau tahu di mana Selva?” tanya Forst pada gadis di sebelahnya. Rambut gadis itu ikal berwarna ungu. Dan Forst lupa namanya.

“Selva?” Dahi gadis itu mengernyit sejenak. Kepalanya dimiringkan sedikit, lalu ia tersenyum. “Dia biasanya suka menyendiri di balkon.”

“Terima kasih,” Forst tersenyum sambil menatap wajah gadis itu. Dan entah mengapa, ia tiba-tiba teringat nama gadis ini. Nama yang tidak terlalu sulit diucapkan sebenarnya. “Saki.”

Mata bulat Saki menyipit karena senyuman. “Terima kasih kembali, Forst.”

Forst beranjak dari duduknya. Ia melangkahkan kaki menuju pintu kayu yang ditunjuk oleh Saki. Perlahan, ia mendorong daun pintu itu hingga terbuka. Beberapa langkah dari pintu, Forst bisa melihat Selva sedang berdiri di dekat birai balkon. Kedua sikunya dilipat di atas birai. Sepasang sayap transparannya terkulai di punggung. Sementara kepalanya tertunduk dengan rambut hijau melambai diembus angin malam.

Perlahan tanpa suara, Forst mendekati Selva. Tapi tiba-tiba langkah lelaki itu terhenti. Cahaya bulan di atas sana membuat sesuatu di sudut mata Selva tampak berkilau. Dahi Forst mengernyit heran. Apa itu? Mungkinkah itu... air mata?

“Selva?” Forst terpaku lalu bergumam perlahan. Tapi ternyata cukup mampu membuat gadis itu menyadari keberadaannya.

Selva menolehkan kepalanya. Sedikitpun ia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. “Forst?” Cepat-cepat gadis itu mengusap sudut mata dengan jemarinya. Lalu ia berkata dengan nada ketus seperti sebelumnya. “Apa yang kaulakukan di sini?”

Forst menelan ludah. Entah mengapa ia merasa bersalah karena sudah melihat gadis itu menangis. Suasana canggung tidak terelakkan lagi. Otak Forst berpikir cepat menemukan alasan yang masuk akal.

“A-aku tidak tahu kau ada di sini,” ujar Forst sedikit tergagap awalnya. Ia berdiri di dekat birai balkon tiga langkah dari tempat Selva berdiri.  Lalu menengadahkan kepalanya ke langit. “Aku ke sini untuk melihat... bulan.”

Lalu tiba-tiba Forst menyadari sesuatu. Punggungnya menegak. Sepasang mata hijaunya terbelalak. Kepalanya menoleh kaku ke arah Selva. “Kenapa kita bisa melihat bulan dari sini? Bukankah kita berada di bawah tanah?”

Tanpa dinyana, Selva tertawa lepas melihat ekspresi Forst. “Ini semua merupakan berkah dari kemampuan mantra para peri yang ada di sini. Sehingga tanah bisa menjadi sebening kaca jika dilihat dari bawah sini.”

Forst hanya diam dan menunggu Selva melanjutkan ceritanya.

“Derion sendiri dihuni enam ras dengan kemampuan dan ciri khas maisng-masing.” Selva mulai bercerita seperti sedang membacakan dongeng sebelum tidur. “Ras Mossion yang serba ungu, memiliki kemampuan mantra yang sempurna. Ras Kitrion kuning disertai kemampuan arsitektur untuk membangun bangunan yang kokoh. Ras Sylvoin biru, pandai menciptakan sihir ilusi yang mampu menipu musuh. Kemudian ras Mavron hitam dan ras Kokkinon merah yang merupakan dua ras terkuat sehingga hidup sebagai rival abadi. Dan... tentu saja ras Prasion hijau dengan kemampuan membuat senjata.”

Melalui ekor matanya, entah mengapa Forst menangkap kegetiran dari ekspresi Selva saat gadis itu menceritakan tentang rasnya. Apakah itu menjadi penyebab gadis itu menangis?

“Lalu apakah ras Mavron dan Kokkinon tidak memiliki kemampuan yang istimewa?” Forst mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Semoga saja Selva bisa melupakan kesedihannya. Tapi hei untuk apa ia peduli pada perasaan Selva?

“Mereka memiliki kemampuan untuk strategi pertarungan dan juga pergerakan yang cepat.” Selva menjelaskan dengan perasaan antusias. “Dan yang lebih istimewa, mereka bisa dengan mudah menguasai kemampuan ras lain. Walaupun tidak sempurna.”

