Kamis, 05 Maret 2015

Waiting for You Part 3 (end)








“Aku mohon maafkan aku...”

Gadis itu meraung pilu dengan suara memohon. Air matanya sudah meleleh sejak beberapa menit yang lalu. Tapi lelaki yang berdiri di hadapannya tampak tidak peduli. Dengan kejam lelaki itu menjambak kuat rambut gadis itu hingga ia berteriak sambil berdiri terpaksa.

“Le-lepaskan aku!” Gadis itu meronta sambil menghantamkan tinjunya ke segala arah.

“Apa kau menyesal sekarang, huh?” Lelaki itu tersenyum sinis. “Tidak bisakah kau berhenti mencurigaiku? Aku tidak suka kau membuntutiku seperti yang kaulakukan tadi.”

“A-aku hanya ingin mengetahui—“

“Rasa ingin tahumu itu menyusahkanku!”

Lelaki itu menghentak keras tubuh gadis itu hingga tubuhnya melayang ke belakang. Terdengar suara pecahan kaca saat kepalanya menghantam cermin. Pecahan cermin itu berserakan di lantai tempat gadis itu terbaring.

Tubuh gadis itu terasa kaku bahkan mungkin mati rasa. Ia terlalu terkejut untuk merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Dengan susah payah ia berusaha bangkit. Saat itulah tangannya menyentuh sesuatu yang basah dan lengket menggenang di lantai.

“Ternyata kau masih saja keras kepala!”

Lelaki itu menggeram lalu mengeluarkan sesuatu yang berkilat dari balik sakunya. Saat ia hendak menghujamkan pisau di tangannya, tiba-tiba terdengar teriakan histeris. Hingga gerakan lelaki itu terhenti seketika. Tangannya membeku di udara.

“Kalau kalian terus-terusan berteriak seperti itu, lebih baik kita menonton film yang lain saja.” Inez mendengus kesal dengan remote control televisi di tangannya.

“T-tapi ini film horor yang sedang hangat dibicarakan orang-orang, Inez.” Sofia mempertahankan pendapatnya sambil memeluk Winda. Mereka berdua duduk berhimpitan di sudut tempat tidur Inez.

“Tapi aku tidak rela menjadi tuli karena suara jeritan kalian.”

Dengan kesal, Inez menekan tombol merah dan layar televisinya menggelap begitu saja. Harusnya malam ini menjadi saat berkumpul yang menyenangkan bagi mereka bertiga. Tapi film horor yang dipilih Sofia di tempat persewaan video tadi merusak suasana hati Inez.

“Kenapa kau matikan televisimu, Inez?” Protes Sofia sambil berdecak kesal.

“Aku malas mengunjungi dokter THT karena gendang telingaku rusak,” balas Inez sengit.

Sofia memicingkan mata. “Kau pasti ketakutan menonton film itu. Mengaku saja!”

“Tidak!” Inez menyanggah dengan nada tinggi. “Bukannya kau yang sejak tadi berteriak seperti anak kecil

“Teman-teman, hentikan!” Winda menginterupsi perdebatan sia-sia ini. Inez dan Sofia memang selalu mudah terpancing untuk memperdebatkan hal tidak penting di sekitar mereka. Tapi syukurlah hubungan persahabatan ini bisa terus berlanjut sepanjang waktu.

“Sudah aku katakan, menginap bersama bukan ide yang baik.” Inez mencibir dengan tangan dilipat di depan dada. “Seharusnya kita pergi berlibur ke pantai. Apa lagi liburan sebelumnya Winda berhalangan untuk ikut.”

Mereka bertiga berkumpul dan menginap di rumah Inez. Semua itu sebenarnya untuk menghibur perasaan Winda yang masih kalut karena disakiti Dewa mantan kekasihnya.

“Sudahlah, di mana pun kita berkumpul tidak masalah bagiku.” Winda mendekap dua sahabatnya di masing-masing lengannya. “Aku bahagia memiliki sahabat seperti kalian berdua.”
***
“Kau tampak lebih baik dengan penampilan barumu, Winda,” puji Sofia dengan wajah berbinar-binar.

“Benar. Aku yakin lelaki mana pun  akan menyesal jika menyakitimu,”timpal Inez. Mereka semua sama-sama tahu bahwa lelaki mana pun yang dikatakan Inez hanya merujuk pada satu orang.

Winda hanya tersenyum bahagia mendengar pujian yang dilontarkan teman-temannya. Di hari Minggu yang cerah ini mereka bertiga pergi berbelanja pakaian, merawat diri di salon, dan mengecat kuku mereka dengan warna-warna yang cantik.

