Dua jam saja. Hanya dua jam waktu yang ia miliki sebelum ia pergi ke Amerika. Kirana masih saja ragu untuk mengatakan kepergiannya pada kekasihnya. Ya, lelaki itu tak perlu tahu. Itu adalah hal yang pantas setelah lelaki itu telah menipunya. Memanfaatkan kekayaan Kirana untuk membuat hidupnya makmur bersama perempuan lain.
Lelaki itu tak akan pernah tau bagaimana susahnya Kirana mengumpulkan uang hingga ia menjadi miliarder muda yang sukses. Dengan segudang bisnis yang ia kembangkan di penjuru dunia membuatnya menjadi pengusaha muda yang banyak diperebutkan oleh taipan-taipan tampan yang tak kalah sukses.
Tio, lelaki itu tak pantas lagi mendampingi Kirana. Harusnya Kirana percaya apa yang dikatakan sahabatnya tentang Tio yang berniat menguras harta Kirana. Tapi cukup. Kali ini tak ada ampun lagi untuk lelaki itu. Penyelidikan selama dua bulan cukup membuktikan segalanya.
Kartu kredit dengan jumlah tak terhingga yang diberikan untuk Tio dan rekening bank yang berisi uang dari Kirana telah diblokir atas permintaan gadis itu. Tentu saja setelah Kirana menguras habis uang di dompet Tio semalam untuk membeli beberapa sepatu dengan alasan dompet Kirana yang ketinggalan.
Kirana mengenakan kacamata hitamnya sebelum turun dari mobil sport merah yang ia kendarai. Ia melangkah menuju rumah bercat kuning kemudian menempelkan catatan di pintu depan rumah itu.
Maaf, kita akhiri saja semuanya.
Kirana.
Kirana mendesah lega setelah menempelkan catatan tersebut. Ia memutar langkahnya berjalan dengan tumitnya yang tinggi mengetuk lantai teras rumah itu dengan irama yang tenang.
Waktunya sangat berharga. Ia tak ingin menghabiskan waktunya untuk berdebat dengan Tio. Tapi ia harus tetap menjelaskan seperti apa hubungan mereka. Tio sudah bukan lagi orang penting dalam hidupnya.
Kirana melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumahnya. Ia harus segera berangkat ke bandara. Kali ini mungkin satu atau dua tahun ia akan tinggal di Amerika untuk bisnisnya di Los Angles.
***
Bangunan itu menjulang dengan bentuk yang menyerupai tumpukan buku. Arsitek kenalannya, Shane telah membuatnya tampak begitu berseni dan mewah. Kirana tersenyum puas menatap bangunan hotel miliknya dari balik kacamata hitamnya.
"Kirana" Panggil seseorang membuat Kirana menoleh ke asal suara.
"Shane. Bagaimana kabarmu? Ini benar-benar karya yang luar biasa." Puji Kirana begitu melihat lelaki berkemeja hitam dengan jeans lebih terang yang membalut tubuhnya.
"Seperti yang kau lihat. Bagaimana denganmu?"
"Tentu aku baik-baik saja. Ayo ke kafe itu. Aku akan mentraktirmu." Shane menunjuk sebuah kafe bergaya klasik di ujung jalan. Kirana pun mengiyakan dan menyamakan langkah dengan kaki jenjang Shane.
"Kupikir kau akan datang bersama Tio." Ujar Shane sebelum memasukkan kentang goreng ke dalam mulutnya.
"Shane, dia penipu. Dia memanfaatkan uangku." Kirana mendengus kesal. "Aku sudah memutuskan lelaki itu." Kirana menambahkan.
"Lalu sampai kapan kau disini?"
"Mungkin aku akan lama disini. Aku sudah lama tidak jalan-jalan sejak aku kembali ke Indonesia. Aku jadi ingat kita sering jalan-jalan saat kita masih sekolah." Kirana tersenyum saat mengingat kenangan bersama teman lamanya itu. "Sudah sepuluh tahun kita tak bertemu, kau benar-benar berubah Shane."
"Begitu juga denganmu Kirana. Kau jauh lebih cantik sekarang. Besok aku akan mengajakmu ke pameran patung di gedung seni. Besok adalah hari terakhir pameran itu." kata Shane setelah menyesap minumannya.
"Tentu. Kita akan bertemu di sini besok."
"Tidak, tidak. Aku akan menjemputmu."
***
Kirana ini bukan kencan! Kirana merutuk dalam hati. Ia berdiri di depan sebuah cermin berukuran besar, mengeluarkan isi kopernya dan memilih gaun yang pantas untuk ia kenakan. Kirana akhirnya memutuskan untuk mengenakan gaun berwarna ungu tua yang terlihat cantik di kulit sawo matangnya.
Suara ponsel Kirana berdering. Shane. Kirana berdehem, mengatur suaranya agar tak terdengar gugup.
"Ya?"