Forst menganggukkan kepala. Dalam benaknya terbayang Dash dan Diff. Pantas saja mereka yang menjadi raja dan ratu di sini. Mereka pasti memiliki kemampuan yang sangat hebat.

“Dan selama berabad-abad, keenam ras tersebut tidak pernah hidup damai. Terutama ras Mavron dan Kokkinon. Memang benar kami tidak pernah berperang dan saling menyerang, tapi jauh dalam hati masing-masing kami saling membenci. Itulah mengapa haram hukumnya untuk memasuki hutan terlarang yang menjadi perbatasan wilayah antar masing-masing ras.” Selva menengadahkan kepala menatap ke arah bulan. “Syukurlah, aku bertemu dengan Diff dan Dash dan juga teman-teman lain di sini.”

Forst hanya bungkam mendengar cerita Selva. Gadis itu memang benar. Aura persaudaraan di sini benar-benar membuat siapa pun merasa tenang.

“Aku merasa iri dengan kaummu, Forst,” ujar Selva sambil mengulum senyuman. “Manusia bisa hidup berdampingan dengan damai tanpa peduli apa warna kalian. Kau bahkan rela menolongku walaupun tidak mengenalku sama sekali.”

Mendengar hal itu, Forst mencengkram erat birai balkon hingga buku-buku jarinya memutih. Sekelebat kenangan buruk menghantam ingatannya. Kini kepalanya mulai terasa sedikit pening.

“K-kau tidak mengenal manusia dengan baik, Selva.” Forst menggeram dengan gigi yang bergemeletuk.

Selva menatap ngeri melihat perubahan ekspresi Forst.

“Banyak manusia membenciku karena... aku berbeda.” Forst menatap wajah Selva. Lelaki itu tersenyum terpaksa. Bahkan senyuman itu tidak menyentuh matanya. “Bahkan orang tua kandungku tega mneinggalkanku hanya karena warna mataku.”

Mata Selva mengerjap beberapa kali. Ia masih berusaha mencerna kata-kata Forst. Tapi sepasang mata hijau itu memang memancarkan kesedihan yang mendalam. Baru saja, bibir Selva terbuka untuk mengucapkan kata penghibur. Tapi suara Dash terdengar menggema dari dalam ruangan. Akhirnya, mereka berdua bergegas melangkah kembali ke dalam ruangan.

“Teman-teman sekalian,” ucap Dash di tengah-tengah ruangan. Diff terlihat mendampinginya dengan wajah khawatir. “Menurut berita yang kudengar, akan ada penyerangan kepada saudara kita dalam kurun waktu dua minggu. Dan mereka meminta bantuan kita untuk menghalau penyerangan itu. Apakah kalian bersedia?”

Suasana ruangan sontak menjadi riuh rendah. Seluruh yang ada di ruangan menyerukan kesediaan mereka.

“Dan Forst... maukah kau bergabung bersama kami?” tanya Dash sambil menggedikkan dagunya kepada Forst, membuat semua mata langsung terpusat kepada Forst.

Forst benar-benar terkejut. Ia menunduk rikuh. Sementara seluruh mata memandangnya. Matanya melirik ke arah Selva yang bersandar pada pintu di belakang mereka. Tapi gadis itu malah menepuk hangat bahunya, menyalurkan dukungan persahabatan.

“T-tentu saja.” Akhirnya Forst bersuara. “Tapi bolehkah saya pulang sebentar untuk menemui teman-teman?”

***

Pemandangan pagi ini tampak begitu asri. Cahaya matahari pagi mulai menerpa langit yang hitam, menandakan fajar akan segera tiba. Bulir-bulir embun tampak membasahi ujung-ujung dedaunan yang hijau. Karen berjalan perlahan sambil mengisi paru-parunya dengan udara segar. Sementara mulutnya masih sibuk mengunyah roti yang menjadi sarapan pradininya.

Karen meremas  kertas pembungkus sarapannya hingga menjadi bulatan. Ia melemparkan kertas itu ke tanah dengan perasaan kesal. Matanya menatap kertas yang menggelinding dan berhenti di bawah batang pohon yang kokoh.

Karen mendengus dengan gumpalan perasaan dalam hatinya. Entah mengapa, ia jadi merasa kesal setiap kali melihat pohon ataupun tumbuhan. Mungkin itu semua akibat dari terlalu lama dalam laboratorium bersama seorang profesor yang ambisius.