Mereka bertiga melangkah memasuki sebuah kafe yang cat dindingnya didominasi warna burgundy. Seharian berkeliling mall membuat perut para gadis itu meraung minta segera diisi. Tapi setelah selesai makan siang, mereka berencana untuk menonton film di bioskop sebagai ganti acara menonton yang gagal tadi malam.

“Aku ke toilet sebentar, ya,” pamit Winda pada teman-temannya begitu mereka mendapat tempat duduk yang juga nyaman untuk belanjaan mereka.

Winda memperhatikan pantulan bayangannya di cermin wastafel. Teman-temannya benar. Ia tampak lebih baik dengan potongan rambutnya yang baru. Semoga semua kenangan buruk dalam benaknya ikut pergi bersama ujung-ujung rambutnya yang dipangkas. Sempat tebersit keinginan untuk mewarnai rambut, tapi ia mengurungkan niat itu. Akhir-akhir ini, tersiar berita tentang pembunuh berantai yang menyerang gadis-gadis dengan rambut dicat.

Hari ulang tahun Winda yang ke dua puluh satu semakin dekat. Ia ingin menyambut hari itu dengan hati yang bersih dari beban. Walaupun ia sering merasa heran. Setiap kali ia mengingat hari ulang tahunnya, entah mengapa wajah Dewa muncul berkelebat dalam benaknya.

Winda keluar dari toilet dengan ujung bibir yang melengkungkan senyum. Saat itulah ia mendengar suara yang sangat dikenalnya.

“Aku yakin semua ini akan baik-baik saja,” lelaki itu berkata dengan nada menenangkan.

Winda yakin itu adalah suara Dewa.

“T-tapi aku takut...”

Selanjutnya terdengar suara yang lembut tapi sedikit gemetar.

Kepala Winda berputar cepat ke sumber suara. Matanya terasa panas. Winda mengerjap beberapa kali. Ia merasa tidak percaya dengan apa yang sudah dilihatnyahingga  hatinya seperti tersulut api.

Dewa sedang berdiri berjalan beriringan dengan seorang gadis. Lelaki itu masih sama seperti yang dulu, hanya pipinya jadi terlihat tirus. Dewa dan gadis itu mengenakan pakaian yang sama serupa dengan warna dinding kafe. Sehingga dilihat dari mana pun dan oleh siapa pun, mereka tampak seperti sepasang kekasih yang serasi.

“Winda?” Suara Dewa terdengar kaget saat menyadari Winda sedang berdiri mematung.

Tangan Winda terasa begitu kaku. Air mata meleleh di matanya yang memanas. Ia tidak ingin melihat hal ini. Ia benar-benar tidak ingin mengetahu apapun.

“Jadi... dugaanku selama ini... benar?” tanya Winda sambil tertawa pahit.

Dewa tergeragap tidak mampu langsung menjawab. Matanya memandang Winda dan gadis di sampingnya bergantian. “Tidak, Winda. Kau salah paham. Ini tidak seperti yang kau lihat.”

“Jujur saja jika kau memang mencintai gadis lain. Tidak perlu berbohong!” Winda sengaja memberi penekanan pada kata gadis lain. “Tidak perlu repot-repot mencari alasan untuk menjaga perasaanku! Lagi pula hubungan kita memang sudah berakhir!”

“Winda, dengarkan aku!”

Dewa melangkah maju dan menyentuh bahu Winda. Tapi dengan kasar Winda menepis tangan itu. Lalu cepat-cepat ia pergi dari hadapan Dewa sambil menangis. Dewa tidak mengejarnya. Sudah berakhir. Semua sudah benar-benar berakhir dengan begitu jelas.

Winda menyambar tasnya yang berada di atas meja tempat Inez dan Sofia menunggu. Buru-buru ia melangkah keluar dari kafe itu. Kepalanya terasa sakit. Hatinya terasa sakit.

“Winda, ada apa?”

“Kenapa kau tiba-tiba menangis?”

Inez dan Sofia mengikuti Winda sambil bertanya khawatir. Tapi ia menjawab dengan gelengan kepala. Sementara sekuat tenaga ia meredam air matanya.

Aneh. Ini terasa aneh bagi Winda. Bagaimana mungkin rasanya bisa sakit seperti ini? Bukankah ia sudah bertekad untuk melupakan Dewa? Tapi mengapa air matanya masih saja mengalir karena lelaki itu?

***

Lagu ucapan selamat ulang tahun mengalun dengan begitu meriah. Begitu lagu itu usai dinyanyikan, Winda meniup lilin yang menyala di puncak kue berlapis krim merah muda di hadapannya. Semua nyala api padam seketika dan orang di sekitarnya bertepuk tangan.

