“Aku mohon maafkan aku...”
Gadis itu meraung pilu dengan suara memohon. Air matanya
sudah meleleh sejak beberapa menit yang lalu. Tapi lelaki yang berdiri di
hadapannya tampak tidak peduli. Dengan kejam lelaki itu menjambak kuat rambut
gadis itu hingga ia berteriak sambil berdiri terpaksa.
“Le-lepaskan aku!” Gadis itu meronta sambil menghantamkan
tinjunya ke segala arah.
“Apa kau menyesal sekarang, huh?” Lelaki itu tersenyum
sinis. “Tidak bisakah kau berhenti mencurigaiku? Aku tidak suka kau membuntutiku
seperti yang kaulakukan tadi.”
“A-aku hanya ingin mengetahui—“
“Rasa ingin tahumu itu menyusahkanku!”
Lelaki itu menghentak keras tubuh gadis itu hingga
tubuhnya melayang ke belakang. Terdengar suara pecahan kaca saat kepalanya
menghantam cermin. Pecahan cermin itu berserakan di lantai tempat gadis itu
terbaring.
Tubuh gadis itu terasa kaku —bahkan mungkin mati rasa. Ia terlalu terkejut untuk
merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Dengan susah payah ia berusaha bangkit.
Saat itulah tangannya menyentuh sesuatu yang basah dan lengket menggenang di
lantai.
“Ternyata kau masih saja keras kepala!”
Lelaki itu menggeram lalu mengeluarkan sesuatu yang
berkilat dari balik sakunya. Saat ia hendak menghujamkan pisau di tangannya, tiba-tiba
terdengar teriakan histeris. Hingga gerakan lelaki itu terhenti seketika.
Tangannya membeku di udara.
“Kalau kalian terus-terusan berteriak seperti itu, lebih
baik kita menonton film yang lain saja.” Inez mendengus kesal dengan remote control televisi di tangannya.
“T-tapi ini film horor yang sedang hangat dibicarakan
orang-orang, Inez.” Sofia mempertahankan pendapatnya sambil memeluk Winda.
Mereka berdua duduk berhimpitan di sudut tempat tidur Inez.
“Tapi aku tidak rela menjadi tuli karena suara jeritan
kalian.”
Dengan kesal, Inez menekan tombol merah dan layar
televisinya menggelap begitu saja. Harusnya malam ini menjadi saat berkumpul
yang menyenangkan bagi mereka bertiga. Tapi film horor yang dipilih Sofia di
tempat persewaan video tadi merusak suasana hati Inez.
“Kenapa kau matikan televisimu, Inez?” Protes Sofia
sambil berdecak kesal.
“Aku malas mengunjungi dokter THT karena gendang
telingaku rusak,” balas Inez sengit.
Sofia memicingkan mata. “Kau pasti ketakutan menonton
film itu. Mengaku saja!”
“Tidak!” Inez menyanggah dengan nada tinggi. “Bukannya
kau yang sejak tadi berteriak seperti anak kecil—“
“Teman-teman, hentikan!” Winda menginterupsi perdebatan
sia-sia ini. Inez dan Sofia memang selalu mudah terpancing untuk memperdebatkan
hal tidak penting di sekitar mereka. Tapi syukurlah hubungan persahabatan ini bisa
terus berlanjut sepanjang waktu.
“Sudah aku katakan, menginap bersama bukan ide yang
baik.” Inez mencibir dengan tangan dilipat di depan dada. “Seharusnya kita
pergi berlibur ke pantai. Apa lagi liburan sebelumnya Winda berhalangan untuk
ikut.”
Mereka bertiga berkumpul dan menginap di rumah Inez.
Semua itu sebenarnya untuk menghibur perasaan Winda yang masih kalut karena disakiti Dewa —mantan kekasihnya.
“Sudahlah, di mana pun kita berkumpul tidak masalah bagiku.”
Winda mendekap dua sahabatnya di masing-masing lengannya. “Aku bahagia memiliki
sahabat seperti kalian berdua.”
***
“Kau tampak lebih baik dengan penampilan barumu, Winda,”
puji Sofia dengan wajah berbinar-binar.
“Benar. Aku yakin lelaki
mana pun akan menyesal jika
menyakitimu,”timpal Inez. Mereka semua sama-sama tahu bahwa lelaki mana pun yang dikatakan Inez
hanya merujuk pada satu orang.
Winda hanya tersenyum bahagia mendengar pujian yang
dilontarkan teman-temannya. Di hari Minggu yang cerah ini mereka bertiga pergi
berbelanja pakaian, merawat diri di salon, dan mengecat kuku mereka dengan
warna-warna yang cantik.
Mereka bertiga melangkah memasuki sebuah kafe yang cat
dindingnya didominasi warna burgundy.