Kurang lebih dua tahun terakhir, Karen bekerja sebagai asisten profesor yang sedang melakukan penelitian terhadap tanaman. Tapi tampaknya, penelitian itu belum juga berhasil. Kekurangan dana merupakan salah satu penyebab utama kegagalan penelitian.

Karen merasa bingung memikirkan penelitian itu hingga ia terjaga semalaman. Dan akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan dan tanpa sadar tiba di tepi hutan dekat kota tempat tinggalnya.

“Andai saja ada yang bisa berbicara dengan tanaman-tanaman ini.”

Kata-kata profesornya kemarin malam terngiang di telinga Karen. Apakah profesor itu sudah terlalu frustasi hingga mengucapkan kata-kata yang tidak masuk akal seperti itu? Mana mungkin ada manusia yang bisa berbicara dengan tanaman?

Tiba-tiba Karen mendengar suara gemerisik dari dalam hutan. Ia menghentikan langkahnya dan meningkatkan kewasapadaannya. Beragam kemungkinan memenuhi benaknya. Bisa saja itu harimau atau serigala yang tinggal di dalam hutan.

Karen menelan ludah. Ia merasa ketakutan dengan pikirannya sendiri. Perlahan dan nyaris tanpa suara ia bergerak mundur selangkah demi selangkah. Di dalam hati berbagai doa dipanjatkan gadis itu demi keselamatannya. Ia sedikit memaki dirinya sendiri karena sudah berjalan mendekati hutan.

Jantung Karen seperti berhenti berdetak. Matanya terbelalak lebar saat sesuatu melompat keluar dari kegelapan hutan. Ia sudah mempersiapkan diri jika harus menjadi sarapan hewan buas. Tapi ia akhirnya menghela napas lega saat menyadari bahwa sesuatu itu ternyata manusia.

Karen memicingkan mata kepada sosok lelaki yang baru saja melompat keluar dari hutan. Sepertinya ia tidak asing dengan penampilan lelaki itu. Rambut cokelat dengan mata hijau cemerlang. Tunggu bukankah itu...

“Forst?”

Bersambung ke part 3

Kisah pertemuan pertama Forst dan Selva bisa dibaca dalam Waldeinsamkeit. ^^

Minggu, 29 Maret 2015

Pengakuan

Aku berjalan menantang langit senja. Kakiku melangkah perlahan di sepanjang tepi sungai. Permukaan air yang tenang bersinar keemasan.

"Akhirnya kau datang."

Semburat jingga berarak di ufuk langit. Warna langit menghiasi pipiku meninggalkan jejak  senyum  merekah di wajahku. Semua itu karena lelaki yang berdiri di hadapanku sekarang.

Setelah kami dekat beberapa hari terakhir ini, ia memintaku untuk bertemu berdua saja. Mungkinkah ini akan menjadi kencan pertama kami?

"Aku sengaja mengajakmu bertemu berdua karena aku ingin mengakui sesuatu yang penting," ujarnya sambil memalingkan pandangan ke arah sungai.

Mataku terbelalak dengan wajah yang tersipu. Mugkinkah... ini pengakuan cinta?

"M-mengakui apa?"

Lelaki itu beralih menatapku. Matanya tampak sayu dengan sorot mata yang sedih. "Aku mencintaimu sejak dulu...."

Deg. Aku mengernyitkan dahi. Entah mengapa dadaku terasa seperti dihantam kuat. Mengapa pengakuan cinta yang kutunggu terasa begitu menyakitkan?

"Dan aku sangat menyesal tidak mengatakan ini sejak lama...." Ia melanjutkan kalimatnya perlahan.  Sebulir air mata menetes di sudut matanya. "Aku tidak tahu mengapa hanya aku yang masih bisa melihatmu selama seminggu terakhir ini. Mungkin Tuhan ingin memberiku kesempatan terakhir untuk mengakui perasaanku sebelum kau benar-benar pergi...."

Deg. Hantaman itu datang lagi. Bahkan jauh lebih menyakitkan. Apa maksudnya?

"Ya. Mungkin kau belum menyadarinya. Tapi seminggu yang lalu kau sudah meninggal." Ia berkata terbata di tengah isakannya.

Dahiku mengernyit. Napasku tersengal saat berusaha mencerna kata-katanya. Tunggu! Aku salah. Ternyata aku tidak bernapas. Paru-paruku tidak berfungsi.