Winda tersenyum bahagia. Ia merasa beruntung, ulang tahunnya kali ini jatuh pada akhir pekan. Sehingga ia bisa berkumpul dengan sahabat dan keluarganya untuk merayakan ulang tahunnya di restoran milik kakak Inez. Mereka duduk melingkar di sebuah meja besar yang berada di tengah private room. Winda benar-benar merasa berterima kasih kepada Inez yang bersedia meminjamkan ruangan ini.

“Mama tidak menyangka kau tumbuh begitu cepat, Winda. Sebentar lagi kau lulus kuliah, bekerja, dan menikah dengan Dewa,” ujar mama Winda dengan nada haru. Tapi suasana mendadak begitu canggung. Winda memang tidak menceritakan apapun kepada kedua orang tuanya tentang kandasnya hubungannya dan lelaki itu.

“Ng kami sudah putus, Ma.” Winda menjawab dengan gumaman. Giginya saling gemeretak tidak terdengar.

“Ngomong-ngomong tentang Dewa, sepertinya lelaki itu mendapat karma.” Inez setengah berbisik di dekat Winda.

Kening Winda berkerut. “M-maksudmu?”

 “Tadi pagi aku jogging bersama Adelin kakak iparku, aku melihat Dewa sedang duduk di bangku panjang yang ada di taman. Dia terlihat bodoh dengan dua es krim meleleh di tangannya. Lalu tadi saat akan berangkat kemari, aku juga sempat melihatnya masih berkeliaran di taman itu. Seperti sedang menunggu seseorang. Itu karma karena selalu membuatmu menunggu.”

Punggung Winda menegak saat mendengar cerita Dewa. Matanya membelalak. Dewa menunggu seseorang. Siapa yang ditunggunya?

“Winda! Aku mohon beri aku kesempatan satu kali saja! Datanglah ke tempat ini di hari ulang tahunmu!”
Tiba-tiba suara Dewa berkelebat dalam benak Winda. Serta merta ia bangkit dari duduknya kemudian melangkah meninggalkan ruangan. Tidak peduli pada keluarga dan sahabat yang menatapnya dengan pandangan bingung.

Kaki Winda melangkah cepat. Matanya melirik jam tangannya. Sudah hampir pukul empat. Langit masih tampak cerah dengan awan yang mengapung tipis. Ia berlari melewati pepohonan, bangunan, dan orang-orang yang berbincang di pinggir jalan. Tapi rasanya secepat apapun ia berlari, rasanya seperti sedang berlari di tempat.

Winda tidak mengerti jalan pikirannya sendiri. Bukankah ia sudah memutuskan hubungannya dengan Dewa? Bukankah ia sudah berusaha melupakan lelaki itu? Bukankah ia sudah melihat sendiri penyebab retaknya hubungan mereka?

Tapi... entah mengapa saat mendengar Dewa menunggu seseorang, terbit sedikit harapan di hatinya. Ia berharap Dewa sedang menunggunya di sana. Dan jika tidak, itu berarti ia harus benar-benar melupakan lelaki itu selamanya.

Setelah berlari seolah tanpa pernah melihat garis finish, akhirnya Winda melangkah memasuki area taman. Ia bergegas menuju bangku panjang tempat ia biasa menunggu. Tiba-tiba Winda tertawa masam. Bangku itu kosong. Tidak ada siapapun di sana.

Winda melirik jam rusak di samping bangku itu. Jam itu menunjukkan pukul empat tepat. Sama seperti jam di tangannya. Rupanya jam itu sudah bisa menunjukkan waktu yang tepat sekarang.

Dengan napas tersengal, Winda duduk di bangku panjang itu. Ia meluruskan kakinya yang terasa pegal. Sementara hatinya menyadari bahwa Dewa sudah bertemu dengan seseorang yang ditunggunya. Dan seseorang itu bukan dirinya.

Hubungan ini sudah berakhir. Sekali lagi, Winda membisikan kata-kata itu di dalam hatinya.

Winda merasa begitu bodoh. Ia meninggalkan orang-orang yang menyayanginya di sana. Sementara ia malah mengejar sesuatu yang tidak pasti. Hatinya mencelos dan luka yang belum mengering di sana kembali terasa sakit.

Tiba-tiba Winda merasa seseorang memperhatikannya. Ia menoleh dan mendapati Dewa datang dengan dua es krim di tangannya. Sebuah senyuman terukir di bibir lelaki itu.

“Winda. Kau datang.” Dewa tertawa masam. Ia melangkah lalu duduk di samping Winda. “Tentu saja. Aku tahu kau pasti datang.”