Seharian berkeliling mall membuat perut para gadis itu meraung minta segera
diisi. Tapi setelah selesai makan siang, mereka berencana untuk menonton film
di bioskop sebagai ganti acara menonton yang gagal tadi malam.
“Aku ke toilet sebentar, ya,” pamit Winda pada
teman-temannya begitu mereka mendapat tempat duduk yang juga nyaman untuk
belanjaan mereka.
Winda memperhatikan pantulan bayangannya di cermin
wastafel. Teman-temannya benar. Ia tampak lebih baik dengan potongan rambutnya
yang baru. Semoga semua kenangan buruk dalam benaknya ikut pergi bersama
ujung-ujung rambutnya yang dipangkas. Sempat tebersit keinginan untuk mewarnai
rambut, tapi ia mengurungkan niat itu. Akhir-akhir ini, tersiar berita tentang
pembunuh berantai yang menyerang gadis-gadis dengan rambut dicat.
Hari ulang tahun Winda yang ke dua puluh satu semakin
dekat. Ia ingin menyambut hari itu dengan hati yang bersih dari beban. Walaupun
ia sering merasa heran. Setiap kali ia mengingat hari ulang tahunnya, entah
mengapa wajah Dewa muncul berkelebat dalam benaknya.
Winda keluar dari toilet dengan ujung bibir yang
melengkungkan senyum. Saat itulah ia mendengar suara yang sangat dikenalnya.
“Aku yakin semua ini akan baik-baik saja,” lelaki itu
berkata dengan nada menenangkan.
Winda yakin itu adalah suara Dewa.
“T-tapi aku takut...”
Selanjutnya terdengar suara yang lembut tapi sedikit
gemetar.
Kepala Winda berputar cepat ke sumber suara. Matanya terasa
panas. Winda mengerjap beberapa kali. Ia merasa tidak percaya dengan apa yang
sudah dilihatnyahingga hatinya seperti
tersulut api.
Dewa sedang berdiri berjalan beriringan dengan seorang
gadis. Lelaki itu masih sama seperti yang dulu, hanya pipinya jadi terlihat tirus.
Dewa dan gadis itu mengenakan pakaian yang sama serupa dengan warna dinding
kafe. Sehingga dilihat dari mana pun dan oleh siapa pun, mereka tampak seperti
sepasang kekasih yang serasi.
“Winda?” Suara Dewa terdengar kaget saat menyadari Winda
sedang berdiri mematung.
Tangan Winda terasa begitu kaku. Air mata meleleh di
matanya yang memanas. Ia tidak ingin melihat hal ini. Ia benar-benar tidak
ingin mengetahu apapun.
“Jadi... dugaanku selama ini... benar?” tanya Winda
sambil tertawa pahit.
Dewa tergeragap tidak mampu langsung menjawab. Matanya memandang
Winda dan gadis di sampingnya bergantian. “Tidak, Winda. Kau salah paham. Ini tidak
seperti yang kau lihat.”
“Jujur saja jika kau memang mencintai gadis lain. Tidak perlu berbohong!”
Winda sengaja memberi penekanan pada kata gadis
lain. “Tidak perlu repot-repot mencari alasan untuk menjaga perasaanku!
Lagi pula hubungan kita memang sudah berakhir!”
“Winda, dengarkan aku!”
Dewa melangkah maju dan menyentuh bahu Winda. Tapi dengan
kasar Winda menepis tangan itu. Lalu cepat-cepat ia pergi dari hadapan Dewa
sambil menangis. Dewa tidak mengejarnya. Sudah berakhir. Semua sudah benar-benar
berakhir dengan begitu jelas.
Winda menyambar tasnya yang berada di atas meja tempat
Inez dan Sofia menunggu. Buru-buru ia melangkah keluar dari kafe itu. Kepalanya
terasa sakit. Hatinya terasa sakit.
“Winda, ada apa?”
“Kenapa kau tiba-tiba menangis?”
Inez dan Sofia mengikuti Winda sambil bertanya khawatir. Tapi
ia menjawab dengan gelengan kepala. Sementara sekuat tenaga ia meredam air
matanya.
Aneh. Ini terasa aneh bagi Winda. Bagaimana mungkin
rasanya bisa sakit seperti ini? Bukankah ia sudah bertekad untuk melupakan Dewa?
Tapi mengapa air matanya masih saja mengalir karena lelaki itu?
***
Lagu ucapan selamat ulang tahun mengalun dengan begitu
meriah. Begitu lagu itu usai dinyanyikan, Winda meniup lilin yang menyala di
puncak kue berlapis krim merah muda di hadapannya. Semua nyala api padam seketika
dan orang di sekitarnya bertepuk tangan.