Perlahan aku mengangkat tangan hendak menyentuh dada kiriku. Ingin memastikan debaran dalam rongga jantungku. Tapi gerakan tanganku terhenti di udara. Aku melihat tanganku berubah transparan seperti kabut di pagi hari. Sedetik kemudian, seberkas ingatan menghujam cepat ke dalam benakku. Aku mengerang saat mendapati lubang cahaya menarik tubuhku yang tidak berdaya.

Benar juga. Seminggu yang lalu aku tenggelam di sungai ini. Sebelum sempat mendengar pengakuan cinta dari lelaki yang kucintai.

Sabtu, 28 Maret 2015

Meminjam Kekuatan

“Tenang, Emma. Kau pasti bisa karena kau adalah gadis yang kuat.”

Emma menatap nanar ke arah sosok yang berdiri di hadapannya. Wajah itu tampak pucat dengan kantung mata kehitaman bergelayut seperti awan mendung. Tapi entah bagaimana caranya, tapi sosok di dalam cermin itu selalu bisa menyuntikkan semangat ke hati Emma.

Benar saja. Perlahan cahaya penuh kehangatan mewarnai wajah Emma. Begitu juga dengan sosok gadis di hadapannya. Mereka berdua tampak begitu cantik dengan kedua pipi yang merona.

Sebuah ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunan Emma. Ia mengalihkan pandangannya dari cermin. Begitu pintu terbuka, seorang pria bertubuh kekar berjalan memasuki ruangan serba putih itu. Sebuket bunga mawar merah ada dalam genggamannya.

“Ayah!” Emma memekik senang sambil menghambur ke dalam pelukan ayahnya.

Sebagai balasan dari pelukan hangat itu, ayahnya mengangkat tubuh Emma dan mengayunkannya di udara. Sontak gadis itu tertawa bahagia karena perlakuan ayahnya. Ia berpegangan kuat pada lengan ayahnya yang kokoh.

Tapi tiba-tiba, ayahnya seperti teringat sesuatu dan melepaskan pelukannya. “Maaf, Emma. Apa ayah menyakitimu? Apa kepalamu terasa pusing?”

Emma menggelengkan kepala lantas tersenyum lembut. “Tidak, Ayah. Aku justru merasa bahagia. Terima kasih ayah sudah datang dan mau meminjamkan kekuatan ayah.”

“Tidak, Emma....”

Kali ini ketukan di pintu menginterupsi kata-kata ayah Emma. Mereka berdua menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan berseragam serba putih memasuki kamar itu.

“Emma, apa kau sudah siap?” tanya perempuan itu dengan ramah.

Emma mengangguk mantap. “Tentu saja aku sudah siap, Suster," ujarnya lalu berjalan dan menyambut genggaman tangan perawat itu.

Perawat itu mengangguk singkat dan tersenyum ke arah ayah Emma. Lalu perlahan ia menempatkan tubuh mungil Emma di atas kursi roda. Dan mendorong perlahan menuju ruang kemoterapi.

Ayah Emma termangu di ruang rawat Emma. Perlahan air mata menitik di sudut matanya. Bahkan otot-ototnya yang kekar tidak mampu meredam tangisannya.

"Tidak, Emma. Kau salah. Kau adalah gadis yang kuat dan tegar menghadapi penyakit mematikan dalam tubuh mungilmu. Sementara aku hanyalah ayahmu yang lemah."

Kartini Yang Tak Akan Ingkar

"Aku layak untuk itu, ma."

Wajahku berurai air mata. Aku meneriakkan kalimat itu sebelum melanglah untuk menjauh dari hadapan kedua orang tuanku. Aku menuju ke sebuah dermaga yang tak jauh dari rumahku untuk menjernihkan kepalaku.

Mengapa kedua orang tuanku tak menyetujui keinginanku? Cita-citaku bukan hal yang salah. Siapapun berhak untuk memiliki cita-cita. Tidakkah mereka tahu bagaimana perjuangan Kartini agar perempuan tidak terjajah lagi oleh laki-laki? Begitu juga aku. Aku pun akan memperjuangkan cita-citaku.

Seseorang menepuk pundakku yang tengah sesenggukan sambil menatap perahu-perahu yang melebarkan layarnya.

"Bukan seperti itu maksud kami, nak. Hanya saja cita-citamu itu lebih cocok untuk laki-laki." ayah berusaha menenangkanku, satu-satunya anak gadis yang beliau miliki.

"Kenapa ayah melarangku?"

Ayah terdiam. Kemudian aku menengadahkan kepalaku untuk menatap ayah. Memantapkan hatiku demi masa depanku.