Winda hanya terdiam menatap Dewa. Wajah lelaki itu tampak kusam karena debu dan keringat. Tapi binar kebahagiaan tidak bisa disembunyikannya. Berapa lama lelaki itu menunggu?

“Maaf aku pergi sebentar tadi. Aku membeli es krim ini untukmu.” Dewa menyodorkan salah satu es krim di tangannya dan Winda menerimanya. “Aku ingin saat kau datang, aku sudah siap dengan es krim kesukaanmu.”

“Lalu, bagaimana jika saat kau pergi membeli es krim, aku datang lalu pergi lagi karena menganggap kau tidak datang?”

Dewa tertawa kecil, lebih pada menertawakan dirinya sendiri. “Benar juga. Kenapa aku bodoh sekali?”

Winda hanya diam. Lalu selama tiga menit selanjutnya, mereka menikmati es krim tanpa suara, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga tiba-tiba Winda menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. “Sebenarnya, apa yang kau tunggu?”

“Aku menunggumu, Winda. Aku ingin menjelaskan tentang semua kesalah pahaman di antara kita berdua.” Dewa menerawang lurus ke depan. “Tapi aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku terlalu sering menyakitimu.”

Winda melirik Dewa. “Kalau begitu, biarkan aku bertanya. Kau jawab saja. Bagaimana?”

Dewa mengangguk. Ia menghadapkan tubuhnya ke arah Winda. Bersiap menjawab pertanyaan pertama.

“Kau sudah... tidak mencintaiku?” tanya Winda dengan tenggorokan tercekat.

“Aku selalu mencintaimu, Winda. Dari awal hingga akhir nanti.”

Winda menganggukkan kepalanya skeptis. “Lalu kenapa kau... berselingkuh dengan gadis lain?”

 “Kau salah. Aku tidak pernah berselingkuh,” kata Dewa sambil menggelengkan kepala. “Gadis yang kau lihat itu hanyalah rekan kerjaku di kafe. Saat itu aku hendak mengantarnya pulang karena Lala anaknya, jatuh sakit. Sementara suaminya sudah meninggal.”

Winda menoleh dengan alis berkerut. Gadis itu masih muda tapi ia harus mengalami pahitnya hidup yang seperti itu. Winda merasa malu sudah mengira yang tidak-tidak kepada gadis itu. “Sampaikan rasa berdukaku untuknya...”

Tunggu Dewa bekerja di kafe itu? Jadi itu mengapa ia dan gadis itu mengenakan pakaian dengan warna senada. Pipi Winda mulai merah karena malu.

“Ya. Jika suatu hari kami bertemu kembali. Aku sudah tidak bekerja di kafe itu.”

Winda menatap Dewa tidak mengerti. “Apa maksudmu?”

“Aku bekerja sambilan di beberapa tempat sekaligus dalam dua bulan terakhir. Itulah kenapa aku sering terlambat datang. Beberapa pegawai tetap, sering memanfaatkan pekerja sambilan sepertiku untuk membantu menyelesaikan pekerjaan mereka.” Beberapa saat Dewa memandang tanah. Kemudian ia kembali mendongak dan berkata, “Tapi sekarang aku suadah berhenti dari semua pekerjaan itu.”

“K-kenapa?” Winda bertanya takut-takut. Ia takut jika ternyata dirinyalah yang menjadi penyebab Dewa kehilangan pekerjaan. Jika itu terjadi, ia tidak tahu harus ebrbuat apa untuk menebus perasaan bersalah.

“Karena aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan.” Dewa tersenyum kepada Winda. Tangannya merogoh sesuatu dari sakunya, kemudian menyerahkan kotak beledu itu kepada Winda.

Winda menatap bingung ke arah Dewa, tapi tangannya membuka perlahan kotak dalam genggamannya. Sebuah cincin dengan berlian kecil terpampang indah dalam kotak itu.

“A-apa ini?” tanya Winda dengan mata melebar.

“Hadiah ulang tahunmu,” ujar Dewa sambil tersenyum melihat reaksi Winda.

“Bukankah ini... mahal?” Winda terbata-bata. “Jadi karena itu kau bekerja?”

“Ya. Aku ingin memberikan sesuatu yang berharga untuk seseorang yang penting dalam hidupku.”

Dewa mengambil cincin dari kotak itu lalu menyematkan di jari manis Winda. Gadis itu mengangkat tangannya ke udara. Dan saat sinar matahari menerpa, cincin itu berkilauan dengan indah.

“Mulai sekarang aku akan meneruskan kuliah, lulus, bekerja dan... menikah denganmu.”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D