"Kirana maafkan aku. Aku tak bisa pergi denganmu hari ini. Ada meeting mendadak. Aku harus pergi ke Hawai sekarang juga. Aku-"
"Aku paham." Kirana memotong kalimat Shane. "Tenang saja, aku bisa pergi sendiri." Nada kecewa terdengar dari suara Kirana. Ia telah menyiapkan penampilan terbaiknya untuk pergi bersama Shane. Tapi semuanya gagal. Kirana segera mematikan mengakhiri telpon Shane tanpa salam.
"Aku tak percaya ini." Karina berbicara pada bayangannya di cermin. Kemudian ia meraih tasnya dan beranjak menuju lobby hotel miliknya.
Ia tinggal di penthouse yang ia bangun di lantai puncak hotelnya. Ia memang membuat sebuah penthouse di setiap hotel miliknya untuk memudahkannya mencari tempat tinggal saat berkunjung.
***
Sebuah bangunan didominasi warna putih dan emas berdiri megah dengan pilar-pilar tinggi yang kokoh. Ini adalah gedung seni White Art. Tempat yang harusnya ia datangi bersama Shane.
Kirana menaiki anak tangga menuju ke pintu masuk yang sangat besar untuknya. Tubuh Kirana yang memang asli Indonesia, terbilang kecil dibandingkan orang-orang Amerika kebanyakan.
"Kirana." Seorang lelaki dengan setelan jas rapi berjalan mendekati Kirana. Kirana mengernyitkan keningnya, mencoba mengingat siapa lelaki yang menyapanya itu.
"Kau lupa padaku? Ini aku, Steve." Lelaki itu mencoba mengingatkan.
"Ah, iya Steven Smith. Tentu saja aku mengingatmu." Seulas senyum palsu tersungging di bibir Kirana. Lelaki terakhir yang ia harapkan untuk bertemu dengannya. Lelaki yang sombong dan gemar memamerkan hartanya. Membuat Kirana muak tentu saja.
"Memang harusnya kau mengingat orang penting sepertiku Kirana. Bagaimana bisnismu di Riyadh? Kau tahu, aku membangun sebuah pusat perbelanjaan di Barcelona. Aku memang cerdas. Bisnis di kota itu membuatku meraup banyak keuntungan." Tawa bangga keluar dari mulutnya. Sementara Karina sibuk memandang sebuah pahatan patung yang begitu indah di hadapannya.
Karina masih melanjutkan langkahnya hingga ia menghentikan langkahnya di depan sebuah pemandangan yang jauh lebih indah dari pahatan patung dewa Yunani sekalipun.
"Shane." Suara Karina terdengar gemetar. Bagaimana bisa Shane membatalkan rencana mereka padahal Shane pun hadir di tempat yang sama.
"Karina, kau tidak mendengarkanku?" Steve merasa ceritanya tak didengar oleh Karina. Tapi memang itulah yang terjadi.
"Steve. Aku tahu kekayaanmu dan kesuksesanmu memang luar biasa. Tapi bisakah kau berhenti berbicara kali ini? Aku benar-benar tak ingin mendengarkan apapun yang berhubungan dengan bisnis sekarang ini." Ujar Karina ketus tanpa mengalihkan perhatiannya dari Shane.
Lelaki itu menggenggam sebuah kamera dengan seorang gadis bergaun merah. Sebelah tangan gadis itu melilit pinggang Shane yang sibuk memotret patung di hadapannya sambil sesekali membisikkan sesuatu di telinga gadis itu hingga membuat gadis itu tertawa.
"Kirana, ayolah. Kenapa kau jadi begitu menyebalkan." Lelaki sialan ini benar-benar tidak sopan, batin Kirana.
"Steve, aku benar-benar ingin sendiri. Dan lagi aku sudah berkali-kali dengar tentang bisnismu di Barcelona, Sudan, India dan dimanapun itu. Jadi sekarang cukup." Kilatan kemarahan terlihat di mata Kirana. Steve akhirnya meninggalkan Kirana sambil mengumpat kesal.
Kirana tahu suatu saat nanti hal ini akan berdampak pada bisnisnya. Tapi ia tak peduli. Suasana hatinya sedang benar-benar buruk saat ini.
Keraguan muncul di hati Kirana. Ia ingin mendatangi Shane dan menuntut penjelasan tentang mengapa ia berada disini dengan seorang gadis, sedang ia bilang ia tak bisa datang karena meeting di Hawai. Kirana cemburu -ralat, kesal- dengan keputusan sepihak Shane ketika ia telah menyiapkan penampilan terbaiknya hari ini.
Gadis itu bergelayut manja di tangan Shane. Membuat emosi Kirana semakin naik. Akhirnya Kirana akhirnya membuat sebuah keputusan bulat. Tumitnya yang tinggi beradu dengan lantai, membawanya untuk mendekati Shane. Kemarahannya tak lagi dapat terbendung ketika melihat Shane mengecup bibir gadis itu. Benar-benar tak tahu malu!
"Kau keterlaluan, Shane!"
Bersambung ke part 2
Sebuah bangunan didominasi warna putih dan emas berdiri megah...
BalasHapusYakin itu bangunannya warna putih-emas? bukan biru-hitam? :v
Hahahaha.. Nggak.. Ini bukan gedung fenomenal ngik :v
Hapus