"Ayah, beri aku kesempatan. Dan ayah akan bangga melihatku sebagai seorang pelaut."

Dan ya, aku tak pernah mengingkari ucapanku. Beberapa tahun kemudian aku pulang ke hadapan ayah dengan seragam perwira pelaut. Membuat orang tuaku bangga memilikiku. Kartini kecil mereka yang berani berjuang demi masa depan.

Minggu, 22 Maret 2015

Kala Senja Mentertawakanku

"Kau begitu cantik." 

Gadis itu tersenyum miris menatap saingannya yang seolah mentertawakannya. Gadis itu terduduk lemah di ujung ranjangnya. Hatinya terasa pilu. Matanya berkaca-kaca. Jantungnya berdegup kencang, seolah hendak keluar dari tenggorokanya. 

"Apa kau senang sekarang? Dia sudah menjadi milikmu. Kau telah berhasil membuatnya meninggalkanku." Air mata mengalir membasahi wajahnya yang tirus. Lingkaran hitam terlihat jelas di wajahnya yang pucat. 

Ini sudah seminggu sejak lelaki itu meninggalkannya. Mestinya, hari ini ia berada di altar, mengucap janji suci sehidup semati. Sayang, lelaki itu mengkhianatinya.

Ia menghela nafas panjang lewat mulutnya. Melepaskan beban yang begitu berat dalam hatinya. Namun air mata tak berhenti mengalir dari mata cantiknya. Tangannya yang kurus mengusap pipinya. Kemudian dengan langkah malas ia mendekati jendela kamar. 

"Aku tak rela. Aku akan merebutnya kembali darimu." Gadis itu berteriak meluapkan emosinya, menunjuk langit senja yang mulai menghitam. 

"Aku akan menjemputmu sayang." Seulas senyum tersungging di wajah gadis itu. Kemudian ia melompat dari jendela kamarnya. Kepalanya menghantam sebuah batu besar yang akan mengantarnya menemui calon suaminya di surga. Calon suami yang meninggalkannya senja itu.

Flashfiction ini ditulis untuk mengikuti event Milad AE Publishing

Jumat, 13 Maret 2015

Don't Follow Me


Kembali aku melangkahkan kakiku, sambil sesekali aku menoleh ke belakang. Aku terus melangkah secepat mungkin. Bahkan rasa takut mampu mengalahkan rasa dingin di tubuhku. Jantungku berdegup kencang seolah hendak meloncat melalui tenggorokanku.

Mereka berpikir aku gila. Tapi siapa mereka? Apa hak mereka mengatai aku perempuan gila? Tidak. Aku ini masih waras. Aku masih punya akal. Aku masih bisa berpikir dengan baik.

Dingin semakin menyerbu. Pakaianku basah kuyup oleh salju. Tapi aku masih terus melangkah. Aku harus melangkah sejauh mungkin, sementara laki-laki itu terus mengikutiku. Sebilah pisau tajam mengacung seolah siap menghujamku kapanpun aku lengah.

Air mata tak berhenti mengalir membasahi wajahku. Lelaki itu selalu membuatku takut. Sejak kami menikah, ia berubah. Ia sudah tak mencintaiku lagi. Ia menyiksaku, menyiksa fisik dan batinku.

Namun kali ini nampaknya dia benar-benar akan membunuhku. Aku terus melangkah, melawan salju yang semakin lebat. Sedikit lagi aku akan sampai ke rumah orang tuaku. Aku tahu hanya mereka yang mampu melindungiku. 

Langkahku semakin memburu, lelaki itu pun semakin mendekat padaku. 

Tok tok tok.

Aku mengetuk pintu rumah dengan keras sambil berteriak memanggil ibuku. Aku tahu mereka pasti sudah tertidur tengah malam begini. Kembali ku ketuk berulang-ulang pintu itu dengan keras. Sambil sesekali aku menoleh ke belakang untuk memastikan keberadaan suamiku yang semakin mendekat. Ya, hanya tujuh meter di belakangku.

Klek klek.

Suara kunci diputar dua kali. Diikuti dengan gagang pintu yang bergerak. Tapi terlambat. Lelaki itu telah berdiri tepat di belakangku, mengayunkan pisaunya ke arahku. Dan-

"Tidaaaaaak!!!" Aku menjerit sekeras-kerasnya. Sepasang tangan hangat merengkuhku dengan erat.