Winda tersenyum bahagia. Ia merasa beruntung, ulang
tahunnya kali ini jatuh pada akhir pekan. Sehingga ia bisa berkumpul dengan
sahabat dan keluarganya untuk merayakan ulang tahunnya di restoran milik kakak
Inez. Mereka duduk melingkar di sebuah meja besar yang berada di tengah private room. Winda benar-benar merasa
berterima kasih kepada Inez yang bersedia meminjamkan ruangan ini.
“Mama tidak menyangka kau tumbuh begitu cepat, Winda. Sebentar
lagi kau lulus kuliah, bekerja, dan menikah dengan Dewa,” ujar mama Winda
dengan nada haru. Tapi suasana mendadak begitu canggung. Winda memang tidak
menceritakan apapun kepada kedua orang tuanya tentang kandasnya hubungannya dan
lelaki itu.
“Ng— kami sudah putus, Ma.”
Winda menjawab dengan gumaman. Giginya saling gemeretak tidak terdengar.
“Ngomong-ngomong tentang Dewa, sepertinya lelaki itu
mendapat karma.” Inez setengah berbisik di dekat Winda.
Kening Winda berkerut. “M-maksudmu?”
“Tadi pagi aku jogging bersama Adelin —kakak iparku, aku melihat Dewa sedang duduk di bangku
panjang yang ada di taman. Dia terlihat bodoh dengan dua es krim meleleh di
tangannya. Lalu tadi saat akan berangkat kemari, aku juga sempat melihatnya
masih berkeliaran di taman itu. Seperti sedang menunggu seseorang. Itu karma
karena selalu membuatmu menunggu.”
Punggung Winda menegak saat mendengar cerita Dewa. Matanya
membelalak. Dewa menunggu seseorang. Siapa yang ditunggunya?
“Winda!
Aku mohon beri aku kesempatan satu kali saja! Datanglah ke tempat ini di hari
ulang tahunmu!”
Tiba-tiba suara Dewa berkelebat dalam benak Winda. Serta merta
ia bangkit dari duduknya kemudian melangkah meninggalkan ruangan. Tidak peduli
pada keluarga dan sahabat yang menatapnya dengan pandangan bingung.
Kaki Winda melangkah cepat. Matanya melirik jam
tangannya. Sudah hampir pukul empat. Langit masih tampak cerah dengan awan yang
mengapung tipis. Ia berlari melewati pepohonan, bangunan, dan orang-orang yang
berbincang di pinggir jalan. Tapi rasanya secepat apapun ia berlari, rasanya
seperti sedang berlari di tempat.
Winda tidak mengerti jalan pikirannya sendiri. Bukankah ia
sudah memutuskan hubungannya dengan Dewa? Bukankah ia sudah berusaha melupakan
lelaki itu? Bukankah ia sudah melihat sendiri penyebab retaknya hubungan
mereka?
Tapi... entah mengapa saat mendengar Dewa menunggu
seseorang, terbit sedikit harapan di hatinya. Ia berharap Dewa sedang
menunggunya di sana. Dan jika tidak, itu berarti ia harus benar-benar melupakan
lelaki itu selamanya.
Setelah berlari seolah tanpa pernah melihat garis finish, akhirnya Winda melangkah
memasuki area taman. Ia bergegas menuju bangku panjang tempat ia biasa
menunggu. Tiba-tiba Winda tertawa masam. Bangku itu kosong. Tidak ada siapapun
di sana.
Winda melirik jam rusak di samping bangku itu. Jam itu
menunjukkan pukul empat tepat. Sama seperti jam di tangannya. Rupanya jam itu
sudah bisa menunjukkan waktu yang tepat sekarang.
Dengan napas tersengal, Winda duduk di bangku panjang
itu. Ia meluruskan kakinya yang terasa pegal. Sementara hatinya menyadari bahwa
Dewa sudah bertemu dengan seseorang yang ditunggunya. Dan seseorang itu bukan
dirinya.
Hubungan ini
sudah berakhir. Sekali lagi, Winda
membisikan kata-kata itu di dalam hatinya.
Winda merasa begitu bodoh. Ia meninggalkan orang-orang
yang menyayanginya di sana. Sementara ia malah mengejar sesuatu yang tidak
pasti. Hatinya mencelos dan luka yang belum mengering di sana kembali terasa
sakit.
Tiba-tiba Winda merasa seseorang memperhatikannya. Ia menoleh
dan mendapati Dewa datang dengan dua es krim di tangannya. Sebuah senyuman terukir
di bibir lelaki itu.
“Winda. Kau datang.” Dewa tertawa masam. Ia melangkah
lalu duduk di samping Winda. “Tentu saja. Aku tahu kau pasti datang.”