"Ada apa Emily?" seorang wanita bergumam lembut di telingaku. Aku membuka mataku perlahan. Ibu. Ibu memelukku yang tengah terduduk lemah di depan pintu.

"Steven. Dia menyakitiku lagi ibu. Dia akan membunuhku." Aku mengatakan yang sebenarnya terjadi. Kemudian aku menatap lelaki di samping ibuku.

"Ayah, aku ingin bercerai dengan Steven." Tangisku tak bisa berhenti. Justru semakin keras. Dia lelaki yang sangat ku cintai, namun perlakuannya tak bisa lagi ku terima. Dia selalu menyiksaku, terlebih ketika ia tahu aku tak bisa memberinya anak.

"Emily, bicara apa kau sayang?" Ayah mengerutkan dahinya. "Steven sudah meninggal dua hari yang lalu."

Aku terperangah mendengar ucapan ayah. Aku mengerutkan kening, memikirkan sesuatu yang sepertinya telah kulupakan. Seulas senyum tersungging di bibirku. 

Ya, aku lupa. Aku yang telah membunuhnya. 

Kamis, 12 Maret 2015

Once Upon A Time In The Forest Part 1



Sambil menghela napas panjang karena bosan, Profesor itu menatap langit-langit laboratoriumnya. Ada beberapa jejak menghitam di sana, akibat dari ledakan kecil bahan penelitian yang tidak tercampur dengan benar. Atau bisa dikatakan... gagal.

Profesor itu benci mengakui bahwa penelitiannya selama dua tahun belakangan ini masih saja mengalami kebuntuan. Semua percobaan ini terasa percuma. Hingga beberapa kali ia hampir saja menyerah. Ada sedikit penyesalan sudah menyia-nyiakan masa mudanya yang berharga untuk hal seperti ini.

Beruntung, Profesor itu memiliki seorang asisten yang cekatan dan pandai menyuntikkan semangat untuknya. Ia memperhatikan asistennya yang tampak sibuk merapikan tabung dan bejana bekas penelitian dari atas meja. Asistennya itu terlihat lelah sama lelahnya dengan dirinya, tapi tidak pernah sekali pun ia mendengar keluhan terucap dari bibir asistennya.

“Biarkan saja bejana-bejana itu.” Profesor itu memerintah. Asistennya mendongak dengan dahi mengernyit. “Kau bisa pulang sekarang. Aku ingin istirahat.”

“Baik, Profesor.”

***

Bulan memancarkan sinarnya yang keemasan. Langit semakin pekat sempurna bertabur bintang-bintang. Hutan di atas bumi tampak indah diterpa cahaya langit malam.

 “T-tunggu aku!” Lelaki itu berseru dengan napas tersengal. Malam ini cukup dingin sebenarnya. Tapi keringatnya mengucur deras.

Tapi gadis yang berjalan di depannya tampak tidak peduli. “Gerakan kakimu lebih cepat atau kau bisa mati di sini. Kau lelaki atau bukan, Forst?”

“Tentu saja.” Lelaki bernama Forst itu menggeram kesal. Bukan ia yang lamban. Hanya saja... gadis itu berjalan jauh lebih cepat darinya. Ia memacu langkahnya lebih cepat. Hingga akhirnya ia bisa menyamai langkah gadis itu.

“Aku tidak menyangka manusia bisa selemah ini,” gumam gadis itu dengan nada sarkartis.

“Apa kau bilang, Selva?” Forst sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah gadis itu.

“Sudah, diamlah!” Selva masih saja bersikap dingin. “Kita sudah dekat. Tetap waspada dengan sekitarmu.”

Punggung Forst menegang. Matanya mulai awas. Kepalanya mendongak ke arah langit malam dari sela dedaunan. Sepertinya tidak ada bahaya mengancam dari arah sana. Tapi ia siaga, mempersiapkan beberapa serbuk dan cairan dalam genggamannya. Itu akan berguna sebagai pertahanan diri dari serangan lawan.

Tadi gadis itu bercerita bahwa hutan ini adalah hutan terlarang yang merupakan perbatasan antar-wilayah di negeri ini. Tidak seorangpun diperkenankan untuk memasuki daerah ini. Beberapa peri patroli siap siaga menangkap para pembangkang seperti itu. Bahkan beberapa hari yang lalu, Selva sempat terluka karena diserang oleh para peri yang sedang berpatroli. Beruntung, ia berhasil lolos dan akhirnya bertemu Forst yang kemudian mengobati lukanya.

Sebutan pembangkang diberikan kepada mereka yang dibuang keluar dari wilayah ras masing-masing. Sehingga tidak ada tempat bagi mereka selain hutan terlarang ini. Walaupun tempat ini juga tidak cukup aman untuk menjadi tempat tinggal. Sementara mereka tentu akan diusir karena dianggap penyusup jika mencoba memasuki wilayah ras lain.

Saat ini Forst sedang berada di Derion negeri para peri. Ia sendiri tidak memahami di mana letak negeri tersebut. Apakah ada di dalam rimba yang gelap? Atau melayang di atas awan? Dan bagaimana bisa ia ada di sini sekarang? Padahal malam sebelumnya ia hanya sedang tertidur di dalam hutan seperti biasa. Sialnya lagi, ia bertemu dengan gadis tidak tahu terima kasih seperti Selva.

“Kita sudah tiba,” gumam Selva dan menyadarkan Forst dari lamunannya.

Kepala Forst celingukan. Ia mencoba mencari tempat yang dimaksud gadis itu. Tapi sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah pepohonan. Tidak ada istana maupun gedung di sekitar sini. Forst tahu ia harus bertanya walaupun mungkin jawaban ketus yang akan ia jawab. Tapi tidak apa-apa, Forst sudah terbiasa. Ia hanya ingin mendapat jawaban sekarang.

Tapi gerakan bibir Forst terhenti. Matanya memperhatikan dengan saksama apa yang dilakukan gadis di depannnya.

Selva sedang mengulurkan tangan kanannya ke depan. Bibirnya mulai bergerak merapalkan mantra yang terdengar asing ditelinga Forst. Dan sedetik kemudian, mata Forst terbelalak.

Sebuah pintu berdaun ganda tiba-tiba muncul seakan tumbuh dari tanah basah yang diinjak Forst. Beberapa sulur dedaunan menghiasi pintu itu. Gagang pintunya tampak dibuat dari jalinan akar pepohonan yang kokoh. Forst menatap pintu itu dengan mulut yang menganga.

“Kau tidak pernah melihat pintu sebelumnya?” tanya Selva mencemooh. “Ayolah bergegas. Sebelum ada yang menemukan kita.”

Cepat-cepat Forst mengikuti langkah gadis itu. ia tidak ingin disebut lamban lagi. Saat memasuki pintu itu, ruangan di dalamnya sangatlah gelap. Tapi begitu pintu ditutup, cahaya benderang menerangi jajaran anak tangga yang sepertinya mengarah ke bawah tanah. Forst mengekor di belakang Selva, menuruni anak tangga dengan hati-hati. Saat melirik ke belakang melalui bahunya, ia melihat pintu itu menghilang.

Anak tangga pada bangunan ini tampak seperti cabang pohon yang tumbuh dari dinding. Cabang-cabang itu tersusun berundak tanpa birai. Awalnya, Forst tampak ragu saat melangkah. Ia takut cabang itu patah dan tubuhnya jatuh menghantam tanah. Tapi di luar dugaannya, ternyata cabang itu cukup kuat.

“Kita akan bertemu Ratu dan Raja, jadi bersikaplah yang sopan. Jangan memandangi mereka terus menerus.”

Kening Forst mengernyit. “Apa yang membuat aku ingin memandangi mereka terus menerus?”

Tapi Selva tidak menjawab. Ia memilih bungkam dan meneruskan perjalanan. Pertanyaan Forst memang tidak perlu dijawab. Sebentar lagi ia akan menemukan jawabannya.

Selva mendorong pintu berdaun ganda yang lebih besar dari yang sebelumnya. Pintu itu terbuka lebar. Begitu juga dengan kedua mata Forst. Ia tidak bisa mempercayai pemandangan yang ada di hadapannya.

Ada begitu banyak orang atau peri, tampak sedang berkumpul di sana. Ada yang tampak sedang bersenda gurau, beberapa sedang membaca buku, dan yang lainnya mengobrol sambil duduk di dekat dinding. Mereka semua memiliki sayap kaca seperti milik Selva.

Masing-masing dari mereka mengenakan pakaian dengan warna yang senada dengan warna rambut dan mata mereka. Ada yang berwarna ungu, hitam, merah, biru, kuning, dan juga hijau seperti milik Selva. Saat menyadari kedatangan Selva dan Forst, mereka semua mengalihkan pandangan dan menyambut Selva dengan hangat.

“Selva, kami kira kau sudah ditangkap peri patroli.”

“Syukurlah kau sudah kembali.”