Winda hanya terdiam menatap Dewa. Wajah lelaki itu tampak
kusam karena debu dan keringat. Tapi binar kebahagiaan tidak bisa
disembunyikannya. Berapa lama lelaki itu menunggu?
“Maaf aku pergi sebentar tadi. Aku membeli es krim ini
untukmu.” Dewa menyodorkan salah satu es krim di tangannya dan Winda
menerimanya. “Aku ingin saat kau datang, aku sudah siap dengan es krim
kesukaanmu.”
“Lalu, bagaimana jika saat kau pergi membeli es krim, aku
datang lalu pergi lagi karena menganggap kau tidak datang?”
Dewa tertawa kecil, lebih pada menertawakan dirinya
sendiri. “Benar juga. Kenapa aku bodoh sekali?”
Winda hanya diam. Lalu selama tiga menit selanjutnya, mereka
menikmati es krim tanpa suara, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga
tiba-tiba Winda menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. “Sebenarnya,
apa yang kau tunggu?”
“Aku menunggumu, Winda. Aku ingin menjelaskan tentang
semua kesalah pahaman di antara kita berdua.” Dewa menerawang lurus ke depan. “Tapi
aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku terlalu sering menyakitimu.”
Winda melirik Dewa. “Kalau begitu, biarkan aku bertanya. Kau
jawab saja. Bagaimana?”
Dewa mengangguk. Ia menghadapkan tubuhnya ke arah Winda. Bersiap
menjawab pertanyaan pertama.
“Kau sudah... tidak mencintaiku?” tanya Winda dengan
tenggorokan tercekat.
“Aku selalu mencintaimu, Winda. Dari awal hingga akhir
nanti.”
Winda menganggukkan kepalanya skeptis. “Lalu kenapa
kau... berselingkuh dengan gadis
lain?”
“Kau salah. Aku
tidak pernah berselingkuh,” kata Dewa sambil menggelengkan kepala. “Gadis yang
kau lihat itu hanyalah rekan kerjaku di kafe. Saat itu aku hendak mengantarnya
pulang karena Lala —anaknya, jatuh sakit. Sementara
suaminya sudah meninggal.”
Winda menoleh dengan alis berkerut. Gadis itu masih muda
tapi ia harus mengalami pahitnya hidup yang seperti itu. Winda merasa malu
sudah mengira yang tidak-tidak kepada gadis itu. “Sampaikan rasa berdukaku
untuknya...”
Tunggu— Dewa bekerja di kafe
itu? Jadi itu mengapa ia dan gadis itu mengenakan pakaian dengan warna senada.
Pipi Winda mulai merah karena malu.
“Ya. Jika suatu hari kami bertemu kembali. Aku sudah tidak
bekerja di kafe itu.”
Winda menatap Dewa tidak mengerti. “Apa maksudmu?”
“Aku bekerja sambilan di beberapa tempat sekaligus dalam
dua bulan terakhir. Itulah kenapa aku sering terlambat datang. Beberapa pegawai
tetap, sering memanfaatkan pekerja sambilan sepertiku untuk membantu
menyelesaikan pekerjaan mereka.” Beberapa saat Dewa memandang tanah. Kemudian
ia kembali mendongak dan berkata, “Tapi sekarang aku suadah berhenti dari semua
pekerjaan itu.”
“K-kenapa?” Winda bertanya takut-takut. Ia takut jika
ternyata dirinyalah yang menjadi penyebab Dewa kehilangan pekerjaan. Jika itu
terjadi, ia tidak tahu harus ebrbuat apa untuk menebus perasaan bersalah.
“Karena aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan.” Dewa tersenyum
kepada Winda. Tangannya merogoh sesuatu dari sakunya, kemudian menyerahkan
kotak beledu itu kepada Winda.
Winda menatap bingung ke arah Dewa, tapi tangannya
membuka perlahan kotak dalam genggamannya. Sebuah cincin dengan berlian kecil
terpampang indah dalam kotak itu.
“A-apa ini?” tanya Winda dengan mata melebar.
“Hadiah ulang tahunmu,” ujar Dewa sambil tersenyum
melihat reaksi Winda.
“Bukankah ini... mahal?” Winda terbata-bata. “Jadi karena
itu kau bekerja?”
“Ya. Aku ingin memberikan sesuatu yang berharga untuk
seseorang yang penting dalam hidupku.”
Dewa mengambil cincin dari kotak itu lalu menyematkan di
jari manis Winda. Gadis itu mengangkat tangannya ke udara. Dan saat sinar
matahari menerpa, cincin itu berkilauan dengan indah.
“Mulai sekarang aku akan meneruskan kuliah, lulus,
bekerja dan... menikah denganmu.”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D