Mereka semua mengucap rasa syukur atas kembalinya sahabat mereka. Beberapa di antaranya, bahkan memeluk penuh rasa rindu. Sementara Forst merasa heran. Ternyata gadis ketus ini begitu disayangi teman-temannya.

“Jangan meremehkanku. Mana mungkin aku tertangkap.” Selva menanggapi setengah tertawa. “Aku harus segera menemui Ratu .”

“Benar. Tentu saja, dia juga sangat mengkhawatirkanmu,” ujar seorang gadis ungu yang paling terakhir memeluk Selva.

“Aku harus melaporkan penyusup ini.” Selva menunjuk dengan ibu jari ke arah balik punggungnya.

Saat mendengar kata penyusup, sontak mereka semua melompat mundur. Tatapan tajam terarah pada sosok Forst. Ia memang tampak aneh di sini. Rambut cokelat dan mata hijau cemerlang. Tanpa sayap kaca di punggungnya. Benar-benar... berbeda.

“B-bukan seperti itu...” Forst mencoba menjelaskan. Tapi justru karena ia bersuara, semua yang ada di sana malah mempersiapkan senjata masing-masing.

Selva terkekeh. Forst mengumpat dalam hati. Sial benar gadis ini.

“Tenang teman-teman. Simpan pedang kalian, aku sudah menjinakkan dia.”

Apa maksudnya menjinakkan? Mata Forst melotot karena tersinggung. Gadis itu menyamakannya dengan seekor anjing.

Tapi ternyata kata-kata Selva itu mampu meredam ketegangan di antara para peri itu. Sekarang mereka lebih tenang dan tidak lagi bersiap dalam kuda-kuda. Forst hanya bisa tersenyum rikuh. Takut salah bertindak lagi.

“Ayoi, ikuti aku.” Selva memerintah.

Forst  menundukkan kepalanya dan mengekor di belakang Selva. Ia masih bisa merasakan tatapan permusuhan menghujam punggungnya. Bisa-bisa Forst terbunuh di sini jika kurang hati-hati.

“Aku peringatkan sekali lagi, Forst. Bersikaplah yang sopan,” bisik Selva. “Setelah ini kita akan menemui Ratu.”

Setelah berbelok ke sebuah koridor, tampaklah seorang gadis. Ia berkulit sehalus satin dan rambut lurus panjang berwarna merah bekilau, berdiri di hadapan jendela besar yang disinari cahaya bulan. Jadi ini ratu yang dimaksud Selva? Tanpa mahkota dan tanpa singgasana. Sesaat Forst sempat mengira alasan Selva mengatakan padanya untuk tidak memandangi ratunya adalah karena gadis itu luar biasa cantik.

“Ratu Diff,” gumam Selva.

"Selva?" Gadis itu bergumam tidak percaya dengan suara merdu mengalun. Ia memalingkan wajah sepenuhnya, senyum tersungging penuh rasa lega. Cepat-cepat ia memeluk Selva penuh rasa syukur seperti peri yang lainnya sebelum ini.

“Maafkan saya sudah membuat Anda khawatir, Ratu Diff.”

Diff melepas pelukannya dan memandang Selva penuh kritik. “Sudah kukatakan, panggil saja aku Diff. Kita berteman dan saling melindungi, bukan diperintah dan memerintah.”

“Maafkan aku... Diff,” ujar Selva terbata.
Diff tersenyum senang. “Begitu lebih baik.”

“Dan ini kita kedatangan tamu...” Selva berbalik dan menunjuk ke arah Forst. Urat di dahinya mencuat begitu saja saat mendapati Forst bersikap tidak sopan. Lelaki itu tampak membeku di tempatnya berdiri. Matanya tidak bisa lepas dari sosok Diff. Padahal Selva sudah mengingatkannya berkali-kali.

Siapa saja pasti merasa heran dan terkejut saat melihat Diff pertama kali. Ia merupakan gadis dari ras Kokkinon yang serba merah. Tapi ia menikah dengan lelaki dari ras Mavron yang serba hitam sehingga mata kanannya ditukar dengan milik suaminya. Seperti itulah prosesi pernikahan bagi para peri di Derion.

“Selamat datang,” ujar Diff seraya tersenyum hangat. Tampak tidak tersinggung sama sekali. “Jadi benar kau adalah manusia?”



Bersambung ke part 2

Kisah pertemuan pertama Forst dan Selva bisa dibaca dalam Waldeinsamkeit. ^^